Anda di halaman 1dari 34

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Padi


1. Varietas Padi
Varietas padi berpengaruh terhadap jumlah gabah yang rontok. Beberapa
varietas padi memiliki daya kerontokan yang lebih mudah daripada yang lain.
Berdasarkan daya kerontokan, padi dapat diklasifikasikan kedalam tingkat tahan
rontok, sedang, dan mudah rontok. Kerontokan beberapa varietas padi dapat
dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kerontokan Varietas Padi Sawah
Kerontokan Varietas
Cisadane, Cisokan Membrano, Cibodas, Way Apo Baru,
Sedang Widas, Ciherang, Singkil, Sintanur, Cimelati, Gilirang,
Cigeulis, Ciapus, Fatmawati, Mekongga
Tahan IR-64, Cisantana, Angke, Pepe, Sarinah, Ciasem
Mudah Tukad Petanu, Tukad Balian, Tukad Unda, Bondoyudo
(Sumber: Sukmaya dkk. dalam Herawati, 2008, hlm. 196)

Kerontokan padi tersebut juga berpengaruh pada sistem panen, dimana


untuk padi yang memiliki tingkat kerontokan yang tinggi akan membutuhkan
tenaga yang lebih kecil dibandingkan dengan varietas yang tahan rontok. Hal ini
perlu diperhatikan bahwa untuk padi yang lebih mudah rontok juga akan lebih
mudah tercecer baik di lokasi tanam maupun selama distribusi sebelum
perontokan. Hal lain yang terkait dengan daya rontok padi yaitu presentase gabah
rontok dan tercecer pada saat pemotongan padi sebagaimana tertera pada tabel
2.2.
Tabel 2.2. Presentase Gabah Rontok dan Tercecer Beberapa Varietas Padi Saat
Pemotongan Padi pada Pemanenan Sistem Keroyokan

Kadar air gabah saat Kehilangan hasil


Varietas
panen (%) karena rontok (%)

6
7

IR-64 22,6 6,4


Memberamo 21,8 6,5
Way Apo Buru 22,9 6,3
Cilamaya Muncul 23,8 5,1
(Sumber: Setyono dkk. dalam Herawati, 2008, hlm. 196)

Varietas IR-64 seharusnya termasuk varietas yang tahan rontok


dibandingkan dengan varietas Memberamo dan Way Apo Buru, namun dalam hal
ini tingkat kehilangan hasil karena rontok termasuk relatif hampir sama. Hal ini
dimungkinkan karena adanya tekanan yang berlebih pada saat pemotongan atau
karena faktor perlakuan lainnya. Salah satu alternatif untuk meminimalisasi gabah
rontok tersebut diantaranya melalui pemberian alas pada saat pengangkutan dari
tempat budidaya ke tempat perontokan.
2. Sistem Panen
Sistem panen mempengaruhi kegiatan perontokan yang akan dilaksanakan
pada tahapan berikutnya. Proses pemanenan merupakan tahapan kegiatan yang
dimulai dari pemotongan padi hingga perontokan gabah. Dalam sistem panen
tersebut secara garis besar dipengaruhi oleh mekanisme panen itu sendiri dan
proses pemanenan. Mekanisme panen sangat terkait dengan budaya serta
kebiasaan masyarakat setempat.
Ananto, dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm. 197) mengemukakan bahwa:
‘Terdapat tiga sistem pemanenan padiyang berkembang di masyarakat
yaitu sistem ceblokan, sistem individu atau keroyokan dan sistem
kelompok. Sistem panen tersebut sangat terkat dengan factor social dan
budaya masayarakat setempeat yang pada akhirnya mempengaruhi pada
tahapan selanjutnya berupa kegiatan perontokan serta factor kehilangan
hasil’.

Ananto, dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm. 197) mengemukakan bahwa:


‘Pemanenan padi sistem individual atau keroyokan dengan jumlah
pemanen yang tidak terbatas menyebabkan banyak gabah tercecer dan
yang tidak terontok. Pemanenan padi dengan sistem kelompok atau beregu
mudah terkontrol, sehingga dapat menekan tingkat kehilangan hasil
panen’.
8

Pada sistem ceblokan pemanenan dilakukan dengan jumlah pemanen yang


terbatas. Pemanen ikut dalam proses pemanenan dan merawat tanamn tanpa
mendapatkan upah dari pemilik sawah. Pada sistem ceblokan, orang lain tidak
boleh ikut panen tanpa seijin penceblok. Pada sistem individu atau keroyokan,
jumlah pemanen tidak terbatas (150-200 orang per ha) tanpa ikatan kerja antara
yang satu dengan lainnya. Jumlah pemanen cukup banyak sehingga berebut panen
dan mengumpulkan potongan padi secepatnya agar dapat segera pindah ke sawah
yang lain. Akibatnya banyak gabah yang rontok dan potongan padi yang tercecer.
Menurut Setyono, dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm. 197) bahwa “Pada
panen sistem kelompok jumlah pemanen terbatas (20-30 orang per ha), bekerja
secara beregu, pembagian tugas jelas dan perontokan menggunakan pedal
thresher atau power thresher”.
Pembagian tugas dalam sistem kelompok adalah 22 orang bertugas
memotong padi, 5 orang mengumpulkan potongan padi dan 3 orang lagi merontok
serta memasukan gabah kedalam karung. Berdasarkan pola pemanenan padi
tersebut dapat mempengaruhi tingkat kehilangan hasil pada saat potong padi
tersebut dapat mempengaruhi tingkat kehilangan hasil pada saat potong padi
sampai dengan perontokan serta akibat dari keterlambatan perontokan dalam
waktu satu malam sebagaimana tertera table 2.3.
Tabel 2.3. Tingkat Kehilangan Hasil Padi pada Berbagai Sistem Pemanenan
Kehilangan hasil (%)
Sistem Pemanenan Potong padi s/d Keterlambatan
Jumlah
perontokan perontok satu malam
Keroyokan 18,8 - 18,6
Ceblokan 13,1 1,2 14,3
Kelompok 5,9 - 5,9
(Sumber: Setyono dkk. dalam Herawati, 2008, hlm. 197)
Untuk di daerah yang sudah lebih maju dan berkembang, kegiatan
pemotongan padi serta perontokan padi merupakan kegiatan yang sudah terpisah.
Pada umumnya, pemotongan dilakukan oleh kelompok jasa pemanen, sedangkan
perontokan gabah dilaksanakan oleh kelompok UPJA (Usaha Pelayanan Jasa
9

Alsintan) peontok. Sedangkan untuk daerah yang menjual padi dengan sistem
tebas, kegiatan pemotongan serta perontokan secara langsung dilakukan oleh
pihak penebas dan petani secara langsung menerima dalam bentuk uang sesuai
dengan harga rebasan.
Pada proses pemanenan yang dalam hal ini pemotongan padi, sangat
mempengaruhi pada tahap perontokan. Cara potong atas atau dekat dengan
pangkal malai, biasanya dilakukan untuk perontokan padi dengan menggunakan
alat perontok mesin power threser tipe throw in yaitu dimana seluruh bahan yang
akan dirontok masuk kedalam ruang perontokan. Sedangkan perontokan dengan
menggunakan power threser dengan tipe pedal atau dengan cara gebot, panen
dialkukan dengan cara potong bawah.
3. Sistem Perontokan
Pada awal kegiatan peorntokan padi, petani merontok dengan cara
menginjak-injak (iles) padi, membanting (gebot) dan memukul, bahkan ada petani
yang menggunakan sepeda motor dengan menjalankanya diatas hamparan padi
yang akan dirontok. Menurut Ananto, dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm.198)
mengemukakan bahwa “Cara perontokan tersebut mempunyai kapasitas kerja
yang sangat rendah, yaitu hanya 25-30 kg/jam”. Seiring dengan perkembangan
teknologi, proes perontokan semakin berkembang dan secara garis besar terbagi
menjadi tiga kategori yaitu secara manula dengan menggunakan alat gebot, pedal
threser serta mesin power threser. Upah perontokan biasanya tidak terpisah dari
biaya panen secara keseluruhan terutama pada kegiatan panen yang menggunakan
alat gebot atau pedal theser, dimana penderep sekaligus sebagai perontokan sudah
tercakup didalam upah bawon yang besarnya antara 10-23%. Adapun karakteristik
padi menurut Balai Besar Pengembangan Mekanisme Pertanian, sebagai berikut:
Tabel 2.4. Karakteristik Fisik Padi
Karakteristik Nilai Rataan
Panjang (mm) 8,54
Lebar (mm) 2,47
Tebal (mm) 1,38
10

Diameter Geometris 3,4


Sphericity (%) 39,88
Aspect Ratio 0,92
Volume (mm3) 21,6
Luas Permukaan (mm2) 32,58
Bulk Density (kg/m3) 472,21
True Density (kg/m3) 1193,38
Porosity (%) 60,37
Berat 1000 butir (gram) 23,00
Angel of Repose (derajat) 35,83
(Sumber: http://www.mekanisasi.litbang.deptan.go.id/)

a. Manual (Gebot)
Perontokan padi dengan cara gebot yaitu perontokan padi dengan
membantingkan segenggam batang padi pada alat gebot yang terbuat dari kayu
atau besi. Dalam proses perontokan dengan cara gebot tersebut perlu diperhatikan
mengenai penggunaan alas terpal untuk menghindari banyaknya gabah yang
tercecer akibat ayunan serta terpaan angin pada saat perontokan, Suismono, dkk
(dalam Herawati, 2008, hlm. 198) mengemukakan bahwa “Untuk menghindari
adanya kehilangan hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang
masih dialasi plastik atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke
tempat perontokan yang telah dialasi plastik terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang
dilengkapi dengan tirai. Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau
memukulkan genggaman padi ke alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali.
Pembersihan sisa gabah yang masih menempel pada jerami dapat dilakukan
secara manual. Pemindahan gabah hasil panen dapat mengunakan karusng plastic
yang bersih serta dijahit atau diikat agar tidak tercecer”.
Setyono, dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm. 198) mengemukakan bahwa
‘Kapasitas perontokan dengan cara gebot sangat bervariasi, tergantung
kepada kekuatan orang, yaitu berkisar antara 41,8 kg/jam/orang sampai
89,79 kg/jam/orang’.
11

Setyono dkk., dan setyono dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm. 198)
mengemukakan bahwa ‘Perontokan padi dengan cara gebot banyak gabah
yang tidak terontok berkisar antara 6,4 % - 8,9 %’.

Perontokan dengan cara dibanting atau gebot, jika alas penampung gabah
tidak luas dan tanpa tirai atau dinding maka banyak gbah yang terlempar keluar
wadah perontokan. Jika bantingan kurang kuat, banyak gabah yang tidak terontok
dan tertinggal dimalai. Proses perontokan secara manual dengan cara gebot
memiliki kelemahan dalam proses perontokan atau padi tertumpuk di sawah serta
sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan tenaga penggebot.
b. Power Threser Model Pedal
Power threser model pedal atau sering disebut dengan pedal threser yaitu
alat perontok yang menggunakan mekanisme perontokan dengan menggunakan
gigi berputar sebagaimana mekanisme pada mesin power threser, akan tetapi
dengan menggunakan tenaga manual dengan cara dikayuh menggunakan pedal.

Gambar 2.1. Mesin Power Threser Model Pedal.


(sumber: http://udai08.blogspot.com/2011/03/power-thresher.html)
Sistem perontokan dengan menggunakan power threser tipe pedal mulai
ditinggalkan karena kapasitas produksinya hampir sama dengan cara dibanting
atau digebot.
Pedal threser biasanya dibuat dari bahan kayu untuk efisiensi harga alat
tersebut. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, alat pedal threser belum optimal
untuk dapat diaplikasikan di lapangan terutama terkait dengan perbandingan
12

antara kemampuan serta daya kayuh alat. Dalam hal ini, seringkali terjadi
modifikasi alat pedal threser kurang sesuai dengan ergonomis pengguna yang
mengakibatkan alat kurang maksimal untuk diaplikasikan di lapangan. Pada
akhirnya tenaga perontok lebih memilih menggunakan alat gebot daripada
menggunakan pedal threser.
c. Mesin Power Threser
Dalam perkembangannya kegiatan perontokan dapat dilakuakan dengan
menggunakan power threser. Penggunaan mesin perontok tersebut diharapkan
dapat meningkatkan kapasitas serta efisiensi kinerja perontokan. Disamping itu,
penggunaan mesin perontok menyebabkan gabah tidak terontok sangat rendah
yaitu kurang dari satu persen. Sewa power threser umumnya menjadi tanggungan
penderep, didasarkan pada jumlah gabah yang dirontokan. Di beberapa lokasi,
upah perontokan di hitung per kwintal gabah yang dirontok, berkisar antara Rp
2500- Rp 5000,- per kwintal. Mesin perontok power threser memiliki kaoasitas
kerja lebih tinggi, berkisar antara 400-1000 kg/jam, tergantung pada jenis dan
tipenya.
Setyono, dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm. 199) mengemukakan bahwa
‘Hasil pengujian empat mesin perontok pada Type TH-6 menunjukan
bahwa kapasitas mesin perontok tersebut bervariasi antar 523 kg/jam/unit-
1.125 kg/jam/unit tergantung keapda spesifikasi atau pabrik
pembuatannya”.

Menurut Rachmat, dkk. (dalam Herawati, 2008, hlm.199) mengemukakan


bahwa ‘Kapasitas mesi perontok sangant bervariasi, tergantung kepada
pabrik pembuatnya. Mesin perontok TH6-Quick, TH6-Klari, TH6 Aceh
dan TH6-Quick-Modifikasi masing-masing memiliki kapasitas kerja 360,5
kg/jam, 697,0 kg/jam, 961,0 kg/jam dan 1.143,1 kg/jam, sedangkan gabah
yang tidak terontok masing-masing 0,84%, 0,64%, 0,84% dan 1,54%’.

Tabel 2.5. Kapasitas Kerja dan Prosentase Gabah yang Tidak Terontokan untuk
Beberapa Mesin Perontok Power Threaser

Mesin Perontok Kapasitas Kerja (kg/jam) Gabah tidak Terontok


TH6-Quick 360,5 0,84
TH6-Klari 697,0 0,64
TH6-Aceh 961,0 0,84
13

TH6-Quick Modifikasi 1143,1 1,54


(Sumber: Rachmad dkk. dalam Herawati, 2008, hlm. 199)

Untuk memperoleh kapasitas kerja yang optimal dengan kehilangan hasil


yang rendah dan kualitas gabah yang baik (bersih dan tidak retak) diperlukan
pengaturan kecepatan putaran silinder perontok. Menurut Ananto dkk. (dalam
Herawati 2008, hlm. 200)
‘Kalau gabah digunakan untuk konsumsi, putaran silinder perontok pada
saat perontokan diatur pada kecepatan 600-800 rpm. Jika gabah akan
digunakan untuk benih, putaran silinder perontok pada saat perontokan
diatur pada kecepatan 500-600 rpm’.

Untuk optimalisasi kinerja mesin power threser juga harus diperhatikan


varietas padi yang akan dirontokkan. Beberapa varietas padi yang relatif lebih
sulit untuk dirontokkan memerlukan pengesetan lebar gigi perontok terkait untuk
optimalisasi alat. Disamping itu harus diperhatikan juga mengenai tingkat
pengetahuan operator pengguna power threser. Pelatihan mengenai
operasionalisasi alat serta standar operasional alat harus dikuasai oleh operator
mesin power threser terkait dengan efisiensi kinerja serta daya tahan alat.
Antisipasi adanya penumpukan hasil perontokan padi tersebut juga harus menjadi
perhatian untuk mempertahankan mutu beras yang nantinya akan dihasilkan.
4. Penundaan Peontokan
Penggunaan power threser meningkatkan efisiensi waktu dan tenaga,
mengatasi penundaan perontokan dan mempercepat jadwal tanam berikutnya.
Efisiensi terlihat pada serapan tenaga kerja, yaitu 41,13 HOK/ Ha untuk tenaga
gebot dan 2-4 HOK untuk operasional power threser. Kapasitas kerja gebot
ratarata 4,51 hari/ha. Sedangkan power threser TH6-G88 mencapai 624 kg/hari
(Astanto dan Ananto, 1999). Penggunaan mesin power threser diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi kinerja perontokan serta mencegah terjadinya proses
penundaan perontokan.
Penundaan proses perontokan akan menyebabkan meningkatnya
kehilangan hasil, kerusakan gabah dan turunnya mutu. Tertundanya proses
perontokan merupakan awal dari terjadinya proses penurunan mutu gabah dan
14

beras. Penundaan perontokan serta penumpukan padi akan meningkatkan butir


kuning (Ananto dkk 2001). Penundaan perontokan sering terjadi di lokasi yang
merontokkan padi dengan cara gebot. Adanya penundaan proses perontokan akan
mempengaruhi terjadinya penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas padi
serta gabah yang dihasilkan.
a. Pengaruh Kuantitas
Penundaan perontokan padi akan mempengaruhi kuantitas gabah dan beras
yang akan dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian Asatanto dan Ananto (dalam
Herawati, 2008, hlm.200) penundaan perontokan padi dalam interval 2 hari akan
meningkatkan susut hasil gabah, menurunnya rendemen beras serta susut beras
sebagimana tertera pada tabel 2.5 dibawah ini.
Tabel 2.6. Pengaruh Lama Penundaan Perontokan Terhadap Surut Hasil Gabah
(Losses) dan Rendemen Beras di Lahan Pasang Surut

Lama penundaan Susut hasil gabah Rendemen beras Susut beras


(hari) (%) (%) (%)
0 0,0 63,9 0,0
2 0,3 63,8 0,2
4 0,6 60,5 3,4
6 1,1 57,1 6,7
8 1,9 56,3 7,7
(Sumber: Astanto dan Ananto dalam Herawati, 2008, hlm. 200)

Semakin lama waktu penundaan perontokan, semakin meningkat


terjadinya susut hasil baik gabah maupun beras yang dihasilkan. Sehingga dalam
pelaksanaan kegiatan pasca panen padi, perlu diminimalisasi tejadinya penundaan
perontokan padi.
b. Pengaruh Kualitas
Penundaan perontokan padi juga akan mempengaruhi kualitas beras yang
akan dihasilkan sebagaimana hasil penelitian Astanto dan Ananto (dalam
Herawati, 2008, hlm. 201) dibawah ini.
15

Tabel 2.7. Pengaruh Lama Penundaan Perontokan Terhadap Mutu Beras di Lahan
Pasang Surut

Lama penundaan Susut hasil gabah Rendemen beras Susut beras


(hari) (%) (%) (%)
0 0,0 63,9 0,0
2 0,3 63,8 0,2
4 0,6 60,5 3,4
6 1,1 57,1 6,7
8 1,9 56,3 7,7
(Sumber: Astanto dan Ananto dalam Herawati, 2008, hlm. 201)

Semakin lama penundaan kegiatan perontokan padi akan semakin


menurunkan persentase butir kepala, meningkatkan butir patah, meningkatkan
menir serta meningkatkan butir rusak. Adanya antisipasi penundaan perontokan
secara langsung akan memberikan kontribusi yang positif terhadap kualitas serta
kuantitas beras yang akan dihasilkan dan secara langsung berkorelasi dengan hasil
usaha tani.
5. Tingakat Kehilangan Hasil
Studi yang dilakukan oleh International Rice Reasarch Institute (IRRI)
menyebutkan bahwa diperkirakan tingkat kehilangan pascapanen sebesar 5 – 16
% terjadi pada saat pemanenan, perontokan dan pembersihan, sedangkan 5 – 21 %
terjadi pada proses pascapanen dari pengeringan, penyimpanan dan penggilingan
(Dirjen P2HP, 2007). Mekanisme, system serta alat yang dipergunakan dalam
proses perontokan sangat mempengaruhi tingkat kehilangan hasil sebagaimana
hasil penelitian Setyono (dalam Herawati, 2008, hlm.201) dibawah ini.
Tabel 2.8. Kapasitas Operasional Keempat Mesin Perontok dan Tingkat
Kehilangan Hasil pada Beberapa Sistem Pemanenan Padi

Kehilangan hasil dari panen sampai


Sistem pemanenan Alat perontok
perontokan (%)
Kelompok A TH6 Klari 4,7b
Kelompok B TH6-Aceh 4,4b
16

Kelompok C TH6-Quick9 4,9b


Kelompok D TH6-Quick-M 4,3b
Keroyokan-1 Gebot 15,2a
Keoyokan-2 Gebot 16,3a
KK (%) 21,59
Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukan
berbeda pada taraf 5% BNT.
(Sumber: Setyono, dkk. dalam Herawati, 2008, hlm. 201)
B. Tinjauan Perencanaan mesin perontok Padi Sistem Pedal
1. Daya dan Torsi Perontokan
Nilai daya perontokan ini didapat dari hasil wawancara terhadap kelompok
tani do daerah reungascondong, disesuaikan dengan kebutuhan kapasitas hasil
panen di daerah reungascondong. Kapasitas yang dibutuhkan di daerah ini yaitu
70 kg/jam, atau sama dengan 1.2 kg/menit. Untuk mendapatkan nilai daya yang
dibutuhkan dihitung menggunakan persamaan berikut:
2πNT
𝑃= (HP)……………………………………………….... persamaan
4500

(2.1)
(Khurmi dan Gupta, 1991, hlm. 107)
𝑇 = 𝐹. r………………………………………………………… persamaan
(2.2)
Khurmi dan Gupta, 1991, hlm. 107)
keterangan:
𝑃 = Daya yang Dibutuhkan ( HP );
N = Putaran Sisir Perontok (rpm);
T = Torsi (kg.m);
F = Gaya (kg);
r = Jari-jari Sisir Perontok (m).
Untuk mencari gaya (F) perontokan yaitu dengan menjumlahkan
komponen-komponen yang mempengaruhi gaya perontokan, yaitu:
17

F = (massa sisir perontok + massa poros perontok + massa tabung perontok +


massa padi sekali perontokan)
2. Pegas
a. Tinjauan Umum Pegas
Pegas disini merupakan komponen yang berfungsi untuk mengembalikan
posisi pedal kepada posisi sebelum pedal diinjak. Maka dari itu harus ditemukan
nilai konstanta pegas ini.
Sebelumnya ada beberapa macam pegas, yaitu:
Pegas dapat digolongkan atas dasar jenis beban yang dapat diterimanya,
sebagai berikut:
1. Pegas tekan atau kompresi.
2. Pegas Tarik.
3. Pegas punter.
Menurut coraknya dapat dibedakan antara:
4. Pegas volut.
5. Pegas daun.
6. Pegas piring.
7. Pegas cincin.
8. Pegas batang puntir.
9. Pegas daun.
Pegas dapat berfungsi sebagai pelunak tumbukan atau kejutan seperti
pegas kenndaraan, sebagai penyimpan energy seperti pada jam, untuk pengukur
18

seperti pada timbangan, sebagai penegang atau penjepit, sebagai pembagi rata
tekanan, dll.
Gambar 2.2. Macam-macam Pegas.
(sumber: http://udai08.blogspot.com/2011/03/power-thresher.html)
19

b. Bahan Pegas
Pegas dapat dibuat dari beberapa jenis bahan sperti diberikan pada Tabel
2.8 menurut pemakainnya. Bahan baja dengan penampang lingkaran adalah yang
paling banyak dipakai. Di sini akan dikemukakan 5 macam baja dan beberapa
jenis logam bukan besi.
Pegas untuk pemakaian umum dengan diameter kawat sampai 9.2 (mm)
biasanya dibuat dari kawat Tarik keras yang dibentuk dingin, atau kawat yang
distemper dengan minyak. Untuk diameter kawat yang lebih besar dari 9.2 (mm)
dibuat dari batang rol yang dibentuk panas. Pada pegas yang terbuat dari kawat
Tarik keras, tidak dilakukan perlakuan panas setelah dibentuk menjadi pegas.
Diantara kawat Tarik keras yang bermutu paling tinggi adalah kawat untuk
alat musik atau kawat piano (SWP). Kawat baja keras (SW) dengan mutu lebih
rendah dari pada kawat musik dipakai untuk tegangan rendah atau beban statis.
Harganya jauh lenih rendah dari pada kawat musik.
Tabel 2.9. Bahan Pegas Silindris Menurut Pemakaiannya

Pemakaian Bahan
SUP4, SUP6, SUP7, SUP10,
Pegas biasa (dibentuk panas)
SUP11
SW, SWP, SUS, BsW, NSWS,
Pegas biasa (dibentuk dingin) PBW, BeCuW, Kawat distemper
dengan minyak
Pegas tumpuan kendaraan SUP4, SUP6, SUP7, SUP9, SUP11
Pegas untuk katup keamanan ketel SWP, SUP6, SUP7, SUP9, SUP10
SWP, SUP4, SUP6, SUP7, Kawat
Pegas untuk governor kecepatan
distemper dengan minyak
SWPV, Kawat distemper dengan
Pegas untuk katup
minyak untuk pega katup
Pegas untuk pemutar telpon, pegas untuk
SWP
penututup (shuter) kamera
Pegas untuk dudukan, pegas untuk mainan SW
20

Pegas yang dialiri arus listrik BsW NSWS, PBW, BeCuW


Pegas anti magnit SUS, BsW, NSWS, PBW, BeCuW
Pegas tahan panas SUS
Pegas tahan korosi SUS, BsW, NSWS, PBW, BeCuW
(Sumber: Sularso dan Suga, 1978, hlm. 313)
c. Pegas Helik
Pegas tekan helik adalah jenis pegas yang dibuat dari kawat dan digulung
sedemikian ruapa sehingga membentuk silindrik tabung dengan jarak pitch yang
sama. Ketika gaya tekjan diberikan pada pegas, gulungan menjadi tertekan sampai
batas dimana setiap gulungan kawat tedekat bersentuhan. Pemberian gaya tekan
yang semakin meningkat menghasilkan defleksi pegas yang proporsional artinya
terdapat hubungan linier antara gaya tekan dengan defleksi pegas.
Pegas tarik helik terlihat mirip dengan pegas tekan helik, hanya saja
sebelum menerima tarikan, setiap gulungan kawat terdekat saling bersentuhan.
Terjadinya peregangan apabila sudah terdapat gaya tarik pada pegas itu.
Pegas spiral torsi, dari namanya pegas ini digunakan untuk memberikan
torsi ketika pegas ini terdefleksi dengan cara memutarkan terhadap sumbunya.
Selama penggunaan, salah satu ujung kawat pegas ditahan dan ujung laiinya
menghasilkan torsi.
Pegas daun dibuat dari susunan strip baja atau material lainnya dan
dibebani seperti halnya sebuah kantilevel atau batang sederhana. Pegas ini dapat
menghasilkan tarikan atau tekanan selama pemakaian.
Tabel 2.10. Jenis-jenis Pegas

Penggunaan Jenis Pegas


Pegas tekan helik, pegas Belleville, pegas
Menekan datar seperti daun pada kendaraan jalan raya
roda empat
Pegas tarik helik, pegas datar seperti pegas
Menarik
daun, pegas batang tarik, pegas gaya konstan
Radial Pegas Garter, pita elatromerik, klem pegas
21

Torsi Pegas torsi, pegas daya


(Sumber: Sonawan, 2009, hlm. 100)

d. Perencanaan Pegas Tarik Helik


Tujuan perancangan pegas jenis ini yaitu untuk mendapatkan ukuran pegas
yang bekerja dalam kondisi beban dan defleksi tertentu. Jenis material dan kondisi
lingkungan dalam aplikasinya juga perlu mendapat perhatian khusus. Ukuran apa
saja yang penting dalam sebuah pegas dan bagaimana memilih material pegas?
Berikut adalah penjelasannya.
a. Diameter
Sebuah pegas dinyatakan dengan diameter luar (D0)diameter dalam (DL),
dan diameter kawat (Dw). dalam perhitungan tegangan dan defleki pegas,
digunakan diameter rata-rata (Dm) sebagai pengganti diameter luar dan diameter
dalam.
Tabel 2.11. Ukuran Kawat dan Diameter Pegas.

Kawat Ukur Musik Diameter Metrik


No. Ukur Kwat Baja Us (in)
(in) (mm)
7/0 0,49 - 13
6/0 0,46 0,004 12
5/0 0,43 0,005 11
4/0 0,39 0,006 10
3/0 0,36 0,007 9
2/0 0,33 0,008 8,5
0 0,30 0,009 8
1 0,28 0,010 7
2 0,26 0,011 6,5
3 0,24 0,012 6
4 0,22 0,013 5,5
5 0,20 0,014 5
6 0,19 0,016 4,8
22

7 0,17 0,018 4,5


8 0,16 0,020 4
9 0,14 0,022 3,8
10 0,13 0,024 3,5
11 0,12 0,026 3
12 0,10 0,029 2,8
13 0,09 0,031 2,5
14 0,08 0,033 2
15 0,07 0,035 1,8
16 0,06 0,037 1,6
17 0,05 0,039 1,4
18 0,04 0,041 1,2
19 0,03 0,043 1
20 0,03 0,045 0,9
21 0,02 0,047 0,8
22 0,02 0,049 0,7
23 0,02 0,051 0,65
24 0,02 0,055 0,6 atau 0,55
25 0,02 0,059 0,5 atau 0,55
26 0,01 0,063 0,45
27 0,01 0,067 0,45
28 0,01 0,071 0,4
29 0,01 0,075 0,4
30 0,01 0,080 0,35
31 0,01 0,085 0,35
32 0,01 0,090 0,3 atau 0,35
33 0,01 0,095 0,3
34 0,01 0,100 0,28
35 0,009 0,106 0,25
36 0,009 0,112 0,22
23

37 0,008 0,118 0,22


38 0,008 0,125 0,2
39 0,008 0,130 0,2
40 0,007 0,138 0,18
(Sumber: L. Mott dalam Sonawan, 2009, hlm. 102)
Diameter kawat pegas dihitung dengan menggunakan rumus persamaan
berikut:
3 8.𝐾.𝐹.𝐷𝑚
𝐷𝑤 = √ ……………………………………………… Persamaan
𝜋.𝜏𝑑

(2.3)
(Sonawan, 2009, hlm. 101)

Diamana:
K = Faktor Wahl (diperoleh dari kurva atau dihitung menggunakan
persamaan 2.2)
4𝐶−1 0.615
𝐾= + ……………………………………………... persamaan (2.4)
4𝐶−4 𝐶

(Sonawan, 2009, hlm. 103)


F = Gaya yang bekerja [Kg]
Dm = Diameter rata-rata [m]
τd = Tegangan geser yang diizinkan [Kg/mm2]
b. Panjang
Variabel panjang pegas merupakan parameter yang sangat penting
terutama karena panjang ini berhubungan dengan defleksi. Ada beberapa
pengertian tentang panjang pegas.
1. Panjang bebas (Lf), yaitu panjang pegas pada saat tidak ada gaya yang bekerja.
2. Panjang penuh (Ls), yaitu panjang pegas dimana gulungan kawat pegas
seluruhnya sling beregangan.
3. Panjang operasi (Lo), yaitu panjang terpanjang pada pegas saat pegas bekerja
dalam kondisi normal.
24

4. Panjang terpasang (Li), yaitu panjang terpendek pegas pada saat pegas bekerja
dalam kondisi normal. Jadi selama beroperasi dalam kondisi normal, pegas
akan bergerak dalam selang Lo hingga Li.

c. Indeks Pegas
Yang dimaksud dengan indeks pegas adalah perbandingan antara diameter
rata-rata dengan diameter kawat.
𝐷
𝐶 = 𝑑 ………………………………………………………….… persamaan (2.5)

(Sonawan, 2009, hlm. 105)

Nilai C disarankan berada diantara 5 dan 12.

d. Tegangan
Tegangan geser disini merupakan tegangan geser izin, yang berfungsi
sebagai nilai keamanan dalam pemakaian pegas. Untuk mencari atau menghitung
tegangan menggunakan persamaan berikut:
8𝐷𝐹
𝜏=𝐾 …………………………………………………………. Persamaan (2.6)
𝜋𝑑3

(Sularso dan Suga, 1978, hlm. 315)

Kemudian mencari nilai dari 𝜏. Menurut Ir. Hery Sonawan (2008, hlm.
108) “Variable tegangan geser yang diizinkan diperoleh mlalui grafik dan
disederhanakan dengan perangkat lunak Microsoft Excel diperoleh sebuah
hubungan antara diameter kawat dengan tegangan geser yang diizinkan.”
Hubungan antara diameter kawat dengan tegangan geser yang diizinkan
dinyatakan dalam persamaan:
𝜏 = −0.51 × 𝐷𝑤3 + 14.038 × 𝐷𝑤2 − 133.44 × 𝐷𝑤 + 1193 … persamaan (2.7)
(Sonawan, 2009, hlm. 108)

Adapula harga modulus geser pegas berdasarkan bahan yang digunakan,


yaitu:

Tabel 2.12. Harga Modulus Geser (G)

Bahan Lambang Harga G (kg/mm2)


25

Baja pegas SUP 8 x 103


Kawat baja keras SW 8 x 103
Kawat piano SWP 8 x 103
Kawat distemper dengan -
8 x 103
minyak
Kawat baja tahan karat SUS
7.5 x 103
(SUS 27, 32, 40)
Kawat kuningan BsW 4 x 103
Kawat perak nikel NSWS 4 x 103
Kawat perunggu fosfo PBW 4.5 x 103
Kawat tembaga berilium BeCuW 5 x 103
(Sumber: Sularso dan Suga, 1978, hlm. 313)

Gambar 2.3. Tabel Modulus Elastisitas Pegas.


(Sumber: http://muktialisma4.blogspot.co.id/2013/03/elastisitas-dan-susunan-
pegas.html )
26

Kawat pegas yang distemper dalam minyak diberikan perlakuan panas


pada waktu proses pembuatan kawat berlangsung untuk memperoleh sifat fisik
yang ditentukan, atau digulung dalam keadaan lunak lalu diberi perlakuan panas.
Pegas dari bahan macam ini agak mahal harganya.
Baja yang paling umum dipakai untuk pegas yang dibentuk panas adalah
baja pegas (SUP). Karena pembentukannya dilakukan pada temperature tinggi,
maka perlu diberi perlakuan panas setelah dibentuk. Baja tahan karat (SUS)
dipakai untuk keadaan lingkungan yang korosiv. Terdapat dalam ukuran diameter
kecil dan harganya sangat mahal. Perunggu fosfor (PBW) merupakan bahan yang
anti magnit dan mempunyai daya konduksi listrik yang baik. Inconel dipakai
untuk keadaan temperature tinggi dan korosiv. Hargaya beberapa kali lipat harga
baja tahan karat.
3. Rantai
Rantai transmisi daya biasanya dipergunakan di mana jarak poros lebih
besar dari pada transmisi roda gigi tetapi lebih pendek dari pada dalam transmisi
sabuk. Rantai mengait pada gigi sproket dan meneruskan daya tanpa slip, jadi
menjamin perbandingan putaran yang tetap (gambar 2.3).
27

Gambar 2.4 Rantai Rol


(Sumber: Sularso dan Suga, 1978, hlm. 190)
Rantai sebagai transmisi mempunyai keuntungan-keuntungan seperti,
mampu meneruskan daya besar karena kekuatannya yang besar, tidak
memerlukan tegangan awal, keausan kecil pada bantalan, dan mudah
memasangnya. Karena keuntungan-keuntungan tersebut, rantai mempunyai
pemakaian yang luas seperti roda gigi dan sabuk.
Di pihak lain, transmisi rantai mempunyai beberapa kekurangan, yaitu:
variasi kecepatan yang tak dapat dihindari karena lintasan busur pada sproket
yang mengait mata rantai, suara dan getaram karena tumbukan antara rantai dan
dasar kaki sproket, dan perpanjangan rantai karena keausan pena dan bus yang
diakibatkan oleh gesekan dengan sproket. Karena kekurangan-kekurangan ini
maka rantai tak dapat dipakai untuk kecepatan tinggi, sampai ditemukan dan
dikembangkannya rantai gigi. Rantai dapat dibagi atas dua jenis, yang pertama
disebut rantai rol terdiri atas pena, bus, rol dan plat mata rantai. Yang kedua
disebut rantai fifi, terdiri dari atas plat-plat bergrofil roda gigi dan pena berbentuk
bulan sabit yang disebut sambungan kunci.
Menurut Sularso dan Suga (1997, hlm. 191) “rantai rol dipakai bila
diperlukan transmisi positip (tanpa slip) dengan kecepatan sampai 600 (m/min),
tanpa pembatasan bunyi, dan murah harganya.” Untuk bahan pena, bus, dan rol
dipergunakan baja karbon atau baja khrom dengan pengerasan kulit. Rantai
dengan rangkaian tunggal adalah yang paling banyak dipakai. Rangkaian banyak,
seperti dua atau tiga rangkaian dipergunakan untuk transmisi beban berat. Ukuran
dan kekuatannya distandarkan seperti dalam lampiran 2.

a. Macam-macam bentuk rancangan dari rantai transmisi daya

Ada banyak bentuk rancangan dari rantai, disesuaikan dengan fungsi dan
kegunaan masing-masing rantai, tapi pada bab ini hanya akan dijelaskan macam-
macam rantai transmisi daya, rantai transmisi daya dapat dikelompokkan menjadi
dua jenis, yakni:
28

1. Rantai Pena Silinder/Rantai Rol


2. Rantaigigi (Silent Chain)
b. Rantai Pena Silinder/Rantai Rol

Rantai jenis ini paling umum digunakan dan pemakaiannya cukup luas.
Ciri khusus yang utama pada rantai ini adalah adanya pena silinder sebagai
penghubung plat sisi dari rantai yang masing-masing terkunci. Secara umum
rantai pena silinder ini terdiri dari pena, plat sisi, dan bus. Untuk mengatur
panjang dan pendeknya rantai, dilakukan dengan elemen pengunci pada salah satu
mata rantainya yaitu berupa ring penahan atau pena belah terdiri dari:

c. Rantai Pena ( Gall Chain )

Jenis rantai ini mempunyai konstruksi yang paling sederhana ditinjau dari
pemasangan pena terhadap plat sisinya. Sebagai elemen transmisi putar, rantai
jenis ini memerlukan system pelumasan yang sangat baik. Digunakan untuk
putaran rendah sampai sedang dengan beban yang tidak terlalu berat. Konstruksi
rantai ini banyak diterapkan pada rantai dengan fungsi sebagai rantai penarik.

Gambar 2.5 Rantai Pena

(Sumber: https://www.scribd.com/doc/166210697/BAB-II-Landasan-
Teori-Rantai)

d. Rantai Berselubung ( Bush Chain )


29

Rantai jenis ini merupakan penyempurnaan dari rantai pena dimana pada
penanya dilengkapi dengan dengan bush terpasang pada kedua plat sisi.
Kemampuan rantai jenis ini lebih awet dibanding rantai pena, terutama untuk
beban sedang.

Gambar 2.6 Rantai Berselubung (Bush Chain)

(Sumber: https://www.scribd.com/doc/166210697/BAB-II-Landasan-Teori-
Rantai)

e. Rantai Roll ( Roller Chain)

Konstruksi rantai ini merupakan pengembangan dari rantai bus, dimana


selain bush pelindung pena yang pemasangannya sama dengan rantai bush, juga
dilindungi lagi oleh bush roller sehingga keawetannya akan lebih baik lagi.
Rantai roller sangat luas dipakai pada konstruksi general mekanik, karena punya
kemampuan yang cukup baik yaitu:

 Untuk ukuran rantai yang kecil mampu dioperasikan dalam 10.000 FPm
 Mampu menerima beban sampai 12.000 hp
 Tersedia dalam ukuran standard yang bervariasi.
30

Gambar 2.7 Rantai Roll

(Sumber: https://www.scribd.com/doc/166210697/BAB-II-Landasan-
Teori-Rantai)
Rantai rol dipakai bila diperlukan transmisi positif (tanpa slip) dengan
kecepatan sampai 600 (m/min), tanpa pembatasan bunyi, dan murah
harganya.Untuk bahan pena, bus ,dan rol dipergunakan baja karbon atau baja
khrom dengan pengerasan permukaan. Rantai dengan rangkaian tunggal adalah
yang paling banyak dipakai. Rangkaian banyak, seperti 2 atau 3 rangkaian
dipergunakan untuk transmisi beban berat.
Dapat dilihat bahwa kurva batas kelelahan dari plat mata rantai macam
yang yang lama. Hasil penelitian terakhi rmenunjukan bahwa suatau daerah yang
dibatasi oleh dua kurva, yaitu kurva batas ketahanan terhadap tumbukan antara rol
dan bus, dan kurva batas las (galling) karena pelumasan akan sangat penting
untuk menetukan kapasitas rantai. Kurva kapasitas baru diperoleh berbentuk
tendasehingga sering disebur “kurva tenda”. Dalam gambar 2.5, diperlihatkan
kurva tersebut yang merupakan diagram pemilihan rantai roll. Untuk
memudahkan kurva tenda tersebut diberi nama menurut nomor rantai dan jumlah
gigi sprocket, dengan putaran sprocket sebagai sumbu mendatar dan kapasitas
transmisi sebagai sumbu tegak.
31

Gambar 2.8 Diagram Pemilihan Rantai Roll

(Sumber: Sularso dan Suga, 1978, hlm. 194)


Transmisi rantai akan lebih halus dan kurang bunyinya jika dipakai rantai
dengan jarak bagi kecil dan jumlah gigi sprocket yang banyak. Rangkaian yang
banyak dipakai bila rangkaian tunggal tidak memepunyai kapasitas yang cukup.
Perlu diperhatikan bahwa kapasitas rangkaian banyak tidak sama dengan
kelipatan kapasitas saturangkaian dan bila dipandang dari segi pembagian beban
diantara rangkaian akan semakin efektif bila jumlah rangkaian semakin kecil
karena efektifitas terbesat diperoleh dengan satu rangkaian

Sproket rantai dibuat dari baja karbon untuk ukuran kecil, dan besi cor
atau baja cor untuk ukuran besar. Pemasangan sprocket atau rantai secara
mendatar adalah yang paling baik. Pemasangan tegak akan menyebab kan rantai
mudah lepas dari sprocket.Baik dari gambar maupun dari persamaan bahwa
makin besar gigi sprocket makin kecil perbandingan variasi kecepatannya, yang
berarti makin halus jalannya. Rantai kadang-kadang bergetar hebat karena
fluktuasi kecepatan, variasi beban dll.Untuk menghindari hal tersebut dapat
dipakai alat penegang, sprocket pengikut atau peredam dari karet.
32

Ditinjau dari perpanjangn rantai karena aus. Sebelum aus, rol rantai akan
mengait pada permukaan dasar kaki gigi. Setelah terjadi keausan dan
perpanjangan, rol akan naik kepuncak gigi. Hal ini akan membawa akibat buruk
pada transmisi terutama jika jumlah giginya banyak, sehingga rantai dapat
terlepas dari sprocket. Batas perpanjangan rantai secara empiris sebesar 1 sampai
2 % panjang mula-mula. Sehingga jumlah gigi dibatasi sampai 114 gigi.

Sebagai pelumas, minyak bermutu baik, seperti minyak roda gigi yang
mengandung ramuan penahan tekanan umum dipakai. Minyak berat dan gemuk
tidak cocok untu krantai. Dalam table 2.6, dapat ditemui viskositas dan cara
pelumasan yang cocok. Untuk kecepatan tinggi, harus dipakai minyak dengan
viskositas rendah, sedangkan viskositas tinggi dipakai untuk temperatur
lingkungan yang tinggi.

Gambar 2.9 Tabel Pelumas dan Cara Pelumasan

(Sumber: https://www.scribd.com/doc/166210697/BAB-II-Landasan-
Teori-Rantai)
33

4. Poros
Poros merupakan salah satu bagian yang terpenting dari setiap mesin.
Hampir semua mesin meneruskan tenaga bersama-sama dengan putaran. Peranan
utama dalam transmisi seperti itu dipegang oleh poros.
a. Macam-macam poros
Poros untuk meneruskan daya diklasifikasi menurut pembebanannya
sebagai berikut:
1. Poros transmisi
Poros macam ini mendapat beban puntir murni atau puntir dan lentur.
Daya ditransmisikan kepada poros ini melalui kopling, roda gigi, puli sabuk atau
sproketrantai, dll.
34

2. Spindle
Poros transmisi yang relative pendek, seperti poros utama mesin perkakas,
dimana beban utamanya berupa puntiran, disebut spindle. Syarat yang harus
dipenuhi poros ini adalah deformasinya harus kecil dan bentuk serta ukurannya
harus teliti.
3. Gandar
Poros seperti yang dipasang diantara roda-roda kereta barang, dimana
tidak mendapat beban puntir, bahkan kadang-kadang tidak boleh berputar, disebut
gandar. Gandar ini hanya mendapat beban lentur, kecuali jika digerakan oleh
penggerak mula dimana akan mengalami beban puntir juga.
Untuk merencanakan sebuah poros, hal-hal berikut ini perlu diperhatikan.
1. Kekuatan Poros
Suatu poros transmisi dapat mengalami beban puntir atau lentur atau
gabungan antara puntir dan lentur seperti telah diutarakan di atas. Juga ada poros
yang mendapat beban tarik atau tekan seperti poros baling-baling kapal aatau
turbin, dll.
2. Kekakuan Poros
Meskipun sebuah poros mempunyai kekuatan yang cukup tetapi jika
lenturan atau defleksi puntirnya terlalu besar akan mengakibatkan ketidak-telitian
(pada mesin perkakas) atau getaran dan suara (misalnya pada turbin dan kotak
roda gigi).
3. Putaran Kritis
Bila putaran suatu mesin dinaikan maka pada suatu harga putaran tertentu
dapat terjadi getaran yang luar biasa besarnya. Putaran ini disebut putaran kritis.
Hal ini dapat terjadi pada turbin, motor torak, motor listrik, dll., dan dapat
mengakibatkan kerusakan pada poros dan bagian-bagian lainnya. Jika mungkin,
poros harus direncanakan sedemikian rupa hingga putaran kerjanya lebih rendah
dari putaran kritisnya.
4. Korosi
Bahan-bahan tahan korosi (termasuk plastik) harus dipilih untuk poros
propeller dan pompa bila terjadi kontak dengan fluida yang korosif. Demikian
35

pula untuk poros-poros yang terancam kavitasi, dan poros-poros mesin yang
sering berhenti lama. Sampai batas-batas tertentu dapat pula dilakukan
perlindungan terhadap korosi.
5. Bahan Poros
Poros untuk mesin umum biasanya dibuat dari baja batang yang ditarik
dingin dan difinis, baja karbon kontruksi mesin (disebut bahan S-C) yang
dihasilkan dari ingot yang di-“kill” (baja yang dideoksidakan dengan ferrosilicon
dan dicor; kadar karbon terjamin) (JIS G3123 tabel 2.13) (Sularso dan Suga,
1978, hlm. 3). meskipun demikian, bahan ini kelurusannya seimbang misalnya
bila diberi alur pasak, karena ada tegangan sisa di dalam terasnya. Tetapi
penarikan dingin membuat permukaan poros menjadi keras dan kekuatannya
bertambah besar.
Tabel 2.13 Baja Karbon untuk Kontruksi Mesin dan Baja Batang yang Difinis
Dingin untuk Poros
Kekuatan
Standar dan Lambang Perlakuan Tarik Keterangan
Macam Panas (kg/mm2)
S30C Penormalan 48
Baja Karbon S35C - 52
Konstruksi S40C - 55
Mesin (JIS G S45C - 58
4501) S50C - 62
S55C - 66
Batang Baja S35C-D - 53 Ditarik
yang Difinis S45C-D - 60 dingin,
Dingin S55C-D - 72 digerinda,
dibubut, atau
gabungan
antara hal0hal
tersebut
(Sumber: Sularso dan Suga, 1978, hlm. 3)
36

Pada umumnya baja diklasifikasi atas baja lunak, baja liat, baja agak keras,
dan baja keras. Di antaranya, baja liat dan baja agak keras banyak dipilih untuk
poros. Kandungan karbonnya adalah seperti yang tertera dalam tabel 2.14. Baja
lunak yang terdapat dipasaran umumnya agak kurang homogeny di tengah,
sehingga tidak dapat dianjurkan untuk dipergunakan sebagai poros penting. Baja
agak keras pada umumnya berupa baja yang dikil seperti telah disebutkan di atas.
Baja macam ini jika diberi perlakuan panas secara tepat dapat menjadi bahan
poros yang sangat baik.
Tabel 2.14 Penggolongan Baja Secara Umum

Golongan Kadar C(%)


Baja Lunak -0.15
Baja Liat 0.2-0.3
Baja agak Keras 0.3-0.5
Baja Keras 0.5-0.8
Baja sangat Keras 0.8-1.2
(Sumber: Sularso dan Suga, 1978, hlm. 5)
Menurut Sularso dan Suga, 1978, hlm. 5, mengemukakan “jika diketahui
bahwa poros yang akan direncanakan tidak mendapat beban lain kecuali torsi,
maka diameter poros tersebut dapat lebih kecil dari pada yang dibayangkan.”
Meskipun demikan, jika diperkirakan akan terjadi pembebanan berupa lenturan,
tarikan, atau tekanan, misalnya jika sebuah sabuk, rantai atau roda gigi
dipasangkan pada poros motor, maka kemungkinan adanya pembebanan
tambahan tersebut perlu diperhitungkan dalam faktor keamanan yang diambil.
Tabel 2.15 Faktor-faktor Koreksi Daya yang akan Ditransmisikan, fc.
Daya yang akan Ditransmisikan fc
Daya rata-rata yang diperlukan 1.2-2.0
Daya maksimum yang diperlukan 0.8-1.2
Daya normal 1.0-1.5
37

Jika daya yang diberikan dalam daya kuda (PS), maka harus dikalikan
dengan 0.735 untuk mendapatkan daya dalam kW. Jika momen puntir (disebut
juga sebagai momen rencana) adalah T (kg.mm) maka:
𝑇 2𝜋𝑛1
( )( )
1000 60
𝑃𝑑 = … … … … … … … … … … … … … … … … … persamaan (2.8)
102

(Sularso dan Suga, 1978, hlm. 7)


Sehingga,
𝑃𝑑
T = 9.74 x 105 … … … … … … … … … … … … … … … … … … . … persamaan (2.9)
𝑛1
(Sularso dan Suga, 1978, hlm. 7)
Bila momen terencana T (kg.mm) dibebankan pada suatu diameter poros ds (mm),
maka tegangan geser τ (kg/mm2) yang terjadi adalah;
𝑇 501𝑇
τ= 3 = … … … … … … … … … … … … … … … … … . … persamaan (2.10)
𝜋𝑑𝑠 𝑑𝑠3
( 16 )

(Sularso dan Suga, 1978, hlm. 7)


Tegangan geser yang diizinkan 𝜏𝑎 (kg/mm2) untuk pemakaian umum pada
poros dapat diperoleh dengan berbagai cara. Menurut Sularso dan Suga, 1978,
hlm.7, 𝜏𝑎 dihitung atas dasar batas kelelahan puntir yang besarnya diambil 40%
dari batas keleahan tarik yang besarnyakira-kira 45% dari kekuatan tarik σB
(kg/mm2). Jadi batas kelelahan puntir adalah 18% dari kekuatan tarik σ B, sesuai
dengan standar ASME. Untuk harga 18% ini faktor keamanan diambil sebesar
1/0.18/ = 5.6. harg 5.6 ini diambilo untuk bahan SF dengan kekuatan yang
dijamin, dan 6.0 untuk bahan S-C dengan pengaruh masa, dan baja paduan. Faktor
ini dinyatakan dengan Sf1.
Selanjutnya perlu ditinjau apakah proses tersebut akan diberi alur pasak
atau dibuat bertangga, karena pengaruh konsentrasi tegangan cukup besar.
Pengaruh kekasaran permukaan juga harus diperhatikan. Untuk memasukan
pengaruh-pengaruh ini dalam perhitungan perlu diambil faktor yang dinyatakan
sebagai Sf2 dengan harga sebesar 1.33 sampai 3.0.
Dari hal-hal di atas maka besarnya 𝜏𝑎 dapat dihitung dengan
38

𝜏𝑎= 𝜎𝐵 /(S𝑓1 𝑥 S𝑓2) …………………………………………. persamaan


(2.11)
(Sularso dan Suga, 1978, hlm. 8)
Dari persamaan 2.10 diperoleh rumus untuk menghitung diameter poros
Ds (mm) sebagai:
5.1
𝑑𝑠 = [ 𝜏 𝐾𝑡 𝐶𝑏 𝑇]1/3……………………………………… persamaan (2.12)
𝑎

(Sularso dan Suga, 1978, hlm. 8)


5. Bantalan
Bantalan adalah elemen mesin yang menumpu poros berbeban, sehingga
putaran aau gerakan bolak-baliknya dapat berlangsung secara halus, aman, dan
panjang umur. Bantalan harus cukup kokoh untuk memungkinkan poros serta
elemen mesin lainnya bekerja dengan baik. Jika bantalan tidak berfungsi dengan
baik maka prestasi seluruh sistem akan menurun atau tak dapat bekerja secara
semestinya. Jadi, bantalan dalam permsinan dapat disamakan peranannya dengan
pondasi pada gedung.
Bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Atas Dasar Gerakan Bantalan terhadap Poros
1. Bantalan luncur, pada bantalan ini terjadi gesekan luncur antara poros dan
bantalan karena permukaan poros ditumpu oleh permukaan bantalan dengan
perantaraan lapisan pelumas.
2. Bantalan gelinding, pada bantakan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian
yang berputar dengan yang diam melalui elemen gelinding seperti bola
(peluru), rol atau rol jarum, dan rol bulat.
b. Atas Dasar Arah Beban Terhadap Poros
1. Bantalan radial, arah beban yang ditumpu bantalan ini adalah tegak lurus
sumbu poros.
2. Bantalan aksial, arah beban bantalan ini sejajar dengan sumbu poros.
3. Bantalan gelinding khusus, bantalan ini dapat menumpu beban yang arahnya
sejajar dan tegak lurus sumbu poros.
39

Bantalan luncur mampu menumpu poros berputaran tinggi dengan beban


besar. Bantalan ini sederhana kontruksinya dan dapat dibuat serta dipasang
dengan mudah. Karena gesekannya yang besar pada waktu mulai jalan, bantalan
luncur memerlukan momen awal yang besar. Bantalan gelinding pad umumnya
lebih cocok untuk beban kecil dari pada bantalan luncur, tergantung pada bentuk
elemen gelindingnya. Putaran pada bantalan ini dibatasi oleh gaya sentrifugal
yang timbul pada elemen gelinding tersebut.
Adapun data yang menyatakan umur dari bantalan berdasarkan
pemaiannya, yaitu:
Tabel 2.16 Umur Desain yang Disarankan untuk Bantalan
Aplikasi Umur Desain L10 (jam)
Perlatan Rumah tangga 1000-2000
Enjin Pesawat 1000-4000
Otomotif 1500-5000
Peralatan Pertanian 3000-6000
Elevator, Fan, Rodagigi Multi-fungsi 8000-15000
Motor Listrik, Blower, Mesin Industri
Umum 20000-30000
Pompa dan Kompresor 40000-60000
Perlatan Kritis yang Beroperasi terus
menerus 224 Jam 100000-200000

Anda mungkin juga menyukai