Anda di halaman 1dari 23

8

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Shift Kerja


2.1.1 Pengertian Shift Kerja
Winarsunu (2008) dalam Marchelia (2014) menyatakan bahwa shift
kerja yaitu hadir pada suatu tempat kerja yang sama secara reguler pada
waktu yang sama (shift tetap) atau dengan waktu yang berbeda-beda
(shift rotasi). Shift tetap yaitu karyawan yang bekerja secara tetap pada
shift tertentu, sedangkan shift rotasi yaitu sistem kerja dimana karyawan
bekerja secara shift yang berputar, bekerja di pagi hari sementara waktu
kemudian bertukar dengan shift siang lalu kadang bekerja pada shift
malam.
Suma’mur (2013) menyatakan bahwa shift kerja merupakan pola
waktu kerja yang diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan
sesuatu oleh perusahaan dan biasanya dibagi atas kerja pagi, sore dan
malam. Proporsi pekerja shift semakin meningkat dari tahun ke tahun,
ini disebabkan oleh investasi yang dikeluarkan untuk pembelian mesin-
mesin yang mengharuskan penggunaannya secara terus menerus siang
dan malam untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Sebagai akibatnya
pekerja juga harus bekerja siang dan malam. Hal ini menimbulkan
banyak masalah terutama bagi tenaga kerja yang tidak atau kurang dapat
menyesuaikan diri dengan jam kerja yang lazim. Lintje (2010)
menyatakan bahwa shift kerja adalah semua pengaturan jam kerja
sebagai pengganti atau sebagai tambahan kerja pagi dan sore hari
sebagaimana yang dilakukan.

2.1.2 Ketentuan Shift Kerja


Grandjean (1986) mengemukakan teori Schwartzenau dalam
Susetyo (2012) yang menyebutkan bahwa ada beberapa saran yang
harus diperhatikan dalam penyusunan jadwal shift kerja, yaitu :
9

1. Pekerja shift malam sebaiknya berumur antara 25-50 tahun


2. Pekerjaa yang cenderung punya penyakit diperut dan usus, serta
yang memiliki tingkat emosi yang tidak stabil sebaiknya tidak
ditempatkan di shift malam
3. Pekerja yang tinggal jauh dari tempat kerja atau berada
dilingkungan yang ramai tidak dapat bekrja malam
4. Sistem shift 3 rotasi biasanya berganti pada pukul 06.00 – 14.00
– 22.00, lebih baik diganti pada pukul 07.00 – 15.00 – 23.00 atau
08.00 – 16.00 – 24.00
5. Rotasi pendek lebih baik daripada rotasi panjang dan harus
dihindarkan kerja malam secara terus menerus
6. Rotasi yang baik 2 – 2 – 2 (metropolitan pola) 2 – 2 – 3
(continental pola)
7. Kerja malam tiga hari berturut-turut harus segera diikuti istirahat
paling sedikit 24 jam
8. Perencanaan shift meliputi akhhir pekan dengan dua hari libur
berurutan
9. Tiap shift terdiri dari satu kali istirahat yang cukup untuk makan.
Sistem shift kerja yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode,
masing-masing selama 8 jam termasuk istirahat. Pembagiannya adalah :
a. Shift pagi, yaitu bekerja dari jam 08.00 – 16.00
b. Shift siang, yaitu bekerja dari jam 16.00 – 24.00
c. Shift malam, aitu bekerja dari jam 24.00 – 08.00

Susetyo (2012) menyatakan bahwa kerja shift merupakan


pilihan dalam cara pengorganisasian kerja yang tercipta karena adanya
keinginan untuk memaksimalkan produktivitas kerja sebagai
pemenuhan tuntutan customer. Pada saat ini sistem kerja shift sudah
diaplikasikan secra luas pada berbagai sektor baik industri manufaktur
maupun industri jasa. Keadaan ini selain memberikan keuntungan dari
segi ekonomi, dan sosial akan tetapi dapat juga berdampak negatif
10

sehingga perlu diperhatikan. Dampak yang sering dihubungkan dengan


kerja shift adalah kelelahan umum atau general fatique yang bila
berkepanjangan dapat mengakibatkan kelelahan kronis. Kelelahan
pekerja dapan menurunkan kinerja, serta merupakan suatu kondisi yang
dapat berakibat meningkatkan resiko terhadap penyakit.

2.1.3 Sistem Shift Kerja


Winarsunu (2008) dalam Yulinda (2015) menyatakan bahwa sistem
kerja shift yang berlaku umum biasanya terbagi atas 3 periode, masing-
masing selama 8 jam, termasuk istirahat. Pembagiannya adalah shift
pagi, sore dan malam. Shift kerja yang menggunakan pembagian dari
jam 08.00 - 16.00, 16.00 - 24.00 dan 24.00 - 08.00 mempunyai beberapa
kelebihan baik secara fisiologis maupun sosial. Pada masing-masing
shift, pekerja mempunyai satu kali kesempatan makan bersama-sama
dengan keluarganya dan mempunyai kesempatan untuk tidur dengan
baik khususnya bagi shift pagi dan sore. Ada 2 persyaratan yang harus
diperhatikan dalam pengatur shift (shift rotation), yaitu:
1. Kehilangan tidur sedapat-dapatnya dikurangi dan hal ini akan
meminimalkan kelelahan.
2. Harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan keluarga dan
kontak sosial.

Winarsunu (2008) dalam Yulinda (2015) mengkategorikan tiga tipe


sistem shift kerja, yaitu:

1. Sistem shift permanen


Setiap individu bekerja hanya pada satu bagian dari 3 shift
kerja setiap 8 jam.
2. Sistem rotasi shift cepat
Tenaga kerja secara bergilir bekerja dengan periode rotasi
kerja 2-3 hari. Sistem shift ini lebih banyak disukai karena dapat
mengurangi kebosanan kerja, kerugiannya menyebabkan kinerja
11

shift malam dan waktu tidur terganggu sehingga diperlukan 2-3


hari libur setelah kerja malam.
Berdasarkan faktor sosial dan fisiologis diusulkan sistem
rotasi shift cepat, yaitu sistem 2-2-2 dan 2-2-3 yang disebut
sistem Metropolitan dan Continental. Sistem rotasi shift 2-2-2
yaitu rotasi shift kerja pagi, siang dan malam dilaksanakan
masing-masing 2 hari, dan pada akhir periode shift kerja malam
di beri libur 2 hari dan kembali lagi ke siklus shift kerja semula.
Sistem rotasi 2-2-3 yaitu rotasi shift kerja di mana salah satu shift
dilaksanakan 3 hari bergiliran setiap periode shift dan dua shift
lainnya dilaksanakan masing-masing 2 hari. Pada akhir periode
shift kerja diberi libur 2 hari.
3. Sistem rotasi shift lambat
Merupakan kombinasi antara sistem shift permanen dan
sistem rotasi shift cepat. Rotasi shift kerja dapat berbentuk
mingguan, atau bulanan. Sistem ini menyebabkan circadian
rhythm.

International Labour Organization (2012) dalam Yulinda (2015)


menyebutkan sistem shift kerja terbagi 2 yaitu :
1. Sistem 3 shift 4 kelompok (4 x 8 hours continuous shift work)
Yaitu 3 kelompok shift bekerja setia 8 jam dan 1 kelompok
istirahat. Sistem ini digunakan bagi aktivitas terus menerus tanpa
hari libur. Rotasi shift 2-3 hari.
2. Sistem 3 shift3 kelompok (3 x 8 hours semi continuous shift
work)
Yaitu 3 kelompok shift bekerja setiap 8 jam, pada akhir
minggu libur. Rotasi shift 5 hari.
12

2.1.4 Dampak Shift Kerja


Pulat (2002) dalam Rosanti (2011) menyebutkan ada beberapa
efek kerja shift terhadap tubuh :
1. Aspek Fisiologis
a. Mempengaruhi kualitas tidur. Tidur siang tidaklah seefektif tidur
pada malam hari karena terdapat banyak gangguan. Biasanya
memakan waktu dua hari istirahat untuk menggantikan waktu
tidur malam akibat kerja shift malam.
b. Kurangnya kemampuan fisik untuk bekerja pada malam hari.
Walaupun masalah penyesuaian sirkadian merupakan alasan
yang utama, ada alasan lain yaitu perasaan mengantuk dan lelah.
c. Mempengaruhi kemampuan mental. Johnson dalam Pulat
melaporkan bahwa berkurangnya kapasitas mental
mempengaruhi perilaku waspada terhadap pekerjaan seperti
pengontrolan dan monitoring kualitas. Lebih lanjut, Kelly dan
Schneider dalam Pulat menyatakan bahwa kesalahan dapat
meningkat secara bermakna (80% sampai 180%) karena
bertambahnya lama kerja shift.
d. Gangguan kegelisahan juga telah dilaporkan terjadi di antara
pekerja shift malam. Kehilangan waktu tidur dan efek sosial dari
kerja shift juga merupakan alasan utama.
e. Gangguan saluran pencernaan. Thiis-Everson melaporkan
bahwa dari 6000 pekerja Norwegia, 35% pekerja shift malam
mengalami gangguan perut, 13,4% mengalami ulserasi, dan 30%
mengalami gangguan usus.

2. Aspek Psikologis
Stress akibat shift kerja akan menyebabkan kelelahan
(fatique) yang dapat menyebabkan gangguan psikis pada pekerja,
seperti ketidakpuasan dan iritasi. Tingkat kecelakaan dapat
meningkat dengan meningkatnya stres, fatique, dan ketidakpuasan
akibat shift kerja ini.
13

3. Aspek Kinerja
Dari beberapa penelitian baik di Amerika maupun Eropa,
shift kerja memiliki pengaruh pada kinerja pekerja. Kinerja pekerja,
termasuk tingkat kesalahan, ketelitian dan tingkat kecelakaan, lebih
baik pada waktu siang hari dari pada malam hari, sehingga dalam
menentukan shift kerja harus diperhatikan kombinasi dari tipe
pekerjaan, sistem shift dan tipe pekerja.
4. Domestik dan sosial
Shift kerja akan berpengaruh negatif terhadap hubungan
keluarga seperti tingkat berkumpulnya anggota keluarga dan sering
berakibat pada konflik keluarga. Secara sosial, shift kerja juga akan
mempengaruhi sosialisasi pekerja karena interaksinya terhadap
lingkungan menjadi terganggu. Banyak penelitian model shift kerja
dilakukan untuk mengurangi pengaruh negatif dari shift kerja
tersebut. Selain itu, sebuah riset terbaru menyebutkan bahwa bekerja
pada shift malam memberikan peluang pada tubuh untuk
memproduksi karsinogen (zat penyebab kanker), malam hari
mengalami resiko kanker payudara lebih besar. Bekerja malam tak
hanya mengacaukan ritme sirkadian (jam biologis tubuh). Studi
yang dilakukan International Agency for Research on Cancer
(IARC), divisi kanker dari WHO, menegaskan bekerja di malam hari
memicu sel kanker payudara bagi perempuan dan kanker prostat
bagi pria. Karena kerja shift malam menjadi faktor karsionen. Para
peneliti menduga kerja malam ini menganggu ritme sirkadian.
Selain itu hormon melatonin yang berperan menghambat
pertumbuhan tumor, normalnya diproduksi saat malam. Sehingga
kurang tidur membuat sistem kekebalan tubuh mudah diserang sel
kanker dan tidak memiliki kekuatan untuk menyerang balik. Para
ahli memperkirakan hampir 20 persen dari populasi pekerja di
negara berkembang adalah pekerja malam.
14

2.2 Kelelahan
2.2.1 Pengertian Kelelahan
Tarwaka (2010) menyatakan bahwa kelelahan merupakan suatu
bagian dari mekanisme tubuh untuk melakukan perlindungan agar tubuh
terhindar dari kerusakan yang lebih parah, dan akan kembali pulih
apabila melakukan istirahat. Suma’mur (2013) menyatakan bahwa kata
lelah (fatigue) menunjukkan keadaan tubuh dan mental yang berbeda,
tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan
berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja. Satalaksana dalam Putra
(2011) menyatakan bahwa kelelahan merupakan suatu pola yang timbul
pada suatu keadaan, yang umum terjadi pada setiap individu, yang telah
tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya.
Kodrat (2009) dalam Yulinda (2015) menyatakan bahwa secara
psikologis, kelelahan yaitu keadaan mental dengan ciri menurunnya
motivasi, ambang rangsang meninggi, menurunnya kecermatan dan
kecepatan pemecahan persoalan. Secara fisiologis, kelelahan yaitu
penurunan kekuatan otot yang disebabkan karena kehabisan tenaga dan
peningkatan sisa-sisa metabolisme, misalnya asam laktat,
karbondioksida. Kelelahan diterapkan di berbagai macam kondisi
merupakan suatu perasaan bagi setiap orang mempunyai arti tersendiri
dan bersifat subjektif.
Anoraga (1992) dalam Zahra (2015) menjelaskan bahwa kelelahan
adalah ungkapan perasaan yang tidak enak secara umum, suatu perasaan
kurang menyenangkan, perasaan resah dan capek yang menguras
seluruh minat dan tenaga. Ahmadi (2009) menjelaskan bahwa kelelahan
adalah gejala berkurangnya manusia untuk melakukan sesuatu.
Suma’mur (2013) menyatakan bahwa kelelahan kerja adalah
aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam
bekerja, yang dapat disebabkan oleh :
1. Kelelahan yang sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual)
2. Kelelahan fisik umum
15

3. Kelelahan syaraf
4. Kelelahan oleh lingkungan yang monoton
5. Kelelahan oleh lingkungan kronis terus-menerus sebagai faktor
secara menetap.

Wignjosoebroto (2000) dalam Yulinda (2015) menyatakkan bahwa


kelelahan akibat kerja seringkali diartikan sebagai proses menurunnya
efisiensi, performans kerja, dan berkurangnya kekuatan/ketahanan fisik
tubuh untuk terus melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan. Ada
beberapa macam kelelahan yang dikenal dan diakibatkan oleh faktor-faktor
yang berbeda-beda seperti:
1. Lelah otot
Yang dalam hal ini bisa dilihat dalam bentuk munculnya
gejala kesakitan yang amat sangat ketika otot menerima beban
yang berlebihan.
2. Lelah visual
Yaitu lelah yang diakibatkan ketegangan yang terjadi pada
organ visual (mata). Mata yang terkonsentrasi secara terus-
menerus pada suatu obyek (layar monitor) akan terasa lelah
seperti yang dialami oleh operator komputer. Cahaya yang
terlalu kuat yang mengenai mata juga akan bisa menimbulkan
gejala yang sama.
3. Lelah mental
Dimana dalam kasus ini datangnya kelelahan bukan
diakibatkan secara langsung oleh aktivitas fisik, melainkan lewat
kerja mental (sebagai contoh proses berpikir). Lelah mental ini
seringkali pula disebut sebagai lelah otak.
4. Lelah monotonis
Jenis kelelahan yang disebabkan oleh aktivitas kerja yang
bersifat rutin, monoton ataupun lingkungan kerja yang sangat
menjemukan. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak memberikan
16

tantangan, tidak memerlukan skill, dan lain-lain akan


menyebabkan motivasi pekerja akan rendah. Di sini pekerja
tidak lagi terangsang dengan pekerjaan ataupun lingkungan
kerjanya. Situasi kerja yang monoton dan menimbulkan
kebosanan akan mudah terjadi pada pekerjaan-pekerjaan yang
dirancang terlalu ketat. Kondisi semacam ini jarang terjadi
dalam kegiatan yang memberikan fleksibilitas bagi pekerja
untuk mengembangkan kreativitas dan mengatur irama kerjanya
sendiri.

2.2.2 Jenis Kelelahan Kerja


Suma’mur (2013) menyatakan bahwa kelelahan dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Kelelahan menurut proses
a. Kelelahan otot, merupakan kelelahan yang ditandai dengan
kondisi tremor atau perasaan nyeri pada otot. Kelelahan ini
terjadi karena penurunan kapasitas otot dalam bekerja akibat
dari kontraksi yang berulang, baik karena gerakan yang statis
maupun dinamis. Sehingga seseorang tampak kehilangan
kekuatannya untuk melakukan pekerjaan.
b. Kelelahan umum, merupakan kelelahan yang ditandai
dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja karena
pekerjaan yang monoton, intensitas, lama kerja, kondisi
lingkungan, sesuatu yang mempengaruhi mental, status gizi,
dan status kesehatan.
2. Kelelahan menurut waktu
a. Kelelahan akut, merupakan kelelahan yang ditandai dengan
kehabisan tenaga fisik dalam melakukan aktivitas, serta
akibat beban mental yang diterima saat bekerja. Kelelahan
ini muncul secara tiba-tiba karena organ tubuh bekerja secara
berlebihan.
17

b. Kelelahan kronis, juga disebut dengan kelelahan klinis yaitu


kelelahan yang diterima secara terus-menerus karena faktor
atau kegiatan yang dilakukan berlangsung lama dan sering.
Kelelahan ini sering terjadi sepanjang hari dalam jangka
waktu yang lama, serta kadang muncul sebelum melakukan
pekerjaan dan menimbulkan keluhan seperti sakit kepala,
sulit tidur, hingga masalah pencernaan.

2.2.3 Penyebab Kelelahan


Suma’mur (2013) menjelaskan bahwa akar masalah
kelelahan umum terjadi karena monotoninya pekerjaan, intensitas
dan lamanya kerja mental dan fisik yang tidak sejalan dengan
kehendak tenaga kerja yang bersangkutan, keadaan lingkungan yang
berbeda dari estimasi semula, tidak jelasnya tanggung jawab,
kekhawatiran yang mendalam dan konflik batin serta kondisi sakit
yang diderita oleh tenaga kerja. Pengaruh dari keadaan yang menjadi
sebab kelelahan tersebut seperti berkumpul dalam tubuh dan
mengakibatkan perasaan lelah.

2.2.4 Proses Terjadinya Kelelahan


Winarsunu (2008) dalam Yulinda (2015) menyatakan bahwa
kelelahan dapat terjadi lebih cepat atau lebih berat dari semestinya.
Kejadian seperti ini muncul karena pekerja atau operator bekerja
pada peralatan atau tugas yang tuntutan bebannya hanya bertumpu
pada satu bagian (otot) tubuh saja yang berlangsung secara terus
menerus. Konsep kelelahan ini di sebut static load. Oleh karena
menguras tenaga secara berlebihan pada suatu kelompok otot yang
sama dan berlangsung dalam waktu yang panjang, static load akan
mengakibatkan ketidaknyamanan dan menimbulkan rasa sakit pada
bagian (kelompok) otot yang terpapar tersebut. Jika pada kondisi
static load ini pekerja juga harus menggunakan tenaga (kekuatan
18

kerja) yang tinggi dan posisi kerjanya tidak nyaman (awkward


posture) maka kelompok otot yang berhubungan dengan aktivitas
tersebut akan kelebihan beban (overloaded) dan aliran darah pada
kelompok otot menjadi berkurang, dan situasi inilah yang
menyebabkan cepatnya kelelahan terjadi.
Suma’mur (2013) menjelaskan bahwa keadaan dan perasaan
lelah adalah reaksi fungsional pusat kesadaran yaitu otak (cortex
cerebri), yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistis yaitu sistem
penghambat (inhibis) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem
penghambat bekerja terhadap thalamus yang mampu menurunkan
kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan kecenderungan
untuk tidur. Adapun sistem penggerak terdapat dalam formasio
retikularis (formation reticularis) yang dapat merangsang pusat-
pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari organ-organ dalam
tubuh kearah kegiatan bekerja, berkelahi, melarikan diri dan lain-
lain. Maka berdasarkan konsep tersebut, keadaan seseorang pada
suatu saat sangat tergantung kepada hasil kerja antara dua sistem
antagonistis dimaksud. Apabila sistem penghambat berada pada
posisi lebih kuat daripada sistem penggerak, seseorang berada dalam
kondisi lelah. Sebaliknya, manakala sistem penggerak lebih kuat
dari sistem penghambat, makan seseorang berada dalam keadaan
segar untuk aktif dalam kegiatan termasuk bekerja.
Konsep ini dapat dipakai untuk menerangkan peristiwa-
peristiwa yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan. Misalnya
peristiwa seseorang yang lelah tiba-tiba kelelahannya hilang oleh
karena terjadi suatu peristiwa yang tidak diduga atau terjadi
tegangan emosi. Dalam hal itu, sistem penggerak tiba-tiba
terangsang dan dapat menghilangkan pengaruh sistem penghambat.
Demikian pula pada peristiwa monotoni, kelelahan terjadi oleh
karena kuatnya hambatan dari sistem penghambat, walaupun
19

sesungguhnya beban kerja tidak seberapa untuk menjadi penyebab


timbulnya kelelahan.

2.2.5 Akibat Terjadinya Kelelahan


Suma’mur (2013) menyatakan bahwa kelelahan dapat kita
ketahui dari gejala-gejala atau perasaan-perasaan yang sering timbul
seperti :
1. Perasaan berat di kepala, menjadi lelah seluruh tubuh, kaki
terasa berat, menguap, pikiran kacau, mengantuk, mata berat,
kaku dan canggung dalam gerakan, tidak seimbang dalam
berdiri dan merasa ingin berbaring.
2. Merasa susah berfikir, lelah berbicara, menjadi gugup, tidak
dapat berkonsentrasi, tidak mempunyai perhatian terhadap
sesuatu, cenderung untuk lupa, kurang kepercayaan, cemas
terhadap sesuatu, tidak dapat mengontrol sikap dan tidak
tekun dalam pekerjaan.
3. Merasa sakit kepala, kekakuan bahu, merasa nyeri di
punggung, pernafasan merasa tertekan, suara serak, merasa
pening, spasme dari kelopak mata, tremor pada anggota
badan dan kurang sehat badan.

Budiono (2003) dalam Faiz (2014) menyebutkan bahwa


kelelahan kerja dapat berdampak terhadap menurunnya produktivitas.
Faiz (2014) menjelaskan bahwa kelelahan dapat berakibat terhadap
menurunnya perhatian, perlambatan dan hambatan persepsi, lambat
dan sukar berpikir, penurunan kemauan atau dorongan untuk bekerja,
menurunnya efisiensi dan kegiatan-kegiatan fisik serta mental yang
pada akhirnya menyebabkan kecelakaan kerja dan terjadi penurunan
produktivitas kerja.
20

2.2.6 Cara Mengatasi Kelelahan


Winarsunu (2008) yang mengutip pendapat Macleod dalam
Yulinda (2015) menyatakan bahwa istirahat dengan waktu pendek
tetapi sering dilakukan akan lebih efektif dalam mengatasi kelelahan
daripada istirahat yang waktunya panjang tetapi hanya sekali atau
jarang dilakukan. Upaya yang lainnya adalah mengatur intensitas dan
durasi penggunaan tenaga fisik dan mental sehari-hari, beban kerja
harus merata sepanjang waktu, ada perputaran tugas-tugas yang berat
dengan yang tidak, dan mengurangi kondisi lingkungan kerja yang
ekstrim yang dapat menyebabkan kelelahan kerja.
Susetyo (2012) mengatakan bahwa untuk mengurangi tingkat
kelelahan maka harus dihindarkan sikap kerja yang bersifat statis dan
diupayakan sikap kerja yang dinamis.
Suma’mur (2013) menyatakan bahwa kelelahan dapat
dikurangi bahkan ditiadakan dengan pendekatan berbagai cara yang
di tujukan kepada aneka hal yang bersifat umum dan pengelolaan
kondisi pekerjaan dan lingkungan di tempat kerja. Misalnya, banyak
hal dapat dicapai dengan menerapkan jam kerja dan waktu istirahat
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengaturan cuti yang tepat,
penyelenggaraan tempat istirahat yang memperhatikan kesegaran
fisik dan keharmonisan mental-psikologis, pemanfaatan masa libur
dan peluang untuk rekreasi, dan lain-lain. Penerapan ergonomi yang
bertalian dengan perlengkapan dan peralatan kerja, cara kerja serta
pengelolaan lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan fisiologi
dan psikologi kerja merupakan upaya yang sangat membantu
mencegah timbulnya kelelahan.

2.2.7 Pengukuran Kelelahan


Tarwaka (2004) dalam Faiz (2014) menjelaskan bahwa sampai
sekarang belum ditemukan cara untuk mengukur tingkat kelelahan
secara langsung. Pengukuran yang telah dilakukan peneliti
21

sebelumnya hanya berupa indikator dimana menunjukkan terjadinya


kelelahan akibat kerja. Tarwaka (2004) dalam Faiz (2014) telah
mengelompokkan metode pengukuran kelelahan dalam beberapa
kelompok sebagai berikut:
1. Kualitas dan Kuantitas kerja yang di lakukan
Pada metode ini, kuantitas output digambarkan sebagai
jumlah proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau
proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. Namun
demikian banyak faktor harus dipertimbangkan seperti, target
poduksi, faktor sosial dan perilaku psikologis. Sedangkan
kualitas output (kerusakan dan penolakan produk) atau frekuensi
kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi
faktor tersebut bukan merupakan causal factor.
2. Uji psikomotor (Psychomotor test)
Metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan
reaksi motor. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan
pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu
dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat
kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi
dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau
goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi
merupakan petunjuk adanya perlambatan proses faal syaraf dan
otot. Dalam uji waktu reaksi ternyata stimuli terhadap cahaya
lebih signifikan daripada stimuli suara. Hal tersebut disebabkan
karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada
stimuli cahaya. Alat ukur waktu reaksi yang telah dikembangkan
di Indonesia biasanya menggunakan nyala lampu dan denting
suara sebagai stimuli, yang alatnya dikenal sebagai Reaction
Timer.
22

3. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusio test)


Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja
untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan
semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antara dua
kelipan, disamping itu untuk mengukur kelelahan juga
menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja.
4. Pengukuran kelelahan secara subyektif (subjective feelings of
fatigue)
Wijaya (2005) dalam Hastuti (2017) menjelaskan bahwa
pengukuran secara subyektif untuk melihat tingkat kelelahan
kerja yaitu dengan Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan
Kerja (KAUPK2) dimana terdiri dari 17 butir pertanyaan yang
menggambarkan pelemahan aktivitas sebanyak 7 pertanyaan,
aspek pelemahan motivasi sebanyak 3 pertanyaan dan aspek
gejala fisik 7 pertanyaan.
Tarwaka (2004) dalam Faiz (2014) juga menyatakan
bahwa subjective Self Rating Test dari Industrial Fatigue
Research Committee (IFRC) Jepang yang merupakan salah satu
kuesioner yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kelelahan secara subyektif. Kuesioner tersebut terdiri atas 30
pertanyaan yang terbagi atas 10 pertanyaan tentang pelemahan
kegiatan, 10 pertanyaan pelemahan motivasi, dan 10 pertanyaan
tentang gambaran kelelahan fisik. Jika metode ini digunakan
hanya untuk beberapa orang pekerja di suatu populasi kerja yang
besar, maka hasilnya tidak akan valid.

2.2.8 Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan


1. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kemampuan kerja seorang individu. Pemakaian energi per-jam
pada kondisi dari kerja otot untuk tiap orang itu berbeda, dan
23

salah satunya adalah faktor usia. Suma’mur (2013) menyatakan


bahwa kerja otot memiliki peranan penting dalam meningkatkan
kebutuhan kalori seseorang dan salah satunya adalah kebutuhan
akan metabolisme basal atau Basal Metabolic Rate (BMR).
Metabolisme basal seorang anak akan berbeda dengan orang
dewasa, karena anak-anak akan membutuhkan energi lebih
banyak pada masa pertumbuhannya. Dengan kata lain, faktor
usia seseorang akan mempengaruhi metabolisme basal dari
individu tersebut. Semakin tua individu tersebut maka
metabolisme basal akan semakin menurun dan individu tersebut
akan mudah mengalami kelelahan.
2. Massa Kerja
Umyati (2010) menyatakan bahwa faktor lain yang
mempengaruhi kelelahan kerja adalah masa kerja. Masa kerja
merupakan panjangnya waktu bekerja terhitung mulai pertama
kali masuk kerja hingga dilakukannya penelitian. Langgar (2014)
menjelaskan bahwa pengalaman kerja seseorang akan
mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja. Karena semakin lama
seseorang bekerja dalam suatu perusahaan, maka selama itu
perasaan jenuh akan pekerjaannya akan mempengaruhi tingkat
kelelahan yang dialaminya.
3. Status Perkawinan
Mauludi (2010) menyatakan bahwa seseorang yang
sudah menikah dan memiliki anak akan lebih mudah mengalami
kelelahan, karena waktu yang seharusnya digunakan untuk
beristirahat digunakan untuk mengurus dan memperhatikan anak
dan istri atau keluarganya.
4. Jam Kerja
Suma’mur (2013) menyatakan bahwa waktu kerja bagi
seseorang dapat menentukan efisiensi dan produktivitasnya.
Hal-hal yang penting untuk persoalan waktu kerja terdiri atas :
24

1. Lamanya seseorang untuk mampu bekerja dengan baik.


2. Hubungan antara waktu kerja dan istirahat.
3. Waktu bekerja sehari menurut periode meliputi siang dan
malam.
Suma’mur (2013) menyatakan bahwa semakin panjang
jam kerja maka makin besar kemungkinan untuk terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan seperti penyakit dan kecelakaan kerja.
Pekerjaan kategori biasa yakni tidak terlalu berat atau ringan,
produktivitas seseorang akan menurun setelah 4 (empat) jam
bekerja. Keadaan ini sejalan dengan penurunan kadar gula
dalam darah. Oleh karena itu diperlukan waktu untuk istirahat
dan kesempatan makan untuk menambah kembali energi tubuh.
Istirahat selama 30 menit setelah bekerja 4 (empat) jam kerja
terus menerus sangat penting untuk dilakukan.
Untuk persoalan periode kerja siang atau malam, perlu
dilakukannya kerja secara bergilir (shift), terutama untuk
bekerja pada malam hari. Hal tersebut dilakukan karena bekerja
pada malam hari akan membuat irama faal manusia menjadi
terganggu, metabolisme tubuh juga menjadi tidak sempurna,
mudah mengalami kelelahan kerja, dan sistem pencernaan
menjadi terganggu.

2.3 Perawat Kesehatan Kerja /Occupational Health Nursing (OHN)


2.3.1 Pengertian Perawat Kesehatan Kerja / Occupational Health
Nursing (OHN)
American Association Occupational Health Nursing (2004)
dalam Swarjana (2016) menyatakan bahwa OHN merupakan praktik
spesialis yang fokus tentang promosi, pencegahan, dan pembaruan
kesehatan dalam konteks keselamatan dan kesehatan lingkungan.
Keperawatan kesehatan kerja memberikan pelayanan kesehatan kerja
25

dan lingkungan, pelayanan untuk keamanan pekerja, masyarakat


pekerja, dan kelompok komunitas.

2.3.2 Ruang Lingkup Perawat Kesehatan Kerja / Occupational Health


Nursing (OHN)
Swarjana (2016) menyebutkan kompetisi OHN sebagai berikut:
1. Clinical and primary care
1) Aplikasi proses keperawatan dalam pemberian asuhan
keperawatan
2) Pemberian pertolongan dan primary care berdasarkan
prosedur tindakan
3) Pelaksanaan pemeriksaan fisik
4) Mendiagnosis dan memberikan tindakan
5) Pemahaman tentang prosedur imunisasi
6) Mengidentifikasi kebutuhan emosional pekerja dan
memberikan dukungan dan konseling
7) Menggunakan multidisiplin pendekatan pemecahan masalah
terhadap penyakit ataupun luka dalam kesehatan kerja
8) Mempertahankan catatan
9) Pemeriksaan atau tes klinik dan monitoring
10) Merespon kondisi-kondisi kesehatan emergenci
11) Memahami tren yang terkait dengan isu-isu kesehatan
2. Case management
1) Mengidentifikasi kebutuhan untuk pelayanan case
management
2) Mengembangkan perencanaan dalam case management
3) Mengevaluasisumber-sumber untuk case management
4) Mengimplementasikan hasil awal program kerja
5) Monitoring dan evaluasi hasil
6) Mengembangkan kebijakan dan program terkait dengan case
management
26

7) Mendesain disability management systems


8) Melakukan case management berdasarkan hasil penelitian

3. Workforce, workplace and environmental issues


1) Memahami peran dan berkolaborasi dengan yang lain,
termasuk multidisciplinary team
2) Mempengaruhi secara tepat dan merekomendasikan
pengendalian workplace hazards
3) Melaksanakan pengkajian terhadap resiko (risk assessment
4) Mengelola program pengawasan kesehatan
4. Regulatory and legislative
Pemahaman terhadap peraturan ataupun undang-undang yang
terkait dengan kesehatan kerja, ketenagakerjaan, dan yang lainnya.
5. Management and administration
1) Mengelola keuangan
2) Pengembangan tujuan umum dan tujuan khusus
3) Menulis laporan
4) Melaksanakan audit dan penjamin mutu
5) Negosiasi
6) Berpartisipasi dalam perencanaan strategi operasional
6. Health promotion and disease prevention
1) Mengkaji kebutuhan
2) Mengakui adanya perbedaan budaya
3) Menggunakan gaya komunikasi yang efektif
4) Merencanakan, mengembangkan, mengimplementasikan, dan
mengevaluasi program kesehatan
5) Mengevaluasi hasil promosi kesehatan
6) Mengintegraikan level pencegahan dalam budaya perusahaan
atau tempat kerja
27

7. Occupational and environmental health and safety education and


training
Mengembangkan dan mengimplementasikan program pelatihan
untuk para pekerja dan professional
8. Research
1) Mengidentifikasikan masalah-masalah riset
2) Secara sistematis mengumpulkan, menganalisais, dan
menginterprestasi data dari sumber-sumber yang berbeda
3) Merencanakan, megembangkan, dan melaksanakan penelitian
4) Mengembangkan dan menguji teori atau model terkait dengan
keperawatan kesehatan kerja
9. Profesionalism
1) Terlibat dalam perencanaan belajar sepanjang hayat (life long
learning)
2) Memahami kode etik profesi
3) Meningkatkan profesionalitas melalui belajar
4) Menjadi model bagi mahasiswa dan kolega

2.3.3 Fungsi Perawat Kesehatan Kerja / Occupational Health Nursing


(OHN)
Swarjana (2016) menyatakan bahwa OHN sangat
memperhatikan level pencegahan yang terdiri dari pencegahan
primer, sekunder dan tersier. Level pencegahan tersebut sangat
diperlukan untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan
promosi kesehatan. Anderson & McFarlane (2010) dalam Swarjana
(2016) menyebutkan bahwa level pencegahan tersebut :
1. Primery prevention
1) Mendukung kebijakan perusahaan tentang tidak adanya
toleransi (zero tolerance) terhadap peluang terjadinya
konflik atau permusuhan dan kekerasan bagi semua orang.
28

2) Mendukung kebijakan perusahaan dalam hal reward


kolaborasi, kolegial, dan kerja sama tim serta sanksi untuk
mengontrol perilaku pekerja.
3) Menjaga lingkungan tempat kerja dimana semua pekerja,
baik laki-laki maupun perempuan, etnis, orientasi seksual,
dan agama diperlukan secara terhormat dan membanggakan.
4) Mempromosikan kebijakan yang meningkatkan status
wanita dalam perusahaan.
5) Menyediakan dan memasang poster “safety bulletin board”
tentang kesadaran terhadap kekerasan dalam perusahaan.
2. Secondary prevention
1) Mendukung kebijakan perusahaan dengan pernyataan yang
jelas mendemonstrasikan kepedulian dan komiten terhadap
karyawan yang mengalami kekrasan di rumahnya.
2) Menawarkan kesempatan tahunan yang dapat bermanfaat
untuk meningkatkan kesadaran terhadap pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya dengan seminar,
poster, brosur, termasuk melaksanakan berbagai kegiatan
dalam bulan kesadaran nasional tentang kekerasan dalam
rumah tangga (national domestic violence awareness).
3) Mempromosikan konseling dan intervensi terhadap
karyawan. Semua orang dalam perusahaan sebaiknya
menyadari akan tanda-tanda kekerasan yang dilakukan oleh
pasangan (intimate partner violence). Penting juga
menyediakan nomor telepon bagi karyawan dan perusahaan,
termasuk alamat untuk antisipasi bila ada kejadian yang
bersifat emergensi.
4) Screening kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence
screening) dan pemeriksaan kesehatan tahunan ( annual
health examination).
29

3. Tertiary prevention
1) Memberikan aspek keamanan pada karyawan. Semua
karyawan membutuhkan rasa aman selama mereka bekerja
ditempat kerja mereka masing-masing. Terhindar dari
kekerasan, pelecehan, dan tindakan lainnya.
2) Menawarkan jam kerja yang fleksibel (flexble work hours).
Karyawan yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu
untuk pemulihan, kesehatan, konseling, perpindahan tempat
tinggal, dan lain-lain.
3) Pemberian dukungan finansial karyawan. Contohnya,
bantuan finansial bagi karyawan yang mengalami kekerasan
(financial assistance to abused employees).

2.3.4 Tugas Keperawatan Kesehatan Kerja / Occupational Health


Nursing (OHN)
Swarjana (2016) menyebutkan bahwa tugas-tugas perawat
sebagai OHN diperusahaan, yaitu :
1. Memonitor status kesehatan tenaga kerja.
2. Mengkaji risiko kesehatan dan risiko terhadap tenaga kerja dan
tempat kerja.
3. Meningkatka kesadaran dan mengedukasi pekerja tentang isu
kesehatan dan keselamatan.
4. Menetapkan kerja sama komunitas untuk intervensi kesehatan
dan keselamatan.
5. Mengembangkan kebijakan kesehatan dan keselamatan serta
prosedur.
6. Memastikan kepatuhan terhadap regulasi terkait dengan
kesehatan dan keselamatan.
7. Meningkatkan akses dan fasilitas pelayanan kesehatan.
8. Mendukung kesehatan optimal tenaga kerja.
30

9. Mengevaluasi efektivitas intervensi keselamatan dan kesehatan,


manfaat dan pelayanan.
10. Mengidentifikasi kesempatan secara kontinu untuk
meningkatkan kesehatan dan keselamatan ditempat kerja.

2.4 Kerangka Teori

Shift Kerja Kelelahan kerja

1. Ketentuan shift 1. Jenis kelelahan kerja


kerja 2. Penyebab kelelahan
2. Sistem shift 3. Proses terjadinya kelelahan
kerja 4. Akibat terjadinya kelelahan
3. Dampak shift 5. Cara mengatasi kelelahan
kerja 6. Pengukuran kelelahan
7. Faktor-faktor yang
berhubunngan dengan
kelelahan

Perawat Kesehatan Kerja / Occupational Health


Nursing (OHN)
1. Ruang lingkup perawat kessehatan kerja
2. Fungsi perawat kesehatan kerja
3. Tugas keperawatan kesehatan kerja

Bagan 2.1 Kerangka Teori


( Suma’mur, 2013 ; Faiz, 2014 ; Yulinda, 2015; Swarjana, 2016)

Anda mungkin juga menyukai