Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CKR

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing :

1. Ns. Chrisyen Damanik S.Kep., M.Kep.


2. Ns. Kiki Hardiansyah, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB

Disusun Oleh :

ASIH WULANDARI S.KEP

P170669

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA SAMARINDA

KALIMANTAN TIMUR

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia, sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya dibidang
tansportasi, dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk ikut meningkat. Namun akibat kemajuan
ini juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya angka kecelakaan yang menyebabkan timbulnya
cedera kepala (Depkes RI, 2007).

Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara

berkembang. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 kecelakaan lalu lintas

merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta

manusia setiap tahun (Depkes RI, 2007).

Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan berbagai trauma. Trauma yang paling banyak terjadi pada
saat kecelakaan lalu lintas adalah trauma kepala. Trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan

penyebab utama disabilitas dan mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada
pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan yang tidak memenuhi standar

(Depkes RI, 2009).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, Case Fatality Rate (CFR) trauma akibat

kecelakaan lalu lintas tertinggi dijumpai di beberapa

negara Amerika Latin (41,7%), Korea Selatan (21,9%), dan Thailand (21,0%). Menurut Gillian yang dikutip

oleh Basuki (2003) di Amerika Serikat terdapat 500.000 kasus cedera kepala setiap tahunnya, kurang lebih
18- 30% meninggal dalam 4 jam pertama sebelum sampai ke rumah sakit (Basuki, 2003).

Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala

merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala

aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma kepala
yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka

kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan

kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2007).


Akibat cedera kepala bagi pasien dan keluarga sangat mempengaruhi perubahan fisik dan psikologis.
Untuk itu diperlukan penanganan yang serius dalam memberikan Asuhan Keperawatan. Peran perawat

memegang peranan penting terutama dalam mencegah komplikasi seperti kemunduran pada kondisi
pasien karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progressif dan herniasi otak. Edema
serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang
mendapat cedera kepala. Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat mencium bau-

bauan, abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan epilepsi) (Brunner & Suddarth, 2002).

2
Dalam memberikan pelayanan, keperawatan sebagai subsistem pelayanan kesehatan bekerja sama

dengan pelayanan medis yaitu dokter. Untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk memenuhi kebutuhan
pasien perlu adanya peran kolaborasi antara perawat dan dokter serta dengan tim kesehatan lainnya
seperti analis, gizi dan profesi kesehatan lainnya. Pasien sebagai fokus keperawatan mempunyai

kebutuhan bio, psikososial dan spiritual, sehingga diperlukan pendekatan yang kompeherensif, dimana
manusia dilihat sebagai sistem terbuka yang terdiri dari komponen keluarga, masyarakat dan sosio budaya
sebagai suprasistem dan sistem organ sebagai subsistem.
Keperawatan sebagai praktik profesional diharapkan mampu mengimbangi pengetahuan anggota tim

kesehatan lainnya dalam memberikan perawatan pasien dengan trauma kepala, sehingga dapat mencapai

tujuan bersama yaitu memenuhi kebutuhan pasien melalui pendekatan holistik.

B. Tujuan

Tujuan dalam penulisan ini adalah :


1. Mengetahui dan memehami tentang penyakit cedera kepala ringan dan penatalaksanaannya

2. Mengetahui dan memahami masalah keperawatan yang muncul pada kasus cedera kepala ringan
3. Menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan cedera kepala ringan

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal
dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu kerusakan

pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh

serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Cedera kepala adalah cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan otak akibat perdarahan

dan pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan penyebab peningkatan tekanan intra
kranial (TIK) (Brunner & Suddarth, 2002).

Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 14-15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer,

2000).

Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran tanpa

menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001).

Epidural hematom adalah adanya pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan

duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi

dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.

2. Anatomi Fisiologi

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut,kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali terkena

cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera

kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat

langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi sekuder akibat cedera. Efek-efek ini harus dihindari
dan ditemukan secepatnya oleh tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan
gangguan mental dan fisik, bahkan kematian.

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat
digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan
galea terdapat suatau lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembuluh-
pembuluh besar. Bila robek, pembuluh – pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat

menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala. Tepat di bawah galea

4
terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh – pembuluh

ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas
memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila
galea terkoyak.

Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna. Struktur demikian memungkinkan kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang

lebih ringan. Tabula interna mengandung alur – alur yang berisi arteria meningea anterio, media dan

posterior. Apabila fraktur tulang tengkorang menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteria – arteria

ini, perdarahan arteria yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat

menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila segera ditemukan dan di obati. Ini merupakan salah satu

kedaruratan bedah saraf yang memerlukan pembedahan segera.


Meninges melindungi otak dan memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan meninges

adalah dura mater, araknoid, dan pia mater. Masing – masing mempunyai fungsi tersendiri dan
strukturnya berbeda dari struktur lainnya.

Gambar 2.2 Selaput Otak

Dura adalah membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk

melindungi otak, menutupi sinus – sinus vena (ysng terdiriatas dura mater dan lapisan endotelial saja

tanpa jaringan vaskuler) dan membentuk periouteum tabula interna. Bila dura robek dan tidak
diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan menimbulkan berbagai masalah, fungsi

terpenting dura kemungkinkan adalah sebagai pelindung. Dapat terjadi perluasan fraktur dan
bukannya penyembuhan, dan dapat terjadi kebocoran kronik CSF yang dapat menimbulkan sikatriks
meningo serebral, menyebabkan epilepsi fokal. Namun pada beberapa keadaan dura sengaja

dibiarkan terbuka. Situasi – situasi ini mencakup edema otak (untuk mengurangi tekanan bagi otak

5
yang menonjol), drainase CSF, atau setelah tindakan trepanasi eksplorasi (untuk memeriksa dan

mengosongkan bekuan darah).


Dura memiliki banyak suplai darah. Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea
media yang bercabang dari arteria vertebralis dan karotis interna. Pembuluh darah anterior dan

etmoidalis juga merupakan cabang dari arteri karotis interna dan menyuplai fosa anterior. Arteria
meningea posterior yaitu cabang dari arteria oksipitalis, menyuplai darah ke fosa posterior.
Didekat dura (tetapi tidak menempel pada dura) terdapat membran fibrosa halus dan elastis
yang dikenal dengan sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura mater. Namun demikian,

ruangan antara kedua membran tersebut ruang subdural merupakan ruangan yang potensial.

Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan bebas, dan hanya

terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena – vena otak yang melewati ruangan ini hanya

mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek

pada trauma kepala (otak).


Di antara araknoid dan pia mater (yang terletak langsung dibawah araknoid) terdapat ruang

su araknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi
CSF. Pada sinus sagitalis superior dan transversal, araknoid membentuk tonjolan vilus (badan

pacchioni) yang bertindak sebagai lintasan untuk menosongkan CSF kedapal sistem vena.

Pia mater adalah membran harus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus yang

merupakan satu – satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus

semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus

disisi media hemisfer otak, pia mater membentur sawar antara ventrikel otak dan sulkus atau fisura.
Sar ini merupakan struktur penyokong dari fleksus coroideus setiap ventrikel.

Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui dua cara : efek segera

darji trauma pada fungsi otak , efek lanjutan dari respon sel – sel otak terhadap trauma.

Kerusakan neurologi segera disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang
menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh kekuatan atau energi yang diteruskan ke

otak,dan oleh efek akselerasi – deselerasi pada otak, yang terbatas dalam kompartemen yang kaku.

Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal – hal ini bergantung pada kekuatan yang

menimpa makin besar kekuatan, makin parah kerusakan. Terdapat dua macam kekuatan yang
digunakan melalui dua cara yang mengakibatkan dua efek berbeda. Pertama, cedera setempat yang
disebabkan oleh benda tajam berkecepatan rendah dan sedikit tenaga. Kerusakan fungsi neurologik

terjadi pada tempat tertentu dan disebabkan oleh benda atau fragmen – fragmen tulang yang
menembus dura pada tempat serangan. Kedua, cedera menyeluruh, yang lebih lazim dijumpai pada
trauma tumpul kepala dan terjadi setelah kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi waktu energi atau
kekuatan di teruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit

kepala, dan tengkorak.; tetapi pada trauma hebat, penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak.

6
Sisa energi di teruskan ke otak, menyebabkan kerusakan dan gangguan di sepanjang jalan yang di

lewati karena sasaran kekuatan itu adalah jaringan lunak. Bila kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar (seperti pada kecelakaan mobil ), kerusakan tidak hanya terjadi akibat cedera
setempat pada jaringan saja tetapi juga akibat akselerasi dan deselerasi. Kekuatan akselerasi dan

deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam tengkorak yang keras sehingga memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini juga
disebut cedera contrecoup. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa bagian
dalam rongga tengkorak yang kasar, dan bila otak bergerak melewati daerah ini (misal,

kristasvenoidalis), bagian ini akan merobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan di perhebat bila trauma

juga menhyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita

cedera terberat adalah bagian anterior lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus oksipital,

dan bagian atas mensefalon.

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari

beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya

kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya secara berlebihan

glutamin, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, efek kerusakan akibat radikal bebas, dan perubahan

pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan

pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel – sel fungsional dalam otak bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera

metabolik apabila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk

mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu

dalam otak.
3. Etiologi

Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh

benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan

ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak.


Macam-macam pendarahan pada otak
a. Intraserebral hematoma (ICH)

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat
sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan
adanya daerah hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm,

perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut dapat

7
menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang dilakukan biaSanya adalah evakuasi

hematoma disertai dekompresi dari tulang kepala.


b. Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan jaringan otak, dapat

terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh darah vena/jematan vena yang biasanya
terdapat diantara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural
hematoma adalah hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis.

Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi

subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut

terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan subdural hematoma kronis jika peardarahan terjadi lebih dari

3 minggu.

Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yanag paling sering berupa hemiparere/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan

didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi, menurut
Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari

1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah

evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi biasanya tulang

tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari

GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan

otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah
GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin jelek prognosisnya.

Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya. Gejala dari subdural hematoma meliputi

keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat),

kejang, dan edema pupil.


c. Epidural hematoma (EDH)

Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang, biasanya

sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media(paling sering), vena diploica

(oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis.
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan
antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yanag dapat berupa

hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan
jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala
letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral
dengan lokasi EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi

pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari

8
prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka semakin baik prognosisnya klien EDH (karena

otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan
menetap tidak hilang pemberian analgetik. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area
hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya

lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari
5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikemangkan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanaya edema
serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika saat operasi didapatkan dura mater yang

tegang dan dapat disimpan subgalea.

4. Klasifikasi Cedera

a. Berdasarkan patologi :

1) Cedera kepala primer merupakan akibat cedera awal.cedera awal menyebabkan gangguan

integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
2) Cedera kepala sekunder cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak

lebih lanjut yang terjadi setelah trauma ssehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali,
meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral, hipotensi

sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.

b. Menurut jenis cedera

1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tenggkorak dan laserasi duameter.

Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak

2) Cedera kepala tertutup: dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak ringan dengan
cedera srebral yang luas.

c. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (glascow coma scale)

1) Cedera kepala ringan / minor

a) GCS 14-15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit

c) Tidak ada fraktur tengkorak-tidak ada kontusia serabral, hemmatoma

2) Cedera kepala sedang

a) GCS 9-13
b) Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 m tetapi kurang dari 24 jam
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak

d) Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial

3) Cedera kepala barat


a) GCS 3-8

b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam

9
c) Juga meliputi kontusa serebral, laserasi atau hematoma intra kranial

5. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan di dalam sel – sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak memliki

cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak,
tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25
% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan

terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi serebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui

proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,

hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal

ini menyebabkan timbulnya metabolik asidosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF)
adalah 50 – 60 ml/ menit/ 100 gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari curah jantung (CO).

Edema otak disebabkan karena adanya penumpukan cairan pada jaringan otak. Pada klien
dengan cedera akibat kontusio cerebri, pembuluh kapiler sobek, cairan traumatik mengandung

protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami

edema otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan

menimbulkan kematian jaringan otak, edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan

intra kranial yang menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.

Dampak cedera kepala terhadap berbagai sistem tubuh antara lain:


a. Faktor Pernafasan

Hipertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokontriksi paru, hypertensi

paru, dan edema paru. Hal ini menyebabkan hyperkapnea dan brochokonstriksi. Sensitifitas yang

meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hypertensi
akan menyebabkan pernafasan cheynestoke.

b. Faktor Kardiovaskuler

Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atypical

myocardial, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel/
perubahan gelobang T, gelombang P tinggi dan dysrithmia, vibrilasi atrium dan ventrikel
tachycardia. Perubahan aktivitas myocardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan

menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis
maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya
penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi edema paru.
c. Faktor Gastrointestinal

10
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi

setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypotalamus dan
stimulus fagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidicum. Hypotalamus merangsang
anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam

mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani edema cerebral. Hyperacidicum terjadi karena


adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi
produksi asam lambung.
d. Faktor Metabolisme

Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh

lainnya, yaitu kecenderungan retensi sodium/ natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.

Cedera → Pelepasan ADH → Reterensi Cairan

1) Urine Output sedikit

2) Meningkatnya kosentrasi elektrolit


Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang

dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses
hemodinamik ginjal untuk menatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal

ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi Na+. pada pasca cedera

terjadi hyponatremia.

Hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera,

karena dengan adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh

sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai
sumber nitrogen utama demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi

sekresi kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi

asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa.

6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien dengan cedera kepala antara lain :

a. Nyeri kepala

b. Mual, muntah

c. Keluar liquor dari telinga


d. Keluar darah dari hidung
e. Kesadaran menurun

f. Pingsan

7. Pathway

11
8. Pemeriksaan Penunjang

a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak

b. MRI

Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif

c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre menjadi edema,

perdarahan, dan trauma.


d. Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis

e. Sinar X

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema)

fragmen tulang
f. BAER

Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil


g. PET

Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak


h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid

i. Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial

j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
k. Rontgen thorax 2 arah (PA/AP dan lateral)

12
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.

l. Analisa gas darah (A’GD/astrup)


Analisa gas darah (A’GD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan status status
respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status

oksigenisasi dan status asam basa


9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak
sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau

oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga

direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000).

Penatalaksanaan umum adalah :

a. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi

b. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma


c. Berikan oksigenasi

d. Awasi tekanan darah


e. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik

f. Atasi shock

g. Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:

a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringannya trauma.

b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.

c. Pemberian analgetika

d. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau
gliserol 10 %.

e. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).

f. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-

apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak. Pada trauma berat, hari-hari pertama
(2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8

jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,
makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.

Tindakan terhadap peningkatan TIK yaitu:

a. Pemantauan TIK dengan ketat

13
b. Oksigenisasi adekuat

c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peningkatan kepala tempat tidur

f. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain yaitu:


a. Dukungan ventilasi

b. Pencegahan kejang

c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi

d. Terapi anti konvulsan

e. Klorpromazin untuk menenangkan klien

f. Pemasangan selang nasogastrik (Mansjoer, dkk, 2000).


10. Tindakan Pencegahan

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu

lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur

lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk

mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian

pertolongan pertama, yaitu :

1) Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).


Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada

kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi

prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena

masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat
baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko

tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan
jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.

2) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)

14
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah

membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu


pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3) Menghentikan perdarahan (Circulations).

Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok,
dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian
transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,

penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk

mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk

meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan


psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

1) Rehabilitasi Fisik

a) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah

tubuh.

b) Perlengkapan splint dan kaliper

c) Transplantasi tendon
2) Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan

memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas

kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang
semuanya memerlukan semangat hidup.

3) Rehabilitasi Sosial

a) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling

sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan
terhadap bantuan orang lain.
b) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

15
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Klien dengan Cidera Kepala Ringan

Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek
pemeliharaan, rehabilitatif dan preventif keperawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi
keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan masalah yang “menggabungkan elemen yang

paling diinginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori dengan
menggunakan metode ilmiah”. (Doenges : 2000).
Menurut Doenges (2000: 6) proses keperawatan, digabungkan semua keterampilan pemikiran
kritis, membuat metode pemecahan masalah aktif yang dinamik dan bersiklus.

1. Pengkajian

Adapun pengkajian pada klien dengan trauma kepala (Doenges :2000) adalah :

a. Aktivitas / Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Keterbatasan yang ditimbulkan oleh kondisinya.


Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, masalah dalam keseimbangan cedera atau

trauma orthopedi kehilangan tonus otot .


b. Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)

Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia dan diselingi disritmia)

c. Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, agitasi, bingung, delirium


d. Makanan/ Cairan

Gejala : Mual, muntah, mengalami kehilangan selera

Tanda : Muntah (mungkin proyektil)

Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).


e. Neurosensori

Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian vertigo, kehilangan

pendengaran, baal pada ekstrimitas. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajaman, diplopia,

Kehilangan sebagian lapang pandang.Gangguan pengecapan dan juga penciuman.


Tanda : Kehilangan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
perhatian, konsentrasi, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon

terhadap cahaya), ketidak mampuan mengikuti.Kehilangan penginderaan, seperti pengecapan,


penciuman dan pendengaran.Wajah tidak simetris.Genggaman lemah, tidak seimbang. Sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh. Kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.

f. Nyeri/ Kenyamanan

16
Gejala : Sakit kepala dengan intesitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
g. Pernapasan

Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi, stridor,
tersedak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
h. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi.

Gangguan penglihatan

2. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik


c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma

d. Deficit perawatan diri (mandi, berpakaian, toileting) berhubungan dengan kelemahan

No. NANDA NOC NIC


1. Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan : Serebral Monitor Tekanan Intra Kranial
Perfusi Jaringan Otak - Tekanan darah sistolik - Catat perubahan respon klien
Faktor Risiko : 1,2,3,4,5 terhadap stimulus /
- Trauma - Tekanan darah sistolik rangsangan
1,2,3,4,5 - Monitor TIK klien dan respon
- Tekanan intrakranial neurologis terhadap aktivitas
1,2,3,4,5 - Monitor intake dan output
(1-5 : deviasi berat dari - Pasang restrain, jika perlu
kisaran normal, deviasi cukup - Monitor suhu dan angka
besar, deviasi sedang, deviasi leukosit
ringan, tidak ada deviasi) - Kaji adanya kaku kuduk
- Sakit kepala - Kelola pemberian antibiotik
- Kelesuan - Berikan posisi dengan kepala
- Muntah elevasi 30-40O dengan leher
- Demam dalam posisi netral
(1-5 : berat, besar, sedang, - Minimalkan stimulus dari
ringan, tidak ada) lingkungan
- Beri jarak antar tindakan
keperawatan untuk
meminimalkan peningkatan
TIK
- Kelola obat obat untuk
mempertahankan TIK dalam
batas spesifik

17
Monitoring Neurologis (2620)
- Monitor ukuran, kesimetrisan,
reaksi dan bentuk pupil
- Monitor tingkat kesadaran
klien
- Monitor tanda-tanda vital
- Monitor keluhan nyeri kepala,
mual, dan muntah
- Monitor respon klien terhadap
pengobatan
- Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
- Observasi kondisi fisik klien

Terapi Oksigen (3320)


- Bersihkan jalan nafas dari
secret
- Pertahankan jalan nafas tetap
efektif
- Berikan oksigen sesuai
instruksi
- Monitor aliran oksigen, kanul
oksigen, dan humidifier
- Beri penjelasan kepada klien
tentang pentingnya pemberian
oksigen
- Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
- Monitor respon klien terhadap
pemberian oksigen
- Anjurkan klien untuk tetap
memakai oksigen selama
aktivitas dan tidur
2. Nyeri akut Kontrol Nyeri (1605) Manajemen nyeri
Domain 12
Nyeri terkontrol selama ...  Lakukan pengkajian nyeri
(kenyamanan)
jam, dengan kriteria hasil secara komprehensif termasuk
Kelas 1 (kenyamanan
 Mengenal faktor-faktor lokasi, karakteristik,
fisik)
penyebab onset/durasi, frekuensi,
(1, 2,3,4,5) kualitas, intensitas dan faktor
Batasan karakteristik:
 Mengenal onset nyeri pencetus
 Perubahan selera
(1,2,3,4,5)  monitor respon
makan
 Tindakan pertolongan ketidaknyamanan secara verbal
 Perubahan dalam
non farmakologi dan non verbal.
parameter fisiologik
(1,2,3,4,5)  Pastikan pasien menerima
( mis: TD, nadi,
perawatan analgetik dengan
tepat.

18
pernapasan, saturasi  Menggunakan analgetik  Gunakan strategi komunikasi
O2) yang direkomendasikan yang efektif untuk mengetahui
 Bukti nyeri (1,2,3,4,5) respon penerimaan pasien
menggunakan  Melaporkan gejala-gejala terhadap nyeri.
standar checklist nyeri kepada tim  Evaluasi keefektifan
perilaku nyeri untuk kesehatan (1,2,3,4,5) penggunaan kontrol nyeri
mereka yang tidak  Nyeri terkontrol (1,2,3,4,5)  Monitoring perubahan nyeri
mampu baik aktual maupun potensial.
berkomunikasi Indikator skala:  Sediakan lingkungan yang
secara verbal nyaman.
1. tidak pernah
 Mengekpresikan  Kurangi faktor-faktor yang
menunjukkan
perilaku (mis: dapat menambah ungkapan
2. jarang menunjukkan
gelisah, menangis, nyeri.
3. kadang-kadang
waspada)  Ajarkan penggunaan tehnik
menunjukkan
 Ekspresi wajah relaksasi sebelum atau sesudah
4. sering menunjukkan
terhadap nyeri (mis: nyeri berlangsung .
5. secara konsisten
mata kurang  Kolaborasi dengan tim
menunjukkan
bercahaya, tampak kesehatan lain untuk memilih
kacau, gerakan mata tindakan selain obat untuk
Tingkat nyeri
berpencar atau meringankan nyeri.
 Melaporkan nyeri
menetap pada satu  Tingkatkan istirahat yang
(1,2,3,4,5)
fokus) adekuat untuk meringankan
 Frekuensi nyeri (1,2,3,4,5)
 Sikap melindungi nyeri.
 Lamanya episode nyeri
 Fokus menyempit Manajemen pengobatan
(1,2,3,4,5)
(mis:persepsi waktu,
 Ekspresi nyeri; wajah  Tentukan obat yang
proses berpikir
(1,2,3,4,5) dibutuhkan pasien dan cara
terhambat)
 Perubahan respirasi rate mengelola sesuai dengan
 Sikap melindungi
(1,2,3,4,5) anjuran/ dosis.
area nyeri
 Perubahan tekanan darah  Monitor efek teraupetik dari
 Posisi untuk
(1,2,3,4,5) pengobatan.
menghindari nyeri
 Kehilangan nafsu makan  Monitor tanda dan gejala serta
 Perilaku melindungi
(1,2,3,4,5) efek samping dari obat.
 Melaporkan perilaku
 Monitor interaksi obat.
nyeri
Indikator skala :  Ajarkan pada pasien keluarga
 Fokus diri sendiri
1. Berat cara mengatasi efek samping
2. Cukup berat pengobatan.
Faktor yang
3. Sedang  Pengelolaan analgetik
berhubungan:
4. Ringan  Periksa perintah medis tentang
 Agen cedera biologi 5. Tidak ada obat, dosis & frekuensi obat
(mis: infeksi, analgetik.
ischemic,  Periksa riwayat alergi pasien.
neoplasma)  Pilih obat berdasarkan tipe dan
 Agen cedera fisik ( beratnya nyeri.
mis: abses,  Pilih cara pemberian IV atau IM
amputasi, luka untuk pengobatan, jika
bakar, terpotong, mungkin.

19
prosedur operasi,  Monitor vital sign sebelum dan
trauma, latihan sesudah pemberian analgetik.
berlebih)  Kelola jadwal pemberian
analgetik yang sesuai.
 Evaluasi efektifitas dosis
analgetik, observasi tanda dan
gejala efek samping, misal
depresi pernafasan, mual &
muntah, mulut kering, &
konstipasi.
 Kolaborasi dgn dokter untuk
obat, dosis & cara pemberian
yg diindikasikan.
 Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan sebelum
pengobatan.
 Berikan obat dengan prinsip 5
benar

Pemberian Analgesik

 Tentukan lokasi, karakteristik,


kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan
atau kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih dari
satu
 Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
 Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
 Pilih rute pemberian secara IV,
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat

20
 Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala (efek samping
3 Kerusakan integritas Integritas Jaringan Kulit dan Perawatan luka dan pertahanan
kulit membran mukosa kulit
Domain 11 : Keamanan Indikator : 1. Observasi lokasi terjadinya
/ Perlindungan  Suhu kulit 1,2,3,4,5 kerusakan integritas kulit
 Sensasi 1,2,3,4,5 2. Kaji faktor resiko kerusakan
Kelas 2 : Cedera fisik
 Elastisitas 1,2,3,4,5 integritas kulit

Batasan karakteristik :  Perfusi jaringan 1,2,3,4,5 3. Lakukan perawatan luka


 Integritas kulit 1,2,3,4,5 4. Monitor status nutrisi
- Gangguan pada Keterangan : 5. Atur posisi klien tiap 1 jam
bagian tubuh 1. Sangat terganggu Sekali
- Kerusakan lapisa 2. Banyak terganggu 6. Pertahankan kebersihan alat
kulit (dermis) 3. Cukup terganggu Tenun
- Gangguan 4. Sedikit terganggu
permukaan kulit 5. Tidak terganggu
(epidermis) Manajemen tekanan

Faktor yang  Lesi pada kulit 1,2,3,4,5  Anjurkan pasien untuk


berhubungan :  Lesi mukosa membran menggunakan pakaian yang
1,2,3,4,5 longgar
Eksternal :
 Pengelupasan kulit  Monitor kulit akan adanya
- Faktor mekanik 1,2,3,4,5 kemerahan
(misalnya : alat  Eritema 1,2,3,4,5  Monitor aktivitas dan
yang dapat  Abrasi kornea 1,2,3,4,5 mobilisasi pasien
menimbulkan Keterangan :  Monitor status nutrisi pasien
luka, tekanan,
1. Berat
restraint)
2. Cukup berat
- Immobilitas fisik
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
4 Kurang perawatan diri Perawatan diri : aktifitas Bantuan perawatan diri
(mandi 00108, kehidupan sehari-hari  Monitor kemampuan klien
berpakaian 00109, untuk perawatan diri yang
 Makan (1,2,3,4,5)
makan 00102, toileting mandiri.
 Berpakaian (1,2,3,4,5)
00110)  Monitor kebutuhan klien
 Toileting (1,2,3,4,5)
untuk alat-alat bantu untuk
Domain 4 : Aktivitas /  Mandi (1,2,3,4,5)
kebersihan diri, berpakaian,
Istirahat  Oral hygiene (1,2,3,4,5)
berhias, toileting dan makan.

Kelas 5 : Perawatan diri  Sediakan bantuan sampai


Indikator skala : klien mampu secara utuh
Definisi : untuk melakukan self-care.
1. Sangat terganggu  Dorong klien untuk
Gangguan
2. Banyak terganggu melakukan aktivitas sehari-
kemampuan untuk
3. Cukup terganggu hari yang normal sesuai
melakukan ADL pada
4. Sedikit terganggu kemampuan yang dimiliki.
5. Tidak terganggu

21
diri mandi, berpakaian,  Dorong untuk melakukan
makan, toileting. secara mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien tidak
Batasan karakteristik :
mampu melakukannya.
ketidakmampuan
 Ajarkan klien/ keluarga untuk
untuk mandi,
mendorong kemandirian,
ketidakmampuan
untuk memberikan bantuan
untuk berpakaian,
hanya jika pasien tidak
ketidakmampuan
mampu untuk melakukannya.
untuk makan,
 Berikan aktivitas rutin sehari-
ketidakmampuan
hari sesuai kemampuan.
untuk toileting
Pertimbangkan usia klien jika

Faktor yang mendorong pelaksanaan aktivitas

berhubungan : sehari-hari.

kelemahan, kerusakan
kognitif atau
perceptual, kerusakan
neuromuskular/ otot-
otot saraf
5. Resiko Cedera (00035) Keparahan cedera fisik (1913) Pencegahan jatuh (6490)
Domain 11 (keamanan  Identifikasi kekurangan baik
/ perlindungan)  Lecet pada kulit (1,2,3,4,5) kognitif atau fisik dari pasien
 Memar (1,2,3,4,5) yang mungkin meningkatkan
Kelas 2 (Cedera fisik)
 Luka gores (1,2,3,4,5) potensial jatuh pada

Faktor resiko:  Ekstremitas keseleo lingkungan tertentu

Eksternal (1,2,3,4,5)  Identifikasi perilaku dan faktor

 Gangguan fungsi  Perdarahan (1,2,3,4,5) yang mempengaruhi risiko

psikomotor  Gangguan mobilitas jatuh

 Hambatan fisik (1,2,3,4,5)  Kaji ulang riwayat jatuh

Internal  Cedera kepala tertutup bersama dengan pasien dan

 Disfungsi integrasi (1,2,3,4,5) keluarga

sensori  Monitor gaya berjalan

 Gangguan terutama kecepatan,


Indikator skala :
mekanisme keseimbangan dan tingkat
pertahanan primer 1. Berat kelelahan dengan ambulasi

 Gangguan 2. Cukup berat  Sarankan perubahan gaya

orientasi afektif 3. Sedang berjalan terutma kecepatan

 Gangguan sensasi 4. Ringan pada pasien


5. Tidak ada  Ajarkan pasien unuk
beradaptasi dengan gaya
berjalan
 Sediakan alat bantu berjalan
 Dukung pasien untuk
menggunakan alat bantu
dengan tepat

22
 Ajarkan pasien bagaimana jika
jatuh, untuk meminimalkan
cedera
6. Resiko infeksi (00004) Kontrol resiko Kontrol Infeksi
 Mengidentifikasi faktor  Bersihkan lingkungan setelah
Domain 11 (keamanan
risiko infeksi 1,2,3,4,5 dipakai pasien lain
/ perlindungan)
 Mengetahui perilaku yang  Pertahankan teknik isolasi

Kelas 1 (infeksi) berhubungan dengan  Batasi pengunjung bila perlu


risiko infeksi 1,2,3,4,5  Instruksikan pada pengunjung
 Mengidentifikasi tanda untuk mencuci tangan saat
dan gejala infeksi 1,2,3,4,5 berkunjung dan setelah
Definisi : Peningkatan
 Mempertahankan berkunjung meninggalkan
resiko masuknya
lingkungan yang bersih pasien
organisme patogen
1,2,3,4,5  Gunakan sabun antimikrobia
 Mencuci tangan 1,2,3,4,5 untuk cuci tangan
 Cuci tangan setiap sebelum
Faktor-faktor resiko : Indikator skala: dan sesudah tindakan
kperawtan
 Prosedur Infasif 1. Tidak pernah
 Gunakan baju, sarung tangan
 Trauma menunjukkan
sebagai alat pelindung
 Kerusakan jaringan 2. Jarang menunjukkan
 Pertahankan lingkungan
dan peningkatan 3. Kadang-kadang
aseptik selama pemasangan
paparan menunjukkan
alat
lingkungan 4. Sering menunjukkan
 Ganti letak IV perifer dan line
5. Secara konsisten
central dan dressing sesuai
menunjukkan
dengan petunjuk umum
 Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
 Tingktkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotik bila
perlu
Infection Protection
 Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
 Monitor hitung granulosit,
WBC
 Monitor kerentanan terhadap
infeksi
 Batasi pengunjung
 Saring pengunjung terhadap
penyakit menular
 Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
 Pertahankan teknik isolasi k/p

23
 Berikan perawatan kuliat pada
area epidema
 Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
 Ispeksi kondisi luka / insisi
bedah
 Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai resep
 Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara menghindari
infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
e. Risiko cedera
f. Risiko infeksi
3. Intervensi Keperawatan

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik

(Brain Injury Assosiation of America, 2001).


Seleksi (triage) penderita dengan cidera kepala tergantung pada beratnya cidera dan fasilitas

yang tersedia. Walaupun demikian, penting untuk melakukan persiapan persetujuan pengiriman

dengan rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap, dengan demikian penderita
dengan cidera kepala sedang dan berat dapat segera dikirim untuk mendapatkan perawatan yang

memadai.

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi

yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak

mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar

metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma

turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

B. Saran
Sebagai tenaga kesehatan yang lebih tahu tentang kesehatan, kita dapat menerapakan

perilaku yang lebih berhati-hati agar tidak memicu terjadinya cedera pada kepala. Perawat harus

melakukan tindakan asuhan keperawatan dengan baik pada pasien penderita Cedera Kepala
sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai dengan baik. Perawat maupun calon perawat harus
memahami konsep dasar dari Cedera Kepala dan ruang lingkupnya sehingga dalam proses

memberikan asuhan keperawatan pada pasien penderita Cedera Kepala dapat terlaksana dengan

baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Edisi 8, Vol. 3, Jakarta, EGC.
Capernito, Lynda Juall (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC

Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian

Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC


Masjoer, Arief. (2000). Kapita Selekta kedokteran, Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculaplus
Newton T, Krawczyk J, Lavine S. Subarachnoid hemorrhage [monograh on the Internet]. eMedicine; c 2005
[updated 2011 Nov 11; cited 2011 DESEMBER 31]. Available from: http://www.emedicine.com/htm.
Nurarif, A.H., Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC

NOC Jilid 1 & 2. Yogyakarta : Media Action


Price,Sylvia Anderson., Wilson, Lorrraine McCarty Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses

Penyakit Edisi 6 Volume 2. Yogyakarta: EGC


Sari, Caka (2011). Skripsi : Prevalensi Pasien Fraktur Mandibula Yang Dirawat di RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Pada Tahun 2005-2010. diakses dari :

http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/3356/Skripsi.pdf?sequence=1 pada 08 Juli

2015

Smeltzer. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 3 . EGC, Jakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai