PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesetimbangan
Kesetimbangan merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi perubahan
sifat makroskopis dari sistem terhadap waktu. Untuk material dalam jumlah
tertentu, hal tersebut dapat diartikan tidak ada perubahan sifat material tersebut
terhadap waktu. Keadaan setimbang yang sebenarnya barangkali tidak pernah
tercapai. Suatu proses berlangsung karena adanya penggerak dan selalu menuju ke
titik kesetimbangan. Gaya ini merupakan selisih antara potensi pada keadaan
seketika dan keadaan setimbang semakin dekat keadaan sistem dengan titik
kesetimbangan, semakin kecil gaya penggerak proses semakin kecil pula laju
proses dan akhirnya sama dengan nol bila titik kesetimbangan sudah tercapai.
Titik kesetimbangan hanya bisa tercapai secara teoritis dalam waktu yang
tak terhingga. Pada prakteknya di dalam pekerjaan ilmiah suatu kesetimbangan
dianggap tercapai bila tidak ada lagi perubahan sifat atau keadaan seperti yang
ditunjukkan oleh alat pengukur yang digunakan. Didalam masalah rekayasa
kesetimbangan dianggap ada, jika sifat yang ditunjukkan oleh praktikan sama
dengan sifat yang dihtung berdasarkan metoda yang menggunakan anggapan
kesetimbangan. Sebagai contoh perbandingan komposisi pelat distilasi dengan
pelat teoritis.
Perubahan suhu (T), tekanan (P), konsentrasi (C), dan entalpi (H) selama
proses pemisahan dapat dianalisa berdasarkan konsep kesetimbangan
termodinamika. Persamaan ini sesuai dengan kaidah fase Gibbs:
F = C – P + 2..................................................... (2.1)
Dimana:
F = Variabel intensif/bebas
C = spesies atau komponen dalam sistem
P = Jumlah fase dalam system
2
2.2 Kriteria Kesetimbangan
Kriteria kesetimbangan bukan hanya pada suhu dan mekanikal, melainkan
pembatasan-pembatasan termodinamika pada sistem dengan fasa banyak dan
komponen banyak yang mengalami kesetimbangan. Meskipun terjadinya
kesetimbangan suhu dan mekanikal dalam sistem, masih dimungkinkan terjadinya
perpindahan massa antar fasa. Sehingga kriteria kesetimbangan dalam hal ini juga
mengamati kesetimbangan antar fasa dengan meninjau dari segi kemungkinan
perppindahan antar fasa tersebut. Kriteria ini pertama kali dikemukaan oleh
Gibbs.
Suatu sistem multi komponen yang tertutup terdiri dari sejumlah fasa
mempunyai temperatur dan tekanan yang sama, tetapi pada keadaan awal sistem
ini tidak setimbang jika ditinjau dari segi perpindahan massa. Setiap perubahan
yang terjadi harusnya bersifat irreversible, yang mendekatkan sistem pada
keadaan setimbang. Dalam hal ini, sistem dimisalkan dalam keadaan setimbang
secara suhu dan mekanikal (meskipun perubahan terjadi dalam sistem). Karena
pertukaran panas dan pemuaian kerja antar sistem dan sekelilingnya terjadi,
sehingga untuk keadaan perubahan entropi dari sekeliling sistem mengikuti
persamaan:
dQsur
dS sur
Tsur ........................................................... (2.2)
Ditinjau dari sistem panas yang berpindah adalah –dQ yang mempunyai
harga numerik mutlak sama dengan dQsur. Selanjutnya Tsur = T dari sistem
dS t dS sur 0
........................................................... (2.4)
Dimana St merupakan entropi total dari sistem. Sehingga jika digabungkan antara
persamaan (1.2) dengan persamaan (1.3) menjadi:
3
dS t
dQ
0 dQ TdS t ......................... (2.5)
T atau
Menurut hukum pertama termodinamika:
dU t dQ dW dQ PdV t
dQ dU t PdV t
dS t
U t ,V t 0
.............................................................. (2.6)
Suatu sistem yang terisolasi memiliki syarat bahwa energi internal dan
volume adalah tetap. Maka untuk sistem yang terisolasi tersebut berlaku hukum
ke-dua termodinamika. Dari persamaan dUt + PdVt – TdSt ≤ 0 berlaku untuk T
dan P yang tetap. Persamaan tersebut dapat ditulis secara metematis sebagai
berikut:
dU t T , P dPV t T ,P
dTS t T ,P 0
Atau
d U t PV TS t
T ,P 0
............................................ (2.7)
Keadaan setimbang dari sistem tertutup adalah keadaan yang energi bebas
Gibbs totalnya adalah minimum jika ditinjau dari perubahan T dan P pada saat
tertentu. Pada keadaan setimbang, variasi dalam kadar differensial dapat terjadi
didalam sistem pada T dan P yang tetap, tanpa mengakibatkan perubahan Gt,
sehingga:
dG t
T ,P 0
............................................................... (2.8)
Untuk penerapan kriteria ini terhadap kesetimbangan fasa, sebaiknya
ditinjau kembali untuk sistem tertutup yang terdiri dari dua fasa, A dan B. Setiap
fasa dapat dianggap sebagai ststem terbuka yang memungkinkan terjadinya
perpindahan massa dari fasa satu ke fasa yang lain. Untuk masing-masing fasa
berlaku persamaan:
nG nS dT nV dP i dni ............... (2.9a)
nG nS dT nV dP i dni .............. (2.9b)
4
Karena T dan P tetap maka penjumlahan ke dua persamaan menghasilkan:
nG t
T ,P
i dni i dni
........................ (2.10)
Didalam sistem tertutup berlaku persamaan:
dni dni .............................................................. (2.11)
Jadi,
i i dni 0
................................................ (2.12)
Karena dniα sembarang dan bebas maka penyelesaian untuk mendapatkan
persamaan akhir sama dengan 0 adalah:
i i .................................................................... (2.13)
bahwa:
6
di RTd ln f i (T tetap)
Atau
^
i RT ln fi
Dengan Θ merupakan tetapan integrasi harganya hanya tergantung pada T. Karena
kesetimbangan fasa pada umumnya berada pada T yang sama, maka syarat diatas
dapat diganti dengan persamaan:
^ ^ ^
fi fi ... fi .................................................... (2.15)
5
Keterangan gambar:
x = fraksi mol pada fasa cair.
y = fraksi mol pada fasa uap.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, pada keadaan seimbang tidak ada perubahan
temperatur, tekanan dan fraksi-fraksi dalam sistem, dan akan tercapai:
1. Kesetimbangan Termal : perpindahan panas netto = 0, atau tidak ada
perpindahan panas (∆ T=0), maka: T V = T L, dengan Tv = suhu uap, TL =
suhu cairan.
2. Kesetimbangan mekanis = kesetimbangan semua gaya=gaya: Pv = PL.
3. Kesetimbangan potensi kimia: ( µ i)V = ( µ i)L
Dan
f i v iv xi P ......................................................... (2.18)
Gabungan persamaan (1.14), (1.15) dan (1.17):
iL xi iv y i
......................................................... (2.19)
6
Persamaan terakhir xi dan yi tidak bernilai explisit mengingat baik iL
Hasil yang paling sederhana diperoleh jika diasumsikan fasa uap bersifat gas
ideal dan fasa cairan merupakan larutan ideal, maka:
1. Bila fasa uap bersifat gas ideal:
̂ 𝑽𝒊 = 𝟏 iv 1
𝜣 ......................................................... (2.20)
2. Bila fasa cairan merupakan larutan ideal:
f i L xi f i L fL
iL i
xi P xi P P ........................................... (2.21)
𝒇̂𝑳𝒊 = 𝒇𝒔𝒂𝒕
𝒊 f i L f i sat ................................................... (2.22)
Jika ; f i L f i sat
𝒇̂𝑳𝒊 = 𝒇𝒔𝒂𝒕
𝒊 f i L f i sat
P sat
L
i
P
Hasil secara keseluruhan:
P sat
xi yi
P ......................................................... (2.23)
Pi = yi P = xiPsat ......................................................... (2.24)
7
Persamaan terakhir merupakan rumus hukum Raoult. Persamaan tidak
realistik, disebabkan karena asumsi kedua yang biasanya tidak berlaku, kecuali
sistemnya terdiri dari komponen yang serupa secara kimiawi dan dalam ukuran
molekul. Tahap penyelesaian untuk persamaan akhir dikenal dengan bilangan
koefisien aktifitas. Berikut ini diturunkan persamaan yang umum:
f i v y i Vi P untuk fasa uap dan
Ke-dua konsep tersebut terpisah satu sama lain. Dalam arti kata Vi tidak
dipengaruhi oleh komposisi cairan dan sebaliknya 𝜸𝒊 tidak dipengaruhi oleh
komposisi uap.
Telah diuraikan bahwa untuk sistem N merupakan komponen dan pada dua
fasa ada bilangan N merupakan derajat kebebasan, artinya N variabel dapat
ditentukan secara bebas sedang N variabel yang lain merupakan variabel tidak
bebas dan dapat dihitung. Beberapa bentuk persoalan dalam Kesetimbangan Uap-
Cair:
1. Menghitung T dan yi pada titik gelembung, bila ditentukan P dan xi(i =
1,2,...N-1).
8
2. Menghitung P dan yi pada titik gelembung, bila ditentukan T dan xi( i =
1,2,...N-1).
3. Menghitung T dan xi pada titik embun, bila ditentukan P dan yi
( i = 1,2,...N-1)
4. Menghitung P dan xi pada titik embun, bila ditentukan T dan yi
( i = 1,2,...N-1)
Psat dan T pada persamaan (1.28a) dan (1.28b) dalam satuan mmHg dan
derajat kelvin. Konstanta kesetimbangan uap cair dapat ditentukan dari persamaan
Hukum Raoult:
Pi sat yi
K
P xi ......................................................... (2.29)
9
fi V = θiV .yiP ............................................................. (2.30)
dimana θ adalah koefisien fugasitas, y adalah fraksi mol komponen di fasa uap
dan P adalah tekanan total.
Koefisien fugasitas dihitung berdasarkan data volumetrik dengan cara
sebagai berikut:
1 V RT
P
1 V RT
P
10
koefisien aktivitas anatara lain Persamaan Van Laar, persamaan Margules,
persamaan Wilson, dan sebagainya. Koefisien aktivitas juga dapat dihitung
dengan menggunakan metoda kelompok (group method).
i
OL SV S
fi (T , P ) Pi ...................................................... (2.34)
Fugasitas di fasa cair juga sering dinyatakan dalam bentuk koefisien fugasitas.
Dalam hal ini fugasitas dinyatakan sebagai :
i xi P ........................................................... (2.35)
L SV
fi
11
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Bahan
a. Etanol 96%
b. Aquadest
3.2 Alat
a. Corong h. Labu ukur 10 mL
b. Gelas ukur 100 ml i. Labu ukur 100 mL
c. Gelas ukur 10 ml j. Pengambil sampel uap
d. Hand Refractometer terkondensasi
e. Ketel Pemanas k. Pipet tetes
f. Kondensor l. Termometer
g. Labu didih dasar bulat
12
e. Sejumlah sampel cair diambil dari labu didih, didinginkan sesaat.
f. Beberapa tetes sampel cair diletakkan pada hand refractometer dan
diamati besar ˚Brix kemudian dicatat.
g. Sampel uap diambil dan diletakkan pada hand refractometer dan diamati
nilai ˚Brix kemudian dicatat.
h. Hal yang sama dilakukan untuk etanol 20%, 30%, 40%, 50% dan 60%.
Kondensor
Thermometer
Labu
Didih
Heater
Pemanas
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
y = 19.429x + 3.4238
16
R² = 0.926
14
12
ºBrix (Xw)
10
8
6
4
2
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
Komposisi Etanol (Xf)
14
diperoleh. Untuk standar penelitian biasanya nilai R2 berkisar antara 0.98 hingga
1,00. Namun dalam percobaan didapat nilai R2 hanya sebesar 0.926, jauh dari
nilai standar. Kesalahan ini disebabkan karena ketidaktelitian dalam pembacaan
skala 0Brix pada alat hand refractometer, sehingga secara tidak langsung
mempengaruhi nilai R2.
Dapat dilihat dari Gambar 4.1, semakin besar komposisi etanol (Xf) maka
semakin besar pula Xw. Hal ini disebabkan karena Xw itu sendiri merupakan
satuan untuk mengukur konsentrasi etanol dalam campuran etanol air. Jadi apabila
Xf besar maka Xw juga semakin besar.
4.2. Komposisi Uap (YD) dan cair (XD) Etanol Dalam Cairan dan Dalam
Kondensat Serta Etanol dan Air Pada Kesetimbangan.
Tabel 4.2 Komposisi etanol (oBrix) dan temperatur pada kesetimbangan.
Komposisi Temperatur (oC) Fraksi Berat Fraksi Berat
umpan, Xf (%) Cair (XD) Uap (YD)
25 94,8 0.211 0.390
35 88 0.344 0.496
45 84,5 0.424 0.535
55 81 0.444 0.490
65 79 0.486 0.506
15
96
94
92
90
88
86
84
82
80
78
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600
Gambar 4.2 Kurva Konsentrasi Etanol Uap (YD) dan Cair (XD) Percobaan
terhadap Temperatur Kesetimbangan
Kurva pada Gambar 4.2 menunjukkan semakin rendah temperature maka
semakin tinggi perolehan konsentrasi etanol fasa uap (YD) dan fasa cair (XD) pada
percobaan. Namun pada komposisi uap (Yd) suhu 81oC mengalami penurunan
dari komposisi uap komposisi uap (Yd) suhu 84.5oC. Dimana seharusnya secara
literature komposisi uap (Yd) suhu 81oC harus lebih besar dari komposisi uap
(Yd) suhu 84,5oC. Hal ini kemungkinan besar disebabkan error pada saat
o
pengukuran Brix menggunakan Hand refraktometer. Error juga dapat
disebabkan penanganan etanol yang kurang baik sebelum dianalisa menggunakan
hand refractometer.
16
Berdasarkan Tabel 4.3 terlihat adanya hubungan terbalik antara komposisi
umpan dengan harga P sat dan komposisi umpan dengan temperatur
kesetimbangan. Semakin besar komposisi umpan, maka harga P sat dan tempature
semakin kecil. Tabel 4.3 juga menyediakan data untuk memudahkan dalam
memperoleh nilai fraksi volum etanol pada cairan dan kondensat yang tidak dicari
dengan alat hand refractometer.
4.3. Perbandingan Antara Fraksi Berat Etanol Dalam Cairan dan Dalam
Kondensat dari Data Percobaan dengan Data Literatur
Hubungan komposisi uap (YD) dan cair (XD) etanol dalam cairan dan
dalam kondensat pada percobaan dan literatur terhadap temperatur kesetimbangan
dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.4 Hubungan Komposisi Uap (YD) dan Cair (XD) Etanol dalam Cair dan
dalam Kondensat terhadap Temperatur Kesetimbangan.
Temperatur Y Temperatur X Y
X Lit
Kesetimbangan(oC) Lit Kesetimbangan(oC) Perc Perc
100 0 0 94.8 0.211 0.390
98.1 0.02 0.192 88 0.344 0.496
95.2 0.05 0.377 84.5 0.424 0.535
91.8 0.1 0.527 81 0.444 0.490
87.3 0.2 0.656 79.5 0.486 0.506
84.7 0.3 0.713
83.2 0.4 0.746
82 0.5 0.771
81 0.6 0.794
80.1 0.7 0.822
79.1 0.8 0.858
78.3 0.9 0.912
78.2 0.94 0.942
78.1 0.96 0.959
78.2 0.98 0.978
17
78.3 1 1
100
95
X percobaan
TEMPERATUR
90
Y percobaan
X literatur
85
Y literatur
80
75
0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200
KONSENTRASI
Gambar 4.3 Kurva Konsentrasi Etanol Uap (Yd) dan Cair (Xd) dari Literatur
dan Percobaan terhadap Temperatur Kesetimbangan.
Berdasarkan Tabel 4.4 dan Gambar 4.3 diperoleh hubungan komposisi uap
(YD) dan cair (XD) etanol pada percobaan dan literatur terhadap temperatur
kesetimbangan. Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.3 di atas menunjukan bahwa pada
kurva komposisi etanol dalam fasa cair dan fraksi etanol pada fasa uap berada di
bawah kurva literatur. Hal ini dikarenakan waktu pengambilan sampel kondensat
dan cair tidak dilakukan secara bersamaan sehingga kondensat kembali bercampur
dengan larutan. Semakin tinggi temperature kesetimbangan maka semakin rendah
perolehan komposisi uap (YD) dan cair (XD) etanol baik dari percobaan maupun
literatur. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi awal etanol yang berbeda. Dimana
semakin tinggi konsentrasi awal etanol maka semakin tinggi pula komposisi uap
(YD) dan cair (XD) etanol.
18
kesetimbangan literatur terhadap temperatur kesetimbangan dapat dilihat pada
Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Perbandingan Nilai Konstanta (K) Kesetimbangan Berdasarkan
Percobaan dan Literatur.
Temperatur (oC) K
Percobaan Literatur
94.8 1.848 7.062
88 1.442 3.448
84.5 1.263 2.290
81 1.104 1.323
79.5 1.041 1.108
100
94.8
95
90 88
Temperatur
84.5 K percobaan
85
81 K literatur
79.5
80
75
0.000 2.000 4.000 6.000 8.000
K
19
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, Michael, M., Van Ness, Hendrick, C. 1989. Schaum’s Outline of Theory
and Problem Thermodynamics, 2nd edition, Mc Graw-Hill Co. Inc.
Anggraini, W., G. 2015. Kesetimbangan Uap Cair Pada Sistem
Binair.http://rega42.wordpress.com, Diakses 1 November 2016.
Geankoplis, C.J., 1997. Transport Processed and Unit Operation, 3th edition.
New York: Prentice-Hall.
Himmelblau, M., David., 1996. Prinsip Dasar dan Kalkulasi dalam Teknik
Kimia,6th edition. New Jersey: Prentice-Hall.
Prausnitz, J. M. 1991. Molecular Thermodynamics of Liquid-Phase Equilibr. New
Jersey: Prentice-Hall.
Tim Penyusun. 2016. Penuntun Praktikum Laboratorium Teknik Kimia 1.
Pekanbaru: Universitas Riau.
Treybal, Robert, E., 1981. Mass-Transfer Operations, 3th edition. Japan: Mc.
Graw-Hill.
21
LAMPIRAN A
PERHITUNGAN
1. Data Percobaan
Konsentrasi Etanol yang digunakan:
a. Percobaan Hubungan Konsentrasi Etanol vs 0Brix
a. 20% d. 50%
V1 x M1 = V2 x M2 V1 x M1 = V2 x M2
10 x 0,2 = V2 x 0.96 10 x 0.5 = V2 x 0.96
V2 = 2.1 ml V2 = 5.2 ml
b. 30% e. 60%
V1 x M1 = V2 x M2 V1 x M1 = V2 x M2
10 x 0.3 = V2 x 0.96 10 x 0.6 = V2 x 0.96
V2 = 3.125 ml V2 = 6.25 ml
c. 40% f. 70%
V1 x M1 = V2 x M2 V1 x M1 = V2 x M2
10 x 0.4 = V2 x 0.96 10 x 0.7 = V2 x 0.96
V2 = 4.16 ml V2 = 7.3 ml
22
65 15 14 79.5
Keterangan :
XF = Fraksi Umpan XD = Fasa cair etanol-air
Xw = Etanol-air awal
23
0.55 354 367.723 838.948
0.65 352.5 346.068 791.057
Fraksi berat
Komposisi Volume Volume Berat etanol
Berat etanol
umpan Xf etanol air air Bottom, Top,
Xd Yd
0.25 15.168 11.967 44.833 44.743 0.211 0.390
0.35 23.918 18.871 36.083 36.010 0.344 0.496
0.45 28.918 22.816 31.083 31.020 0.424 0.535
0.55 30.168 23.802 29.833 29.773 0.444 0.490
0.65 32.668 25.775 27.333 27.278 0.486 0.506
5. Fraksi Berat Etanol Dalam Cairan (X) dan Dalam Kondensat (Y) Menurut
Literatur
Tabel 5.1 Fraksi Berat Etanol Dalam Cairan (X) dan Dalam Kondensat (Y)
Menurut Literatur
Literatur Percobaan
Temperatur
X Y X Y
94.8 0.0559 0.3946 0.211 0.390
88 0.184 0.636 0.344 0.496
24
84.5 0.313 0.717 0.424 0.535
81 0.600 0.794 0.444 0.490
79.5 0.750 0.831 0.486 0.506
6. Menghitung K
Menghitung K Dari Data Praktikum
Y
K=
X
Berikut hasil perhitungan dengan menggunakan Microsoft Excel:
Dimaa X dan Y dalam fraksi berat
Temperatur K
(oC)
Percobaan literatur
94.8 1.848 7.062
88 1.442 3.448
84.5 1.263 2.290
81 1.104 1.323
79.5 1.041 1.108
25
LAMPIRAN B
DOKUMENTASI