Cidera Kepla
Cidera Kepla
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Defenisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi, 2001).
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh
trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth, 2002 )
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya ( Brunner & Suddarth, 2002
).
Cedera kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak yang mampu menghasilkan perubahan
pada phisik, intelektual, emosional, sosial, dan vocational (Susan Martin, 1999)
Trauma atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan
pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat menimbulkan
perubahan – perubahan fungsi otak (black, 2005)
Menurut konsensus perdosi (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis = head
injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun
permanen
2.2 Etiologi
a. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi
Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
Etiologi lainnya:
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
2.3 Klasifikasi
a. Menurut Jenis Cedera
Cedera Kepala terbuka
Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak
Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas
b. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
Cedera kepala sedang
- GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Kejang
Cedera kepala berat
- GCS 3-8 (koma)
- Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)
- Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
- Tanda neurologist fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
c. Menurut morfologi
Fraktur tengkorak
- Kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup
- Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
- Fokal: epidural, subdural, intraserebral
- Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
d. Menurut patofisiologi
Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan
gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
- Gegar kepala ringan
- Memar otak
- Laserasi
Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
- Hipotensi sistemik
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Udema otak
- Komplikasi pernapasan
- Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
a. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak
Fraktur Basiler: Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang bagian Frontal atau
temporak
Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara CSS dan dunia luar melalui
ruang subarachnoid dan sinus yang mengandung udara dari wajah atau tengkorak,
memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus. Fraktur ini bisa melukai arteri dan vena
yang kemudian mengalirkan drahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di
dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang
beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung pada ukuran
pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Hematoma
subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24 – 48 jam setelah
cedera. Cedera ini sering berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma
epidural. Tekanan darah meningkat, frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat.
2. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural. Riwayat klinis khas
dari penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, yang diikuti penurunan kesadaran, dan perbaikan status neurologik secara
bertahap. Namun setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan penurunan status
neurologik. Tingkat kesadaran menurun bertahap, pasien tidak berespon, peningkatan TIK, lalu
terjadi herniasi unkus atau sentral. Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut
dan sub akut, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada lansia akibat atrofi otak karena
proses penuaan. Tampaknya cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup
untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negative. Waktu di antara cedera dan
awitan gejala mungkin lama, sehingga akibat actual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak
beberapa minggu setelah cedera minor. Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan
mungkin dianggap sebagai stroke.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt dilakukan melalui lubang burr ganda,
atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn tidak dapat
dilakukan melalui lubang burr.
a. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak, penyebabnya
adalah fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan gerakan aselerasi-deserasi
tiba-tiba tindakan bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias juga terjadi karena cedera
atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar
(hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau
MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejal adalam beberapa
menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan
membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada
akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak
bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan
pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan
hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
b. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan
kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan
bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak
di dalam tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi,
emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa
mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma
pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa
sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat,
apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan
terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam
beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan
dan rasa mengantuk bertambah parah, sebainya segera mencari pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan
pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan
nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari
pertama.
2.1 Patofisiologi
Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah
serebral dan menjamin aliran daerah konstan melalui pembuluh darah serebral. Faktor-faktor ini
dapat mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi serta
mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoxia, pada klien dengan
kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah serebral juga
dapat meningkatkan TIK. Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang dikeluarkan oleh
kombinas dari 3 komplemen intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan darah.
Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan volume otak
ditambah volume darah serebral dan CSS, dimana tiap perubahan volume dari tiap-tiap komponan
karena gangguan kranial dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan kemungkinan
herniasi. Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua klien dengan lesi intra kranial setelah
mengalmi cedera kepala. Pada semua klien dengan cedera kepala bera, peningkatan TIK yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kematian.
Defisit Nerurologik pada cedera kepala dimulai dengan adanya trauma pada otak yang
dapat menyebkan fragmentasi jaringan dna contusio, merusakn sawar otak, diserbtai vasodilatasi
dan eksudasi jaringan sehingga timbul edema yang dapat menyebabkan peningkatan TIK. Keadaan
ini dapat menurunkan aliran daerah serebral, iskemia, hipoksia, asidosis dan kerusakan sawar
darah otak lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan edema bertambah positif.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel
adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
WOC (Terlampir)
2.4 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal
(proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).
2. pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer Laktat: cairan isotonis
lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak
menambah edema serebri.
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa,
ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan
kadar alcohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu jika CT Scan dilakukan,
karena CT Scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien denga cedera kepala ringan,
sedang, atau berat harus dievaluasi adanya:
Hematoma epidural
Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Edema serebri
Obliterasi sisterna perimesenfalik
Pergeseran garis tengah
Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan
berikut ini:
Elevasi kepala 30°
Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
Pasang kateter Foley
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1 diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:
Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
2. Cedera kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15 dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada
pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini apakah terdapat
indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf
untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat
intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan primer akibat
cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi,
atau peningkatan TIK. Kejang umum yang terjadi setelah cedera kepala dapat menyebabkan
kerusakan otak sekunder karena hipoksia, sehingga terapi anti konvulsan dapat dimulai.
Tindakan terhadap penalaksanaan peningkatan TIK
1. Mempertahankan oksigenasi adekuat.
2. Pemberian manitol untuk menurunkan edema serebral.
3. Hiperventilasi
4. Penggunaan steroid
5. Meninggikan kepala tempat tidur
6. Kemungkinan intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.
Tindakan pendukung lain
1. Ventilasi
2. Pencegahan kejang dengan antikonvulson
3. Pemeliharaan cairan dan elektrolit
4. Keseimbangan nutrisi
5. Mempertahankan jalan nafas.
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya
berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan
jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah,
kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak
mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
2.5 Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah
otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun
kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami
cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang
memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang
mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini
seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera
pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.
Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian
lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke,
tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau
serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada
lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya,
yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah
benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut.
Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda
umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-
benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana
ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera
setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita
mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa
yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat
sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa
yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi
segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama
beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang
dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori
terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia
menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara
mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang.
Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma
Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung
lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff
juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian
sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer,
menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah
satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini
menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan
dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera
kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada
85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko
meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau
rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk
reparative.
10. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam setelah
cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya
peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak
bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi
tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial
dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral dan
menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf
oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan
pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala hebat,
Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
2.6 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding dada,
penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran
Kualitatif dengan :
- CMC
Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik terhadap orang
tempat dan waktu.
- Apatis
Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya.
- Confuse
Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
- Samnolen
Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi.
- Soporous Coma
Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia
urine, belum ada gerakan motorik sempurna.
- Koma
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.
Kuantitas dengan GCS
1. Mata (eye)
- Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri 1
- Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
- Membuka mata dengan perintah 3
- Membuka mata spontan 4
2. Motorik (M)
- Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1
- Eksistensi dengan rangsangan nyeri 2
- Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri 3
- Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4
- Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri 5
- Bergerak sesuai perintah 6
3. Verbal (V)
- Tidak ada suara 1
- Merintih 2
- Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti 3
- Dapat diajak bicara tapi kacau 4
- Dapat berbicara, orientasi baik 5
Exposure
Suhu, lokasi luka.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera: Peluru
kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah ada
penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara
forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis
sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi.
c. Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis seperti DM,
hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
Analisa Data
Data Etiologi Masalah
DO : Trauma Perfusi jaringan
- GCS klien turun, gelisah kerusakan sel darah serebral tidak
- Mual, muntah. otak efektif
- Pupil anisokor vasodilatasi
- TD meningkat pembuluh darah
- Suhu meningkat eksudasi
- Akral dingin edema serebral
- Sianosis pada kuku peningkatan TIK
DS :
- keluarga mengatakan klien selalu gelisah
dan kadang terlihat seperti mengantuk
- Keluarga mengatakan klien selalu
memuntahkan apa yang dimakannya
DS : Kerusakan neuro Bersihan jalan
- keluarga mengatakan klien terlihat sesak muscular nafas tidak
napas Adanya sekresi efektif
- keluarga mengatakan bunyi napas klien
terdengar ngorok
DO :
- Terdapat banyak sekret pada jalan nafas
- Bunyi napas ngorok
- Frek nafas : > 40-50 X/mnt
- Suhu meningkat
- Klien ditinggikan kepala dan diekstensikan
kepalanya
- Nafas tidak teratur.
Penurunan kapasitas vital Penarikan dada tidak ada pemberian oksigen untuk
BAB III
KASUS
bisa mengingat kejadian Konsentrasi Memeriksa alat pergantian oksigen
kecelakaan Orientasi untuk menjamin konsentrasi
Menunjukkan
memori Menjamin penggantian penutupan
Menunjukkan
memori Memantau kemampuan pasien
Memantau Neurologik
Aktivitas:
Pantau ukuran pupil, ketajaman,
simetri dan reaksifitas
Pantau tingkat kesadaran
Pantau tingkat dari orientasi
Pantau kecenderungan dari
glascoucoma scale
Pantau ingatan yang muncul dari
ingatan masa lampau, perasaan
sakit, dan tingkah laku
Pantau tanda-tanda vital
:temperatur tekanan darah, nadi dan
pernafasan
Pantau status pernafasan tingkat
ABG, osimetri nadi, ukuran,
pola,dasar, dan usaha
Pantau parameter hemodinamik
infasif jika perlu
Pantau ICP dan CPP
Pantau reflek kornea
Pantau aliran udara
Catat keluhan sakit kepala
Pantau karakteristik bicara:fluensi,
kehadiran aphasis atau kesulitan
mengemukakan kata
Pantau respon:verbal, tactili, dan
axious
Meningkatkan pemantauan
frekuensi neurologic
Menghindari aktifitas yang
meningkatkan tekanan intracranial
Gambar :
WOC kasus
Kecelakaan luka
di ekstremitas
MK: resiko infeksi
Cidera kepala
Ekstra kranial
Iskemia
hipoksia
O2 ke otak
MK: perfusi jaringan serebral tidak efektif
kesadaran
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada teoritis, menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale), klien termasuk
dalam Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah), yaitu:
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
Pada kasus, tanda dan gejala yang ditemukan pada klien yaitu:
- GCS klien 14
- Kehilangan kesadaran saat dibawa ke RS
- Adanya penurunan kesadaran selama <30 menit
- Klien tidak mampu mengingat kejadian kecelakaan
- Tidak ada hematom
- Klien tidak megeluh nyeri kepala dan pusing
- Tidak ada tampak tanda abrasi, laserasi, atau hematoma pada kulit kepala
Kerusakan Pada Bagian Otak
kemungkinan klien menderita kerusakan pada lobus temporalis yaitu lobus yang mengolah
kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali
serta menghasilkan jalur emosional. Hal ini terlihat dari klien yang tidak mampu mengingat
kembali kejadian kecelakaan.
Selain itu, klien juga mengalami penurunan kesadaran dan mengalami disorientasi saat
dibawa ke RS. Namun tidak ada ditemukan luka, bengkak, maupun tanda-tanda cidera pada kulit
kepala klien. Kemungkinan klien ada memar / laserasi cerebral (komosio) di otaknya. Komosio
cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan
struktur. Umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam beberapa detik sampai
beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku
irasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau
disorientasi. Komosio cerebral ini merupakan memar pada permukaan otak yang terdiri dari area
hemoragi kecil-kecil yang tersebar, gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari
setelah cedera dan menimbulkan disfungsi luas akibat dari peningkatan edema serebral. Pada scan
tomografi terlihat masa dan menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.
Seperti yang kita ketahui, gangguan otak bisa terjadi disertai dengan adanya penurunan
kesadaran, fraktur tengkorak, atau bengkak pada kulit kepala. Akan tetapi, tidak jarang, bisa juga
terjadi tanpa kelainan fisik yang tampak dari luar. Ada tidaknya kelainan otak ini harus dipastikan.
Adapun pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk memeriksa kelainan otak adalah
CT scan. Berbeda dengan foto rontgen biasa, pemeriksaan yang juga menggunakan sinar-X ini
bertujuan melihat bagian otak secara melintang. Dari hasil pemeriksaan CT scan, bisa didapatkan
informasi tentang bagaimana keadaan otak. Hasil fotonya bisa menggambarkan apakah ada
hematoma (perdarahan), udema (bengkak) otak, ataupun kontusio (memar) otak. Khusus untuk
hematoma, pada tingkat tertentu, biasanya akan dilakukan operasi untuk mengeluarkan darah
hematom yang tertimbun.
4.2 Perencanaan
Semua perencanaan keperawatan yang dituangkan pada kasus mengacu ke teoritis. Setiap tindakan
yang dilakukan berdasarkan rencana tindakan keperawatan.
Pada teoritis, diagnosa keperawatan yang dapat muncul adalah:
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
3. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial
4. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
5. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
6. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
7. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
8. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, mual,
muntah.
4.3 Implementasi
Implementasi keperawatan yang dilaksanakan dari tanggal 4 April 2012 sesuai dengan rencana
tindakan keperawatan, yaitu:
Diagnosa primer
Diagnosa Waktu Implementasi
Keperawatan
Perfusi jaringan 19.30 WIB- Memberikan oksigen nasal kanul 3L/menit
serebral tidak - Mengukur tanda-tanda vital (TD, nadi, pernapasan,
efektif b.d 19.55 WIB suhu)
edema serebral - Mengontrol aliran oksigen
20.10 WIB- Memantau tingkat kesadaran
- Memantau tanda-tanda vital
Diagnosa sekunder
Resioko infeksi 19.30 WIB- Menggunakan handscon steril
b.d trauma - Membersihkan luka
jaringan 19.55 WIB- Melakukan perawatan luka lecet
- Memberi salep dan betadin
20.10 WIB- Membersihkan daerah sekeliling dan perawatan
perawatan luka setelah selesai melakukan perawatan
luka
- Memberikan injeksi skin test
- Memberikan injeksi ATS 1500 Iu
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya
bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis
kelainan yang terjadi.
Manifestasi Klinis yang ditemukan adalah gangguan kesadaran, konfusi, perubahan TTV,
sakit kepala, vertigo, kejang, pucat, mual dan muntah, pusing kepala, terdapat hematoma, dan lain-
lain.
Berdasarkan kajian teoritis yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat ditegakkan
diagnosa keperawatan pada klien dengan cedera kepala, sebagai berikut:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
2. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
4. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
Dianosa tersebut tidak selalu semuanya dapat ditegakkan, hal ini sesuai dengan kondisi klien saat
itu.
5.2 Saran
Penanganan pada klien dengan cedera kepala sangat ditekankan agar tidak terjadi kerusakan
otak sekunder. Dalam hal ini perawat harus bertindak dengan cepat dan tepat sesuai dengan standar
asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Balas
2.
Balas
3.
mantap... trimakasih !
Balas
‹
›
Beranda
Lihat versi web
Seuntai Kisah
Cicilia Uzumaki
Just be MySelf....!!!!!!
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.