Anda di halaman 1dari 10

 Definisi

Withdrawal syndrome, atau dikenal juga dengan discontinuation syndrome , dapat terjadi
pada individu yang kecanduan obat dan alkohol yang menghentikan atau
mengurangi penggunaan obat pilihan mereka. Proses menghilangkan narkoba dan alkohol
dari tubuh dikenal sebagai detoksifikasi. Kecemasan, insomnia, mual, keringat, nyeri
tubuh, dan tremor adalah hanya beberapa dari gejala fisik dan psikologis dari penghentian
obat dan alkohol yang mungkin terjadi selama detoksifikasi. Withdrawal syndrome
terutama berfokus pada withdrawal dari
etanol, sedative-hipnotik, opioid, stimulan, dan gamma-hidroksibutirat (GHB)

 Tanda dan Gejala Klinis Berdasarkan Klasifikasi


Sindroma withdrawal sangat terkait erat dengan penggunaan alkohol, narkoba, serta obat-
obatan lainnya, sehingga manifestasi klinis yang ditampilkan juga dapat
diklasifikasikanberdasarkan kaitannya dengan penggunakan obat-obatan tadi.
a.Alcohol withdrawal
Biasanya pasien telah menyalahgunakan alcohol setiap hari selama 3 bulan, atau
dapat pula telah mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar yang biasanya dalam waktu 1
minggu (seperti pada pesta minuman keras). Gejala penolakan akan muncul dalam waktu 6-
12 jam setelah individu berhenti atau mengurangi konsumsi alkohol, namun akan
segera menghilang jika mengkonsumsi alkohol kembali.
Tampak gejala continuum berupa tremor ringan hingga dystonic tremor (DT).
Spectrum manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi, gejala dan tanda dapat tumpang
tindih dalam waktu dan durasinya, sehinga akan didefinisikan dulu mulai dari yang ringan
sampai yang berat.
1. Penarikan atau penolakan ringan terjadi dalam waktu 24 jam setelah penghentian
konsumsi alkohol dan ditandai dengan tremor, insomnia, kecemasan,
hiperrefleksia, diaphoresis, hiperaktif otonom ringan, serta gangguan
gastrointestinal.
2. Penarikan atau penolakan sedang terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan kecemasan intens,
tremor, insomnia, dan gejala peningkatan adrenergic.
3. Penarikan atau penolakan berat terjadi dalam waktu lebih dari 48 jam
setelah penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan perubahan sensorium yang
mendalam seperti disorientasi, agitasi, dan halusinasi, serta bersamaan
dengan hiperaktifitas otonom yang berat seperti tremor, takikardi, takipnea,
hipertermia, dan diaphoresis.
Pada 25 % pasien dengan riwayat penggunaan alcohol dalam jangka panjang timbul
manifestasi klinis berupa alkoholik halusinosis. Ini dapat terjadi 24 jam setelah penghentian
konsumsi alcohol dan akan berlanjut selama sekitar 24 jam. Gejala biasanya
berupa persekutori, auditori, atau yang paling sering adalah halusinasi visual dan
taktil, namun sensorium pasien kadang tidak begitu tampak. Namun pada tahap
lanjut, halusinasi akan dianggap nyata dan dapat menimbulkan rasa takut yang
ekstrim serta timbul kecemasan. Pasien akan merasa dapat melihat objek yang imajiner,
seperti pakaian ataupun lembaran- lembaran. Dan pada halusinosis ini tidak selalu diikuti
oleh DT. Pada 23-33 % pasien juga dilaporkan dapat mengalami kejang, yang
biasanya berlangsung singkat, berupa kejang umum, tonik-klonik, dan tanpa aura. Dan pada
sekitar 30-50% pasein, kejang ini dapat berkembang menjadi DT. Puncak kejadian
ini biasanya setelah 24 jam setelah konsumsi alcohol terbaru, dan sekitar 3 %
dari pasien yang bermanifestasi kejang ini dapat mengalami status epileptikus.
Kejang ini biasanya dapat berhenti secara spontan atau dapat dikontrol dengan pemberian
benzodiazepine.
Tanda yang paling khas dari Alcohol withdrawal adalah DT, yang terjadi setelah 48-
72 jam konsumsi alcohol terakhir. Tampak gejala sensorium berupa disorientasi, agitasi, dan
halusinasi; gangguan otonom berat seperti diaphoresis, takikardia, takipnea, dan hipertermia.
DT ini dapat muncul meski tidak didahului oleh kejang. Penghentian efek alcohol
withdrawal pada pasein biasanya adalah dengan mengkonsumsi alkohol itu sendiri,
namun jika dalam keadaan yang sulit untuk memperoleh minuman alkohol, biasanya pasien
juga dapat mengkonsumsi zat lain yang juga mengandung alkohol, seperti isopropyl alkohol,
sirup batuk, pembersih tangan, obat kumur, methanol, dan
juga etilena glikol.
b. Sedative-hypnotic withdrawal syndrome
Withdrawal syndrome yang ditimbulkan akibat konsumsi benzodiazepine, bariturat,
dan obat penenang lain atau hipnotik dalam jangka panjang. Ditandai dengan pronounced
psikomotor dan disfungsi otonom. Gejala biasanya muncul 2-10 hari setelah
penghentian secara mendadak dari obat-obat penenang yang digunakan, serta akan
bergantung pula dari masing-masing waktu paruh obat-obatan tersebut.
c. GHB withdrawal syndrome
GHB dan prekursornya (gamma-butyrolactone, 1,4’-butanadiol) dilaporkan dapat
menimbulkan induksi toleransi dan ketergantungan. Gejalanya mirip dengan
withdrawal syndrome pada sedative-hipnotik, ditandai dengan ketidakstabilan otonom
ringan dan singkat, dengan gejala psikotik yang berkepanjangan.
d. Opioid withdrawal
Opioid tidak secara langsung menyebabkan gejala yang mengancam jiwa, kejang,
maupun delirium. Gejala yang ditampilkan justru dapat menyerupai penyakit
seperti flu berat, yang ditandai dengan rhinorrhea, bersin, lakrimasi, menguap, kram perut,
kram kaki, piloereksi atau merinding, mual, muntah, diare, dan pupil melebar. Serta
perubahan status mental, disorientasi, halusinasi, dan kejang yang merupakan karakteristik
DT, tidak tampak pada Opioid withdrawal ini. Waktu paruh dari Opioid withdrawal ini
dapat menentukan onset dan durasi gejala yang akan muncul. Sebagai contoh, gejala
penarikan pada penggunaan heroin dan metadon akan memuncak pada 36-72 jam dan
72-96 jam, masing-masing, dan dapat berlangsung selama 7-10 hari dan setidaknya
masing-masing 14 hari. Stimulant (cocaine and amphetamine) withdrawal, Atau wash-out
syndrome Sindrom ini menyerupai gangguan depresi berat, tampak disforia, tidur
berlebihan, kelaparan, dan keterbelakangan psikomotor yang parah, sedangkan
fungsi vitalnya terjaga dengan baik. Gejala ini dapat berlangsung hingga 2 hari, meskipun
pada yang ringan dapat bertahan hingga 2 minggu.
 Patofisiologi
Tubuh, ketika terpapar oleh bermacam-macam tipe zat akan mencoba untuk
mempertahankan homeostasisnya. Ketika terpapar, tubuh memproduksi mekanisme
counter- regulatory dan proses tersebut mencoba untuk mempertahankan tubuh dalam
keadaan seimbang. Saat zat tersebut telah dihilangkan, sisa dari mekanisme counter-
regulatory akan menghasilkan efek yang hebat dan juga withdrawal symptoms. Toleransi
terjadi ketika penggunaan suatu zat yang berkepanjangan menghasilkan suatu perubahan
yang disesuaikan sehingga hal tersebut meningkatkan jumlah zat yang dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu efek. Toleransi bergantung pada dosis, durasi, dan
frekuensi penggunaan dan hal ini merupakan hasil dari adaptasi farmakokinetik
(metabolic) dan farmakodinamik (seluler atau fungsional). Mekanisme dari intoksikasi dan
penghentian penggunaan ethanol adalah sesuatu hal yang kompleks. Kebanyakan dari
efek klinis dapat dijelaskan oleh interaksi dari ethanol dengan berbagai macam
neurotransmitter dan neuroreceptor di otak, termasuk interaksi dengan gamma- aminobutyric
acid (GABA), glutamate (NMDA), dan opiates. Menghasilkan perubahan pada
neurotransmitter inhibisi dan eksitatori sehingga mengganggu keseimbangan neurochemical
di otak sehingga dapat menyebabkan gejala dari putus obat. Ethanol berikatan
dengan reseptor postsynaptic GABA (neuron inhibisi). Aktivasi dari reseptor ini
meningkatkan efek dari GABA tersebut. Sebagai responnya, terbukanya kanal ion klorida,
sehingga menyebabkan influx dari ion klorida. Hiperpolarisasi dari sel tersebut, akan
menurunkan dari firing rate dari berbagai neuron, yang pada akhirnya mengakibatkan sedasi.
Penggunaan jangka panjang dari ethanol setelah itu menghasilkan downregulation dari
reseptor GABA

Dengan adanya supresi yang berkepanjangan dari neurotransmitter eksitatori, otak


meningkatkan dari sintesis neurotransmitter eksitatori, seperti norepinephrine, serotonin, dan
dopamine, sehingga menyebabkan gejala putus obat. Ethanol menghambat neuron eksitatori
dengan cara menurunkan dari aktifitas reseptor N-
Methyl-D-aspartate (NMDA, glutamate subtype). Penggunaan jangka panjang
menghasilkan upregulation dari reseptor NMDA, sebuah adaptasi yang
menyebabkan terjadinya toleransi. Peningkatan dari neuroeksitatori yang tak dapat
dikontrol berkontribusi dalam terjadinya serangan
withdrawal dan gejala lain ketika intake alkohol diturunkan atau dihentikan.
Pada penggunaan jangka pendek, ethanol menghambat dari penempelan opioid
pada resptor p-opioid, dan pada penggunaan jangka panjang menghasilkan upregulation dari
reseptor opioid. Reseptor opioid di nucleus accumbens dan pada area tegmental
anterior dari otak memodulasi pelepasan ethanol-induced dopamine, yang mana
menghasilkan kecanduan alkohol dan dapat menjelaskan bahwa penggunaan antagonis opioid
dapat menjaga dari ketergantungan tersebut.
Pada ketergantungan opioid atau benzodiazepine, stimulasi kronik dari reseptor spesifik
untuk obat ini menekan dari produksi endogen neurotransmitter (masing-masing endorphins
atau (GABA). Penghentian obat yang dikonsumsi dari luar memberikan efek counter-
regulatory yang hebat untuk menjadi gejala klinis yang nyata. Ketika obat luar
dihentikan secara mendadak, produksi yang tidak adekuat dari transmitter endogen dan
stimulasi hebat dari counter-regulatory transmitter menghasilkan karakteristik gambaran
klinis dari withdrawal Sifat dasar dari counter- regulatory transmitter yang berlebih
menghasilkan karakteristik withdrawal Waktu yang
dibutuhkan untuk mengembalikan homeostasis dengan sintesis dari transmitter
endogen menentukan waktu yang dibutuhkan untuk withdrawal
.
 Diagnosis
Gambaran umum dari keadaan putus zat ( withdrawal state ) adalah berupa
gangguan psikologis seperti anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan untuk gejala
fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Yang khas adalah pasien ini akan
melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat.
Keadaan putus zat ini merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan sehingga
diagnosis ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan Berikut adalah kriteria diagnostik
beberapa jenis withdrawal syndrome
:
 Kriteria Diagnostik
Alcohol Withdrawal Syndrome

A. Penghentian atau pengurangan penggunaan alkohol yang telah berat dan berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa hari
setelah kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100 kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik
6) Agitasi psikomotor
7) Anxietas
8) Kejang Grand mal
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
 Kriteria Diagnostik
Amphetamine Withdrawal Syndrome
:
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan amphetamine (atau substansi
sejenis) yang telah berat dan berkepanjangan.
B. Mood dysphoric dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut ini beberapa jam
sampai beberapa hari setelah kriteria A :
1) Fatigue
2) Mimpi buruk
3) Insomnia atau hipersomnia
4) Nafsu makan meningkat
5) Retardasi psikomotor atau agitasi
C.Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
Kriteria Diagnostik
Cocaine Withdrawal Syndrome
:
A.Menggunakan cocaine terakhir.
B. Perilaku maladaptif yang signifikan secara klinis atau perubahan psikologis (seperti
euforia atau penumpulan afektif, perubahan dalam sosialisasi, hipervigilance,
sensitifitas interpersonal, anxietas, tegang atau marah, perilaku stereotip, gangguan
penilaian, atau ganguan fungsi sosial dan pekerjaan) yang terjadi ketika atau sesaat setelah
penggunaan cocaine.

C.Dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul ketika atau sesaat setelah
penggunaan cocaine :

1) Takikardi atau bradikardi


2) Dilatasi pupil
3) Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4) Berkeringat atau kedinginan
5) Nausea atau vomiting
6) Berat badan menurun
7) Agitasi psikomotor atau retardasi
8) Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia
9) Bingung, kejang, dyskinesia, dystonia atau koma
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
Kriteria Diagnostik
Nicotine Withdrawal Syndrome
:
A. Menggunakan nicotine setiap hari setidaknya dalam beberapa minggu.
B. Penghentian tiba-tiba penggunaan nicotine, atau pengurangan penggunaan nicotine diikuti
empat (atau lebih) gejala berikut ini :
1) Dysphoric atau mood depresi
2) Insomnia
3) Iritabilitas, frustasi, marah
4) Anxietas
5) Sulit berkonsentrasi
6) Gelisah
7) Penurunan denyut nadi
8) Peningkatan nafsu makan atau berat badan
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
 Kriteria Diagnostik
Sedative, Hypnotic, Anxiolytic Withdrawal Syndrome

:A. Penghentian atau pengurangan penggunaan sedative, hipnostic, anxiolytic


yang telah berat dan berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa hari
setelah kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100 kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik

6) Agitasi psikomotor

7) Anxietas

8) Kejang Grand mal


C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
Spesifik jika terdapat gangguan perseptual.
Kriteria Diagnostik
Opioid Withdrawal Syndrome
:
A.Terdapat salah satu gejala berikut ini :

1) Penghentian atau pengurangan penggunaan opioid yang telah berat dan berkepanjangan
(beberapa minggu atau lebih).
2) Pemberian antagonis opioid setelah masa penggunaan opioid.

B. Terdapat tiga atau lebih gejala berikut ini beberapa menit sampai beberapa
hari setelah
kriteria A :
1) Mood dysphoric
2) Nausea atau vomitting
3) Nyeri otot
4) Lakrimasi atau rinorrhea
5) Dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
6) Diare
7) Menguap
8) Demam
9) Insomnia
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau
penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya.
 Terapi
Pengatasan penyalahgunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi, yang
melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Kondisi yang perlu diatasi
secara farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi
Intoksikasi dan kejadian munculnya gejala putus obat (“sakaw”). Dengan demikian,
sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
1. Terapi pada intoksikasi/over dosis
 tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh,
menjaga fungsi vital tubuh
2. Terapi pada gejala putus obat
 tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya tidak semakin parah, sehingga
pasien tetap nyaman dalam menjalani program penghentian obat

Tabel 1. Ringkasan Tentang Terapi Intoksikasi

Kelas obat Terapi obat Terapi non- Komentar


obat

Benzodiazepin Flumazenil 0,2 Support Kontraindikasi jika ada


mg/min IV, ulangi penggunaan TCA
sampai max 3 mg fungsi vital resiko kejang

Alkohol, barbiturat, Tidak ada Support


sedatif hipnotik fungsi vital

non-benzodiazepin Naloxone 0,4-2,0 mg Support Jika pasien tidak


Opiat IV setiap 3 min fungsi vital responsif sampai dosis
10 mg mungkin ada OD
Selain opiat

Kokain dan þ Lorazepam 2-4 mg Support digunakan jika pasien


stimulan CNS lain IM setiap 30 min fungsi vital agitasi & psikotik
sampai 6 jam jika Monitor
perlu fungsi jantung
þ Haloperidol 2-5 mg komplikasi kardio-
(atau antipsikotik vaskular diatasi
lain) setiap 30 min scr simpatomatis,
sampai 6 jam

Halusinogen Sama dgn di atas Support


Marijuana fungsi vital
“talk-down
therapy“

Tabel 2. Ringkasan Tentang Terapi Untuk Mengatasi Withdrawal Syndrome

Obat Terapi obat Komentar

Benzodiazepin Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari atau


(short acting) lorazepam 2 mg 3 x sehari, jaga dosis
utk 5 hari, kmd tappering

Long acting BZD Sama, tapi tambah 5-7 hari utk Alprazolam paling
Tappering sulit dan butuh
waktu lebih lama

Opiat Methadon 20-80 mg p.o, taper dengan jika metadon


5-10 mg sehari, atau klonidin 2 mg/kg gagal, metadon
tid x 7 hari, taper untuk 3 hari berikutnya maintanance
program
Klonidin
menyebabkan
hipotensi

Barbiturat Test toleransi pentobarbital, gunakan


dosis pada batas atas test, turunkan
dosis 100 mg setiap 2-3 hari

Mixed-substance Lakukan spt pada long acting BZD


Stimulan CNS Terapi supportif saja, bisa gunakan
bromokriptin 2,5 mg jika pasien
benar-benar kecanduan, terutama pada
kokain
Terapi ketergantungan opioida yang efektif menurut WHO (2003) adalah terapi
abstinensia dan terapi substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis opioida
(metadon), antagonis opioida (naltrekson) dan parsial agonis opioida (buprenorfin).
Buprenorfin adalah salah satu semi-sintetik opioida yang telah diketemukan sejak
tahun 1965 dengan melalui berbagai penelitian telah diapproved oleh FDA pada
tahun 2002 dan mendapat izin edar di Indonesia pada akhir tahun yang sama.
Buprenorfin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida μ, berikatan dengan
reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin juga memiliki afinitas
tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k, sehingga pada keadaan tertentu
buprenorfin dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom putus obat opioida ( opioida withdrawal
syndrome) dengan gejala dan tanda yang serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara
kuantitatif dibandingkan akibat antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson.
Buprenorfin memberikan beberapa keuntungan dibandingkan terapi gabungan agonis
– antagonis yang digunakan dalam terapi ketergantungan opioida. Keuntungan ini
antara lain indeks keamanan yang lebih besar terhadap terjadinya depresi pernafasan, tanda
otonom dari putus obat opioida yang lebih ringan, dan efek psikomimetik atau disforik yang
lebih ringan. Dengan efek respon opioida ganda maka ketika menghambat efek penggunaan
heroin sampingan, buprenorfin juga mengurangi penggunaan.

 Perkembangan Terapi
Withdrawal syndrome adalah gejala-gejala yang timbul karena putusnya pemakaian
NAPZA. Terapinya dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi.
Banyak penelitian yang menemukan penggunaan obat-obatan baru sebagai terapi penyakit ini
untuk hasil yang lebih baik. Pada salah satu penelitian yang dilakukan pada
tahun 2012 dilakukan perbandingan efikasi dan tingkat keamanan pada obat yang telah
lama digunakan untuk terapi withdrawal syndrome yaitu methadone dan obat baru
yaitu tramadol. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa tramadol memiliki efek
samping yang lebih jarang terjadi daripada methadone dengan efektivitas yang sama
dalam mengontrol gejala withdrawal syndrome sehingga tramadol dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti methadone yang potensial. Pada penelitian lain yang
dilakukan tahun 2011 dengan objek penelitian berupa ikan zebra dilakukan
pengamatan terhadap zat mytraginine dan potensinya untuk terapi withdrawal syndrome.
Mytraginine adalah zat alkaloid yang dapat ditemukan pada daun tanaman Mytragina sp.
yang kemudian digunakan secara luas untuk meningkatkan pertahanan terhadap
kerasnya gejala-gejala withdrawal syndrome pada saat rehabilitasi dari penggunaan opiat.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian mytraginine pada pasien
dengan gejala withdrawal syndrome dapat menurunkan kadar produksi kortikotropin dan
prodynorphin pada otak sehingga dapat menekan stress dan kecemasan yang dipengaruhi
oleh hormon-hormon tersebut. Selama ini obat-obatan yang digunakan untuk
withdrawal syndrome bertujuan untuk mengurangi stress, namun mayoritas obat
tersebut akan berefek menekan kemampuan alami pasien untuk mengatasi stress
itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengatasinya. Pada
penelitian yang dilakukan di Perancis tahun 2011 dilakukan pengamatan pada
corticotrophin releasing factor (CRF) yang berhubungan dengan terjadinya stress.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan reseptor-defisiensi CRF(2) dapat
meringankan distress pada masa withdrawal dari opiat tanpa menimbulkan efek kerusakan
pada otak dan organ neuroendokrin serta tidak mempengaruhi mekanisme stress
coping sebagai respons alami terhadap sindrom ini.

.
 Komplikasi
Beberapa komplikasi medis dapat timbul setelah pemakaian alkohol dan narkoba jangka
panjang. Beberapa komplikasi lebih sering ditemukan dan menimbulkan dampak
serius pada gejala putus alkohol daripada gejala putus opiat atau zat stimulan lain. Berikut
komplikasi yang dapat ditemukan pada sindrom putus alkohol
 Komplikasi metabolik
a.Ketoasidosis alkoholik ( AKA )
b. Gangguan elektrolit ( contoh: hipomagnesemia, hipokalemia, hipernatremia)
c. Defisiensi vitamin (contoh: thiamin, phytonadione, cynocobalamin, asam folat)

 Kesimpulan
Withdrawal syndrome merupakan kumpulan gejala yang
terjadi pada individu yang kecanduan obat dan alkohol yang menghentikan atau
mengurangi penggunaan obat pilihan mereka. Gambaran umum dari withdrawal
syndrome adalah berupa gangguan psikologis seperti anxietas, depresi dan gangguan tidur,
sedangkan untuk gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Terapi yang
dibutuhkan untuk mengatasi withdrawal syndrome yaitu bergantung pada zat yang
mengakibatkan withdrawal syndrome tersebut.

Referensi : (pacific, western region. Clinical guidelines for withdrawal management and
treatment of drug dependence in closed setting. WHO. 2009)

Anda mungkin juga menyukai