Analisa PDF
Analisa PDF
40 TAHUN 2004
PENDAHULUAN
Pada tahun 2000, untuk pertama kalinya kata-kata “kesehatan” masuk dalam pasal 28H
UUD 45 hasil amandemen tahun 2000 “…setiap penduduk berhak atas pelayanan
kesehatan”. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan bertujuan untuk menjamin
hak-hak kesehatan yang fundamental sesuai dengan deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB
di tahun 1947.
Penjaminan hak tersebut diperkuat dengan amandemen UUD 45 tanggal 11 Agustus 2002
pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat….” Dan ayat 3
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan….”
Dengan amandemen tiga pasal tersebut, tugas pemerintah semakin jelas yaitu secara
eksplisit menempatkan kesehatan sebagai bagian utama dari pembangunan rakyat yang
harus tersedia secara merata bagi seluruh rakyat.
KONSEP DASAR
Dalam merumuskan konsep jaminan sosial untuk Indonesia, sistem jaminan sosial harus
dibangun diatas tiga pilar yaitu:
Pilar pertama yang terbawah adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka
yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Dalam praktiknya, bantuan sosial ini
diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah agar mereka yang miskin dan tidak
mampu dapat tetap menjadi peserta SJSN.
Pilar kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib
diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan (diatas garis kemiskinan)
Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan
yang lebih besar dari jaminan kebutuhan standar hidup yang layak dan mereka yang
mampu membeli jaminan tersebut (pilar jaminan swasta/privat yang berbasis
sukarela/dagang). Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersial (baik asuransi
kesehatan, pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau program-program lain yang
dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok seperti investasi saham, reksa dana, atau
membeli properti sebagai tabungan bagi dirinya atau keluarganya.
Pada pilar ketiga jaminan kesejahteraan, yang akan dipenuhi adalah keinginan (want,
demand) sedangkan pada dua pilar pertama yang dipenuhi adalah kebutuhan (need).
Ada serangkaian komponen, proses, alokasi sumber daya, aktor dan kekuasaan yang
berperan di penetapan kebijakan sebagai sebuah sistem. Secara sederhana konsep
penetapan kebijakan sebagai sebuah sistem digambarkan oleh Easton dalam pendekatan
Model Sistem Easton
Environment
Demands Outcomes
Inputs
Policy Decisions
Support
making actions
Resources Outputs
Environment Environment
Feedback
Environment
INPUT
1. Demands
Sistem Kesehatan Indonesia harus memihak rakyat. Saat ini sistem pembayaran jasa
per pelayanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan
tersebut disediakan di RS publik.
Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih
baik mutunya, you get what you pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan
yang merata (setara) atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada
prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai kemampuannya
membayar.
Sumber daya adalah asset yang dimiliki oleh Pemerintah untuk memenuhi demand
yang telah diajukan. Dalam hal ini sumber daya tersebut adalah
a. Adanya badan usaha milik negara yang sudah menyelenggarakan jaminan sosial
terbatas seperti PT Jamsostek, PT. ASABRI, PT. ASKES, PT. Taspen sebagai modal
infrastruktur awal.
3. Support
d. Insitusi Pemberi Layanan Kesehatan mulai dari layanan dasar sampai rujukan.
PROSES
1. Riset
c. Penelitian Thabrany, dkk (2000) menunjukkan bahwa 10% rumah tangga termiskin
harus menghabiskan 230% penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali rawat
inap anggota keluarganya. Sementara keluarga 10% terkaya hanya menghabiskan
120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat inap anggota
keluarganya. Akibatnya akses terhadap pelayanan rumah sakit menjadi sangat tidak
adil, karena penduduk miskin tidak mampu membiayai perawatan.
d. Mahlil Rubi (2007) dalam disertasinya menemukan bahwa 83% rumah tangga
mengalami pembayaran katastropik ketika satu anggota rumah tangga
membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin,
sakit sedikit jadi miskin), karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk
biaya berobat di RS, bahkan di rumah sakit publik.
2. Membangun Argumentasi
a. Aspek hukum dan hak asasi manusia, yaitu Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948
dan Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952. Di Indonesia, jaminan sosial diamanatkan
dalam UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat (2).
b. Kondisi sistem kesehatan Indonesia yang sangat tidak memihak kepada rakyat. Hal
ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang
diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut di sediakan di RS publik.
Sehingga rakyat Indonesia menghadapi ketidak-pastian (uncertainty) dalam
memperoleh pelayanan kesehatan. Di rumah sakit publik sekalipun, rakyat tidak
tahu berapa biaya yang harus dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat,
c. Sistem kesehatan di Indonesia jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan yang diperdagangkan.
Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau
lebih baik mutunya, you get what you pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip
keadilan yang merata (setara) atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian,
yang pada prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai
kemampuannya membayar.
Lobby, mediasi, kolaborasi, dan hearing dilakukan dengan DPR sebagai lembaga
legislatif. Proses ini berlanjut dengan :
b. Tap MPR ini direalisasikan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Pokja SJSN) Tahun 2001 oleh Wakil Presiden RI (Kepseswapres,
No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001), dengan tugas utama menyiapkan Naskah
Akademik (NA) SJSN dan konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) SJSN.
Kepseswapres tersebut diperbaharui dengan Keppres No. 20 Tahun 2002, tanggal 10
April 2002, tentang pembentukan Tim SJSN dengan bentuk penugasan yang sama.
c. Studi banding, lokakarya, pembahasan informal dengan DPR RI, sosialisasi, dan
masukan dari masyarakat lainnya. Penyusunan NA SJSN merupakan langkah awal
dirintisnya penyusunan RUU SJSN.
e. Kemudian Pemerintah menyerahkan RUU SJSN yang terdiri dari 12 (dua belas)
bab dan 80 (delapan puluh) pasal kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.
f. Selama pembahasan Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI, RUU SJSN
hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan.
Sehingga dalam perjalanannya, konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU
SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh
enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun
2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004, terdiri dari 9 bab dan 53
(lima puluh tiga) pasal.
Melalui proses ini diharapkan ada perubahan perilaku dan kesiapan masyarakat dan
seluruh stakeholder untuk menerima dan melaksanakan UU SJSN.
OUTPUT
Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU SJSN (Nomor 40/2004) diundangkan Presiden
Megawati pada hari terakhir beliau berada di Istana.
FEED BACK
Dalam kurun waktu kurang lebih 4 bulan sejak disahkan, tepatnya 21 Februari 2005, UU
SJSN telah diajukan untuk dilakukan uji materi yang keputusannya dibacakan oleh
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus 2005. Uji materi diajukan oleh beberapa
wakil Pemerintah Daerah (DPRD Propinsi Jawa Timur, Pengurus Bapel JPKM Propinsi Jawa
Timur, Pengurus Satpel JPKM Kabupaten Rembang dan Pengurus Perbapel JPKM
DKI Jakarta) yang berpendapat bahwa hak dan kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya UU SJSN.
1. Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4456) bertentangan dengan UUD Negara RI 1945;
2. Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4456) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
3. Menolak permohonan Pemohon terhadap Pasal 5 ayat (1) dan pasal 52;
2. Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak dimohonkan dalam petitum namun ayat ini
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3)
sehingga jika dipertahankan juga akan menimbulkan multitafsir dan
ketidakpastian hukum sebagaimana Pasal 5 ayat (3). Pasal 5 ayat (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 sangat berpeluang menimbulkan
multi interpretasi, karena terdapat rumusan yang saling bertentangan
dengan ayat lain yang bermuara pada ketidakpastian hukum, karena itu
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945.
b. Kurangnya political will Pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah karena Undang-
Undang SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hari akhir periode kepresidenan.
Undang-Undang (UU) semacam ini sering disebut sebagai “Midnight Laws”. Dapat
dipahami bahwa periode kepresidenen berikutnya kurang merasa memiliki
(ownership) UU SJSN.
e. Dari isi Undang-Undang SJSN, pada segi kepesertaan ada beberapa hal yang kurang
jelas, karena semua yang akan diikutkan dalam program ini harus membayar iuran.
Iuran ditanggung oleh pemberi kerja. Bagaimanakah dengan buruh kontrakan,
petani, nelayan dan self employee lainnya?
f. Batasan untuk fakir miskin yang kurang jelas, dikhawatirkan ini akan menjadi
masalah dikarenakan tidak ada parameter yang baku. Kemudian untuk fakir miskin
yang iurannya ditanggung oleh pemerintah hanya menanggung sampai anggota
keluarga kelima, selebihnya kepala keluarga harus menambah sendiri iurannya.
g. Jika melihat produknya, SJSN ini banyak kemiripan dengan sistem asuransi multiguna
dimana ada bagian proteksi dan bagian investasinya. Bagian proteksi sudah dibahas
sebelumnya. Bagian investasi disini jika berhasil dilakukan akan bisa digunakan untuk
pembayaran dana pensiun anggota jika mereka sudah tidak bekerja. Masalah
investasi merupakan daerah yang berbahaya. Kalau tidak hati–hati dapat
menimbulkan kecurigaan terjadinya tindakan korupsi, kalau memang mau
dilaksanakan harus dengan akuntabilitas yang baik dan transparansi laporan, setiap
bulan anggota harus mendapatkan laporan pengembangan hasil investasinya.
A. Agenda Regulasi
3. Membangun sumber daya manusia yang peduli dan paham sistem jaminan sosial.
4. Membangun opini publik yang kondusif untuk pengembangan Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
1. Menyusun desain, strategi dan rencana perluasan cakupan kepesertaan dan manfaat
program jaminan sosial.