Puji syukur Penulis Panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas segala
limpahan berkah dan pertolongan-Nya, sehingga Penulis bisa merampungkan
penelitian ini tepat pada waktunya.
Penelitian Dermato – Venereologi yang berjudul “Gambaran Kasus Penyakit
Kulit Vesikobulosa Kronis di Poli Kulit-Kelamin RSUP NTB Periode Januari 2012 –
Desember 2014” ini Penulis susun dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP NTB.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Penulis :
dr. Yunita Hapsari, M.Sc, Sp.KK, selaku koordinator pendidikan
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP NTB/Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram.
dr. Dedianto Hidajat, Sp.KK, selaku pembimbing penulisan penelitian ini.
dr. I Wayan Hendrawan, M.Biomed, Sp.KK, selaku supervisor
Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini masih terdapat
banyak kekurangan, sehingga Penulis sangat mengharapkan kritik serta saran untuk
menyempurnakan tulisan ini.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat serta tambahan pengetahuan
mengenai penyakit-penyakit vesikobulosa kronis untuk aplikasi klinis sehari-hari bagi
para pembaca, dan terutama sekali bagi Penulis sendiri. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Latar Belakang
Kulit manusia rentan terhadap infeksi. Data Profil Kesehatan Indonesia 2010
yang menunjukkan bahwa penyakit kulit dan jaringan subkutan menjadi peringkat
ketiga dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia
berdasarkan jumlah kunjungan yaitu sebanyak 192.414 kunjungan dan 122.076
kunjungan diantaranya merupakan kasus baru. Data Profil Kesehatan Provinsi NTB
2012 juga menunjukkan bahwa penyakit kulit infeksi menjadi peringkat ketiga dari
10 penyakit terbanyak di Puskesmas di Provinsi NTB Tahun 2012 dengan jumlah
kunjungan sebanyak 171. 565 dari jumlah total 400.000 kunjungan. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit kulit masih sangat dominan terjadi di Indonesia.1
Penyakit vesikobulosa kronik adalah kelainan kulit yang manifestasi kliniknya
ditandai terutama oleh adanya vesikel dan bula, yang termasuk golongan ini ialah
Pemfigus, Pemfigoid Bulosa, Dermatitis Herpetiformis, Chronic Bullous Disease of
childhood, Pemfigoid Sikatrisial, dan Pemfigoid Gestationes, serta epidermolisis
bulosa. Kejadian penyakit vesikobulosa kronis ini termasuk jarang, khususnya di poli
kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penyakit
vesikobulosa kronis menyebabkan banyak keluhan seperti munculnya bula, erosi
yang menyebar disertai rasa sakit, gangguan pada mukosa dan infeksi sekunder.
Penyakit vesikobulosa dapat mengancam jiwa baik karena penyakitnya maupun
akibat komplikasi terapi.
Rumusan Masalah
Bagaimana pola penyakit kulit vesikobulosa kronis di Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat
periode Januari 2014 – Desember 2014.
Tujuan Penelitian
Mengetahui persentase jenis penyakit kulit vesikobulosa kronis yang ada
di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat periode Januari
2014 – Desember 2014.
Mengetahui presentase jenis kelamin dan kelompok usia yang menderita
penyakit kulit vesikobulosa kronis di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat periode Januari 2014 – Desember 2014.
Mengetahui distribusi daerah pasien yang menderita penyakit kulit
vesikobulosa kronis di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat
periode Januari 2014 – Desember 2014.
Manfaat Penelitian
Sebagai rujukan tambahan dalam penetapan kebijakan mengenai penyakit
kulit vesikobulosa kronis bagi Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan institusi kesehatan pemerintah.
Sebagai data rujukan untuk penelitian mengenai penyakit kulit
vesikobulosa kronis selanjutnya.
Sebagai sumber bacaan bagi masyarakat mengenai penyakit kulit
vesikobulosa kronis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
a) Pemfigus
b) Pemfigoid bulosa
c) Dermatitis herpetiformis
e) Pemfigoid sikatrisial
f) Pemfigoid gestationis
g) Epidermolisis bulosa
2.1. Pemfigus
Istilah Pemfigus, berasal dari kata pemphix (Yunani) yang berarti lepuh atau
gelembung, merupakan kelompok penyakit berbula kronik, menyerang kulit dan
membran mukosa yang secara histologik di tandai dengan bula intraepidermal,
dimana akibat dari autoantibodi yang secara langsung menyerang permukaan
keratinosit yang mengakibatkan hilangnya adhesi antara keratinosit melalui proses
yang disebut akantolisis. Dan secara imunopatologik ditemukan antibody terhadap
komponen desmosome pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun
yang bebas di dalam sirkulasi darah.
Secara garis besar, bentuk pemphigus dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu
pemfigus vulgaris, pemfigus eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans.
Menurut letak dan celah, pemfigus dibagi menjadi 2 yaitu di suprabasal ialah
pemfigus vulgaris dan pemfigus vegetans, dan di stratum granulosum ialah pemfigus
eritematous dan pemfigus foliaseus. Semua penyakit tersebut memberikan gejala
yang khas yaitu pembentukan bula yang kendur pada kulit yang terlihat normal dan
mudah pecah, pada penekanan, bula tersebut meluas (tanda Nikolski positif),
Akantolisis selalu positif, dan adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interselular
di epidermis yang dapat ditemukan di dalam serum, meupun terikat di epidermis.1
2.1.1.1 Definisi
Pemfigus vulgaris (PV) adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang
bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada
epidermis. 1,2
2.1.1.2 Epidemiologi
Frekuensi pemfigus vulgaris pada kedua jenis kelamin adalah sebanding.
Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan dekade ke-5), tetapi dapat
juga mengenai semua umur, termasuk anak. Pemfigus vulgaris merupakan bentuk
yang tersering dijumpai (80% semua kasus). Penyakit ini tersebar merata pada
seluruh dunia dan dapat menyerang semua bangsa dan ras. Kejadian pemfigus
vulgaris juga dapat disebabkan oleh hubungan antara faktor genetik dengan faktor
luar seperti obat-obatan, makanan/diet, UV, virus, dan lain sebagainya.1,3
2.1.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit imonobulosa intraepidermal secara imunopatologis dan
imunogenetik dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
2.1.1.6 Diagnosis
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :
a. Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan : Tanda nikolsky positif
disebabkan oleh adanya akantolisis. 1) Dengan cara melakukan penekanan
dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas.
2) Menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan didalamnya
mengalami tekanan.1
b. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa, tampak
sel akantolitik atau sel tzanck3
c. Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh.
Dicari adanya bula intraepidemal.4
d. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik1 :
Leukositosis
Eosinofilia
Serum protein rendah
Gangguan elektrolit
Anemia
Peningkatan laju endap darah
e. Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Penemuan
imunofloresensi utama pada pemfigus adalah adanya autoantibodi IgG
yang melawan permukaan keratinosit. Autoantibodi ini pertama
ditemukan pada serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan
kemudian dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien, Diagnosis
pemfigus belum dapat ditegakkan jika hasil imonofloresensi direk negatif.
Berdasarkan imunofloresensi indirek, 80% pasien pemfigus IgG
permukaan antiepitelial di sirkulasi. Pasien dengan lokaslisasi dini dan
pasien remisi kemungkinan besar akan menunjukkan hasil negtif pada tes
imonoflorsensi indirek Autoantibodi ditemukan pada serum pasien dengan
imonofloresensi indirek dan kemudian dengan imunofloresensi direk pada
kulit pasien. 5,6
Gambar 4. Imunofloresensi7
2.1.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi PV adalah untuk menginduksi terjadinya remisi. Secara
umum telah disepakati bahwa PV harus diterapi segera setelah onset penyakit
berlangsung, karena penyakit ini dapat dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh dan
prognosis yang dapat timbul akan sangat buruk jika tidak segera diterapi. 2,8
Penggunaan glukokortikoid sistemik seperti prednison, merupakan terapi
utama pada pemfigus (rekomendasi A). Pada penelitian awal yang dilakukan tahun
1950 menunjukkan penurunan mortalitas secara drastis sebanyak 30% dan remisi
komplit terjadi pada 13-20% sampel setelah pemberian terapi steroid sistemik.
Perbaikan klinis dapat terlihat selama beberapa hari setelah dimulainya terapi dengan
steroid sistemik. Biasanya, bula akan menghilang setelah 2-3 minggu pengobatan,
dan penyembuhan sempurna terjadi setelah 6-8 minggu.2,9,10
Dosis steroid oral optimal yang dapat diberikan tidak diketahui secara pasti,
dan jadwal pemberian obat tergantung pada pengalaman kerja dokter yang
memebrikan terapi. Beberapa penelitian menyarankan dosis tinggi 120-180 mg per
hari sebagai dosis inisial, namun efek samping sering muncul dengan dosis yang
terlalu tinggi dan mortalitas tinggi. Dosis yang lebih rendah dapat diberikan yakni
sekitar 45-60 mg per hari pada kasus PV ringan, sedangkan untuk kasus yang lebih
berat diberikan prednison 60-100 mg/hari. Jika tidak ada respon terapi setelah 5-7
hari, dosis harus dinaikkan sampai penyakit dapat dikontrol. Jika dibutuhkan dosis
yang lebih dari 100 mg/hari sebaiknya diberikan dalam bentuk sediaan IV yang
diinjeksi secara pulsatif. Jika remisi dapat terjadi diikuti dengan penyembuhan lesi,
dosis steroid sistemik dapat diturunkan perlahan dan bertahap, dengan penurunan
dosis 50% setiap 2 minggu.9
Pemberian prednison dengan dosis awal yang tinggi sangat direkomendasikan
untuk terapi sebelum diberikan terapi tambahan seperti terapi imunosupresif.
Prednison bekerja dengan meningkatkan sintesis desmoglein atau memodifikasi
rantai pos-transkripsional nya untuk memperpanjang waktu paruh kerja obat. Namun
ada pendapat lain yang mengatakan sebaiknya glukokortikoid awalnya harus
diberikan dengan dosis sedang atau rendah, terutama jika dikombinasikan dengan
terapi imunosupresif, guna mencegah terjadinya komplikasi dan mortalitas pada
pasien. Selain itu ada juga pendapat beberapa ahli yang menyarankan pemberian
glukokortikoid (prednison) dengan dosis yang ditinggikan secara bertahap, segera
setelah penyakit dapat terkontrol maka dosis diturunkan kembali secara bertahap
hingga ke dosis paling minimal. Tidak ada studi terkontrol yang dilakukan secara
prospektif yang menunjukkan manfaat penggunaan terapi adjuvant dengan
imunosupresif pada pasien PV. Itu yang menjadi alasan beberapa lembaga kesehatan
yang terpercaya tidak menggunakan terapi adjuvant, kecuali bila ada kontrindikasi
atau efek samping yang berlebihan pada penggunaan kortikosteroid sistemik. 2
Terapi biasanya diawali dengan pemberian prednison dengan dosis sedang
atau rendah yang dikombinasikan dengan dua agen imunosupresif yang memiliki efek
samping paling minimal, tergantung dari berat atau ringannya aktivitas penyakit. Jika
terjadi beberapa kondisi seperti; adanya kontraindikasi penggunaan kortikosteroid,
terapi kortikosteroid yang dapat mengontrol penyakit, atau efek samping steroid tetap
muncul meskipun sudah diberikan dosis paling kecil, maka pasien sebaiknya hanya
diberikan terapi adjuvant yakni dengan agen imunosupresif.2
Beberapa ahli berpendapat, agen imunosupresif seperti myciphenolate mofetil,
azathioprine, dan cyclophosphamide, dapat mengontrol kerja dari steroid, dapat
menurunkan insidensi efek samping pemberian steroid, dan dapat meningkatkan
waktu remisi. Myciphenolate mofetil dan azathioprine memiliki efek samping yang
lebih minimal dibanding cyclophosphamide sehingga dianjurkan sebagai agen terapi
imunosupresif inisial. 2,10
Pada penelitian dengan 29 pasien yang diterapi dengan prednison dan
azathioprine, sekitar 50% mengalami remisi klinis dan serologis dan remisi ini bisa
terus berlanjut meski terapi dihentikan selama rerata 4 tahun follow up. Beberapa dari
pasien ini dapat dikategorikan sembuh. Hanya satu pasien dari penelitian ini yang
meninggal karena komplikasi terapi, sedangkan aktivitas penyakit pada sebagian
besar pasien lainnya dapat terkontrol dengan baik. 2
Pada pemberian azathioprine, remisi komplit terjadi pada 28-45% kasus,
sedangkan tingkat mortalitasnya 1,4-7%. Agen ini juga dapat dipertimbangkan
sebagai monoterapi, hanya saja karena onset kerja yang lama, efek terapi baru akan
muncul setelah 6 minggu jika diberikan sebagai monoterapi. Sehingga monoterapi
menggunakan azathioprine hanya direkomendasikan untuk kasus PV ringan saja.
Dosis azathioprine yang digunakan biasanya 1-3 mg/kgBB, akan tetapi harus
disesuaikan lagi dengan aktivitas thiopurine methyltransferase (TPMT) dari masing-
masing individu. Pada pasien dengan kadar TPMT rendah sebaiknya diberikan
azathioprine dengan dosis 0,5 mg/kgBB. Dosis dapat dinaikkan bertahap tergantung
dari respon klinis dan kemunculan efek samping.9
Mycophenolate mofetil telah memperlihatkan efek yang cepat dalam
menurunkan titer antibodi pemfigus dan dalam menurunkan aktivitas penyakit,
bahkan pada pasien yang tidak merespon setelah pemberian azathioprine. Pada
beberapa pusat terapi, Myciphenolte mofetil telah dijadikan pengganti azathioprine
sebagai terapi lini pertama pasien pemfigus. Dosis yang dapat diberikan adalah 2-2,5
gram, yang diberikan dalam dua dosis terpisah dengan prednisolon.2,9
Cyclophosphamide meskipun memiliki efek yang lebih toksik dibanding
azathioprine dan Mycophenolate mofetil, namun sangat efektif untuk mengontrol
pemfigus yang berat. Pada sebuah penelitian ditemukan 19 dari 23 pasien yang
diberikan Cyclophosphamide mengalami remisi komplit dalam rentang waktu
pemberian terapi rata-rata 8,5 bulan. Dosis yang dapat diberikan yakni 50-200
mg/hari. 2,9
Pada kemunculan awal PV yang terlokalisir dapat diberikan terapi dengan
prednison dosis rendah (20 mg) dan dapat diberikan kombinasi terapi imunosupresif.
Penggunaan agen imunosupresif pada pasien usia muda harus memikirkan juga
kemungkinan akan munculnya penyakit keganasan, infertilitas, dan teratogenisitas
akibat efek pemberian obat ini. 2
Pada pasien usia tua dengan aktivitas penyakit yang ringan, atau pada pasien
dengan kontraindikasi pemberian glukokortikoid dapat diberikan terapi
imunosupresif saja. Karena pasien bisa saja meninggal karena komplikasi akibat
terapi, sehingga menjadi penting untuk tetap memonitor keadaan pasien yang sedang
dalam masa pengobatan. Hal-hal yang harus dicegah pada pasien yang sedang berada
dalam masa terapi yakni terjadinya infeksi, diabetes, leukopenia, trombositopenia,
anemia, ulkus gastrointestinal, perdarahan, abnormalitas fungsi hepar dan ginjal,
tekanan darah tinggi, gangguan elektrolit, dan osteoporosis. 2
Ada beberapa terapi alternatif yang dapat digunakan jika terapi standar tidak
efektif. Contohnya injeksi intravena metilprednisolon 250 sampai 1000 mg secara
pulsatif, diberikan dalam kurun waktu sekitar 3 jam setiap hari, selama 4 sampai 5
hari. Terapi dengan cara ini dapat memberikan remisi jangka panjang dan
menurunkan dosis total glukokortikoid yang harus diberikan. Terapi ini dapat
dijadikan pertimbangan untuk mengobat pasien dengan PV tipe berat, jika ternyata
setelah diterapi menggunakan steroid oral dosis tinggi masih tidak memberikan efek
apapun. Meskipun maksud terapi ini adalah untuk menurunkan insiden komplikasi
dari penggunaan steroid jangka panjang, namun tetap saja pemberian glukokortikoid
dapat memberikan efek samping seperti aritmia jantung dengan resiko kematian
mendadak, dan penggunaan terapi semacam ini masih kontroversial di kalangan para
ahli. 2,9
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa terapi tambahan dexamethasone
berkala yang ditambahkan pada terapi standar (yang menggunakan prednisolone da
azathioprine) pada pengobatan pasien PV, tidak bermanfaat. Terapi IV pulsatif
dengan cyclophosphamide dengan atau tanpa injeksi glukokortikoid IV pulsatif juga
dilaporkan dapat memberikan remisi pada penderita PV. 2
Metode lain yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar antibodi dalam
serum adalah dengan injeksi intravena γ-globulin dosis tinggi (1,2-2 gram/kgBB)
yang dibagi dalam 3-5 hari injeksi infus, dan diulangi tiap 2-4 minggu sekali (satu
siklus), dan dilakukan sebanyak 1-34 siklus pengobatan. Terapi ini dapat berguna
sebagai terapi tambahan pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian terapi
konvensional. proses yang ditimbulkan γ-globulin yakni meningkatkan katabolisme
antibodi pada pasien, termasuk katabolisme dari autoantibodi penyebab terjadinya
pemfigus. Terapi ini nampaknya efektif, namun mahal dan membutuhkan infus
intravena dalam jumlah banyak untuk menjaga keadaan remisi. Bisa juga muncul
efek samping akibat terapi ini. 2,9
Terapi lain yang sangat efektif untuk pengobatan pemfigus yakni terapi
dengan menggunakan antibodi monoclonal anti-CD20. Terapi ini biasanya digunakan
untuk mengobati keganasan sel-B. Pada pasien pemfigus, terapi ini juga akan
menargetkan sel-B (prekursor sel plasma pembentuk antibodi) dalam proses
kerjanya.2
Obat Level Bukti dan indikasi Efek samping Manfaat Kekurangan
rekome
ndasi
Steroid oral A Terapi utama; Diabetes; Efektif, onset Dapat
efektif; jadwal osteoporosis; cepat, menimbulkan
pemberian dosis supresi adrenal; dikonsumi efek samping
optimum tidak ulkus peptik; secara oral,
diketahui peningkatan tidak mahal
berat badan;
peningkatan
resiko infeksi;
perubahan
mood; miopati
proksimal;
cushing’s
syndrome,
katarak
Steroid injeksi IV C Baru dilakukan Perubahan Onset cepat, injeksi IV
pulsatif sedikit penelitian mood; wajah tidak mahal (invasif
mengenai terapi ini; kemerahan terhadap
digunakan untuk pasien)
pasien yang tidak
responsif dengan
pengobatan steroid
oral dosis tinggi
Azathioprine B Dapat mengurangi Myelosupresi Per oral, tidak Onset lambat,
efek samping dan mual-mual mahal dapat
steroid, dapat (pengaruh menimbulkan
memberikan remisi aktivitas efek samping
komplit 28-45%; TPMT);
tingkat mortalitas 4- hepatotoksik
7%, sering dan dapat
digunakan sebagai muncul reaksi
terapi kombinasi hipersensitivitas
dengan steroid ; meningkatkan
sistemik oral; dapat resiko infeksi
dijadikan
monoterapi pada
kasus-kasus ringan
Oral B Dapat dijadikan Neutropenia; Tidak mahal, Resiko
cyclophosphamide alternatif selain alopesia, terdapat potensial
azathioprine setelah gangguan sediaan oral terjadi
memperhitungkan saluran cerna, perdarahan,
efek infertilitas yang peningkatan sistitis, dan
dapat timbul akibat kadar karsinoma
pengobatan ini transaminase, buli-buli
trombositopenia
, infertilitas
sekunder
Pulsed B Penelitian pada 300 Alopesia, Efek samping Harus masuk
cyclophosphamide pasien; diberikan gangguan lebih sedikit melalui jalur
dan pada pasien dengan fungsi dibanding IV; terapi
dexamethasone PV berat ovarium/testis, terapi intensif dan
atau sistitis dengan konvensional butuh
methylprednisolone perdarahan, dengan pengawasan
jerawat steroid ketat
sistemik
Mycophenolate B Telah dilakukan Gangguan GI, Dapat Mahal
Mofetil beberapa penelitian limfofenia, ditoleransi
mengenai agen anemia, dengan baik
terapi ini; dapat trombositopenia oleh tubuh
diperhitungkan ,peningkatan dan lebih
sebagai terapi pada resiko infeksi tidak toksik
pasien yang tidak oportunistik dibandingkan
berefek terhadap agen
terapi dengan imunosupresif
azathioprine lainnya
Mmethotrexate C Dilaporkan dengan Myelospuresi, Per oral, tidak Onset lambat
tingkat mortalitas hepatotoksik, mahal
tinggi pneumonitis
Ciclosporin C Dapat Hipertensi, Per oral Banyak efek
menyeimbangkan gangguan samping
efek steroid, tapi ginjal. berbahaya dan
dapat menimbulkan Gangguan GI, mahal
lebih banyak efek hipertrikosis,
samping gingivitis
dibandingkan hipertrofik
penggunaan
prednisolon sebagai
obat tunggal, tidak
direkomendasikan
sebagai terapi
adjuvant untuk PV
Tetrasiklin dan C Beberapa penelitian Wajah Tidak mahal Terlalu
nikotinamid melaporkan manfaat kemerahan dan banyak tablet
nikotinamid dengan nyeri kepala yang harus
tetrasiklin, akibat dikonsumsi
nikotinamid dengan vasodilatasi
tetrasiklin dan (efek
prednisolon, atau nikotinamid),
tetrasiklin/minosikli gangguan GI
n dan prednisolon; tract (akibat
tetrasiklin dan tetrasiklin),
nikotinamid dapat hiperpigmentasi
dipertimbangakn pada bekas bula
sebagai terapi (minosiklin),
adjuvant pada PV warna kuning
ringan pada gigi
(tetrasiklin),
hindari
penggunaan
tetrasiklin pada
anak-anak dan
wanita hamil
dan menyusui
IVIG B Dilaporkan 48 Selama Aksi kerja Dengan
pasien sembuh pemberian infus cepat injeksi IV
dengan terapi ini, IV, dapat (invasif),
bermanfaat sebagai menyebabkan mahal
terapi adjuvant bagi pasien
PV yang berat dan menggigil,
gagal dengan terapi takikardi,
jenis lain hipertensi, nyeri
otot, pireksia,
nausea, nyeri
kepala
Pertukaran plasma C Satu penelitian Septikemia, Mengganti Harus melalui
menunjukkan tidak gangguan cairan IgG secara akses vena
ada manfaat yang dan elektrolit cepat dan sentral,
berarti dari terapi ini langsung membutuhkan
dibandingkan sehingga tenaga
dengan dapat spesialis dan
menggunakan membuang staff tenaga
steroid. Tidak antibodi PV kesehatan
direkomendasikan yang terlatih,
sebagai pengobatan mahal
rutin, hanya saja bisa
dijadikan
pertimbangan untuk
terapi kasus yang
sulit jika
dikombinasikan
dengan steroid dan
imunosupresif
Fotofresis B Menunjukkan Gejala Bisa Membutuhkan
ekstrakorporal adanya efek pada hipokalsemia dilakukan tenaga dan
pasien dengan PV selama pada vena peralatan
berat, terutama jika dilakukan perifer spesialistis
terapi konvensional prosedur serta staf
tidak memberikan kesehatan
efek, dan dapat yang terlatih,
menurunkan dosis mahal,
steroid/agen membutuhkan
imunosupresan yang kacamata
dibutuhkan. proteksi UV
selama masa
pengobatan.
Tabel 3. Rangkuman pilihan terapi untuk Pemfigus vulgaris2
2.1.2 Pemfigus Eritematosa
2.1.2.2 Histopatologi
Gambaran histopatologiknya identik dengan pemfigus foliaseus. Pada lesi
yang lama, hiperkeratosis folikular, akantosis, dan diskeratosis stratum granulare
tampak prominen.1
2.1.2.4 Pengobatan
Pengobatannya dengan kortikosteroid seperti pada pemfigus vulgaris, hanya
dosisnya tidak setinggi seperti pada pengobatan pemfigus vulgaris. Kortikosteroid
yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison
bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, Dosis patokan prednison 60 mg
sehari.1
2.1.2.5 Prognosis
Penyakit ini dianggap sebagai bentuk jinak pemfigus, karena itu prognosisnya
lebih baik daripada pemfigus vulgaris.1
2.1.3.1 Definisi
Pemfigus foliaseus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik
dengan karakteristik ada lesi krusta.1
2.1.3.3 Histopatologi
Terdapat akantolisis di epidermis bagian atas distratum granulosum.
Kemudian terbentuk celah yang dapat menjadi bula, sering subkorneal dengan
akantolisis sebagai dasar dan atap bula tersebut. 1
2.1.3.6 Prognosis
Hasil pengobatan dengan kortikosteroid tidak sebaik seperti pada tipe
pemfigus yang lain. Penyakit akan berlangsung kronik.1
2.1.4.1 Definisi
Pemfigus vegetans ialah varian jinak pemfigus vulgaris dan sangat jarang
ditemukan.1
2.1.4.2 Klasifikasi
Terdapat 2 tipe ialah :
a. Tipe Neumann
b. Tipe Hallopeau (pyodermite vegetante)
Tipe Hallopeau
2.1.4.4 Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Kortikosteroid
yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison
bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari.1
2.1.4.5 Prognosis
Tipe hallopeau, prognosisnya lebih baik karena berkecenderungan sembuh.1
2.2 Pemfigoid Bulosa
2.2.1 Pendahuluan
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang
tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan
mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat
polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit
atau di varian atipikal, di mana bula biasanya tidak ada. Dalam kasus ini, penegakan
diagnosis PB memerlukan tingkat pemeriksaan yang tinggi untuk kepentingan
pemberian pengobatan awal yang tepat. Antigen target pada antibodi pasien yang
menunjukkan dua komponen dari jungsional adhesi kompleks-hemidesmosom
ditemukan pada kulit dan mukosa.1,11
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar
dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3
(komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG
sirkulasi dan antibody IgG yang terikat pada basement membrane zone.1,12-15
Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di
lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran
basal." Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen
hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel peradangan (kemotaksis).15
2.2.2 Epidemiologi
Sebagian besar pasien dengan Pemfigoid Bulosa berumur lebih dari 60 tahun .
Meskipun demikian, Pemfigoid Bulosa jarang terjadi pada anak-anak,dan laporan di
sekitar awal tahun 1970 (ketika penggunaan immunofluoresensi untuk diagnosis
menjadi lebih luas) adalah tidak akurat karena kemungkinan besar data tersebut
memasukkan anak-anak dengan penanda IgA, daripada IgG, di zona membran basal.
Tidak ada predileksi etnis, ras, atau jenis kelamin yang memiliki kecenderungan
terkena penyakit Pemfigoid Bulosa. Insiden Pemfigoid Bulosa diperkirakan 7 per
juta per tahun di Prancis dan Jerman.1,2
2.2.3 Etiologi
Etiologinya ialah autoimunitas, tetapi penyebab yang menginduksi produksi
autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui.1,2,11
2.2.4 Patogenesis
Antigen pemfigus bulosa merupakan protein yang terdapat pada
hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z.
(Basal Membrane Zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah
melekatkan sel-sel basal dengan membrana basalis, strukturnya berbeda dengan
desmosom.2,11
Terdapat 2 jenis antigen P.B. ialah yang de-jhgan berat molekul 230 kD
disebut PBAgl (P.B. /Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau
PB180. PB230 lebih banyak ditemukan daripada PB180. Terbentuknya bula akibat
komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik dan alternatif kemudian akan
dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga terjadi pemisahan epidermis dan
dermis. 2,11
Autoantibodi pada PB terutama IgG1, kadang-kadang IgA yang menyertai
IgG. Isotipe IgG yang utama ialah IgG1 dan IgG4, yang melekat pada kompelemen
hanya IgG1. Hamper 70% penderita mempunyai autoantibodi terhadap B.M.Z dalam
serum dengan kadar yang sesuai dengan keaktivasi penyakit, jadi berbeda dengan
pemfigus. 2,11
Lesi kulit
Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.
Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang
eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal
maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa
dan arciform. Tempat Predileksi biasanya di aksila, paha bagian medial, perut, fleksor
lengan bawah, tungkai bawah. 1,2,11,12
Gambar 5. Bula tegang diatas kulit yang eritema.
2.2.6 Diagnosis
Histopatologi
Kelainan yang dini ialah terbentuknya celah di perbatasan dermalepidermal.
Bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama ialah eosinofil.1
Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun
seperti pita di B.M.Z. (Basement Membrane Zone).1
2.2.8 Pengobatan
Pengobatannya dengan kortikosteroid. Dosis prednison 40 - 60 mg sehari, jika
telah tampak perbaikan dosis diturunkan periahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat
disembuhkan dengan kortikosteroid saja. Jika dengan kortikosteroid belum tampak
perbaikan, dapat dipertimbangkan pemberian jitostatik yang dikombinasikan dengan
kortikoiteroid. Cara dan dosis pemberian sitostatik sama seperti pada pengobatan
pemfigus.1
2.2.9 Prognosis
Kematian jarang dibandingkan dengan pemfigus vulgaris, dapat terjadi remisi
spontan.
2.3.1 Definisi
Dermatitis herpetiformis (DH) ialah penyakit yang menahun dan residif, ruam
bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta
disertai rasa sangat gatal. 1,2,11
2.3.2 Epidemiologi
Dermatitis herpetiformis biasanya terjadi pada penduduk Eropa Utara. Jarang
terjadi pada penduduk Afrika-Amerika dan Asia. Berdasarkan studi di Finlandia
(1978), tingkat prevalensi DH adalah 10,4/100.000 orang dan insidensi per tahun
adalah 1,3/100.000 orang. Onset penyakit ini terjadi sekitar umur 40 tahun, tapi dapat
terjadi pada umur 2-90 tahun. Anak-anak dan remaja jarang mendapat penyakit ini.
DH lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Rasio pria : wanita adalah 2:1.
Pada anak-anak lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki.
Dari 1979 sampai 1996, insidensi familial DH di Finlandia dipelajari secara
prospektif. DH didiagnosis pada 1018 pasien dan 10,5% pada satu atau lebih
keturunan pertama.1
2.3.3 Etiologi
Etiologinya belum diketahui pasti. Di antara penderita DH 77%-87%
memiliki antigen HLA B8 dan hampir 90% memiliki antigen HLA DW3. Antigen
permukaan ini ditandai oleh gen yang terikat dekat gen respon imun sehingga
terdapat peningkatan respon imun terhadap berbagai antigen termasuk self. DH
merupakan akibat dari respon imun yang terlalu aktif terhadap antigen yang ada
secara alamiah. 1,2,11,15
Petanda HLA ini dihubungkan dengan penyakit autoimun yang yang lain dan
merupakan petanda seorang pasien dengan respon imun berlebih terhadap beberapa
antigen dan dapat menjelaskan kompleks imun yang terjadi secara perlahan. DH lebih
sering terjadi pada anggota keluarga. Gluten, merupakan protein yang terdapat pada
gandum, seperti sereal, memprovokasi terjadinya DH. Iodin oral juga memperberat
penyakit ini.12
2.3.4 Patogenesis
Pada DH tidak ditemukan antibodi IgA terhadap papila dermis yang
bersirkulasi dalam serum. Komplemen diaktifkan melalui jafur alternatif. Fraksi aktif
C5a bersifat sangat kemotaktik terhadap neutrofil. Sebagai antigen mungkin ialah
gluten, dan masuknya antigen mungkin di usus halus, sel efektomya ialah neutrofil.
Selain gluten juga yodium dapat mempengaruhi timbulnya remisi dan eksaserbasi.
Tentang hubungan kelainan di usus halus dan kelainan kulit belum jelas diketahui.
1,2,12
Gambar 7. Vesikel
Kelainan intestinal
Pada lebih dari 90% kasus D.H didapati spectrum histopatologik yang
menunjukan enteropati sensitive terhadap gluten pada jejunum dan ileum. Kelainan
yang didapat bervariasi dari infitrat mononuclear ( limfosit dan sel plasma) di lamina
propia dengan atrofi vili yang minimal hingga sel-sel epitel mukosa usus halus yang
mendatar. Sejumlah 1/3 kasus disertai steatore. Dengan diet bebas gluten kelainan
tersebut akan membaik. 1,2,12
2.3.6 Diagnosis
Histopatologi
Terdapat kumpulan neutrofil di papadermal yang membentuk mikroabses
neutrofilik. Kemudian terbentuk edema papilar, celah subepidermal, dan vesikel
multiokular dan subepidermal. Terdapat pula eosinofil pada infiltrat dermal, juga di
cairan vesikel. 1,2,12
2.3.8 Pengobatan
Terapi yang utama pada pasien DH adalah dengan diet bebas gluten. Ini
melibatkan penghapusan gandum dan makanan yang terbuat dari biji-bijian dari diet
pasien DH. Mungkin diperlukan dua atau lebih tahun untuk deposit IgA bawah kulit
untuk benar-benar jelas. 1,2,11
Diet gluten-free (GF) adalah komitmen seumur hidup dan tidak boleh dimulai
sebelum ada diagnosis pasti DH. Memulai diet tanpa pemeriksaan lengkap tidak
disarankan dan kemudian membuat diagnosis sulit. Tes untuk mengkonfirmasi DH
bisa negatif jika seseorang berada di diet GF untuk jangka waktu tertentu. Untuk
diagnosis yang valid, gluten perlu dikonsumsi kembali oleh pasien selama beberapa
minggu sebelum pemeriksaan lengkap. DH adalah suatu penyakit keturunan
autoimun sehingga konfirmasi DH akan membantu generasi mendatang sadar akan
risiko dalam keluarga.1,2,11
Obat pilihan untuk DH ialah preparat sulfon, yakni DDS
(diaminodifenilsulfon). Pilihan kedua yakni sulfapiridin. 1,2,11
Dapsone
Dosis DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari. Jika ada
perbaikan akan tampak dalam 3-4 hari. Bila belum ada perbaikan, dosis
dapat dinaikkan. Efek sampingnya ialah agranulositosis, anemia hemolitik,
dan methemoglobinemia. Kecuali itu juga neuritis perifer dan bersifat
hepatotoksik. Dengan dosis 100 mg sehari umumnya tidak ada efek
samping. Yang harus diperiksa adalah kadar Hb, jumlah leukosit, dan
hitung jenis, sebelum pengobatan dan 2 minggu sekali. Jika klinis
menunjukkan tanda-tanda anemia atau sianosis segera dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Jika terdapat defisiensi G6PD, maka merupakan
kontraindikasi karena dapat terjadi anemia hemolitik. Bila telah sembuh
dosis diturunkan perlahan-lahan setiap minggu hingga 50 mg sehari,
kemudian 2 hari sekali, lalu menjadi seminggu 1x. 1,2,14
Sulfapiridin
Sulfapiridin sukar didapat karena jarang diproduksi sebab efek
toksiknya lebih banyak dibandingkan dengan preparat sulfa yang lain. Obat
tersebut kemungkinan akan menyebabkan terjadinya nefrolithiasis karena
sukar larut dalam air. Efek samping hematologic seperti pada dapson,
hanya lebih ringan. Khasiatnya kurang dibandingkan dapson. Dosisnya
antara 1-4 gram sehari.14
2.3.9 Prognosis
Sebagian besar penderita akan mengalami dermatitis herpetiformis yang
kronis dan residif.
2.4 Chronic Bullous Disease of Childhood
2.4.1 Definisi
Chronic Bullous Disease Of Childhood ialah dermatosis autoimun yang
biasanya mengenai anak usia kurang dari 5 tahun ditandai dengan adanya bula dan
terdapatnya deposit IgA linear yang homogen pada epidermal basement
membrane.1,2,11
2.4.2 Etiologi
Belum diketahui pasti. Sebagai pencetus ialah infeksi dan antibiotik, yang
sering ialah penisilin. 1,2,10,11
2.5.1 Definisi
2.5.2 Epidemiologi
Penyakit ini jarang ditemukan.1
2.5.5 Pengobatan
Hasil pengobatan penyakit ini kurang memuaskan. Kortikosteroid sistemik
mungkin merupakan obat terbaik, dengan prednison dosisnya 60 mg. Oleh karena
terbentuk jaringan parut dan sekuele lainnya, steroid sistemik untuk jangka waktu
yang lama mungkin mempunyai alasan yang tepat, meskipun ada efek sampingnya.
Obat imunosupresif, termasuk metotreksat, siklofosfamid, dan azatioprin pernah
dicoba, hasiinya menguntungkan pada sebagian penderita, sedangkan pada sebagian
penderita yang lain hanya memperiihatkan sedikit kemajuan. 1,2,11
2.6 Pemfigoid Gestationis
2.6.1 Definisi
Pemfigoid getationis (P.G.), adalah dermatosis autoimun dengan ruam
polimorf yang berkelompok dan gatal, timbul pada masa kehamilan, dan masa
pascapartus.1
2.6.2 Epidemiologi
Hanya terdapat pada wanita pada masa subur. Insidensnya menurut Kolodny,
1 kasus per 10.000 kelahiran.1
2.6.3 Etiologi
Etiologinya ialah autoimun. Sering bergabung dengan penyakit autoimun
yang lain, misalnya penyakit Grave, vitiligo, dan alopesia areata. 1,2
2.6.5 Pengobatan
Tujuan pengobatan ialah menekan terjadi nya bula dan mengurangi gatal yang
timbul. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian prednison 20 - 40 mg per hari dalam
dosis terbagi rata. Takaran ini perlu dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan keadaan
penyakit yang meningkat pada waktu melahirkan dan haid, dan akan menurun pada
waktu nifas. 1,2
2.6.6 Prognosis
Komplikasi yang timbul pada ibu hanyalah rasa gatal dan infeksi sekunder.
Kelahiran mati dan kurang umur akan meningkat. Jika penyakit timbul pada masa
akhir kehamilan maka akan lama sembuh dan seringkali timbul pada kehamilan
berikutnya. 1
2.7.1 Definisi
Epidermolisis bulosa merupakan penyakit bulosa pada kulit yang kronik dan
umumnya diturunkan secara genetic (herediter) dapat timbul spontan atau disebabkan
oleh trauma ringan,biasanya ditandai dengan timbulnya bula atau vesikel pada kulit
dan mukosa (mulut,oesopagus,lambung,saluran nafas bagian atas)akibat trauma
mekanik ringan atau dapat timbul spontan (mechanobullous disorders). 1,2
2.7.2 Epidemiologi
Prevalensi yang sebenarnya sulit diketahui, diperkirakan mencapai 1:50.000
kelahiran, sedangkan bentuk EB yang berat di duga 1:500.000 populasi / tahun.
Insiden epidermolisis bulosa simpleks timbul 1 : 500.000 kelahiran hidup. Walaupun
dapat pula pada usia dewasa.Dari segi ras dan jenis kelamin,semua ras bisa terkena
dan dari jenis kelamin perbandingan laki laki dan perempuan adalah sama.1
2.7.3 Patogenesis
Sampai sekarang etiologi dan patogenesis EB belum semuanya di ketahui.
Beberapa penulis mengemukakan berbagai dugaan pathogenesis.1
EB Simplek terjadi akibat :
Gejala Klinis
Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang
terbentuk yaitu ditempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma yang
ringan, misalnya trauma dijalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-
kadang hemoragik, pada penyembuhan perlu diperhatikan, apakah meninggalkan
bekas jaringan parut. Selain kulit, biasanya mukosa ikut terkena, demikian pula kuku
dapat distrofik. Pada tipe distrofik resesif dapat disertai retardasi mental dan
pertumbuhan, kontraktur, dan pelekatan (fusi) jari-jari tangan. 1,17,18
Epidermolisis Bulosa Simpleks (EBS). Karakteristik bula umumnya tegang,
kadang terdapat bula hemoragi atau serosa. Bula yang pecah akan menyebabkan erosi
yang dapat disertai infeksi sekunder. Bula sering timbul pada cuaca panas dan bila
tidak disertai infeksi sekunder, lesi cepat menyembuh tanpa meninggalkan jaringan
parut ataupun atrofi. Pada tipe ini dapat disertai hiperhidrosis dan hyperkeratosis pada
telapak tangan dan kaki. Kelainan kuku dapat dijumpai, berupa distrofi kuku,
umumnya akan tumbuh kembali normal. 16,19-21
Epidermolisis Bulosa Junctional (EBJ). Pembentukan bula terjadi di lamina
lusida di taut dermoepidermal. Merupakan tipe EB yang paling berat serta
mengancam kehidupan. Karakterisitik bula, ukuran besar – besar, dapat berupa bula
serosa atau hemoragik, tanpa meninggalkan sikatrik dan milia kecuali bila diikuti
infeksi sekunder. Di perioral dapat terbentuk bula, sedangkan bibir tak terkena.
Demikian pula pada kuku, dapat terkena serta terlepas dan disertai paronikia. Tanda
khas lain adalah displasia gigi serta permukaannya berbenjol – benjol. 16,19-21
2.7.5 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang disarankan yakni pemeriksaan laboratorium dan
histopatologi. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dikarenakan pada epidermolisis
bulosa biasanya terjadi kombinasi anemia defisiensi besi dan anemia akibat penyakit
kronik.21
Pemeriksaan histopatologi, dilakukan dengan menggunakan mikroskop
cahaya, mikroskop elektron serta pemeriksaan imunohistokimia. Sebagai baku emas
diagnostik EB di gunakan mikroskop elektron. Selain dengan pewamaan
hematoksilin eosin (HE) dapat juga dilakukan pewarnaan sediaan dengan PAS
(periodic acid schiff) untuk melihat membran basalis. Pada EBD biopsi kulit
menunjukkan bula sublamina densa dan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
menunjukan penurunan atau tidak didapatkan anchoring fibril/ kolagen tipe VII pada
tempat bula terjadi. Diagnosis lain dapat di tegakan dengan monoklonal dan
poliklonal antibodi menggunakan antibodi LH7:2 atau AF1/AF2 juga analisis DNA
menggunakan metode PCR. Dengan diketahui berbagai antigen di taut dermo-
epidermal dapat ditentukan klasifikasi tipe EB.16,17
2.7.6 Pengobatan
Penatalaksanaan untuk kelainan ini meliputi tatalaksana medikamentosa dan
non medikamentosa. Pengobatan yang ideal dan memuaskan sampai saat ini belum
ada, umumnya terapi di lakukan secara paliatif. Beberapa hal perlu di pertimbangkan
mengingat penyakit ini berlangsung kronik sampai dewasa. Terapi sistemik dikatakan
tidak efektif dalam penanganan blister pada pasien dengan EB. Kortikosteroid, baik
sistemik maupun topikal tidak menguntungkan untuk penggunaan jangka panjang
pada EB.3 Sebagai pengobatan topikal, antibiotik dapat digunakan sebagai prevensi
untuk luka kronik dan bila terdapat infeksi sekunder. Untuk meminimalkan terjadinya
resistensi, sebaiknya dilakukan rotasi (pergantian) antibiotik topikal. 16,19-21
Bakteri yang banyak ditemukan pada EB yakni Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat ditemukan
3
bakteri gram negative dan Pseudomonas aeruginosa. Mupirosin merupakan
antibiotik yang efektif yang efektif untuk infeksi kulit, khususnya untuk
mikroorganisme gram positif. Walau strain stafilokokus aureus dengan derajat
resistensi rendah terhadap mupirosin mulai timbul, mupirosin biasanya bermanfaat
bila ada infeksi yang resisten. Untuk menghindari timbulnya resistensi, obat tidak
boleh digunakan lebih lama dari sepuluh hari. Efek samping yang dapat terjadi yakni
reaksi lokal seperti urtikaria, pruritus, rasa terbakar dan kemerahan. Untuk dosis,
mupirosin dapat diolehkan sampai 3 kali sehari selama 10 hari. 16,19-21
Vitamin E dapat menghambat aktivitas kolagenase atau merangsang produksi
enzim lain yang dapat merusak kolagenase. Dosis efektif 600-2000 iu/hari.
Pengobatan lain adalah difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kg BB/hari, dosis maksimal 30
mg/hari. 19-21
Penatalaksanaan non medikamentosa yang meliputi perawatan kulit, asupan
nutrisi, serta konseling genetik merupakan hal yang penting dalam penanganan pasien
dengan EB. Perawatan memerlukan kesabaran dan ketelitian, hindari trauma dan
gesekan. Untuk makanan sebaiknya di berikan makanan tinggi kalori tinggi protein
dalam bentuk yang lembut atau cair sehingga mudah ditelan terutama bila terdapat
luka di mukosa mulut. 16,19-21
Konseling genetik dianjurkan bila telah jelas ada penurunan genetiknya,
sehingga dapat di beritahukan besarnya resiko penyakit pada setiap kelahiran.
Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan fetoskopi,
namun hal tersebut saat ini masih dalam penelitian.19-21
BAB 3
Pengumpulan Data
Analisis Data
Hasil
3.5
2.5
2012
2 2013
1.5 2014
0.5
0
Pemfigus Pemfigoid Dermatitis Pemfigoid Epidermolisis
Bulosa Herpetiformis Gestationis Bulosa
Dari data yang diperoleh dari register poli penyakit kulit kelamin dan rekam
medis RSUP NTB periode Januari 2012 sampai Desember 2014 yang dapat dilihat
pada tabel 1 dan grafik 1 diatas menunjukkan bahwa dari keseluruhan penyakit
vesikobulosa kronis, ditemukan bahwa kejadian penyakit yang menempati peringkat
teratas dalam jumlah penderita selama tahun 2014 adalah pemfigus dengan 7 orang
(43,75%) penderita.
Menurut beberapa literatur dikatakan bahwa penyakit yang tersering dari
kelompok dermatosis vesikobulosa kronis adalah pemfigoid bulosa dan pemfigus
(vulgaris dan foliaseus).1,2 Hal ini sesuai dengan teori dan penelitian dimana diketahui
kejadian terbanyak pada kasus vesiko bulosa kronik adalah pemfigus vulgaris.22,23
4.2 Distribusi Penderita Dermatosis Vesikobulosa Kronis di RSUP NTB Periode
Januari 2012 sampai Desember 2014 Berdasarkan Jenis Kelamin
3 laki-laki
perempuan
2
0
2012 2013 2014
Dari tabel dan grafik menunjukkan jumlah yang bervariasi setiap tahunnya
untuk jumlah penderita laki-laki dan perempuan. Pada tahun 2012 penderita
terbanyak adalah laki-laki (31,25%), kemudian pada tahun 2013 penderita terbanyak
adalah wanita (25%), dan pada tahun 2014 kembali penderita laki-laki yang
menduduki jumlah terbanyak ( 18,75%).
4.5
3.5
2.5
Laki-laki
2
Perempuan
1.5
0.5
0
Pemfigus Pemfigoid Dermatitis Pemfigoid Epidermolisis
Bulosa Herpetiformis Gestationes Bulosa
3.5
2.5 2012
2 2013
2014
1.5
0.5
0
5-14 Tahun 15-24 Tahun 25-44 Tahun 45-64 Tahun >=65 Tahun
2012
3
2013
2 2014
0
Kota Mataram Kabupaten Kabupaten Kabupaten Bima Kabupaten
Lombok Barat Lombok Timur Dompu
5.1 Kesimpulan
1. Jumlah kunjungan pasien kulit vesikobulosa kronis di poli kulit dan kelamin
RSUP NTB selama periode Januari 2012 – Desember 2014 berdasarkan
register adalah 20 kasus. Jumlah penderita baru dermatosis vesikobulosa
kronis adalah sebanyak 8 kasus (50%) pada tahun 2012, 3 kasus (18,75%)
pada tahun 2013, dan 5 (31,25%) kasus pada tahun 2014
2. Pada tahun 2012 penderita terbanyak adalah laki-laki (31,25%), kemudian
pada tahun 2013 penderita terbanyak adalah wanita (25%), dan pada tahun
2014 kembali penderita laki-laki yang menduduki jumlah terbanyak (
18,75%).
3. Distribusi kunjungan pasien kulit vesikobulosa kronis poli kulit dan kelamin
RSUP NTB selama periode Januari 2014 – Desember 2014 berdasarkan usia
menunjukkan bahwa kunjungan terbanyak pada tahun 2014 terdapat pada
kelompok usia 25-44 tahun, yaitu sebanyak 2 orang (12,5%). Pada tahun 2012
frekuensi tertinggi yaitu pada usia 5-14 tahun dengan jumlah penderita 4
orang (25%), sedangkan pada 2013 penderita terbanyak pada usia 45-64 tahun
dengan jumlah 2 orang (12,5%).
4. Distribusi kunjungan pasien kulit vesikobulosa kronis di poli kulit dan
kelamin RSUP NTB selama periode Januari 2012 – Desember 2014
berdasarkan tempat tinggal pasien menunjukkan pada tahun 2012 sebagian
besar pasien berasal dari wilayah Kota Mataram (31,25%), Pada tahun 2014
penderita terbanyak berasal dari Lombok Barat dan Kabupaten Dompu
(12,5%).
5.2 Saran
1. Diperlukan sistem pencatatan yang lebih lengkap mengenai identitas pasien.
2. Diperlukan penulisan diagnosis yang lengkap agar dapat mengelompokkan
pasien berdasarkan diagnosis yang benar.
3. Disarankan untuk membuat register dengan sistem komputerisasi agar
memudahkan membaca dan mengambil data yang digunakan untuk penelitian
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinkes Prov. NTB. Profil Dinas Kesehatan Provinsi NTB 2012. 2012
2. Wiryadi, Benny E. Dermatosis Vesikobulosa Kronik. Dalam: Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2010. Hlm. 204-14.
3. Tuderman Leena B, dan Stanley John R. Disorder of Epidermal and Dermal-
Epidermal Cohesion and Vesicular and Bullous Disorders. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. Seventh ed, Section 8. United States of
America Mc Grow Hill 2008. p.447-69.
4. Cirillo N, Cozzani E, Carrozzo M, Grando SA. Urban legends: Pemfigus vulgaris.
Oral Desease, 2012. 18, p.442–458.
5. Chan, PT. Review on Pathogenesis of Pemfigus. Dermatology of Health 2002.
p.62-6.
6. John, R. Stanley dan Masayuki, Amagai. Pemfigus, Bullous Impetigo, and the
Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. NEJM med 2008. 355, 1800-10.
7. Suran L. Fernando, Jamma Li, dan Mark Schifte. Pemfigus Vulgaris and
Pemfigus Foliaceus. Chapter 5, NTCH 2014. 105, p.1-44.
8. Harman KE, Albert S, dan Black MM. Guidelines For The Management Of
Pemfigus Vulgaris. British Journal of Dermatology 2003. 149, p.926–37
9. Anne Tournadre, Stephanie Amarger, Pascal Joly, Michel d’Incan, Jean-Michel
Ristori, Martin Soubrier. Case report : Polymyositis and pemfigus vulgaris in a
patient: Successful treatment with rituximab. Joint Bone Spine 2008. 75, p.728-2.
10. Chmurova N, Svecova D. Pemfigus vulgaris : 11 years review. Bratisl Lek Listy
2009. 110 (8) p.500-3.
11. Muller, Nicolas Hunzelmann, Vera Baur, Guido Siebenhaar, Elke Wenzel,
Rudiger Eming, dkk. Targeted Immunotherapy with Rituximab Leads to a
Transient Alteration of the IgG Autoantibody Profile in Pemfigus Vulgaris.
Dermatology Research and Practice Volume 2010. p.1-10.
12. Wojnarowska F et al. Immunobulosa disease. Burn T et al, ed. Rook’stextbook of
dermatology. 7th edition. Australia : Blackwell publication ; 2004; 2033-91.
13. Siregar. S.R. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC: Jakarta. 2004; 204-
08.
14. Hert M, ed. Autoimmune Disease Of The Skin: Pathogenesis, Diagnosis,
Management. 2nd revised edition. Austria : Springer-verlag Wien; 2005; 60-79.
15. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick’s dermatology in general medicine (two vol. set).
7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74.
16. Hall JC, ed. sauer’s Manual of skin Disease. 8th edition. Lippincott Williams &
Wilkins. 2000; 232-36.
17. Shimizu H. Genetic Blistering Diseases. Dalam Shimizu’s Texbook of
Dermatology. Japan: Hokkaido University Press. 2007. p.202-11.
18. Dass B.B, Sahoo S. Dystrophic Epidermolysis Bullosa. Journal of Perinatology.
2004. 24: 41-7.
19. Mc.Millan J.R, dkk. Epidermolysis Bullosa – Diagnosis and Therapy. Dalam
Wound Practice and Research. Volume 12 Nomer 2. 2009.
20. Aisah S. Epidermolisis Bulosa. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi keenam.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm. 218-25.
21. Suyono Y dan Suyoso S. Epidermolisis Bulosa Distrofik Resesif Generalisata.
Airlangga Periodical of Dermato-Venerology. 2005; Vol.17 No.3; Hlm. 288-96.
22. Marinhovich Herroon GS. Khavari PA. Bauer EA. Hereditary Epidermolysis
Bullosa. In: Fredbeerg IM. Eisen AZ Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA. Katz
SI Et Al Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. Seventh Edition.
Mcgraw-Hill : New York. 2008. p.505-16
23. Chan, PT. Clinical Features and Diagnosis of Common Autoimmune Bullous
Diseases in Hong Kong, The hongkong Medical Diary. 2008. Vol.13 No.10.
24. Paulo R. Cunha, Silvia Regina C. S, Barraviera. Autoimmune Bullous
Dermatoses. An. Bras. Dermatol: Rio De Janeiro. 2009. Vol.84 No.2.
25. Dumas V, Et Al. The Treatment Of Mild Pemphigus Vulgaris And Pemphigus
Foliaceus With A Topical Corticosteroid. Br J Dermatol. 1999. Jun; 140 (6):
1127-9.
GAMBARAN KASUS PENYAKIT KULIT VESIKOBULOSA
KRONIS DI POLI KULIT DAN KELAMIN RSUP NTB
PERIODE JANUARI 2012 – DESEMBER 2014
Oleh
H1A011066
2015