Anda di halaman 1dari 21

MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA


YOGYAKARTA

MATERI
HUKUM PERDATA (PERIKATAN DAN PERJANJIAN)

PERIKATAN
A. Pengaturan Hukum Perikatan
Pasal 1233 KUH Perdata menentukan bahwa perikatan dapat timbul karena :
1. Perjanjian
2. Undang-undang
Sumber perikatan itu ialah :
1. Perjanjian
2. Undang-undang
Perikatan yang timbul karena undang-undang dalam pasal 1352 KUH
Perdata, diperinci menjadi dua :
1. Perikatan yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh undang-
undang dan
2. Perikatan yang timbul karena perbuatan orang.
Perikatan yang timbul karena perbuatan orang dalam pasal 1353 KUH
Perdata diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari :
a. Perbuatan menurut hukum (rechtmatig) dan
b. Perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad)

B. Prestasi dan Wanprestasi


1. Prestasi
Pengertian : sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Menurut ketentuan pasal 1234
KUH Perdata ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu :
a. Memberikan sesuatu :
Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian memberikan
sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari
debitur kepada kreditur. Misalnya : jual beli, sewa-menyewa, hibah,
perjanjian gadai, hutang-piutang.
b. Berbuat sesuatu :
Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib
melakukan perbuatan tertentu yang telah ditentukan dalam perikatan.
Misalnya : melakukan perbuatan membongkar tembok,
mengosongkan ruma, membangun gedung. Dalam melakukan
perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam
perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak
sesuai dengan ketentuan perikatan.
c. Tidak berbuat sesuatu
Dalam perikatan yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur
tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Misalnya : tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan,
tidak membuat tembok yang tingginya yang menghalangi
pemandangan tetangganya. Apabila debitur berlawanan dengan
perikatan ini, ia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian.
Sifat prestasi : Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu dapat
dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-
sifatnya, yaitu :
a. Harus sudah ditentukan atau dapat ditentukan. Hal ini
memungkinkan debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak
tertentu atau tidak dapat ditentukan mengakibatkan perikatan batal
(niegtig).
b. Harus mungkin, artinya artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh
debitur secara wajar dengan segala usahanya, jika tidak demikian
perikatan batal (nietig).
c. Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-
undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum. Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal
(nietig).
d. Harus ada manfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat
menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak
demikian, perikatan dapat dibatalkan (verniegtigbaar).
e. Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi
itu berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat
mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar).
2. Wanprestasi
Pengertian : Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang
diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak
dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan
alasan, yaitu :
a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya
kewajiban maupun karena kelalaian.
b. Karena keadaan memaksa (overmacht, force majure, jadi di luar
kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.
Ada tiga keadaan debitur dikatakan sengaja atau lali tidak memenuhi
prestasi, yaitu :
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau
terlambat.
Syarat debitur dikatakan wanprestasi
a. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan “tidak
ditentukan”, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi
prestasi.
b. Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan
pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya
tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya
Debitur perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa
debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam
waktu itu debitur tidak memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau
wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga
secara tidak resmi.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi :
Debitur diwajibakan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (pasal 1243 KUH Perdata)
a. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut
pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH
Perdata).
b. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada
debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2)
c. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH
Perdata)
d. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka
Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah;
Keadaan Memaksa (overmacht)
Pengertian :
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur
karena peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan
terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak
dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan
kemampuan debitur.
Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut :
a. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang
membinasakan/memutuskan benda objek perikatan; atau
b. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi
c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi usnur satu dan tiga,
maka keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”.
Contoh : jual beli lukisan karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan
kepada pembeli di sebuah hotel, lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama
mobil yang membawanya karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwa ini
mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi oleh debitur.
Dalam hal terjaidnya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua
dan tiga, keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa yang subjektif”.
Contoh : seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik dari seorang
pedagang, yang disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu.
Kemungkinan kapal yang mengangkut benda itu membentur karang, sehingga
harus masuk dok untuk perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan
memenuhi prestasi.

C. …
D. Ganti Kerugian
“Kerugian” dalam pasal 1243 KUH Perdata ialah kerugian yang
timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai atau sengaja untuk
memenuhi prestasi). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung
sejak ia dinyatakan lalai. Ganti rugi itu terdiri dari tiga unsur, yaitu :
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya
materai, biaya iklan.
2. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik
kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buahan karena
kelambatan penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi,
sehingga merusak perabot rumah tangga.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan
selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak
diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
Akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) dari pihak debitur maka
kerugian yang harus dibayar oleh debitur hanya meliputi :
1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.
Dapat diduga itu tidak hanya mengenai kemungkinan timbulnya
kerugian, melainkan juga meliputi besarnya jumlah kerugian.
2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitur.
Pasal 1248 KUH Perdata menentukan syarat “akibat langsung” dapat
dipakai teori adequate yang menurut pengalaman manusia normal dapat
diharapkan atau dapat diduga akan terjadi. Dengan timbulnya
wanprestasi, debitur selalu manusia normal dapat menduga akan
merugikan kreditur.
3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 KUH
Perdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah.

E. Jenis-Jenis Perikatan
1. Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang
digantungkan pada syarat. Dari ketentuan pasal ini dapat dibedakan dua :
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksudkan dengan itu terjadi,
maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUH Perdata). Jadi, sejak
peristiwa itu terjadi, kewajiban debitur untuk berprestasi segera
dilaksanakan.
Contoh : A setuju apabila B adiknya paviliun rumahnya, setelah B
kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum
pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika B
kawin, maka A berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya untuk
didiami oleh B.
b. Perikatan dengan syarat batal :
Disamping perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila
“peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi (pasal 1265 KUH
Perdata).
Contoh: A setuju apabila B mendiami rumah milik A selama ia
belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B harus mengosongkan
rumah tersebut apabila A selesai studi dan kembali ke tanah air. Di
sini syarat “selesai dan kembali ke tanah air” masih akan terjadi dan
belum belum pasti terjadi. Tetapi jika syarat tersebut terjadi
perjanjian berakhir dalam arti batal. Hal ini membaw konsekwensi
bahwa segala sesuatu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah
tidak ada perikatan. Dalam contoh di atas B berkewajiban
menyerahkan kembali ke rumah tersebut kepada A.
Batalnya perikatan itu bukanlah “batal demi hukum”, melainkan
“dinyatakan batal” oleh hakim. Jadi, jika syarat batal itu dipenuhi,
maka pernyataan batal harus dimintakan kepada hakim. Tidak cukup
dengan permintaan satu pihak saja, atau pernyataan kedua belah
pihak, meskipun syarat batal itu dicantumkan dalam perikatan (pasal
1266 KUH Perdata)
2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan
hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “Ketetapan
Waktu” ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada “waktu yang
ditetapkan”.
Contoh: A berjanji kepada anak perempuannya yang telah kawin itu
untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandungnya
lahir. Disini “kelahiran” adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan
terjadinya itu sudah pasti. Tentu saja berdasarkan pemeriksaan dokter,
anak itu lahir hidup. Contoh lain, A berjanji kepada B, bahwa ia akan
membayar hutangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang
menguning. Dalam hal ini “hasil panen yang sedang menguning” sudah
pasti, karena dalam waktu dekat A. akan panen sawah, sehingga
pembayaran hutang sudah pasti.
3. Perikatan Manasuka (boleh pilih)
Perikatan manasuka obyek prestasinya ada dua macam benda.
Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur telah memenuhi prestasi
dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan obyek
perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima
benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah
memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan,
yang dibebaskan dan perikatan berakhir.
Contoh: A memesan barang elektronik berupa stereo tape rekorder pada
sebuah toko barang elektronik dengan harga yang sama yaitu Rp.
75.000,-. Dalam hal ini pedagang tersebut dapat memilih, menyerahkan
stereo tape rekorder. Tetapi jika diperjanjikan bahwa A yang menentukan
pilihan, maka pedagang memberitahukan kepada A bahwa barang
pesanan sudah tiba, silahkan A memilih salah satu diantara dua benda
objek perikatan itu. Jika A telah memilih dan menerima dari salah satu
benda itu maka perikatan berakhir.
4. Perikatan Fakultatif
Perikatan dengan mana debitur wajib memnuhi suatu prestasi tertentu
atau prestasi lain yang tentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu
objek saja. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi itu, ia dapat
mengganti dengan prestasi lain.
Contoh: A berjanji kepada B untuk meminjamkan kendaraannya guna
melaksanakan penelitian. Jika A tidak mungkin meminjamkan
kendaraannya karena rusak, ia dapat mengganti dengan sejumlah uang
biaya transportasi penelitian itu. Perbedaan antara perikatan alternatif
dengan perikatan fakultatif adalah sebagai berikut :
a. Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus
menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan
fakultatif hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.
b. Pada perikatan alternatif jika benda yang satu hilang, benda yang lain
menjadi penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika
bendanya binasa, perutangan menjadi lenyap.
5. Perikatan Tanggung Menanggung
Dalam perikatan tanggung menanggung dapat terjadi seseorang
debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang
kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Apabila kreditur
terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung aktif.
Dalam hubungan eksteren antara debitur masing-masing dengan kreditur.
6. Perikatan Dapat dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dibagi, apabila
benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi
menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi
hakikat dari prestasi tersebut. Jadi sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu
didasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi ialah, bahwa
dalam perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditur berhak menuntut
seluruh prestasi pada setiap debritur.
7. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur
apabila ia lalai memenuhi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksud
untuk memberikan suatu kepastian atau pelaksanaan isi perikatan seperti
yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak.
Contoh : dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang
pemborong bangunan dalam waktu 30 hari, tidak menyelesaikan
pekerjaannya ia dikenakan denda Rp. 50.000,- setiap hati keterlambatan.
Dalam hal ini jika pemborong tadi melalaikan kewajibannya berarti ia
harus membayar denda sebesar Rp. 50.000,- sebagai ganti kerugian
setiap hari keterlambatan.

F. Hapusnya perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh caranya hapusnya
perikatan yaitu :
1. Pembayaran
Pembayaran disini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah uang
melainkan juga penyerahan suatu benda. Dengan kata lain perikatan
berakhir karena pembayaran dan penyerahan benda.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan
Apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan
perantara Notaris dan atau jurusita, kemudian kreditur menolak
penawaran tersebut, atas penolakan kreditur itu kemudian debitur
menitipkan pembayaran itu kepada Panitra pengadilan Negeri setempat
untuk disimpan.
3. Pembaharuan hutang (novasi)
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan
hutang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan
kreditur baru. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka
jika diganti debiturnya, pembaharuan ini disebut “novasi subjek pasif”.
Jika yang diganti itu krediturnya, pembaharuan itu disebut “novasi
subjek aktif”. Dalam hal ini hutang lama lenyap.
4. Perjumpaan hutang (kompensasi)
Dikatakan ada perjumpaan hutang apabila hutang piutang debitur dan
kreditur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan
ini hutang piutang lama lenyap.
Contoh : A mempunyai hutang Rp. 25.000.000,- pada B. Sebaliknya B
punya hutang pada A sejumlah Rp. 50.000.000,-. Setelah diperhitungkan,
ternyata B masih mempunyai hutang pada A Rp. 25.000.000,-. Supaya
hutang itu dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan
b. Hutang itu harus sudah dapat ditagih
c. Hutang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya
(pasal 1427 KUH Perdata)
5. Percampuran hutang
Menurut ketentuan pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu
terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu, artinya
berada dalam satu tangan. Percampuran.
Contoh : A sebagai ahli waris mempunyai hutang pada B sebagai
pewaris. Kemudian B meninggal dunia dan A menerima warisan
termasuk juga hutang atas dirinya sendiri. Dalam hal ini hutang lenyap
demi hukum.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas
menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan
haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan.
7. Musnahnya Benda yang Terhutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu
yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi
diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur dan sebelumnya ia
lalai menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan, maka
perikatannya menjadi hapus.
8. Karena Pembatalan
Dalam pasal 1446 KUH Perdata ditegaskan bahwa hanyalah mengenai
soal pembatalan saja dan tidak mengenai kebatalannya, karena syarat-
syarat untuk batal yang disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif
yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Jika syarat-syarat
subjektif tidak dipenuhi, maka perikatan itu tidak batal, melainkan “dapat
dibatalkan” (vernitighaar, voidable).
9. Berlaku syarat batal
Maksud dengan syarat disini adalah ketentuan perjanjian yang disetujui
oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan
perikatan itu batal (neitig, void), sehingga perikatan menjadi hapus.
Syarat ini disebut “syarat batal”.
10. Lampau waktu (daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1959 BW, “lampau waktu adalah alat untuk
memperoleh sesuatu (acquissitieve verjaring) atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang” (extinitieve verjaring).

G. PERJANJIAN
1. Pengertian perjanjian
Perjanjian berasal dari Bahasa Belanda yakni “overennkomsi” yang
berarti setuju atau sepakat. Pengertian dari perjanjian berdasarkan Pasal
1313 KUH Perdata : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih”.
Pengaturan perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang
perikatan yang terdiri dari 19 (sembilan belas), bab, yaitu Bab 1 sampai
dengan Bab XVIII ditambah dengan Bab VII A yang mengatur tentang
perjanjian untuk melakukan kerja yaitu perjanjian kerja atau perburuhan,
perjanjian kerja jasa-jasa tertentu, dan pemborongan bangunan.
2. Asas-Asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu :
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi, bentuk, dan
jenis perjanjian. Asas ini merupakan asas yang utama di dalam suatu
perjanjian yang terbuka, maksudnya bahwa setiap orang boleh
mengadakan perjanjian apa saja dan dengan siapa saja.
Dasar hukum asas kebebasan berkontrak adalah pasal 1338
KUH Perdata, yaitu dari perkataan “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (pacta sunt servanda). Kata “semua perjanjian”
mengandung lima makna yaitu :
1) Setiap orang bebas untuk mengadakan atau untuk tidak
mengadakan perjanjian.
2) Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian dengan
siapapun.
3) Setiap orang bebas untuk menentukan bentuk perjanjian yang
dibuatnya.
4) Setiap orang bebas untuk menentukan isi dan syarat perjanjian
yang dibuatnya.
5) Setiap orang bebas untuk mengadakan pilihan hukum.
Pelaksanaan asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh ketentuan
dalam pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan, “Suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
b. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme mengandung arti bahwa suatu perjanjian
itu sudah lahir atau ada pada saat tercapainya kata sepakat
diantara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Dasar
hukum asas konsensualisme adalah pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata dari kata-kata “perjanjian yang dibuat secara sah” dan
dihubungkan juga dengan ketentuan dalam pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata yang berbunyi “sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya”. Di dalam buku III KUH Perdata, hampir semua perjanjian
merupakan perjanjian konsensual. Perjanjian konsensual itu sendiri
dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian yang lahirnya cukup
dengan adanya kata sepakat dan tidak diperlukan formalitas tertentu.
Namun demikian, ada juga perjanjian yang lahir atau terbentuk tidak
dengan kata sepakat dari para pihak yang membuatnya, antara lain :
1) Perjanjian riil : Perjanjian riil adalah perjanjian yang lahir
dengan diserahkannya barang objek perjanjian oleh para pihak
yang mengadakan perjanjian tersebut. Misalnya adalah
perjanjian penitipan barang dan diatur di dalam pasal 1694
KUH Perdata.
2) Perjanjian formil : Perjanjian formil adalah perjanjian yang
lahir dengan adanya formalitas tertentu. Para pihak harus
melakukan sesuatu dalam rangka mengadakan perjanjian
tersebut, misalnya dalam perjanjian pendirian perseroan terbatas
yang dibuat secara tertulis dan dengan akta notaris.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda berkenaan dengan kekuatan mengikatnya
perjanjian. Asas Pacta Sunt Servanda dapat didefinisikan sebagai
asas berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya. Namun tidak semua perjanjian dapat berlaku
sebagai undang-undang karena hanya perjanjian yang sah saja yang
dapat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.
d. Asas Kepribadian
Asas kepribadian adalah asas yang berhubungan dengan subjek
yang terkait dalam perjanjian. Hal ini dapat dilihat di dalam
ketentuan pasal 1315 jo pasal 1340 KUH Perdata yang berbunyi,
“pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk
dirinya sendiri”.
Ketentuan di dalam pasal 1315 KUH Perdata dipertegas lagi
dengan adanya ketentuan pasal 1340 KUH Perdata ayat (1) yang
mengatakan bahwa “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-
pihak yang membuatnya”. Dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya.
e. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik adalah asas dimana para pihak harus
melaksanakan perjanjian berdasarkan kepercayaan atau kemauan
yang baik dengan memenuhi rasa keadilan serta tidak melanggar
kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik memiliki 2 (dua) macam
pengertian, yaitu :
1) Itikad baik dalam arti subyektif
Itikad baik dalam arti subyektif dapat diartikan sebagai suatu
sikap baik dari seseorang pada waktu dimulainya hubungan
hukum yaitu berupa pengiraan bahwa syarat-syarat yang
dibutuhkan telah terpenuhi Itikad baik dalam arti obyektif.
2) Itikad baik dalam arti obyektif
Berarti bahwa dalam melaksanakan perjanjian para pihak harus
mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan, sehingga
itikad baik dalam arti obyektif ada pada saat para pihak
melaksanakan perjanjian.
3. Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat tersebut diatur di dalam pasal 1320 KUH
Perdata, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu :
1) Syarat subjektif, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
subjek perjanjian. Syarat subjektif terdiri dari kata sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu
perikatan. Tidak terpenuhinya syarat subjektif tidak selalu
menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya,
tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan.
2) Syarat objektif, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi perjanjian itu
sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukannya itu.
Syarat objektif terdiri dari satu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Akibat dari tidak terpenuhinya syarat objektif ialah perjanjian
dinyatakan batal demi hukum, artinya sejak semula dianggap tidak
pernah ada perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat
sah yang pertama dan kedua disebut syarat-syarat subjektif karena
mengenai orang-orangnya atau subjek-subjeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan syarat-syarat yang ketiga dan keempat disebut
syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
4. Unsur-unsur Perjanjian
Unsur-unsur mengenai perjanjian dijelaskan J. Satrio, yaitu suatu
perjanjian mempunyai 3 (tiga) unsur dara, yaitu :
a. Unsur Essensialia
Unsur essensialia, yaitu unsur pokok dan mutlak yang harus
selalu ada dalam suatu perjanjian, sehingga tanpa adanya unsur ini
perjanjian tidak mungkin ada. Unsur ini pada umumnya digunakan
dalam memberikan suatu rumusan, definisi atau pengertiand ari
suatu perjanjian. Sehingga unsur essensialia merupakan unsur
mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak
mungkin ada.
Unsur ini sangat memperlihatkan jenis dari suatu perjanjian,
terutama mengenai perjanjian bernama atau tidak bernama. Dalam
kasus perjanjian jual-beli, unsur essensialianya adalah barang dan
harga. Tanpa adanya salah satu unsur atau bahkan keduanya tidak
ada, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian jual beli.
b. Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga
secara diam-diam melekat pada perjanjian. Unsur naturalia ini
merupakan unsur yang sudah ada di dalam undang-undang, tetapi
unsur tersebut dapat diganti atau tidak dipakai oleh pihak yang
memperjanjikannya. Jadi sifat dari unsur ini adalah sebagai
pelengkap. Contoh dari unsur naturalia ini adalah ketika seseorang
mengadakan perjanjian jual beli maka secara diperjanjikan ataupun
tidak, penjual diwajibkan menanggung dari cacat tersembunyi suatu
barang yang diperjanjikan tersebut.
c. Unsur Accidentalia
Unsur accidentalia merupakan unsur yang tidak diatur di dalam
undang-undang, namun boleh dicantumkan di dalam suatu perjanjian
dan harus secara tegas diperjanjikan oleh para pihak dalam
perjanjian tersebut. Unsur accidentalia ditentukan oleh para pihak
sendiri, apabila diketahui harus ditambahkan ke dalam perjanjian
maka unsur ini harus secara tegas dicantumkan, jika tidak maka
unsur ini dianggap tidak ada. Jadi unsur accidentalia merupakan
unsur pelengkap yang ketentuan-ketentuannya dapat diatur
menyimpang oleh para pihak dan mengikat kedua belah pihak secara
bersama-sama. Contoh unsur accidentalia adalah ketika seseorang
melakukan perjanjian sewa-menyewa rumah, dan apabila di dalam
rumah sewa tersebut terdapat barang-barang, maka perjanjian
sewanya dapat berupa rumah kosongan ataupun berikut barang-
barang di dalamnya.
5. Subjek dan Objek Kontrak/Perjanjian
Dalam suatu perjanjian terdapat pihak-pihak yang mengadakan
atau melaksanakan perjanjian dan juga terikat dengan perjanjian tersebut.
Pihak itulah yang biasa disebut dengan subjek perjanjian. Menurut
Abdul Kadir Muhammad, subjek perjanjian dapat berupa :
a. Manusia pribadi (Natuuurlijk Persoon)
b. Badan hukum (Recht persoon)
Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap subjek hukum dapat menjadi subjek
dalam perjanjian, dan setiap subjek perjanjian harus mampu dan wenang
melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-
undang.
6. Jenis-jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Berdasarkan bentuknya, terdiri dari :
1) Perjanjian lisan : perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
wujud lisan atau hanya berupa kesepakatan para pihak saja.
2) Perjanjian tertulis : perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang
isinya dituangkan ke dalam bentuk tulisan atau dikenal juga
dengan istilah akta.
b. Berdasarkan hak dan kewajibannya :
1) Perjanjian timbal balik
a) Perjanjian timbal balik sempurna : perjanjian yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya
dengan timbal balik yang sempurna. Misalnya dalam
perjanjian jual beli.
b) Perjanjian timbal balik tidak sempurna : perjanjian yang
bagi salah satu pihak menimbulkan kewajiban pokok,
sedangkan bagi pihak lain juga menimbulkan kewajiban,
tetapi kewajiban tersebut tidak seimbang dengan kewajiban
pihak lain. Misalnya pada perjanjian pemberian kuasa.
2) Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang hanya
menimbulkan keajiban bagi salah satu pihak saja, misalnya
perjanjian hibah.
c. Berdasarkan keuntungan yang diperoleh :
1) Perjanjian cuma-cuma : perjanjian yang menurut hukum terjadi
keuntungan hanya bagi salah satu pihak saja, misalnya
perjanjian hibah dan pinjam pakai, karena akibatnya ialah hanya
pihak yang diberi itulah yang memperoleh keuntungan.
2) Perjanjian atas beban : perjanjian dimana terhadap prestasi pihak
yang satu selalu ada kontraprestasi dari pihak yang lain dan
antara kedua prestasi tersebut memiliki hubungan menurut
hukum bagi satu sama lain sehingga kedua belah pihak akan
menerima keuntungan dari perjanjian itu. Kontraprestasi dapat
berupa suatu kewajiban dari pihak lainnya, tetapi juga
pemenuhan suatu syarat yang potestatif, namun kontraprestasi
tidak berlaku jika hanya mengembalikan saja apa yang telah
diterimanya, seperti pada pinjam pakai.
d. Berdasarkan nama tempat dan pengaturan, terdiri dari
1) Perjanjian tidak bernama : perjanjian diluar perjanjian bernama,
yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi
berkembang di dalam masyarakat. Perjanjian tidak bernama ini
dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :
a) Perjanjian campuran, merupakan perjanjian yang
didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanjian lain.
b) Perjanjian mandiri, merupakan perjanjian yang didalamnya
terdapat berbagai unsur perjanjian yang bercampur menjadi
satu sehingga tidka dapat dipisah-pisahkan.
2) Perjanjian bernama : perjanjian yang sudah dikenal dengan
nama-nama tertentu serta telah diatur secara khusus di dalam
undang-undang. Perjanjian bernama diatur dalam Bab V sampai
Bab XVIII KUH Perdata, dengan tambahan Bab VII A, Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
e. Berdasarkan tujuan perjanjian
1) Perjanjian kebendaan : perjanjian yang tujuannya mengalihkan,
menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak
kebendaan, misalnya levering setclah adanya perjanjian jual
beli, dan perjanjian lain yang diatur dalam Buku II KUHPerdata
tentang benda.
2) Perjanjian obligatoir : perjanjian yang hanya menimbulkan hak
dan kewajiban diantara para pihak. Para pihak terikat suatu
akibat hukum berupa kewajiban yang harus dipenuhi.
3) Perjanjian liberatoir : perjanjian yang isinya bertujuan untuk
membebaskan para pihak dari suatu kewajiban hukum tertentu.
4) Perjanjian kekeluargaan : perjanjian yang berada dalam
lapangan hukum keluarga yang berkaitan dengan hukum harta
kekayaan, dapat juga berupa perjanjian perkawinan.
5) Perjanjian pembuktian : perjanjian yang dibuat oleh para pihak
untuk menentukan alat bukti.
f. Berdasarkan cara terbentuknya atau lahirnya perjanjian, terdiri dari
1) Perjanjian konsensuil : perjanjian yang lahir sejak terjadinya
kata sepakat antara kedua belah pihak dan tidak memelukan
syarat-syarat tertentu.
2) Perjanjian riil : perjanjian yang lahir dengan adanya penyerahan
(levering) benda yang menjadi objek perjanjian.
3) Perjanjian formil : perjanjian yang lahir dan terjadinya tidak
cukup hanya dengan kata sepakat, tetapi juga harus memenuhi
persyaratan formil tertentu.
7. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian harus benar-benar dibedakan dengan
berakhirnya perikatan, karena suatu perikatan dapat berakhir, namun
perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap berlangsung.
Perjanjian dapat berakhir karena beberapa hal menurut Soebekti yaitu :
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.
Misalnya perjanjian yang akan berlaku untuk waktu tertentu.
b. Undang-undang yang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian
Misalnya menurut pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata bahwa para ahli
waris dapat mengadakan suatu perjanjian bahwa selama waktu
tertentu tidak melakukan pemisahan harta warisan, oleh pasal 1066
ayat (4) berlakunya ini dibatasi hanya untuk 5 tahun.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir.
Misalnya dalam perjanjian pemberian kuasa, perjanjian akan
berakhir jika salah satu pih.
d. Meninggal dunia.
e. Pernyataan menghentikan (opzegging). Opzegging dapat dilakukan
oleh kedua belah pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-
perjanjian yang bersifat sementara seperti perjanjian kerja dan
perjanjian sewa menyewa.
f. Perjanjian berakhir karena putusan hakim. Dalam suatu perjanjian
sewa menyewa rumah tidak ditentukan kapan berakhirnya, maka
untuk mengakhiri perjanjian ini dapat dilakukan dengan putusan
Pengadilan Negeri.
g. Tujuan Perjanjian telah tercapai.

Anda mungkin juga menyukai