PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.4. Analisis
Kesenian bantengan merupakan kesenian komunal yang melibatkan banyak orang di
dalam setiap pertunjukannya. Seperti halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu hidup
berkelompok (koloni), kebudayaan bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang
menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi
rasa persatuan kesatuan.
Dalam pertunjukkan bantengan terdapat berbagai macam nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, terutama nilai kebudayaan. Contohnya saja penggunaan sesajian, kemenyan, dan
dupa yang merupakan sebuah kebudayaan yang masih dipegang teguh untuk dilakukan.
Kebudayaan juga mencerminkan dari sebuah daerah dimana bantengan tersebut berkembang.
Selain seni bantengan ada juga seni religi yang terkandung, yaitu seperti halnya pembacaan
do’a pada saat pembukaan yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan
menurut agama masing-masing dan juga berpamitan kepada leluhur desa tempat diadakannya
pertunjukkan. Ada juga nilai mistis yaitu ketika seorang penonton yang bersiul akan mengalami
kerasukan setan karena konon katanya bersiul itu sama saja melecehkan setan.
Ada juga nilai kebenaran dalam seni ini. Menurut Desprianto (2013) dalam seni bantengan,
nilai kebenaran ini tampak pada saat pemain banteng melawan macan dalam perkelahiannya
bisa mengalahkan para pemain macanan yang merupakan perwujudan bangsa kolonial yang
menjajah bangsa pribumi. Hal ini berarti bahwa kebenaran suatu saat pasti akan mengalahkan
kejahatan.
Kesenian Bantengan pada zaman dahulu merupakan tradisi yang sangat kental akan nilai-
nilai yang terkandung di dalam kesenian tersebut dalam prospek untuk mendatangkan
keberkahan di dalam desa asal usul kesenian bantengan. Dalam sebuah pementasan bantengan
zaman dahulu, terdapat berbagai runtutan dan aturan penyelenggaraan kesenian bantengan.
Aturan-aturan kesenian bantengan zaman dahulu selalu dipakai sebagai patokan
penyelenggaraan kesenian bantengan.
Berbeda dengan zaman sekarang, dengan perkembangan zaman kesenian bantengan lebih
terlihat sebagai kesenian yang memperlihatkan banyak hal yang menekankan kemistisan
seperti kesurupan. Kesurupan ini ditekankan supaya penonton merasa terhibur dan tertarik
dengan kesenian bantengan ini. Pada setiap pementasan bantengan salah satunya dalam acara
karnaval, bantengan hanya terlihat dari segi mistis, sedangkan aturan-aturan atau aturan-aturan
yang terdapat dalam kesenian bantengan tidak dijalankan keseluruhan. Iringan musik dan tarian
yang khas dari kesenian bantengan juga dipentaskan hanya sekilas atau dengan durasi pendek.
Dan terkadang iringan musik tidak terdengar dikarenakan iringan musik dan orang yang
memainkan bantengan terpisah dalam acara karnaval tersebut.
Dari banyaknya nilai yang terkandung dalam kebudayaan bantengan, dimasa kini telah
terjadi pergeseran pandangan kebanyakan masyarakat pada masa sekarang, penonton tidak
mengindahkan ataupun tidak mengetahui nilai-nilai tersebut karena mereka hanya mengetahui
dan menginginkan hal-hal yang berbau mistis. Seperti halnya kesurupan dan sesuatu yang
dinamakan cekelan (pegangan). Cekelan yang dimaksudkan disini adalah makhluk halus yang
memiliki berbagai macam tipe dan hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi sebagian kalangan
masyarakat. Nilai seni semakin tidak diindahkan sehingga semakin lama pakem dari seni
bantengan semakin dilupakan yang kemnudian pada akhirnya bantengan hanyalah menjadi
tontonan yang tidak memiliki nilai apa-apa.
Solusi terbaik untuk menghindari penyalahgunaan kebudayaan, haruslah ditanamkan rasa
cinta dan kepemilikan terhadap budaya tersebut. Agar tidak terjadi pelanggaran seperti
hilangnya kesenian yang ada pada bantengan, yang ada hanyalah pertunjukan yang
menonjolkan kesurupan sebagai komoditas utama sebagai daya jual kepada masyarakat. Jadi
disini bantengan hanya menjadi entertain bagi beberapa kalangan masyarakat.
Untuk mennyelesaikan masalah-masalah diatas, perlulah tindak lanjut terhadap
penyalahgunaan budaya oleh seniman dan budayawan yang mempunyai wewenang, agar
penyalahgunaan tersebut tidak diulangi kembali. Seni dalam bantengan seperti tarian, musik,
dan olah kanuragan harus tetap dijaga hal-hal filosofis yang ada di dalamnya, tidak hanya
menonjolkan mantra yang sarat dengan nuansa magis yang berakhir dengan atraksi kesurupan,
seperti yang terjadi pada pertunjukan bantengan sekarang.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Ritual yang dilakukan sebelum memulai pertunjukkan bantengan sejatinya ialah bertujuan
meminta keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa, ritual pun berbeda-beda tergantung
kebiasaan pendekarnya. Pembukaan bantengan juga untuk mengundang makhluk halus
yang akan memainkan bantengan dengan cara merasuki dua orang yang telah dipilih
menjadi pemain banteng. Pembukaan bantengan dilakukan pada tiap bulan sesudah bulan
Syawal.
Rangkaian acara dalam pertunjukan bantengan adalah terdiri dari barisan pertama pembawa
obor api disertai atraksi, barisan kedua terdiri dari pertunjukkan pencak silat, bantengan,
macanan, monyet, besrta atraksi- atraksinya. Barisan ketiga ialah pemain musik yang terdiri
dari gamelan, gendang, ketipung, jidor atau beduk dan pengeras suara seperti sound.
Penutupan Bantengan dilakukan ketika menjelang bulan Ramadhan. Hal ini bertujuan untuk
menghormati bulan yang mulia dimaksudkan agar waga masyarakat memprioritaskan untuk
beribadah ke pada Alloh tidak semata hiburan saja. Sehingga pada bulan Ramadhan dan
Syawal tidak boleh memainkan bantengan. Ritual penutupan acara bantengan ialah
mengakhiri pertunjukan bantengan dengan mengembalikan makhluk halus ke tempat
asalnya dengan cara dibacakan syahadat 3x, sholawat 3x, takbir 3x jika secara islami.
Sedangkan sacara adat jawa dibacakan mantra aksara jawa yang dibaca dari belakang.
Membacanya ditelinga pemain bantengan tersebut dan para pendekar mengucapkan
terimakasih, dan memohon maaf atas kesalahan kepada para penonton, dan leluhur.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis, Dr. France dan Suseno SJ. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.