Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan
paling sering pada usus besar (kolon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan
menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion)
yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini
mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya
(Henna N, 2011). Pada tahun 1886, Harold Hirschsprung menemukan penyakit ini
untuk pertama kalinya. Ia menyimpulkan bahwa penyakit Hirschsprung dapat
mengakibatkan nyeri abdomen dan konstipasi pada bayi atau anak-anak, namun hal
ini belum diketahui patofisiologinya secara pasti, hingga akhirnya pada tahun 1993,
dimana Robertson dan Kermohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai
pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik di bagian distal akibat
defisiensi sel ganglion pada organ usus (colon) (Hidayat M, 2009).
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering
dialami oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus Hirschsprung
terdiagnosis pada bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat terdiagnosis hingga
usia remaja atau dewasa muda (Izadi M, 2007). Terdapat kecenderungan bahwa
penyakit Hirschsprung dipengaruhi oleh riwayat atau latar belakang keluarga dari
ibu. Angka kejadian penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000
kelahiran hidup, dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan
mayoritas penderita adalah laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1.
Penyakit ini harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan berat lahir ≥
3kg yang terlambat mengeluarkan tinja, hal ini juga dapat dialami oleh bayi yang
lahir kurang bulan. Penyakit Hirschsprung dapat berkembang menjadi buruk dan
dapat mengancam jiwa pasien, apabila terjadinya keterlambatan dalam
mendiagnosis penyakit ini (Lorijn, 2006 dalam Surya 2014).
Penegakan diagnosis dini merupakan hal yang sangat penting, agar dapat
lebih cepat merujuk pasien ke dokter spesialis, sehingga pasien memperoleh
penanganan yang lebih baik. Maka dari itu, presentasi kasus ini dibuat untuk

1
mengulas gejala-gejala serta tanda yang sering timbul dan khas pada penyakit
Hirschsprung, dan membahas hal-hal yang diperlukan dalam mendiagnosis
penyakit Hirschsprung.

1.2 Tujuan Penulisan


a. Memahami anatomi, histologi dan fisiologi usus
b. Memahami definisi penyakit Hirschsprung
c. Mengetahui epidemiologi penyakit Hirschsprung
d. Memahami etiologi penyakit Hirschsprung
e. Memahami patofisiologi penyakit Hirschsprung
f. Memahami manifestasi klinis penyakit Hirschsprung
g. Memahami diagnosis penyakit Hirschsprung
h. Memahami patofisiologi penyakit Hirschsprung
i. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Hirschsprung

1.3 Manfaat Penulisan


a. Menambah ilmu pengetahuan mengenai penyakit hirschsprung dari definisi
sampai penatalaksanaanya.
b. Menambah bahan referensi pustaka di Departemen Ilmu Bedah RSPAD
Gatot Soebroto

2
BAB II
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Ny. DS
Usia : 47 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Cempaka baru IV RT 12/07, kemayoran, jakarta
pusat
Tanggal masuk RS : 05 November 2017
No. RM : 448919

Anamnesis
Keluhan Utama :
Benjolan pada leher bagian depan sejak 5 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Benjolan pada leher bagian depan sisi kanan dan kiri sejak 5 tahun yang lalu.
Benjolan membesar secara perlahan. Awalnya benjolan teraba kecil lama kelamaan
membesar hingga sebesar gepalan tangan. Pasien mengeluh sulit menelan, gelisah
dan sulit tidur sejak 1 tahun terakhir. Selain itu, pasien mengeluh cepat lelah saat
beraktivitas. Tidak ada nyeri di benjolan, tidak ada sesak, tidak banyak
mengeluarkan keringat pada kedua tangannya, tidak ada penurunan nafsu makan,
tidak ada penurunan berat badan, tidak ada gangguan BAB dan BAK, tidak ada
demam. Pasien menyangkal sering berdebar-debar dan gemetaran. Pasien mengaku
menggunakan garam beriodium dirumahnya.

3
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi :+
Asma : Disangkal
Diabetes mellitus : Disangkal
Alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarganya yang mengalami penyakit seperti ini.

Riwayat Sosial
Tidak ada tetangga pasien yang mengalami penyakit seperti ini.

Riwayat Pengobatan
Sebelumnya tidak pernah berobat ke dokter mengenai keluhannya ini.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Tanda vital
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6=15)
Sp02 : 99%
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 360C
Pernapasan : 20 x/menit
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 53 kg
IMT : 23,56 (normoweight)
Status Generalis
Kepala : Normocephale, rambut hitam dengan distribusi yang
merata dan tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
eksophtalmus -/-, refleks cahaya +/+, pupil isokor

4
Telinga : Bentuk normal, sekret (-)
Hidung : Bentuk normal, sekret (-), deviasi septum (-), edema
mukosa (-), pernapasan cuping hidung (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Mulut : Sianosis (-), kering (-)
Thoraks
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : dbn
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, gallop (-),
murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Pergerakan nafas simetris
Palpasi : Fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-
wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi : Datar, benjolan (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-),
hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), tremor (-)

Status Lokalis
Regio colli anterior
Inspeksi :
 Tampak benjolan pada leher bagian depan sisi kanan dan kiri
 Bentuk : nodul
 Ukuran : 5X3 cm, 4X3 cm, 2X2 cm
 Permukaan : nodul
 Keadaan : warna kulit pada benjolan sama dengan warna kulit sekitar
 Gerakan : benjolan ikut bergerak ke atas pada saat menelan

5
Palpasi :
 Konsistensi padat
 Mobile
 Batas tegas
 Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid (-)
 Nyeri pada penekanan (-)
 Jumlah nodul : 3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan 05-11-2017 07-11-2017 Nilai Rujukan


Hematologi Lengkap
Hemoglobin 11,6 11,9 12 - 16 g/dl
Hematokrit 35 36 37 - 47%
Eritrosit 4,2 4,4 4,3 - 6,0 juta/ul
Leukosit 8.180 10.220 4.800 – 10.800/ul
Trombosit 306.000 364.000 150.000 - 400.000/ul
MCV 83 81 80 – 96 fL
MCH 28 27 27 – 32 pg
MCHC 33 33 32 – 36 g/dL
Pemeriksaan Hormon T3, FT4, TSH
 T3 RIA : 2,3 ng/ml (N: 0,8 – 2,0 ng/ml)
 FT4 RIA : 2,22 ng/dl (N: 0,8 – 1,7 ng/dl)
 TSH RIA : 0,13 uIU/ml (N: 0,3-5,0 uIU/ml)

Resume
 Pasien perempuan berusia 47 tahun dengan keluhan benjolan pada leher bagian
depan sejak 5 tahun yang lalu.
 Benjolan pada leher bagian depan sisi kanan dan kiri sejak 5 tahun yang lalu,
awalnya benjolan teraba kecil lama kelamaan membesar hingga sebesar gepalan
tangan, cepat lelah saat beraktivitas, sulit menelan, gelisah dan sulit tidur sejak 1
tahun terakhir.

6
 Tidak ada nyeri di benjolan, tidak ada sesak, tidak banyak mengeluarkan keringat
pada kedua tangannya, tidak ada penurunan nafsu makan, tidak ada penurunan berat
badan, tidak ada gangguan BAB dan BAK, tidak ada demam, berdebar-debar dan
gemetaran disangkal.
 Keadaan umum pasien tampak sakit ringan, tanda vital dalam batas normal,
kesadaran compos mentis, Sp02 99%, IMT 23,56 (normoweight).
 Pada pemeriksaan lokalis di regio colli anterior tampak benjolan pada leher bagian
depan sisi kanan dan kiri, bentuknya nodul, ukurannya 5X3 cm; 4X3 cm; 2X2 cm,
permukaannya nodul, warna kulit pada benjolan sama dengan warna kulit sekitar,
benjolan ikut bergerak ke atas pada saat menelan. Ketika diraba teraba konsistensi
padat, mobile, batas tegas, pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid (-),
nyeri pada penekanan (-), jumlah nodul 3.
 Pemeriksaan Hormon T3 meningkat, FT4 meningkat, TSH menurun.

Diagnosis Banding
1. Tiroiditis
2. Limfoma
3. Karsinoma tiroid

Diagnosis Kerja
Struma multinodusa non-toksik

Tatalaksana
 Total tiroidektomi
 Infus RL 20 tpm
 Throzyl 10 mg
 Micardis 80 mg

Prognosis
Quod ad vitam : dubia et bonam
Quod ad sanam : dubia et bonam
Quod ad fungsionam : dubia et bonam

7
Gambar 1 Tampak Depan

Gambar 2 Sisi Kiri Gambar 3 Sisi Kanan

Gambar 4 Multinodusa

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Kolon


Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix vermiformiis,
colon, rectum dan canalis analis seperti yang terlihat pada gambar 1. Caecum
adalah bagian pertama intestinum crassum dan beralih menjadi colon ascendens.
Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Caecum terletak pada fossa
iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale.
Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan
berhubungan dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal. Colon
ascendens panjangnya kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai ke
permukaan visceral dari lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada flexura
coli dextra untuk beralih menjadi colon transversum.
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan
paling dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut
membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm. Colon descendens
panjangnya kurang lebih 25 cm. Colon descendens melintas retroperitoneal dari
flexura coli sinistra ke fossa iliaca sinistra dan disini beralih menjadi colon
sigmoideum. Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum. Panjangnya kurang
lebih 40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Rectum adalah bagian akhir
intestinum crassum yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi canalis
analis (Moore, 2002).

9
Gambar 1 Anatomi Kolon

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior
seperti pada gambar 2. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian
kanan (mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri
mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri
kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior
memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum
sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri
sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media
dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan
rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena
hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke
hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan
merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena
hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal
dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi
preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik
pembuluh limfe melalui sisterna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada
sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase
karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe
virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah

10
hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi
iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum
mengikuti aliran limfe inguinalis superfisialis.

Gambar 2 Pendarahan Kolon

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri
utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (meissner).

11
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang
berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan
interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi
ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan
mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan
pleksus aurbach dan meissner (Taylo, 2005).

3.2 Histologi Kolon


Dinding usus besar terdiri dari empat lapisan seperti pada gambar 3 yaitu
mukosa, sub mukosa, muskularis eksterna dan serosa. Mukosa terdiri atas epitel
selapis silindris, kelenjar intestinal, lamina propia dan muskularis mukosa. Usus
besar tidak mempunyai plika dan vili, jadi mukosa tampak lebih rata daripada yang
ada pada usus kecil. Submukosa di bawahnya mengandung sel dan serat jaringan
ikat, berbagai pembuluh darah dan saraf. Tampak kedua lapisan otot di muskulus
eksterna. Baik kolon tranversum maupun kolon sigmoid melekat ke dinding tubuh
oleh mesenterium, oleh karena itu, serosa menjadi lapisan terluar pada kedua bagian
kolon ini. Di dalam mesenterium terdapat jaringan ikat longgar, sel-sel
lemak,pembuluh darah dan saraf (Eroschenko, 2003).

Gambar 3 Histologi Kolon

12
3.3 Fisiologi Kolon
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan (Guyton, 2008), kolon mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang
masuk setiap hari dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume sekitar 200-
250mL (Ganong, 2008).
Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan
proksimal kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan
kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses
sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon
penyimpanan. Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara
normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan sejumlah
kecil selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi tambahan untuk
tubuh (Guyton, 2008).

3.4 Penyakit Hirschsprung


A. Definisi
Hirschsprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan
suatu kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada submukosa
dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada bagian anus dan
membentang secara proksimal. Kondisi ini menyebabkan obstruksi akibat
penurunan fungsi relaksasi kolon (Kessmann, 2006).
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus
dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat
dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang
aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh
usus, dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus (Wyllie, 2000).

B. Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar
1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan

13
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan
ada kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar
6% (Wyllie, 2000; Kartono, 2004).
Berdasarkan batas inferior secara anatomi (internal anal sphincter),
penderita dapat diklasifikasikan menjadi short- dan long-segment disease. Short-
segment disease merupakan lokasi terbanyak dan mempengaruhi bagian
rectosigmoid pada colon (80% dari seluruh kasus). Sedangkan long-segment
disease kasusnya lebih jarang (kurang lebih 20% kasus) dan mempengaruhi hampir
seluruh bagian colon, tetapi sangat jarang mengenai usus halus (Kessmann, 2006).

C. Etiologi
Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di
ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan
pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan
bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan oleh gangguan
peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal. Sebelum tahun
1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek ganglion pada kolon
distal menjadi penyebab penyakit Hirschsprung ataukah defek ganglion pada kolon
distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi,
Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit Hirschsprung bukan
di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,
melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang
tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Kenyataan ini mendorong Swenson
untuk mengengembangkan prosedur bedah definitif penyakit Hirschsprung dengan
pengangkatan segmen aganglion disertai dengan preservasi sfingter anal (Kartono,
2004).
Overexpression of gene on chromosome 21 diperkirakan sebagai faktor
pencetus munculnya Hirschsprung’s disease dan dipengaruhi oleh gene mapping
to 21q22. Walaupun penyebab tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan sel
ganglion belum diketahui secara jelas, identifikasi gen yang paling berpengaruh

14
(disebut The REarranged during Transfection (RET) gene dan The Endothelin B
receptor gene (EDNRB) serta variasi gen lainnya) dapat membantu memahami
etiologi dari kondisi ini. Penelitian secara berkelanjutan mengidentifikasi sejumlah
gen yang dicurigai sebagai gen penyebab, antara lain (the EDNRB ligand EDN 3,
the glial cells line derived neurotrophic factor (GDNF) dalam kromosom 5p12-13
dan dihubungkan dengan GFRα). Hubungan antara PHOX2B dan SOX-10 pada
kromosom 22q13 juga menunjukkan kesinergisan dengan sistem endotelin dalam
kasus aganglonic segment yang sangat panjang (Khazdouz, et al., 2015).

D. Patologi
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding
usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang
bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan
neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang agangloinik terbatas pada
rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-sel ganglion.
Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan
kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan pleksus
Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang hipertrofi dengan
konsentrasi asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan otot dan pada
submukosa (Wyllie, 2000).
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian
usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatik
intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap
sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang
normal akan melebar oleh feses yang tertimbun, membentuk megakolon. Pada
Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik meliputi rectum sampai
sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%)
ditemukan pada anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih sering daripada anak perempuan.
Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid disebut Hirschsprung
segmen panjang. Bila aganglionosis mengenai seluruh kolon disebut kolon
aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan hamper seluruh usus halus, disebut
aganglionosis universal (Pieter, 2005).

15
E. Manifestasi Klinis
1. Gejala
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu:
a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih
kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium
pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24
jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya
dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang
mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat
yang ringan karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah (Kessman,
2008)
b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa
kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak
(Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi
kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada
dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga dapat
terjadi (Kessman, 2008).

2. Tanda
a. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
b. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
c. Terlihat gelombang peristaltik pada dinding abdomen
d. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan bau
feses dan gas yang busuk.

16
e. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus,
punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi
peritonitis (Kessman, 2008)

F. Diagnosa
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan
penyebab kematian tersering, seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pada
tahun 1946 Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit Hirschsprung dapat
ditegakkan pada masa neonatal.
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi
anatomi biopsi isap rectum, dan manometri anorektal diagnosis penyakit
Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan (Kartono, 2004).

1. Anamnesis
a) Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya keluar
>24 jam.

b) Adanya muntah berwarna hijau.

c) Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.

d) Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa,


misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan
riwayat tidak dapat defekasi (Lee, 2009).

2. Pemeriksaan Fisik
a) Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi.

b) Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut
anak sudah kempes lagi (Lee, 2009).

17
Gambar 4. Penyakit Hirschrprung

3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung
adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
a) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.

b) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah


daerah dilatasi.

c) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

18
Gambar 5. Gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum
yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang
melebar.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid
(Kartono,2004)

4. Pemeriksaan patologi Anatomi


Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel
ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner).
Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf
(parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan
pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak
ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan
konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase,

19
juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan
pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli
patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2, 3, dan 5 cm proksimal
dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi
eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley
(1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan
komplikasi (Kartono,2004).

Gambar 6. Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin


dan eosin (H&E)

Gambar 7. Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita


Hirschsprung’s disease (pewarnaan acetylcholinesterase)

5. Manometri Anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter

20
anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil
pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini
memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti
balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau
computer (NASPGHAN & APGNN, 2006).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung
adalah :
a) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
b) Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik;
c) Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna
setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan
(Kartono,2004).

G. Diagnosa Banding
Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit
fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan sindrom
pseudo obstruksi intestinal. Kartono (2004) menyatakan banyak kelainan-kelainan
yang menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi
anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain
Intestinal neuronal dysplasia, Hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence of
argyrophyl plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot polos
(Kartono, 2004).

H. Tatalaksana
Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung
hanya dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat
dilakukan tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi
abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi
rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama
untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan
untuk menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa tubuh (Lee, 2009).

21
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif.
Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi
dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan
distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan kedua adalah
dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik
dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan
bagian bawah rectum (Kartono, 2004).
Dikenal beberapa prosedur tindakan defenitif yaitu prosedur Swenson,
prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior,
prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur Transanal Endorectal Pull-Through
dan prosedur miomektomi anorektal.
Setelah diagnosis penyakit Hirshprung ditegakkan maka sejumlah tindakan
preoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan
dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan
pemberian cairan intravena, antibiotik dan pemasangan pipa lambung. Apabila
sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka resusitasi cairan
dilakukan secara agresif, peberian antibiotika broad spektrum secara ketat
kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus. Melakukan serial pencucian
rektum dengan memberikan 10 ml/kg BB pada setiap kali pencucian dengan
menggunakan pipa rektum ukuran 18-20. Pada penderita kemudian diberikan
antibiotik intavena.

Tindakan Bedah
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan
ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis
sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah:
menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan
mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga
memungkinkan dilakukan anastomose. Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi
secara medik berhasil dan direncanakan bedah defenitif langsung (Kartono, 2004).

22
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi kolostomi
adalah dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi usus
pada radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk
melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa stoma ikat atau stoma ujung
(Pieter, 2005).
Kolostomi dikerjakan pada:
1. Pasien neonates: Tindakan Bedah defenitif langsung tanpa kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian. Kematian dapat mencapai
28,6%, sedangkan pada bayi 1,7%. Kematian ini disebabkan oleh kebocoran
anastomosis dan abses dalam rongga pelvis.
2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Kelompok pasien ini
mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang terlalu besar untuk
dianastomosiskan dengan rectum dalam bedah defenitif. Dengan tindakan
kolostomi, kolon dilatasi akan mengecil kembali setelah 3 sampai 6 bulan
pascabedaah, sehingga anastomosis lebih mudah dikerjakan dengan hasil yang
lebih baik.

3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang buruk.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pascabedah, dengan
kolostomi pasien akan cepat mencapai perbaikan keadaan umum.
Pada pasien yang tidak termasuk dalam kategori 1, 2, dan 3 tersebut dapat langsung
dilakukan tindakan bedah definitif.
Kolostomi yang bersifat sementara akan dilakukan penutupan. Berdasarkan
lubang kolostomi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Single barreled stoma: yaitu dibuat dari bagian proksimal usus. Segmen distal
dapat dibuang atau ditutup.
2. Double barreled: biasanya meliputi kolon transversum. Kedua ujung dari kolon
yang direksesi dikeluarkan melalui dinding abdominal mengakibatkan dua
stoma. Stoma distal hanya mengalirkan mukus dan stoma proksimal
mengalirkanfeses.
3. Kolostomi lop-lop: yaitu kolon transversum dikeluarkan melalui dinding
abdomen dan diikat ditempat dengan glass rod. Kemudian 5-10 hari usus

23
membentuk adesi pada dinding abdomen, lubang dibuat di permukaan terpajan
dari usus dengan menggunakan pemotong.

I. Komplikasi
Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri
dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel
neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan
yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan terjadinya megakolon toksik
yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi dan nekrosis akibat iskemia mukosa diatas
segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi
usus. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung , yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling
tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian enteokolitis berdasar prosedur operasi yang dipergunakan
Swenson 16,9%, Boley-Soave 14,8%, Duhamel 15,4% dan Lester Martin 20%.
Gambaran klinis distensi abdomen 29, diare 38, darah pada feses 2, muntah 31,
panas 22 dan takikardi. Sedangkan komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis
dan gangguan fungsi sfingter (Kartono,2004).

24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh
kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal,
melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rektum. Megakolon pada penyakit Hirschsprung primer
disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus
bagian distal. Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat dibedakan berdasarkan
usia, dan gejala klinis. Diagnosa ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, pemeriksaan
patologi anatomi biopsi isap rectum, dan manometri anorektal. Penatalaksanaan
dapat dengan tindakan pembedahan 2 tahap yaitu kolonostomi dan operasi definitif.
Komplikasi terbanyak adalah enterokolitis yang telah dilaporkan sampai 58% kasus
pada penderita penyakit Hirschsprung, sedangkan komplikasi pasca tindakan bedah
penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter.

25

Anda mungkin juga menyukai