Anda di halaman 1dari 9

1.

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2
µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif
anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak (Gambar 2.1). Bakteri ini tumbuh pada
suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni
pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus,
menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai
kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri.

Gambar 1 Bentuk mikroskopis S. aureus

2. Patogenisitas

Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan
saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan
sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase,
dan mampu meragikan manitol).

Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah.
Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan
infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis,
infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab
utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik.
Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel
rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat,
lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk
dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui
pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena,
trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis,
osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru.

Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi setelah
trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur
tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial .

Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu onset
dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan
banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0
µg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang
hebat tanpa disertai demam).

Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam
tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus
yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang
menggunakan tampon, atau pada anak-anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus.
S. aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak
ditemukan dalam aliran darah.

3. Faktor Virulensi S. aureus

S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan
dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor
virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya :

1. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes
adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari Streptococcus .

2. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor
koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan
dapat meningkatkan aktivitaspenggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan
sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis.

3. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni
bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisisn, dan delta
hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona
hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan
nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan
Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba
dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel darah merah
manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba.

4. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam
patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokuspatogen tidak dapat mematikan sel-
sel darah putih manusia dan dapat difagositosis .

5. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida
epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial pada ikatan sel di stratum
granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebabStaphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang
ditandai dengan melepuhnya kulit.

6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan
eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan
gangguan multisistem organ dalam tubuh.

7. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus.
Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada makanan
yang mengandung karbohidrat dan protein.

2.streptococcus pyogenes
Streptococcus pyogenes
merupakan bakteri Gram
positif, nonmotil, tidak
berspora, membentuk kokus
yang berbentuk rantai,
berdiameter 0,6 - 1,0
mikrometer dan fakultatif anaerob. Bakteri ini melakukan metabolisme secara fermentasi.
Streptococcus pyogenes digolongkan ke dalam bakteri hemolitik-β, sehingga membentuk zona
terang bila ditumbuhkan dalam media agar darah.

2. Patogenitas Streptococcus pyogenes

Streptococcus pyogenes merupakan salah satu patogen yang banyak menginfeksi manusia.
Diperkirakan 5-15% individu normal memiliki bakteri ini dan biasanya terdapat pada saluran
pernafasan, namun tidak menimbulkan gejala penyakit. S. pyogenes dapat menginfeksi ketika
pertahanan tubuh inang menurun atau ketika organisme tersebut mampu berpenetrasi
melewati pertahanan inang yang ada. Bila bakteri ini tersebar sampai ke jaringan yang rentan,
maka infeksi supuratif dapat terjadi. Infeksi ini dapat berupa faringitis, tonsilitis, impetigo dan
demam scarlet. Streptococcus pyogenes juga dapat menyebabkan penyakit invasif seperti
infeksi tulang, necrotizing fasciitis, radang otot, meningitis dan endokarditis.

Demam rematik dan glomerulonefritis merupakan penyakit streptokokus akibat komplikasi non
supuratif atau sekuele. Demam rematik akut dapat terjadi apabila penderita yang terinfeksi S.
pyogenes 1-5 minggu sebelumnya tidak mendapat penanganan segera. Sekuele ini terjadi akibat
adanya antibodi protein M yang bereaksi silang dengan protein jaringan jantung sehingga
menimbulkan

peradangan jantung atau lebih dikenal dengan penyakit jantung rematik. Penderita pada
umumnya akan mengalami kerusakan pada sebagian otot jantung dan katup jantung.
Glomerulonefritis akut diduga terjadi akibat deposisi kompleks antigen-antibodi pada membran
glomeruli ginjal. Gejala glomerulonefritis biasanya terjadi 10 hari setelah infeksi tenggorokan
atau kulit oleh S. pyogenes dan umumnya menyerang anak-anak usia 3-4 tahun. Pada orang
dewasa, penyakit ini dapat menyebabkan gagal ginjal kronis.

3 Faktor Virulensi Streptococcus pyogenes

Infeksi yang ditimbulkan akibat S. pyogenes disebabkan adanya interaksi faktor-faktor virulensi
S. pyogenes dengan sel inang. Faktor virulensi tersebut bisa berupa protein yang disekresikan
maupun yang berlokasi di permukaan sel. Faktor virulensi yang disekresikan diantaranya adalah
streptokinase, hialuronidase, proteinase, hemolisin, polisakarida-C, protease sistein dan
Streptococcal Inhibitor of Complement (SIC). Protein permukaan S. pyogenes yang berperan
sebagai faktor virulensi diantaranya adalah Streptococcal C5a Peptidase (SCPa), protein M dan
protein F. Faktor virulensi S. pyogenes dapat dilihat pada Gambar 2. 1.

Gambar 1 : Diagram faktor


virulensi S. pyogenes

3.1 Protein M

Faktor virulensi utama yang terletak di permukaan sel S. pyogenes adalah protein M, di mana
transkripsinya diregulasi oleh mga, suatu gen yang mengkode protein Multiple Gene Activator
(Mga). Di samping protein M, protein Mga juga meregulasi positif ekspresi beberapa faktor
virulensi S. pyogenes seperti SCPa, FcrA dan SIC. Protein Mga berikatan secara spesifik dengan
situs activator gene emm, scpA, fcrA dan sic yang terletak di hulu promotor. Pengikatan Mga
terhadap situs activator gen-gen tersebut membantu pengenalan RNA polymerase terhadap
promotor emm, scpA, fcrA dan sic sehingga transkripsi berlangsung (McIver dkk., 1995).
Inaktivasi mga telah dibuktikan dapat menghambat sintesis tiga faktor virulensi yaitu protein
M1, SCPa dan reseptor immunoglobulin pada S. pyogenes galur M1 (Kihlberg dkk., 2000).
Interaksi antara protein Mga dengan situs aktivator gen emm dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. : Interaksi antara protein


Mga dengan situs activator gen emm

Protein M mempunyai struktur


coiled-coil dan sebagian besar
molekulnya berbentuk heliks, kecuali pada ujung aminonya. Daerah non heliks ini diikuti oleh
daerah berbentuk heliks yang berlokasi di tengah molekul dan pada ujung karboksi diakhiri oleh
daerah yang berasosiasi dengan dinding sel. Daerah non heliks terdiri atas lebih kurang 11 asam
amino yang susunannya berbeda dari satu protein M dengan M lainnya, tetapi 100 % identik
dalam tipe M yang sama. Berdasarkan pebedaan ini, maka protein M dinamai M1, M2, M3 dan
seterusnya. Pada daerah heliks, asam amino 12 sampai 362 dijumpai pola 7 asam amino
berulang.

Protein M memiliki 3 daerah berulang yaitu daerah berulang A, B dan C. Daerah berulang A dan
B merupakan daerah bervariasi yang menentukan serotipe protein M, sedangkan daerah
berulang C memiliki urutan yang dikonservasi. Pada daerah berulang B, protein M dapat
mengikat IgG3 dan fibronektin manusia, sedangkan pada daerah berulang C dapat mengikat
albumin serum manusia dan faktor H. Struktur Protein M dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 : Struktur Protein M S. pyogenes

Protein M diketahui berfungsi sebagai


reseptor terhadap berbagai protein
manusia. Protein M12 dapat mengikat IgG3 manusia secara spesifik dan pengikatan ini
tampaknya bergantung pada isotop IgG3. Protein M24 diketahui dapat mengenali fibrinogen
manusia secara spesifik dan fenomena ini berhubungan dengan resistensi S. pyogenes terhadap
aktivitas fagositosis inang.

Penelitian lain menunjukkan bahwa protein M3 mempunyai aktivitas pengikatan terhadap 3


protein manusia yaitu fibrinogen, albumin dan immunoglobulin G.

Berdasarkan reaksinya dengan antibodi terhadap daerah berulang C, protein M dibagi menjadi
dua kelas yaitu I dan II. Protein M kelas I mengandung epitop yang terpapar ke permukaan dan
bereaksi dengan antibodi terhadap daerah berulang C, sedangkan protein M kelas II tidak
bereaksi dengan antibodi ini dan memiliki epitop yang berbeda. Protein M kelas I diproduksi
oleh galur S. pyogenes “Opacity Factor” (OF) negatif dan protein M kelas II diproduksi oleh galur
OF positif.

Protein M mempunyai beberapa fungsi dalam patogenesis S. pyogenes, diantaranya yaitu


aktivitas antifagositosis, adhesin dan invasin. Aktivitas antifagositosis terjadi melalui dua
mekanisme yaitu daerah berulang C berikatan dengan faktor H sehingga menghambat aktivitas
komplemen dan fibrinogen berikatan dengan permuakan protein M sehingga menghambat
aktivitas komplemen jalur alternatif. Pengikatan ini menyebabkan penurunan jumlah C3b yang
berikatan dengan S. pyogenes dan menghambat fagositosis oleh Polymorphonuclear leukocytes
(PMNL) . Protein M juga berfungsi sebagai adhesin untuk penempelan bakteri pada keratinosit
kulit dan invasin yang mempercepat internalisasi pada proses invasi .

3.Varicella Zoster Virus (VZV)

Varicella Zoster Virus (VZV) termasuk ke dalam famili herpesvirus (herpesviridae). Klasifikasi ini
berdasarkan karakteristik morfologi, fisik, dan kimia virus. The Herpesvirus Study Group of the
International Committee on the Taxonomy of Viruses (ICTV) membagi anggota dari famili ke
dalam 3 subfamili yaitu Alphaherpesvirinae, Betaherpesvirinea and Gammaherpesvirinea.
Berdasarkan host spektrum, panjang siklus replikasi, efek sitopatik in vitro dan sifat laten, VZV
bersama herpes simplex virus tipe 1 dan 2 dikelompokkan ke dalam subfamili
Alphaherpesvirinae (Rahaus et al, 2006).

Gambar 1. Bentuk VZV


secara biologi molekuler
VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas, orofaring
ataupun conjunctiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada
lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah
dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke
4-6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus
tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan
berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang
mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke
seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi
di kulit yang khas. Penghindaran VZV terhadap sistem imun berhubungan dengan penurunan
jumlah dari sel T memori yang spesifik pada VZV pada host yang terinfeksi laten. Sebaliknya,
resiko terjadinya herpes zoster menurun ketika sel T memori yang spesifik pada VZV
memberikan respon untuk mendeteksi adanya VZV.

Anda mungkin juga menyukai