CKR Asih
CKR Asih
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
P170669
KALIMANTAN TIMUR
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia, sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya dibidang
tansportasi, dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk ikut meningkat. Namun akibat kemajuan
ini juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya angka kecelakaan yang menyebabkan timbulnya
cedera kepala (Depkes RI, 2007).
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara
berkembang. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia, menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta
Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan berbagai trauma. Trauma yang paling banyak terjadi pada
saat kecelakaan lalu lintas adalah trauma kepala. Trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan
penyebab utama disabilitas dan mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada
pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan yang tidak memenuhi standar
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, Case Fatality Rate (CFR) trauma akibat
negara Amerika Latin (41,7%), Korea Selatan (21,9%), dan Thailand (21,0%). Menurut Gillian yang dikutip
oleh Basuki (2003) di Amerika Serikat terdapat 500.000 kasus cedera kepala setiap tahunnya, kurang lebih
18- 30% meninggal dalam 4 jam pertama sebelum sampai ke rumah sakit (Basuki, 2003).
Trauma kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala
merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala
aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma kepala
yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%) dan cedera olahraga (10%). Angka
kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan
kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak
memegang peranan penting terutama dalam mencegah komplikasi seperti kemunduran pada kondisi
pasien karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progressif dan herniasi otak. Edema
serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang
mendapat cedera kepala. Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat mencium bau-
bauan, abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan epilepsi) (Brunner & Suddarth, 2002).
2
Dalam memberikan pelayanan, keperawatan sebagai subsistem pelayanan kesehatan bekerja sama
dengan pelayanan medis yaitu dokter. Untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk memenuhi kebutuhan
pasien perlu adanya peran kolaborasi antara perawat dan dokter serta dengan tim kesehatan lainnya
seperti analis, gizi dan profesi kesehatan lainnya. Pasien sebagai fokus keperawatan mempunyai
kebutuhan bio, psikososial dan spiritual, sehingga diperlukan pendekatan yang kompeherensif, dimana
manusia dilihat sebagai sistem terbuka yang terdiri dari komponen keluarga, masyarakat dan sosio budaya
sebagai suprasistem dan sistem organ sebagai subsistem.
Keperawatan sebagai praktik profesional diharapkan mampu mengimbangi pengetahuan anggota tim
kesehatan lainnya dalam memberikan perawatan pasien dengan trauma kepala, sehingga dapat mencapai
B. Tujuan
2. Mengetahui dan memahami masalah keperawatan yang muncul pada kasus cedera kepala ringan
3. Menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan cedera kepala ringan
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal
dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
Cedera kepala adalah cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan otak akibat perdarahan
dan pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan penyebab peningkatan tekanan intra
kranial (TIK) (Brunner & Suddarth, 2002).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 14-15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer,
2000).
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran tanpa
Epidural hematom adalah adanya pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi
dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
2. Anatomi Fisiologi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut,kulit dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali terkena
cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera
kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat
langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi sekuder akibat cedera. Efek-efek ini harus dihindari
dan ditemukan secepatnya oleh tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan
gangguan mental dan fisik, bahkan kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat
digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan
galea terdapat suatau lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung pembuluh-
pembuluh besar. Bila robek, pembuluh – pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala. Tepat di bawah galea
4
terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh – pembuluh
ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas
memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila
galea terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan isi intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh
tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna. Struktur demikian memungkinkan kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang
lebih ringan. Tabula interna mengandung alur – alur yang berisi arteria meningea anterio, media dan
posterior. Apabila fraktur tulang tengkorang menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteria – arteria
ini, perdarahan arteria yang di akibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat
menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila segera ditemukan dan di obati. Ini merupakan salah satu
adalah dura mater, araknoid, dan pia mater. Masing – masing mempunyai fungsi tersendiri dan
strukturnya berbeda dari struktur lainnya.
Dura adalah membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk
melindungi otak, menutupi sinus – sinus vena (ysng terdiriatas dura mater dan lapisan endotelial saja
tanpa jaringan vaskuler) dan membentuk periouteum tabula interna. Bila dura robek dan tidak
diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan menimbulkan berbagai masalah, fungsi
terpenting dura kemungkinkan adalah sebagai pelindung. Dapat terjadi perluasan fraktur dan
bukannya penyembuhan, dan dapat terjadi kebocoran kronik CSF yang dapat menimbulkan sikatriks
meningo serebral, menyebabkan epilepsi fokal. Namun pada beberapa keadaan dura sengaja
dibiarkan terbuka. Situasi – situasi ini mencakup edema otak (untuk mengurangi tekanan bagi otak
5
yang menonjol), drainase CSF, atau setelah tindakan trepanasi eksplorasi (untuk memeriksa dan
etmoidalis juga merupakan cabang dari arteri karotis interna dan menyuplai fosa anterior. Arteria
meningea posterior yaitu cabang dari arteria oksipitalis, menyuplai darah ke fosa posterior.
Didekat dura (tetapi tidak menempel pada dura) terdapat membran fibrosa halus dan elastis
yang dikenal dengan sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura mater. Namun demikian,
ruangan antara kedua membran tersebut ruang subdural merupakan ruangan yang potensial.
Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan bebas, dan hanya
terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena – vena otak yang melewati ruangan ini hanya
mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek
su araknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi
CSF. Pada sinus sagitalis superior dan transversal, araknoid membentuk tonjolan vilus (badan
pacchioni) yang bertindak sebagai lintasan untuk menosongkan CSF kedapal sistem vena.
Pia mater adalah membran harus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus yang
merupakan satu – satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus
semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus
disisi media hemisfer otak, pia mater membentur sawar antara ventrikel otak dan sulkus atau fisura.
Sar ini merupakan struktur penyokong dari fleksus coroideus setiap ventrikel.
Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui dua cara : efek segera
darji trauma pada fungsi otak , efek lanjutan dari respon sel – sel otak terhadap trauma.
Kerusakan neurologi segera disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang
menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh kekuatan atau energi yang diteruskan ke
otak,dan oleh efek akselerasi – deselerasi pada otak, yang terbatas dalam kompartemen yang kaku.
Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal – hal ini bergantung pada kekuatan yang
menimpa makin besar kekuatan, makin parah kerusakan. Terdapat dua macam kekuatan yang
digunakan melalui dua cara yang mengakibatkan dua efek berbeda. Pertama, cedera setempat yang
disebabkan oleh benda tajam berkecepatan rendah dan sedikit tenaga. Kerusakan fungsi neurologik
terjadi pada tempat tertentu dan disebabkan oleh benda atau fragmen – fragmen tulang yang
menembus dura pada tempat serangan. Kedua, cedera menyeluruh, yang lebih lazim dijumpai pada
trauma tumpul kepala dan terjadi setelah kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi waktu energi atau
kekuatan di teruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit
kepala, dan tengkorak.; tetapi pada trauma hebat, penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak.
6
Sisa energi di teruskan ke otak, menyebabkan kerusakan dan gangguan di sepanjang jalan yang di
lewati karena sasaran kekuatan itu adalah jaringan lunak. Bila kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar (seperti pada kecelakaan mobil ), kerusakan tidak hanya terjadi akibat cedera
setempat pada jaringan saja tetapi juga akibat akselerasi dan deselerasi. Kekuatan akselerasi dan
deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam tengkorak yang keras sehingga memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini juga
disebut cedera contrecoup. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa bagian
dalam rongga tengkorak yang kasar, dan bila otak bergerak melewati daerah ini (misal,
kristasvenoidalis), bagian ini akan merobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan di perhebat bila trauma
juga menhyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita
cedera terberat adalah bagian anterior lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus oksipital,
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya secara berlebihan
glutamin, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, efek kerusakan akibat radikal bebas, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
Neuron atau sel – sel fungsional dalam otak bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik apabila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu
dalam otak.
3. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat
sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan
adanya daerah hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm,
perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut dapat
7
menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang dilakukan biaSanya adalah evakuasi
terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh darah vena/jematan vena yang biasanya
terdapat diantara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural
hematoma adalah hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis.
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi
subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut
terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan subdural hematoma kronis jika peardarahan terjadi lebih dari
3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yanag paling sering berupa hemiparere/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan
didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi, menurut
Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari
1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah
evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi biasanya tulang
tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari
GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan
otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah
GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin jelek prognosisnya.
Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya. Gejala dari subdural hematoma meliputi
keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat),
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang, biasanya
sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media(paling sering), vena diploica
(oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis.
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan
antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yanag dapat berupa
hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan
jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala
letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral
dengan lokasi EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi
pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari
8
prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka semakin baik prognosisnya klien EDH (karena
otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan
menetap tidak hilang pemberian analgetik. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area
hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya
lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari
5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikemangkan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanaya edema
serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika saat operasi didapatkan dura mater yang
4. Klasifikasi Cedera
a. Berdasarkan patologi :
1) Cedera kepala primer merupakan akibat cedera awal.cedera awal menyebabkan gangguan
integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
2) Cedera kepala sekunder cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak
lebih lanjut yang terjadi setelah trauma ssehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali,
meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral, hipotensi
1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tenggkorak dan laserasi duameter.
2) Cedera kepala tertutup: dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak ringan dengan
cedera srebral yang luas.
a) GCS 14-15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit
a) GCS 9-13
b) Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 m tetapi kurang dari 24 jam
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak
9
c) Juga meliputi kontusa serebral, laserasi atau hematoma intra kranial
5. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan di dalam sel – sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak memliki
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak,
tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25
% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal
ini menyebabkan timbulnya metabolik asidosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF)
adalah 50 – 60 ml/ menit/ 100 gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari curah jantung (CO).
Edema otak disebabkan karena adanya penumpukan cairan pada jaringan otak. Pada klien
dengan cedera akibat kontusio cerebri, pembuluh kapiler sobek, cairan traumatik mengandung
protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami
edema otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan
menimbulkan kematian jaringan otak, edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intra kranial yang menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.
Hipertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokontriksi paru, hypertensi
paru, dan edema paru. Hal ini menyebabkan hyperkapnea dan brochokonstriksi. Sensitifitas yang
meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hypertensi
akan menyebabkan pernafasan cheynestoke.
b. Faktor Kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atypical
myocardial, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel/
perubahan gelobang T, gelombang P tinggi dan dysrithmia, vibrilasi atrium dan ventrikel
tachycardia. Perubahan aktivitas myocardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan
menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis
maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya
penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi edema paru.
c. Faktor Gastrointestinal
10
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi
setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypotalamus dan
stimulus fagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidicum. Hypotalamus merangsang
anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh
lainnya, yaitu kecenderungan retensi sodium/ natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.
dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses
hemodinamik ginjal untuk menatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal
ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi Na+. pada pasca cedera
terjadi hyponatremia.
Hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera,
karena dengan adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh
sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai
sumber nitrogen utama demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi
sekresi kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien dengan cedera kepala antara lain :
a. Nyeri kepala
b. Mual, muntah
f. Pingsan
7. Pathway
11
8. Pemeriksaan Penunjang
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
b. MRI
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre menjadi edema,
e. Sinar X
fragmen tulang
f. BAER
i. Kadar elektrolit
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
k. Rontgen thorax 2 arah (PA/AP dan lateral)
12
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga
f. Atasi shock
Penatalaksanaan lainnya:
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringannya trauma.
c. Pemberian analgetika
d. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau
gliserol 10 %.
f. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-
apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak. Pada trauma berat, hari-hari pertama
(2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8
jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,
makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
13
b. Oksigenisasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peningkatan kepala tempat tidur
f. Bedah neuro.
b. Pencegahan kejang
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi
masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat
baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan
jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang
mengancam airway.
14
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok,
dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian
transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1) Rehabilitasi Fisik
a) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah
tubuh.
c) Transplantasi tendon
2) Rehabilitasi Psikologis
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas
kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang
semuanya memerlukan semangat hidup.
3) Rehabilitasi Sosial
a) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling
sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan
terhadap bantuan orang lain.
b) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
15
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Klien dengan Cidera Kepala Ringan
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek
pemeliharaan, rehabilitatif dan preventif keperawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi
keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan masalah yang “menggabungkan elemen yang
paling diinginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori dengan
menggunakan metode ilmiah”. (Doenges : 2000).
Menurut Doenges (2000: 6) proses keperawatan, digabungkan semua keterampilan pemikiran
kritis, membuat metode pemecahan masalah aktif yang dinamik dan bersiklus.
1. Pengkajian
Adapun pengkajian pada klien dengan trauma kepala (Doenges :2000) adalah :
a. Aktivitas / Istirahat
c. Integritas Ego
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajaman, diplopia,
f. Nyeri/ Kenyamanan
16
Gejala : Sakit kepala dengan intesitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
g. Pernapasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi, stridor,
tersedak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
h. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
Gangguan penglihatan
2. Diagnosa Keperawatan
17
Monitoring Neurologis (2620)
- Monitor ukuran, kesimetrisan,
reaksi dan bentuk pupil
- Monitor tingkat kesadaran
klien
- Monitor tanda-tanda vital
- Monitor keluhan nyeri kepala,
mual, dan muntah
- Monitor respon klien terhadap
pengobatan
- Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
- Observasi kondisi fisik klien
18
pernapasan, saturasi Menggunakan analgetik Gunakan strategi komunikasi
O2) yang direkomendasikan yang efektif untuk mengetahui
Bukti nyeri (1,2,3,4,5) respon penerimaan pasien
menggunakan Melaporkan gejala-gejala terhadap nyeri.
standar checklist nyeri kepada tim Evaluasi keefektifan
perilaku nyeri untuk kesehatan (1,2,3,4,5) penggunaan kontrol nyeri
mereka yang tidak Nyeri terkontrol (1,2,3,4,5) Monitoring perubahan nyeri
mampu baik aktual maupun potensial.
berkomunikasi Indikator skala: Sediakan lingkungan yang
secara verbal nyaman.
1. tidak pernah
Mengekpresikan Kurangi faktor-faktor yang
menunjukkan
perilaku (mis: dapat menambah ungkapan
2. jarang menunjukkan
gelisah, menangis, nyeri.
3. kadang-kadang
waspada) Ajarkan penggunaan tehnik
menunjukkan
Ekspresi wajah relaksasi sebelum atau sesudah
4. sering menunjukkan
terhadap nyeri (mis: nyeri berlangsung .
5. secara konsisten
mata kurang Kolaborasi dengan tim
menunjukkan
bercahaya, tampak kesehatan lain untuk memilih
kacau, gerakan mata tindakan selain obat untuk
Tingkat nyeri
berpencar atau meringankan nyeri.
Melaporkan nyeri
menetap pada satu Tingkatkan istirahat yang
(1,2,3,4,5)
fokus) adekuat untuk meringankan
Frekuensi nyeri (1,2,3,4,5)
Sikap melindungi nyeri.
Lamanya episode nyeri
Fokus menyempit Manajemen pengobatan
(1,2,3,4,5)
(mis:persepsi waktu,
Ekspresi nyeri; wajah Tentukan obat yang
proses berpikir
(1,2,3,4,5) dibutuhkan pasien dan cara
terhambat)
Perubahan respirasi rate mengelola sesuai dengan
Sikap melindungi
(1,2,3,4,5) anjuran/ dosis.
area nyeri
Perubahan tekanan darah Monitor efek teraupetik dari
Posisi untuk
(1,2,3,4,5) pengobatan.
menghindari nyeri
Kehilangan nafsu makan Monitor tanda dan gejala serta
Perilaku melindungi
(1,2,3,4,5) efek samping dari obat.
Melaporkan perilaku
Monitor interaksi obat.
nyeri
Indikator skala : Ajarkan pada pasien keluarga
Fokus diri sendiri
1. Berat cara mengatasi efek samping
2. Cukup berat pengobatan.
Faktor yang
3. Sedang Pengelolaan analgetik
berhubungan:
4. Ringan Periksa perintah medis tentang
Agen cedera biologi 5. Tidak ada obat, dosis & frekuensi obat
(mis: infeksi, analgetik.
ischemic, Periksa riwayat alergi pasien.
neoplasma) Pilih obat berdasarkan tipe dan
Agen cedera fisik ( beratnya nyeri.
mis: abses, Pilih cara pemberian IV atau IM
amputasi, luka untuk pengobatan, jika
bakar, terpotong, mungkin.
19
prosedur operasi, Monitor vital sign sebelum dan
trauma, latihan sesudah pemberian analgetik.
berlebih) Kelola jadwal pemberian
analgetik yang sesuai.
Evaluasi efektifitas dosis
analgetik, observasi tanda dan
gejala efek samping, misal
depresi pernafasan, mual &
muntah, mulut kering, &
konstipasi.
Kolaborasi dgn dokter untuk
obat, dosis & cara pemberian
yg diindikasikan.
Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan sebelum
pengobatan.
Berikan obat dengan prinsip 5
benar
Pemberian Analgesik
20
Evaluasi efektivitas analgesik,
tanda dan gejala (efek samping
3 Kerusakan integritas Integritas Jaringan Kulit dan Perawatan luka dan pertahanan
kulit membran mukosa kulit
Domain 11 : Keamanan Indikator : 1. Observasi lokasi terjadinya
/ Perlindungan Suhu kulit 1,2,3,4,5 kerusakan integritas kulit
Sensasi 1,2,3,4,5 2. Kaji faktor resiko kerusakan
Kelas 2 : Cedera fisik
Elastisitas 1,2,3,4,5 integritas kulit
21
diri mandi, berpakaian, Dorong untuk melakukan
makan, toileting. secara mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien tidak
Batasan karakteristik :
mampu melakukannya.
ketidakmampuan
Ajarkan klien/ keluarga untuk
untuk mandi,
mendorong kemandirian,
ketidakmampuan
untuk memberikan bantuan
untuk berpakaian,
hanya jika pasien tidak
ketidakmampuan
mampu untuk melakukannya.
untuk makan,
Berikan aktivitas rutin sehari-
ketidakmampuan
hari sesuai kemampuan.
untuk toileting
Pertimbangkan usia klien jika
berhubungan : sehari-hari.
kelemahan, kerusakan
kognitif atau
perceptual, kerusakan
neuromuskular/ otot-
otot saraf
5. Resiko Cedera (00035) Keparahan cedera fisik (1913) Pencegahan jatuh (6490)
Domain 11 (keamanan Identifikasi kekurangan baik
/ perlindungan) Lecet pada kulit (1,2,3,4,5) kognitif atau fisik dari pasien
Memar (1,2,3,4,5) yang mungkin meningkatkan
Kelas 2 (Cedera fisik)
Luka gores (1,2,3,4,5) potensial jatuh pada
22
Ajarkan pasien bagaimana jika
jatuh, untuk meminimalkan
cedera
6. Resiko infeksi (00004) Kontrol resiko Kontrol Infeksi
Mengidentifikasi faktor Bersihkan lingkungan setelah
Domain 11 (keamanan
risiko infeksi 1,2,3,4,5 dipakai pasien lain
/ perlindungan)
Mengetahui perilaku yang Pertahankan teknik isolasi
23
Berikan perawatan kuliat pada
area epidema
Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
Ispeksi kondisi luka / insisi
bedah
Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai resep
Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
Ajarkan cara menghindari
infeksi
Laporkan kecurigaan infeksi
e. Risiko cedera
f. Risiko infeksi
3. Intervensi Keperawatan
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
yang tersedia. Walaupun demikian, penting untuk melakukan persiapan persetujuan pengiriman
dengan rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap, dengan demikian penderita
dengan cidera kepala sedang dan berat dapat segera dikirim untuk mendapatkan perawatan yang
memadai.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
B. Saran
Sebagai tenaga kesehatan yang lebih tahu tentang kesehatan, kita dapat menerapakan
perilaku yang lebih berhati-hati agar tidak memicu terjadinya cedera pada kepala. Perawat harus
melakukan tindakan asuhan keperawatan dengan baik pada pasien penderita Cedera Kepala
sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai dengan baik. Perawat maupun calon perawat harus
memahami konsep dasar dari Cedera Kepala dan ruang lingkupnya sehingga dalam proses
memberikan asuhan keperawatan pada pasien penderita Cedera Kepala dapat terlaksana dengan
baik.
25
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Edisi 8, Vol. 3, Jakarta, EGC.
Capernito, Lynda Juall (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
2015
Smeltzer. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 3 . EGC, Jakarta.
26