Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan menurut koentjaraningrat (1990) dalam pengantar ilmu
antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan,
da sebagainya.
Setiap daerah mempunyai budaya masing-masing, yang tak lepas dari kebiasaan nenek
moyang yang dilestarikan. Salah satu kebudayaan tersebut adalah bantengan. Perkembangan
kesenian Bantengan mayoritas berada di masyarakat pedesaan atau wilayah pinggiran kota di
daerah lereng pegunungan se-Jawa Timur tepatnya Bromo-Tengger-Semeru, Arjuno-
Welirang, Anjasmoro, Kawi dan Raung-Argopuro. Seni tradisional Bantengan adalah sebuah
seni pertunjukan budaya tradisi yang menggabungkan unsur sendra tari, olah kanuragan,
musik, dan syair (mantra) yang sangat kental dengan nuansa magis. Bantengan ini selalu
diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas bantengan dengan alat musik
berupa gong, kendang, dan lain-lain.
Kebudayaan bantengan ini banyak dipentaskan dalam setiap acara, salah satunya adalah
karnaval. Dalam acara karnaval ini, pementasan bantengan dipentaskan dengan banyak
menampilkan dari segi mistis. Setiap pemain yang dirasuki oleh roh halus dalam kesenian
bantengan ini didampingi oleh dukun yang mengatur jalannya pementasan bantengan.
Pementasan yang menunjukkan pemain berperilaku seperti banteng karena telah terasuki oleh
roh halus ini berjalan dengan durasi yang lama, sehingga kesenian berupa iringan musik dan
tarian dari kesenian banteng ini tidak terlihat atau terkadang tidak ditampilkan. Oleh karena
itu, kebanyakan masyarakat hanya melihat kesenian bantengan dari segi mistis saja dan
cenderung melupakan bahwa kesenian bantengan itu sendiri tidak hanya berupa mistis tetapi
juga ada iringan musik dan tarian yang khas.
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah agar menambah wawasan terkait dengan kesenian
Bantengan, berupa ritual yang dilakukan sebelum pertunjukan, rangkaian acara, hingga
penutupannya.
1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini adalah bertambahnya wawasan tentang seni
Bantengan dan pemahaman tentang kebudayaan daerah yang sangat beragam.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Bantengan


Bantengan berasal dari kata “Be-Banten” dengan pengartian “be” sebagai kerukunan dan
“banten” sebagai menyembelih. Bantengan menurut istilah dapat diartikan dengan beban yang
ringan, karena kerukunan. Dalam suatu kebudayaan terdapat beberapa unsur kebudayaaan
yaitu: peralatan dan perlengakapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem
ekonomi, sistem kemasyarakatan,bahasa, kesenian, system pengetahuan, religi. Dari unsur
tersebut Bantengan pastilah masuk dalam unsur kebudayaan kesenian.
Kesenian bantengan merupakan kesenian komunal yang melibatkan banyak orang didalam
setiap pertunjukannya. Seperti halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu hidup
berkelompok (koloni), kebudayaan bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang
menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi
rasa persatuan kesatuan.
Seni tradisional bantengan, merupakan sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang
menggabungkan unsur sendratari, olah kanurangan, musik, dan syair (mantra) yang sangat
kental dengan nuansa magis. Pemain bantengan yakin bahwa permainannya akan semakin
menarik apabila telah masuk tahap trance yaitu tahapan pemain pemegang kepala bantengan
menjadi kesurupan arwah leluhur banteng (Dhanyangan). Setiap grup bantengan minimal
mempunyai dua bantengan seperti halnnya satu pasangan yaitu bantengan jantan dan betina.

2.2. Sejarah Bantengan


Seni Bantengan yang telah lahir sejak jaman kerajaan jaman Kerajaan Singasari
(situs candi Jago – Tumpang) sangat erat kaitannya dengan Pencak Silat. Walaupun pada
masa kerajaan Ken Arok tersebut bentuk kesenian bantengan belum seperti sekarang, yaitu
berbentuk topeng kepala bantengan yang menari. Karena gerakan tari yang dimainkan
mengadopsi dari gerakan Kembangan Pencak Silat.
Tidak aneh memang, sebab pada awalnya Seni Bantengan adalah unsur hiburan bagi
setiap pemain Pencak Silat setiap kali selesai melakukan latihan rutin. Setiap grup
Bantengan minimal mempunyai 2 Bantengan seperti halnya satu pasangan yaitu Bantengan
jantan dan betina.
Walaupun berkembang dari kalangan perguruan Pencak Silat, pada saat ini Seni
Bantengan telah berdiri sendiri sebagai bagian seni tradisi sehingga tidak keseluruhan
perguruan Pencak Silat di Indonesia mempunyai Grup Bantengan dan begitu juga sebaliknya.
Kesenian Bantengan merupakan sebuah seni tradisional rakyat di Kabupaten Mojokerto.
Selanjutnya berkembang menjadi satu seni tradisi yang dikembangkan secara turun temurun
oleh masyarakat. Kesenian Bantengan sekarang ini mengalami perkembangan yang begitu
pesat di wilayah Kabupaten Mojokerto, khususnya Pacet . Sebab kesenian ini diyakini sebagai
daerah tempat lahirnya seni bantengan ini. Namun, tak hanya di Pacet, di Trawas juga banyak
terdapat kelompok kesenian bantengan.
Guna melestarikan seni Bantengan, Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto setiap tahun
menggelar festival seni Bantengan. Rata-rata diikuti oleh sekitar 60 kelompok/grup seni
bantengan yang berasal dari wilayah Kabupaten Mojokerto. Dalam even ini banyak hadiah
yang disediakan termasuk hadiah utama berupa piala bergilir Bupati Mojokerto. Tentu ini
menjadi kabar yang membahagiakan bagi para wisatawan pemburu even unik. Bagi pecinta
fotografi juga layak menjadikan even ini sebagai ‘even wajib’ untuk berburu foto atraktif dan
estetik.
Hal ini membuktikan bahwa kesenian Bantengan tumbuh menjadi seni tradisional asli
Indonesia yang layak mendapat apresiasi. Kemajuan dan perkembangan kesenian ini tidak
lepas dari peran serta masyarakat yang selalu mendukung seni Bantengan. Pemerintah
Mojokerto sebagai fasilitator selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk menunjangya.
Makin berkembangnya jumlah kelompok seni Bantengan di Kabupaten Mojokerto diharapkan
ke depannya mampu menjadi ikon wisata kreatif Kabupaten Mojokerto.
Nah, untuk mengetahui asal-usul kesenian ini, berikut kisah awal yang menyertai
kelahirannya. Kesenian rakyat Bantengan berasal dari Kecamatan Pacet tepatnya di desa Made
yang dahulunya merupakan desa yang berdekatan dengan lereng Gunung Welirang. Konon
kawasan hutan tersebut banyak hidup bermacam-macam hewan liar termasuk diantaranya
banteng yang saat ini sudah dapat dikatakan punah di daerah tersebut.
Pada saat itu, seorang penduduk desa Made yang bernama Paimin tengah memasuki hutan
dan mendapatkan seonggok kerangka banteng yang masih lengkap. Kerangka banteng itu
dengan susah payah dibawa pulang dan dibersihkan. Kemudian ditempatkan di salah satu
tempat di rumahnya. Kejadian itu berhasil menginspirasi Paimin untuk mengenang satwa
banteng tersebut.
Lalu dibuatlah sebuah rekayasa aksi dengan sebuah atraksi. Atraksi yang selanjutnya
disebut dengan Bantengan itu dimainkan dua orang. Satu orang di bagian depan memainkan
kepala dan sekaligus sebagai kaki depan. Sementara satu orang lainnya di belakang sebagai
pinggul sekaligus sebagai kaki belakang. Atraksi gerakannya menggambarkan gerakan dan
perilaku banteng sewaktu sedang berkelahi atau marah.
Untuk menyemarakkan atraksi itu dilengkapi dengan musik terbang dan jidor sebagai
pengiringnya. Dalam atraksi ditampilkan banteng sedang berlaga dengan satwa lain seperti
harimau, kera dan burung. Atraksi yang hampir mirip kesenian khas Ponorogo, Reog. Tahun-
tahun terakhir, Bantengan mulai dikembangkan dengan kolaborasi kesenian pencak silat dan
barongsai. Sebenarnya Bantengan ini juga terdapat di daerah Batu, Malang ataupun daerah
Jawa Timur lainnya. Namun, Bantengan khas Mojokerto berbeda dengan daerah Jawa Timur
lain, dilihat dari serangkaian acara yang ditampilkan dan bentuk dari banteng maupun
macannya.
Seperti halnya di daerah lain di seluruh Nusantara, kesenian tradisional adalah salah satu
bentuk identitas dari daerah yang bersangkutan. Begitu juga halnya dengan Bantengan,
meskipun sampai sekarang belum ada kajian ilmiah yang menguatkan tentang awalmula
lahirnya seni tari Bantengan ini. Dalam pendapat lain, Kesenian ini lahir dari basis ilmu silat
yang ada di wilayah Malang raya, utamanya di Poncokusumo, Tumpang, dan Kota Batu. Kota
di sekitar juga mengenal budaya Bantengan, Kediri, Probolinggo, dan Pasuruan, namun setiap
daerah memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri.

2.3. Rangkaian Acara dalam Bantengan


Setiap acara dalam bantengan terdapat pembukaan yang harus dilakukan untuk meminta
doa restu dan pamit, agar diberi kelancaran acara oleh Allah SWT. Bantengan identik dengan
pihak ketiga maka dalam pembukaan mulailah mengeluarka mantra-mantra untuk pihak ketiga
agar ikut serta.
Setelah menyelesaikan matra-mantra dan doa, dimulailah pertunjukan yang diawali
dengan pencak silat, kemudian keluarlah banteng, macan serta monyet untuk menampilkan
pertunjukan mereka yang dibantu oleh pihak ketiga.
Saat penutup, para pendekar mengucapkan terimakasih, dan memohon maaf atas
kesalahan kepada para penonton, dan leluhur dan tak lupa pihak ketiga dalam penutupan di
kembalikan ke tempatnya.
2.3.1. Ritual Pembukaan
Dalam ritual pembukaan bantengan tak lepas dari banyak instrumen, dan instrument
terpenting adalah bebauan kemenyan atau dupa. Dan sesajianpun harus di sediakan dalam
acara pembukaan ini, namun tidak disyaratkan untuk memenuhi sesandhingan dengan
sesajian daun sirihpun pertunjukan dapat dilaksanakan. Hal tersebut tergantung
kepercayaan para pendekar masing-masing.
Mantra ataupun doa dalam bantengan mempunyai ciri khas masing-masing bagi
berbagai pemeluk agama. Untuk yang beragama islam maka menggunakan mantra
berbahasa arab, untuk agama kejawen maka menggunakan bahasa jawa, dengan inti
”karena Allah semoga acara ini berjalan lancar dan baik dan tidak ada kendala apapun”.
Tempat khusus untuk melakukan ritual pembukaan yang dijuluki “pepundhen” yaitu
tempat sesepuh dan leluhur, misalkan seseorang yang membuat desa tersebut maka
beliaulah sebagai leluhur dan sesepuh. Maka untuk ritual pembukaan atau berpamitan,
dianjurkan untuk berpamitan di tempat sesepuh di semayamkan.
Gamelan merupakan alat musik yang wajib ada untuk pertunjukan, tak lupa dengan
jidor dan ketipung. Sesaji juga memiliki makna simbolis dan memiliki sifat mistis. Adapun
dalam bantengan terdapat bagian-bagian sesaji yang terkandung didalamnya:
 Pisang setangkep: merupakan sebuah symbol dari tingkah laku manusia
 Kelapa: lengkap
 Jambe soroh: yang dalam kiroto boso adala “kesusu selak pingin eroh” yang digunakan
untuk member jamuan terhadap leluhur mereka karena semasa hidupnya mereka suka
mengunyah sirih
 Dupo: berasal dari kata usodo yang berarti obat, sedangkan apabila dilihat sesuai
dengan materialnya yakni pring berasal dari kendel ileng yang berarti bahwa setiap
manusia harus ingat dengan tuhan YME serta nenek moyang mereka yang berada dia
alam roh sunyi. Asap dupa atau kukus merupakan symbol dari kekuasaan dari Tuhan
(dilihat ari asapnya yang selalu terbang keatas). Serta mengungkapkan do’a yang
diinginkan.
 Minyak wangi: atau sesuatu yang berbau harum, namun terkadang dalam setiap sesaji
terdapat sekar tigan atau bunga tiga warna
 Endok: telur, sebagai simbol tri tunggal (kulit, putih telur, dan kuning telur) dimana
kulit mewakili kehidupan di dunia, sedangkan putih telur alam (air, tanah, api, udara,
tumbuh-tumbuhan) dam kuning telur yang menempati. Memanfaatkan alam (hewan
dan manusia)
 Badrek: fermentasi air ketan hitam, yang berwarna hitam, menyimbolkan bahwa
manusia seharusnya melakukan sifat andhap-ashor seperti warna bayangan manusia
 Do’a: merupakan kalimat atau ucapan yang menyimbolkan harapan, tujuan serta
keinginan kepada tuhan Yang Maha Esa
 Duwik: uang, sebagai bekal untuk roh-roh suci(pesangon) dialam roh sunyi
 Petek ingkung: ayam jantan, yang dimasak utuh sebagai symbol ayem atau kedamaian,
serta sebagai ucapan syukur kepada roh-roh suci yang diundang dan mengawal
pagelaran seni tradisional batengan/jaranan.

2.3.2. Pertunjukan inti


Seperti halnya pembukaan, di intipun tetap harus diiringi oleh musik gamelan, jidor
dan ketipung. Bantengan tidaklah sama dengan reog yang mempunyai naskah drama yang
tertata rapi. Namun bantengan murni atraksi, tidak mempunyai unsur cerita. Dalam
pertunjukan banteng kadang kala kita melihat ada binatang lain, seperti macan dan monyet.
Binatang-binatang ini mempunyai filosofi tersendiri, seperti halnya banteng yang
melambangkan kebijaksanaan yang berdasar dari rakyat, sedangkan macan
melambangkan angkara murka, dan monyet melambangkan iri dengki.
Dalam pertunjukan banteng biasanya hanya terdapat atraksi yang dilakukan monyet
memprovokasi dan mengadu domba antara macan dan banteng, sehingga banteng dan
macanpun beradu sampai akhir pertunjukan dengan macam-macam gerakan gerakan
sesuai aturan-aturan budaya bantengan sesuai daerah. Bantengan membutuhkan beberepa
ornamen yaitu:
 Tanduk (banteng, kerbau, sapi dan lainnya).
 Kepala banteng yang terbuat dari kayu ( waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang).
 Mahkota Bantengan, berupa sulur wayangan dari bahan kulit atau kertas.
 Klontong (alat bunyi di leher).
 Keranjang penjalin, sebagai badan (pada daerah tertentu hanya menggunakan kain
hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang).
 Gongseng kaki.
 Keluhan (tali kendali).
Dalam menjalankan pertunjukannya bantengan memerlukan pelengkap:
 Dua orang Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali tampar)
 Pemain Jidor, gamelan, pengerawit, dan sinden. Minimal 1 (satu) orang pada setiap
posisi
 Sesepuh, orang yang dituakan. Mempunyai kelebihan dalam hal memanggil leluhur
Banteng
 Dhanyangan yaitu leluhur bantengan
 Pamong dan pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan
 Minimal ada dua Macanan dan satu Monyetan sebagai peran pengganggu bantengan.

2.3.3. Penutupan pertunjukan


Setelah dirasa cukup untuk memainkan banteng tersebut acara yang terakhir yaitu
penutupan. Penutupan ini ialah mengembalikan makhluk halus tersebut. Ada dua cara
untuk mengembalikan makhluk halus tersebut dan menyadarkan si pemain bantengan itu,
jika menurut islam cukup dibacakan syahadad tiga kali, sholawat tiga kali dan takbir tiga
kali pada telinga pemain banteng tersebut kemudian akan kembali seperti sedia kala. Jika
menurut jawa cukup dibacakan aksara jawa namun membacanya dari belakang dahulu.
Intinya acara penutupan tersebut merupakan bentuk terimakasih atas kedatangan yang di
undang, dan memohon maaf apabila ada kesalahan bagi yang mengundang atau yang
menonton bantengan tersebut. Berisi saran agar tidak kerasukan. Kemudian berdoa pada
Tuhan agar diberi keselamatan.

2.4. Analisis
Kesenian bantengan merupakan kesenian komunal yang melibatkan banyak orang di
dalam setiap pertunjukannya. Seperti halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu hidup
berkelompok (koloni), kebudayaan bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang
menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi
rasa persatuan kesatuan.
Dalam pertunjukkan bantengan terdapat berbagai macam nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, terutama nilai kebudayaan. Contohnya saja penggunaan sesajian, kemenyan, dan
dupa yang merupakan sebuah kebudayaan yang masih dipegang teguh untuk dilakukan.
Kebudayaan juga mencerminkan dari sebuah daerah dimana bantengan tersebut berkembang.
Selain seni bantengan ada juga seni religi yang terkandung, yaitu seperti halnya pembacaan
do’a pada saat pembukaan yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan
menurut agama masing-masing dan juga berpamitan kepada leluhur desa tempat diadakannya
pertunjukkan. Ada juga nilai mistis yaitu ketika seorang penonton yang bersiul akan mengalami
kerasukan setan karena konon katanya bersiul itu sama saja melecehkan setan.
Ada juga nilai kebenaran dalam seni ini. Menurut Desprianto (2013) dalam seni bantengan,
nilai kebenaran ini tampak pada saat pemain banteng melawan macan dalam perkelahiannya
bisa mengalahkan para pemain macanan yang merupakan perwujudan bangsa kolonial yang
menjajah bangsa pribumi. Hal ini berarti bahwa kebenaran suatu saat pasti akan mengalahkan
kejahatan.
Kesenian Bantengan pada zaman dahulu merupakan tradisi yang sangat kental akan nilai-
nilai yang terkandung di dalam kesenian tersebut dalam prospek untuk mendatangkan
keberkahan di dalam desa asal usul kesenian bantengan. Dalam sebuah pementasan bantengan
zaman dahulu, terdapat berbagai runtutan dan aturan penyelenggaraan kesenian bantengan.
Aturan-aturan kesenian bantengan zaman dahulu selalu dipakai sebagai patokan
penyelenggaraan kesenian bantengan.
Berbeda dengan zaman sekarang, dengan perkembangan zaman kesenian bantengan lebih
terlihat sebagai kesenian yang memperlihatkan banyak hal yang menekankan kemistisan
seperti kesurupan. Kesurupan ini ditekankan supaya penonton merasa terhibur dan tertarik
dengan kesenian bantengan ini. Pada setiap pementasan bantengan salah satunya dalam acara
karnaval, bantengan hanya terlihat dari segi mistis, sedangkan aturan-aturan atau aturan-aturan
yang terdapat dalam kesenian bantengan tidak dijalankan keseluruhan. Iringan musik dan tarian
yang khas dari kesenian bantengan juga dipentaskan hanya sekilas atau dengan durasi pendek.
Dan terkadang iringan musik tidak terdengar dikarenakan iringan musik dan orang yang
memainkan bantengan terpisah dalam acara karnaval tersebut.
Dari banyaknya nilai yang terkandung dalam kebudayaan bantengan, dimasa kini telah
terjadi pergeseran pandangan kebanyakan masyarakat pada masa sekarang, penonton tidak
mengindahkan ataupun tidak mengetahui nilai-nilai tersebut karena mereka hanya mengetahui
dan menginginkan hal-hal yang berbau mistis. Seperti halnya kesurupan dan sesuatu yang
dinamakan cekelan (pegangan). Cekelan yang dimaksudkan disini adalah makhluk halus yang
memiliki berbagai macam tipe dan hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi sebagian kalangan
masyarakat. Nilai seni semakin tidak diindahkan sehingga semakin lama pakem dari seni
bantengan semakin dilupakan yang kemnudian pada akhirnya bantengan hanyalah menjadi
tontonan yang tidak memiliki nilai apa-apa.
Solusi terbaik untuk menghindari penyalahgunaan kebudayaan, haruslah ditanamkan rasa
cinta dan kepemilikan terhadap budaya tersebut. Agar tidak terjadi pelanggaran seperti
hilangnya kesenian yang ada pada bantengan, yang ada hanyalah pertunjukan yang
menonjolkan kesurupan sebagai komoditas utama sebagai daya jual kepada masyarakat. Jadi
disini bantengan hanya menjadi entertain bagi beberapa kalangan masyarakat.
Untuk mennyelesaikan masalah-masalah diatas, perlulah tindak lanjut terhadap
penyalahgunaan budaya oleh seniman dan budayawan yang mempunyai wewenang, agar
penyalahgunaan tersebut tidak diulangi kembali. Seni dalam bantengan seperti tarian, musik,
dan olah kanuragan harus tetap dijaga hal-hal filosofis yang ada di dalamnya, tidak hanya
menonjolkan mantra yang sarat dengan nuansa magis yang berakhir dengan atraksi kesurupan,
seperti yang terjadi pada pertunjukan bantengan sekarang.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
 Ritual yang dilakukan sebelum memulai pertunjukkan bantengan sejatinya ialah bertujuan
meminta keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa, ritual pun berbeda-beda tergantung
kebiasaan pendekarnya. Pembukaan bantengan juga untuk mengundang makhluk halus
yang akan memainkan bantengan dengan cara merasuki dua orang yang telah dipilih
menjadi pemain banteng. Pembukaan bantengan dilakukan pada tiap bulan sesudah bulan
Syawal.
 Rangkaian acara dalam pertunjukan bantengan adalah terdiri dari barisan pertama pembawa
obor api disertai atraksi, barisan kedua terdiri dari pertunjukkan pencak silat, bantengan,
macanan, monyet, besrta atraksi- atraksinya. Barisan ketiga ialah pemain musik yang terdiri
dari gamelan, gendang, ketipung, jidor atau beduk dan pengeras suara seperti sound.
 Penutupan Bantengan dilakukan ketika menjelang bulan Ramadhan. Hal ini bertujuan untuk
menghormati bulan yang mulia dimaksudkan agar waga masyarakat memprioritaskan untuk
beribadah ke pada Alloh tidak semata hiburan saja. Sehingga pada bulan Ramadhan dan
Syawal tidak boleh memainkan bantengan. Ritual penutupan acara bantengan ialah
mengakhiri pertunjukan bantengan dengan mengembalikan makhluk halus ke tempat
asalnya dengan cara dibacakan syahadat 3x, sholawat 3x, takbir 3x jika secara islami.
Sedangkan sacara adat jawa dibacakan mantra aksara jawa yang dibaca dari belakang.
Membacanya ditelinga pemain bantengan tersebut dan para pendekar mengucapkan
terimakasih, dan memohon maaf atas kesalahan kepada para penonton, dan leluhur.
DAFTAR PUSTAKA

Kalangie. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer


Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta : PT. KasaintBlanc Indah Corp.

Koentrajaningrat. 2002. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentrajaningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Magnis, Dr. France dan Suseno SJ. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai