Anda di halaman 1dari 25

5

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineesis, Jacq) termasuk famili Palmae, subklas


Monocotyledoneae, Klas Angiospermae, Subdivisi Tracheophyta. Nama Genus
Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau minyak, sedangkan nama
guineensis berasal dari kata Guines, yaitu nama tempat dimana seseorang bernama
Jacquin menemukan tanaman sawit pertama kali di pantai Guines Afrika Selatan
(Hartley 1977; Ketaren 2005).
Kelapa sawit merupakan tanaman asli Afrika dan tumbuh secara alami di
Afrika Selatan dan Afrika Barat. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah
beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22-32oC
(Ketaren 2005). Dewasa ini tanaman kelapa sawit telah menyebar di Kongo,
Indonesia, Malaysia dan Amerika Selatan. Di Indonesia sendiri, tanaman kelapa
sawit pertama kali masuk pada tahun 1848 di masa pemerintahan kolonial
Belanda dan ditanam pertama kali di Kebun Raya Bogor, serta mulai diusahakan
dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911 (Fauzi et al. 2006).
Kelapa sawit terdiri atas empat varietas, yaitu : 1) Varietas Macrocarya,
tebal tempurung 5 mm, 2) Varietas Dura, tebal tempurung 3-5 mm, 3) varietas
Tenera, tebal tempurung 2-3 mm, 4)Varietas Pisifera, bagian tempurung tipis
(Ketaren 2005). Tenera merupakan hasil persilangan antara Dura dengan Pisifera
serta ektraksi minyaknya sekitar 22-25 persen (Pahan 2006). Menurut Baryeh
(2001), Tenera mempunyai yield yang paling baik yaitu 30 ton per hektar per
tahun pada puncak produktivitasnya. Tenera secara luas dikembangkan karena
komersial dan viabilitas pengolahan yang lebih mudah dipanen karena pohonnya
relatif pendek, menghasilkan tandan buah yang baik dan kadar minyak yang lebih
tinggi (Noor Azian, 1995 diacu dalam Morad et al. 2006).
Buah sawit umumnya berukuran 2-5 cm dan berat antara 3-30 gram,
berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah
pada saat tua dan matang (Muchtadi 1992). Warna daging buah putih kuning
ketika masih muda dan berwarna jingga setelah buah matang (Ketaren 2005).
6

Penampang melintang dan membujur buah kelapa sawit dapat dilihat pada
Gambar 1. Secara anatomi, bagian-bagian buah kelapa sawit adalah:

1. Perikarp
Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80 persen perikarp dan 20 persen
buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kelapa sawit menghasilkan 2 jenis minyak
yang sifatnya sangat berbeda, yaitu minyak dari sabut (minyak sawit kasar)
dan minyak dari biji (minyak inti sawit) (Somaatmadja 1981). Perikarp terdiri
dari :
a. Epikarp, yaitu kulit buah yang keras dan licin
b. Mesokarp, yaitu bagian buah berserabut dan mengandung minyak dengan
rendemen paling tinggi, menghasilkan minyak sawit mentah (CPO)
melalui ekstraksi. Menurut Morad et al. (2006), mesokarp jumlahnya
sekitar 60% dari total komposisi buah kelapa sawit dan CPO dihasilkan
dari bagian ini. Mesokarp mengandung 39 persen minyak, 41 persen air
dan serat 20 persen dari keseluruhan komposisi.
2. Biji, terdiri dari :
a. Endokarp (kulit biji = tempurung), berwarna hitam dan keras
b. Endosperm (kernel = daging biji) berwarna putih yang menghasilkan
minyak inti sawit (PKO)
c. Lembaga/embrio

Epikarpium
Mesokarpium

Endokarpium
Endosperm

Gambar 1 Struktur buah kelapa sawit


7

Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi Minyak Sawit Kasar

Pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar dimulai


dari penanganan bahan baku atau tandan buah segar (TBS) pada saat pemanenan
hingga sampai di pabrik. Setelah tiba di pabrik, TBS selanjutnya melalui
serangkaian tahapan pengolahan TBS hingga menjadi CPO melalui perebusan,
perontokan (pemipilan), pelumatan (pencacahan), ekstraksi minyak, dan
klarifikasi (Siregar 1999).

Perebusan

TBS yang ada di lori perebusan dimasukkan ke dalam sterilizer yang dapat
ditutup dengan rapat untuk menghindari terjadinya pengeluaran steam sebagai
media perebus. Proses perebusan berlangsung pada suhu 135-160oC selama 90-
110 menit dengan tekanan 2.8-3.0 kg/cm2. Perebusan ini bertujuan untuk
mempermudah pelepasan buah dari tandan, melunakan buah sehingga
mempermudah dalam proses penghancuran, menonaktifkan enzim lipase dan
oksidase yang dapat merangsang pembentukan asam lemak bebas, menurunkan
kadar air di dalam jaringan buah, memudahkan pemisahan tempurung dengan inti,
menguraikan pektin dan polisakarida sehingga buah menjadi lunak.

Perontokan

Perontokan bertujuan untuk memisahkan tandan dengan buah. Proses


perontokan buah terjadi akibat perputaran mesin perontok. Mesin perontok buah
memiliki batang-batang penghubung yang diatur dengan interval yang sama.
Diameter dan panjang mesin perontok buah adalah 2.1 m dan 4 m, sementara
jarak antara dua batang penghubung 40 mm.

Pelumatan (pencacahan)

Pelumatan dilakukan untuk memisahkan buah dengan biji serta untuk


memudahkan proses ekstraksi minyak. Pelumatan dilakukan dengan cara
pengadukan buah oleh alat yang dilengkapi lima pasang pisau berputar. Pada
proses pelumatan ini perlu ditambahkan air bersuhu 90-95oC untuk
8

mempermudah pemisahan buah dengan biji serta untuk membuka kantong-


kantong minyak sehingga mengurangi kehilangan minyak. Suhu yang rendah
mengakibatkan minyak semakin kental sehingga menyulitkan ekstraksi minyak.

Ekstraksi minyak

Ekstraksi merupakan proses untuk memperoleh minyak dari buah yang


telah mengalami pencacahan. Proses ekstraksi dilakukan secara mekanis untuk
mengeluarkan kandungan minyak. Buah yang telah dicacah dimasukkan ke dalam
mesin pengepres ulir yang terdiri atas dua ulir yang berputar berlawanan dan
dilengkapi dengan saringan pengepres. Buah yang telah lumat mengeluarkan
minyak melalui lubang-lubang kecil.
Selama proses ekstraksi ditambahkan air bersuhu 90-95oC sebanyak 600-
800 liter/jam untuk memudahkan ekstraksi minyak. Tekanan hidrolik pada mesin
pengepres berkisar antara 40-50 kg/cm2. Tekanan yang rendah menyebabkan
proses ekstraksi minyak tidak maksimal.

Klarifikasi

Klarifikasi adalah proses pembersihan minyak yang bertujuan untuk


mengeluarkan air dan kotoran dari minyak, memperkecil kerusakan minyak akibat
oksidasi, memperkecil kehilangan minyak dan menekan biaya produksi, serta
mempermudah pengolahan limbah.
Klarifikasi terdiri dari beberapa tahapan proses, yaitu pemisahan kotoran
berupa serabut dan lumpur, pemisahan minyak dengan air, pengambilan minyak
yang terdapat pada lumpur serta pembersihan. Pemisahan kotoran yang berupa
serabut dilakukan dengan saringan getar, pemisahan kotoran yang berupa lumpur
dilakukan pada decanter, pemisahan minyak dengan air terjadi pada tangki
pengendapan, sedangkan pembersihan minyak dilakukan pada alat pembersih
minyak (oil purifier).
Minyak hasil ekstraksi ditampung pada tangki perangkap pasir, tangki
tersebut digunakan untuk memisahkan pasir dari minyak. Pemisahan pasir terjadi
akibat perbedaan berat jenis antara pasir, minyak dan air dengan pemberian uap
panas ke dalam tangki perangkap pasir. Minyak selanjutnya dialirkan ke dalam
9

saringan getar yang bertujuan untuk memisahkan benda-benda padat dalam


minyak, saringan getar menggunakan kawat saringan berukuran 20 mesh.
Minyak yang telah disaring dialirkan ke dalam decanter, pada alat ini
terjadi proses pemisahan kotoran berupa lumpur dengan cara sentrifugasi 6000
rpm, pada proses tersebut digunakan air panas sebagai pengencer. Lumpur yang
mungkin masih terdapat pada minyak selanjutnya dipisahkan berdasarkan bobot
jenis. Air yang terkandung pada minyak dihilangkan dengan alat pengering hampa
agar minyak tidak mudah terhidrolisis. Minyak yang diperoleh berupa minyak
sawit kasar (CPO) yang selanjutnya ditimbang dan disimpan dalam tangki
penampungan. Persyaratan kualitas CPO dapat dilihat pada Tabel 1.
Lumpur yang masih mengandung minyak dari tangki pengendap dialirkan
ke dalam tangki lumpur. Cairan lumpur hasil klarifikasi yang masih mengandung
minyak tersebut ditampung sementara pada bak penampungan untuk di daur
ulang.

Tabel 1 Persyaratan kualitas CPO*)


Standar Standar
Kualitas
Karakteristik kualitas kualitas
spesial
I II
Asam lemak bebas (sebagai asam palmitat)
2.5 3.5 5.0
(% maks)
Kadar air dan kotoran (% maks) 0.25 0.25 0.25
Bilangan peroksida (meq O2/kg maks) 2.0 - -
Bilangan anisidin (maks) 4.0 - -
*) Gibon et al. (2007)

Pemurnian Minyak Sawit Kasar

Pemurnian minyak bertujuan untuk menghilangkan rasa serta bau yang


tidak enak, warna yang tidak menarik serta memperpanjang masa simpan minyak
sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan baku dalam industri. Kotoran-
kotoran yang ada dalam minyak dapat berupa komponen yang tidak larut dalam
minyak. Komponen yang tidak larut dalam minyak adalah lendir atau getah, abu
atau mineral. Komponen yang berupa suspensi koloid adalah fosfolipid,
karbohidrat dan senyawa yang mengandung nitrogen, sedangkan komponen yang
larut dalam minyak berupa asam lemak bebas, sterol, hidrokarbon, mono dan
10

digliserida serta zat warna yang terdiri dari karotenoid dan klorofil (Ketaren
2005).
Tahapan proses pemurnian minyak sawit secara kimia meliputi tiga tahap
yaitu (1) degumming dan netralisasi atau deasidifikasi, (2) bleaching dan filtrasi,
serta (3) deodorisasi (Basiron 2005).

Degumming

Pengolahan minyak sawit merah dari minyak sawit mentah diawali dengan
degumming. Degumming diartikan sebagai suatu proses pemisahan getah atau
lendir yang terdapat dalam minyak tanpa mereduksi asam lemak bebas yang ada.
Getah atau lendir pada umumnya terdiri atas fosfatida, protein, dan karbohidrat.
Kotoran-kotoran yang tersuspensi tersebut sukar dipisahkan bila berada dalam
kondisi anhydrous, sehingga dapat diendapkan dengan cara hidrasi. Hidrasi dapat
dilakukan dengan menggunakan uap, penambahan air, atau dengan penambahan
larutan asam lemah (Dijkstra dan Van Opstal 1990).
Asam fosfat, cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Termasuk dalam
food grade dengan konsentrasi 85 persen umumnya digunakan dalam proses
pemurnian minyak sawit. Asam fosfat lebih disukai penggunaannya oleh refiner
minyak sawit di Malaysia karena biayanya yang lebih murah dan penanganannya
lebih mudah (Morad et al. 2006). Penambahan asam fosfat sebelum netralisasi ke
dalam minyak yang mengandung fosfatida yang nonhydratable umum
dipraktekan untuk menjamin bahwa semua gum telah hilang selama deasidifikasi.
Hidrasi dilakukan untuk membuat fosfatida menjadi tidak larut dalam minyak
(Basiron 2005).
Menurut Dijkstra dan Van Opstal (1990) asam yang biasa digunakan adalah
asam fosfat. Proses degumming dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu
70-80oC setelah ditambahkan asam fosfat (H3PO4) 0.3-0.4 persen (b/b) dengan
konsentrasi 20-60 persen (b/b). Sementara menurut Akoh dan Min (2002)
sebelum netralisasi minyak diberi perlakuan dengan 0.02-0.5 persen asam fosfat
pada suhu 60-90oC selama 15-30 menit, membuat fosfatida yang kurang larut
dalam minyak menjadi lebih mudah dihilangkan.
11

Menurut Basiron (2005) perlakuan pendahuluan diawali dengan


degumming CPO dengan asam fosfat. Konsentrasi asam fosfat yang digunakan
adalah 80-85 persen dengan jumlah 0.05 – 0.2 persen, dipanaskan sampai 90-
110oC dalam waktu 15-30 menit. Tujuan penambahan asam fosfat adalah untuk
mengendapkan fosfatida yang nonhydratable. Sedangkan menurut O`Brien (2004)
asam yang biasanya digunakan adalah asam fosfat 85 persen, didespersikan dalam
minyak pada suhu 80-100oC sebanyak 0.05-1.2 persen berat minyak.
Ooi et al. (1996) melakukan proses refining minyak sawit merah melalui 2
tahapan yaitu tahap pertama melalui proses degumming dan bleaching serta tahap
kedua adalah proses deasidifikasi dan deodorisasi. Proses degumming
menggunakan asam fosfat (0.5%) pada suhu 90oC selama 10 menit dilanjutkan
dengan proses bleaching yang menggunakan bleaching earth (0.2%) selama 30
menit pada suhu 110oC.

Deasidifikasi

Deasidifikasi adalah proses pemisahan asam lemak bebas dalam minyak


sawit kasar. Deasidifikasi dapat dilakukan dengan metode kimia, fisik, micella,
biologis, reesterifikasi, ekstraksi pelarut, supercritical fluid extraction, dan
teknologi membran. Deasidifikasi secara kimia dilakukan dengan cara netralisasi
dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa sehingga membentuk sabun
(soapstock). Alkali yang biasa digunakan adalah NaOH, proses ini dikenal dengan
istilah ”caustic deacidification” (Bhosle dan Subramanian 2005).
Netralisasi melalui proses kimia dengan alkali, saat ini yang paling umum
digunakan adalah dengan melarutkan soda kaustik. Reaksinya adalah reaksi
penyabunan yang terbentuk dari asam lemak bebas dapat dilihat pada Gambar 2.
Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan kotoran seperti fosfatida dan
protein dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat
dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi (Anderson 2005).
12

asam lemak bebas sabun air

Gambar 2 Reaksi penyabunan asam lemak bebas dengan NaOH


(Bockisch 1993).

Proses deasidifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan sodium


hidroksida, dimana minyak dimasukkan ke dalam tangki kemudian dicampur
dengan larutan sodium hidroksida (konsentrasinya tergantung kadar asam lemak
bebas dalam minyak mentah) pada suhu 70-80oC selama 1-15 menit. Selanjutnya
disentrifus untuk memisahkan sabun kemudian dicuci dengan air untuk
menghilangkan sisa-sisa sabun (Ayorinde et al. 1995).
Konsentrasi larutan alkali untuk netralisasi biasa dinyatakan dengan
“derajat Baume (oBe)”. Konsentrasi bahan kimia yang digunakan dalam
netralisasi tergantung pada jumlah asam lemak bebas, makin besar jumlah asam
lemak bebas, makin besar pula konsentrasi bahan kimia yang digunakan. Total
penambahan alkali didasarkan pada jumlah alkali secara teori untuk menetralkan
asam lemak bebas ditambah alkali berlebih (excess) untuk menghilangkan
kotoran-kotoran lainnya. Jumlah excess alkali minimum harus digunakan sehingga
penyabunan minyak netral dapat diminimalkan (Anderson 2005). Untuk minyak
dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah lebih baik dinetralkan dengan
alkali encer (konsentrasi lebih kecil dari 0.15 N atau 5oBe), sedangkan asam
lemak bebas dengan kadar tinggi, lebih baik dinetralkan dengan larutan alkali 10-
24oBe (Basiron 2005).
Menurut Bockisch (1993), minyak yang telah dimurnikan dengan baik
memiliki kandungan asam lemak bebas sebesar 0.1 persen dan tergantung pada
penggunaanya lebih lanjut. Kualitas yang diharapkan pada produk intermediet dan
produk akhir proses pemurnian minyak sawit dengan alkali dapat dilihat pada
Tabel 2.
13

Tabel 2 Kualitas yang diharapkan pada produk intermediet dan produk akhir
proses pemurnian minyak sawit dengan alkali*)
Neutralized
Neutralized
Neutralized Bleached
Spesifikasi Bleached
Palm Oil Deodorized
Palm Oil
Palm Oil
Asam lemak bebas (sebagai
0.15 0.1 0.1
palmitat) (% maks)
Bilangan peroksida meq/kg) - 0 0
Kadar air dan kotoran (% maks) 0.1 0.1 0.1
Besi (mg/kg) - 0.15 0.12
Posfor (mg/kg) - 4 4
Tembaga (mg/kg) - 0.06 0.05
Sabun (mg/kg) 20 - -
*)
Basiron (2005)

Menurut Akoh dan Min (2002), netralisasi harus dilakukan dengan benar
atau beberapa gliserida akan tersabunkan yang mengakibatkan peningkatan
refining loss. Minyak dengan bilangan asam yang rendah disebut minyak netral.
Netralisasi yang baik itu bergantung pada penggunaan sejumlah natrium
hidroksida yang tepat, pengadukan yang tepat, temperatur yang tepat, waktu
kontak yang cukup dan pemisahan yang efisien.
Suhu dan waktu yang digunakan dalam proses netralisasi minyak harus
dipertimbangkan dengan baik dan dipilih sedemikian rupa sehingga sabun yang
terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat. Proses
pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak, sebab sebagian
minyak akan diserap oleh sabun. Suhu proses yang tinggi serta waktu proses yang
lama dapat merusak karotenoid yang merupakan pigmen alami minyak sawit
(Ketaren 2005).
Pengadukan dilakukan dengan menggunakan agitator. Agitator dilengkapi
dengan lengan penyapu yang masing-masing terdiri dari paddle yang berfungsi
untuk mendorong cairan ke arah atas selama pengadukan. Agitator biasanya
bekerja pada laju maksimum 30-35 rpm dan minimum 8-10 rpm. Pemecahan
emulsi dapat terjadi pada suhu sekitar 60oC dimana sabun terpisah dari minyak
jernih membentuk suatu flokulan kecil (O`Brien 2004).
14

Beberapa penelitian tentang deasidifikasi minyak sawit secara kimia dapat


dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil-hasil penelitian deasidifikasi minyak sawit


Jenis dan Asam Lemak Total Karoten
Suhu Waktu
Peneliti/th Skala Konsentrasi Bebas (%) (ppm)
(oC) (menit)
Alkali Awal Akhir Awal Akhir
Setyadjit Lab NaOH=16°Be 60-65 20 4.585 0.07 - -
(1982) (100 g) Excess 0.1%

Jatmika et Lab Na2CO3 = - 15 - 0.04 - 440


al. (1996) (50 ml) 14% & Vol. 12
ml

Wulandari Lab NaOH = 30-40 30 4.90 0.23 840.78 391.86


(2000) 10°Be/20°Be
tergantung
ALB

Mas`ud Lab NaOH=16°Be 59 25 3.765 0.155 514.55 389.84


(2007) (500 ml) Excess 0.2%

Ooi et al. (1996) melakukan proses deasidifikasi dan deodorisasi minyak


sawit merah menggunakan distilasi molukuler pada suhu antara 130oC dan 170oC
serta tekanan antara 20.10-3 dan 60.10-3 mmHg. Hasil penelitian menunjukkan
kondisi yang sesuai untuk refining minyak sawit merah tanpa merusak karoten
adalah 150oC -170oC dan tekanan vakum 20-25.10-3 mmHg. Karoten yang dapat
dipertahankan sedikitnya 80 persen dengan asam lemak bebas yang berkurang
dari 2.4 persen menjadi 0.04 persen. Adapun karakteristik CPO yang digunakan
dan minyak sawit merah yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik CPO dan minyak sawit merah menggunakan distilasi


molekuler*)
CPO Minyak sawit merah
Asam lemak bebas (%) 2.40 0.04
Bilangan peroksida (meq/kg) 0.80 0.20
Karoten (ppm) 660 531
Vitamin E (ppm) 923 642
Besi (ppm) 3.3 0.3
Fosfor (ppm) 7.8 2.7
*)
Ooi et al. (1996)
15

Unsur primer dalam lemak dan minyak kasar adalah trigliserida, tetapi
lemak dan minyak kasar juga mengandung berbagai komponen minor, yang
secara signifikan juga mempengaruhi sifat fisik dan kimia lemak dan minyak,
khususnya adalah asam lemak bebas (O`Brien 2004).
Asam lemak bebas tidak hanya dapat melarutkan ion-ion logam yang
mengkatalis oksidasi sehingga menurunkan stabilitas minyak, tetapi juga
mengubah komposisi gliserida minyak sehingga mempengaruhi sifat fisik dan
kimia minyak (Pathak 2005). Air dalam minyak akan mempercepat kerusakan
minyak karena terjadi hidrolisis, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas
dan gliserol, yang dapat menyebabkan ketengikan (Ketaren 2005). Mekanisme
reaksi hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Mekanisme reaksi hidrolisis (Ketaren 2005).

Hidrolisis terjadi pada ikatan ester dari molekul gliserida membentuk asam
lemak bebas dan gliserol. Hidrolisis disebabkan oleh enzim lipolitik (lipase) yang
terdapat secara alami dalam buah sawit dan oleh mikroba lipolitik. Lipase mulai
aktif pada saat struktur seluler buah menjadi pecah atau rusak, utamanya selama
pascapanen sawit, sedangkan hidrolisis oleh mikroba disebabkan oleh fungi yang
menghasilkan enzim lipase (Ketaren 2005).
Kenaikan asam lemak bebas mempermudah proses oksidasi berantai dan
pembentukan senyawa peroksida, aldehida, keton dan polimer. Oksidasi berantai
menyebabkan penguraian konstituen aroma, flavor dan vitamin. Pembentukan
senyawa seperti peroksida, aldehida, dan keton menyebabkan bau tengik,
pencoklatan minyak dan kemungkinan menimbulkan keracunan (Ketaren 2005).
Mekanisme reaksi oksidasi dapat dilihat pada Gambar 4.
16

Gambar 4 Mekanisme reaksi oksidasi (Ketaren 2005).

Bleaching

Bleaching merupakan salah satu tahapan proses pemurnian minyak yang


bertujuan untuk menghilangkan zat warna minyak khususnya peopitin/klorofil dan
karotenoid dalam minyak dengan menggunakan bleaching earth atau bleaching
clay (Taylor 2005). Bleaching clay dapat berinteraksi dengan konstituen non
colored seperti sabun, asam lemak bebas, fosfolipid dan peroksida. Bleaching clay
diperlukan untuk menghilangkan color bodies, peroksida dan aldehid serta sisa-
sisa logam, sabun, dan fosfolipid pada tahap bleaching (Akoh dan Min 2002; Wei
et al. 2004; Taylor 2005).
Bleaching dengan proses batch dilakukan pada tekanan atmosfer. Pada
proses ini, minyak sawit yang dimurnikan ditambahkan bleaching clay (0.8-2%)
dan dipanaskan sampai suhu 100-120oC dengan periode waktu 30-45 menit.
Apabila proses telah selesai, minyak panas dan clay dipisahkan dengan filtrasi
(Taylor 2005).

Deodorisasi

Deodorisasi merupakan proses untuk memisahkan rasa dan bau dari


minyak. Prinsip dari proses deodorisasi yaitu destilasi minyak oleh uap dalam
keadaan hampa udara. Pada suhu tinggi, komponen-komponen yang menimbulkan
bau mudah diuapkan, kemudian melalui aliran uap komponen-komponen tersebut
dipisahkan dari minyak. Komponen-komponen yang dapat menimbulkan rasa dan
bau dari minyak antara lain asam lemak bebas, aldehida, keton dan hidrokarbon
(Djatmiko dan Widjaja 1985). Deodorisasi dilakukan dengan cara menguapkan
17

komponen-komponen volatil. Proses ini dilakukan secara kontinyu pada suhu


245-265oC dalam keadaan vakum 1-2 mmHg (Siswanto 2000).

Sifat Fisiko-Kimia Minyak Sawit

Minyak sawit bentuknya semi padat pada suhu ruang (28oC) dengan titik
leleh sekitar 32-40oC (Lin 2002), berwarna kuning jingga karena mengandung
pigmen karotenoid, sebaliknya minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar.
Perbedaan sifat ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan jumlah rantai asam lemak
yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut (Budiman 1987; Goh
et al. 1987).
Minyak sawit seperti minyak dan lemak lainnya terbentuk oleh sebagian
besar trigliserida dan beberapa nongliserida dalam jumlah yang kecil. Komposisi
kimia ini menggambarkan karakteristik fisiko kimia minyak sawit (Basiron 2005).
Beberapa karakteristik komponen lemak dalam minyak sawit dapat dilihat
pada Tabel 5. Tabel ini menunjukkan stearin sawit mempunyai titik cair yang
tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang
tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak
inti sawit. Asam lemak dengan C6 dan C8 hanya terdapat minyak inti sawit
(PORIM 1988).

Tabel 5 Sifat fisiko kimia komponen minyak sawit*)


Jenis
Sifat
Minyak Minyak inti
Olein Stearin
sawit (CPO) sawit (PKO)
Titik cair, oC 34.2 21.6 44.5 27.3
Berat jenis (50oC/air 25oC) 0.892 0.902 0.882 0.902
Indek refraksi (nD, 50oC) 1.455 1.459 1.477 1.451
Bilangan iod (Wijs) 53.3 58.0 21.6 17.8
Bilangan penyabunan
195.7 198.0 193.0 245.0
(mg KOH/g minyak)
Bahan tak tersabunkan, (%) 0.5 0.5 0.2 0.3
*)
PORIM (1988)

Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen karoten yang larut dalam
minyak, sebab asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Bau dan flavor
terdapat secara alami, bau khas minyak sawit ditimbulkan oleh persenyawaan β-
18

ionone. Bau juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat
kerusakan minyak (Ketaren 2005).

Komposisi Minyak Sawit

Unsur utama dalam minyak sawit adalah trigliserida, yaitu molekul gliserol
yang teresterifikasi dengan tiga asam lemak. Selama ekstraksi minyak dari
mesokarp, trigliserida menarik komponen seluler larut minyak atau lemak lainnya
(Sundram 2007).
Unsur-unsur minor yang terdapat dalam minyak sawit dapat dikelompokan
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari derivat asam lemak, seperti
monogliserol (MG), digliserol (DG), asam lemak bebas, fosfatida, ester dan sterol.
Kelompok kedua meliputi kelas yang secara kimia tidak berhubungan dengan
asam lemak seperti hidrokarbon, alkohol alifatik, tokoferol, tokotrienol, pigmen
dan sedikit logam-logam. Sebagian besar komponen minor ditemukan dalam
fraksi yang tidak tersabunkan (unsaponifiable) pada minyak sawit adalah sterol,
alkohol alifatik yang lebih tinggi, pigmen dan hidrokarbon (Sundram 2007).
Menurut Morad et al. (2006) fosfolipid nonhidrat dapat dihidrasi, biasanya
dilakukan dengan asidulasi diikuti dengan netralisasi. Komponen utama dari
fosfolipid adalah fosfatida yang dapat membentuk komplek dengan logam-logam
yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi. Fosfolipid berada dalam jumlah yang
relatif kecil sekitar 5 – 130 ppm dalam minyak sawit dibandingkan minyak sayur
lainnya.
Fraksinasi minyak sawit akan menghasilkan dua fraksi yang unik, yakni
fraksi olein yang mempunyai bilangan iod tinggi dan titik leleh rendah dan fraksi
stearin yang mempunyai bilangan iod lebih rendah dan titik leleh yang tinggi (Lin
2002). Menurut Gunstone (2005) minyak sawit dapat difraksinasi menghasilkan
fraksi padat (palm stearin, 30-35%, titik leleh 48-50oC dan fraksi cair (palm olein,
65–70%, titik leleh 18–20oC).

Trigliserida minyak sawit

Basiron (2005) mengatakan bahwa trigliserida merupakan komponen utama


dalam minyak sawit. Menurut Morad et al. (2006) komponen trigliserida dalam
19

minyak sawit kasar mencapai 95 persen. Rantai asam lemak yang terdapat pada
trigliserida minyak sawit dapat bervariasi jumlah atom karbon dan strukturnya
(adanya ikatan rangkap seperti ketidakjenuhan). Variasi struktur dan jumlah
karbon pada rantai asam lemak menggambarkan sifat fisik dan kimia minyak
sawit (Basiron 2005).
Terdapat 7 sampai 10 persen trigliserida jenuh, sebagian besar adalah
tripalmitin. Trigliserida tidak jenuh terdiri dari 6 sampai 12 persen. Posisi Sn-2
mempunyai spesifisitas untuk asam lemak tidak jenuh. Untuk itu, lebih dari 85
persen asam lemak tidak jenuh berada dalam posisi Sn-2 pada molekul gliserol
(Sundram 2007). Menurut Winarno (1999) trigliserida minyak sawit seperti
trigliserida alami pada umumnya, mengandung asam lemak jenuh pada posisi 1
dan/atau 3 serta asam lemak tidak jenuh pada posisi 2, namun ada juga beberapa
trigliserida yang ketiga asam lemak penyusunnya asam lemak jenuh. Perbedaan
penempatan asam lemak dan jenis asam lemak pada molekul gliserol
menghasilkan sejumlah perbedaan trigliserida. Trigliserida dalam minyak sawit
mendefinisikan secara parsial sebagian besar karakteristik fisik minyak sawit
seperti titik cair (melting point) dan sifat kristalisasi (Sundram 2007).
Basiron (2005) melaporkan terdapat empat jenis gliserida utama dalam
minyak sawit, yaitu gliserida dengan tiga asam lemak jenuh (trisaturated, 10.2%),
gliserida dengan dua asam lemak jenuh (disaturated, 48.0%), gliserida dengan
satu asam lemak jenuh (monosaturated, 34.6%) dan gliserida dengan tiga asam
lemak tidak jenuh (triunsaturated, 6.8%).
Komposisi minyak sawit di Indonesia rata-rata mengandung PPP : 10.5%,
PPO: 8.6%, POP: 40.0%, POO : 34.0%, dan OOO : 6.6 % (Hamilton dan Han
1980). Asam palmitat bentuk bebas dan bentuk terikat sebagai monopalmitin,
dipalmitin dan tripalmitin memiliki titik leleh yang relatif tinggi (diatas 60oC),
sehingga pada suhu ruang senyawa tersebut berbentuk padat (Belitz dan Grosh
1999).

Asam lemak minyak sawit

Minyak sawit tersusun dari unsur-unsur C, H, dan O. Minyak sawit


mengandung asam lemak dalam jumlah cukup banyak dan asam lemak tersebut
20

berikatan dengan gliserol membentuk trigliserida. Asam-asam lemak yang


terdapat pada trigliserida, fosfolipid, dan glikolipid minyak sawit dapat berupa
asam lemak jenuh atau asam lemak tidak jenuh atau keduanya (Winarno 1999).
Sifat minyak sawit sangat dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan jumlah
ikatan rangkapnya. Asam lemak tanpa ikatan rangkap disebut asam lemak jenuh,
dengan satu ikatan rangkap disebut asam lemak tidak jenuh tunggal dan bila dua
atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk (Mayes 2003).
Adapun kandungan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya serta
komposisi asam-asam lemak yang terdapat dalam minyak sawit dapat dilihat pada
Tabel 6 dan Tabel 7.

Tabel 6 Kandungan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya*)


No. Komponen Minyak Minyak Minyak Minyak
minyak sawit kelapa jagung kedelai
1. Karotenoid (ppm) 800 - - -
2. Vitamin E (ppm)
- Tokoferol 642 11 782 -
- Tokotrienol 530 25 - -
3. Lemak (%)
- Jenuh 50 94 16 14
- Tidak jenuh 49 5.9 83 85
4. Fitosterol (ppm) 18 14 50 28
*)
De Witt dan Chong (1988)

Karotenoid

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange,


merah orange, serta larut dalam minyak (lipida). Karotenoid terdapat dalam
kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3%), terutama pada bagian
permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel-sel palisade. Karena itu pada
dedaunan hijau selain klorofil terdapat juga karotenoid (Winarno 1992).
Karotenoid adalah bentuk linier hidrokarbon C40 tetraterpenoid yang terdiri
dari delapan unit C5 isopren dengan rantai poliene terkonjugasi sebagai
chromophore yang menangkap cahaya yang menyebabkan sifat warna terang
(Bonnie dan Choo 1999).
21

Tabel 7 Komposisi asam-asam lemak (%) yang terdapat dalam minyak sawit*)
Jumlah Minyak
Jumlah Minyak Minyak sawit
No. Asam lemak ikatan tak inti
atom C sawit merah **)
jenuh sawit
1. Asam lemak jenuh
Butirat 4 0 Td Td 0.3
Kaproat 6 0 Td Td 2-4
Kaprilat 8 0 Td Td 3-7
Kaprat 10 0 Td Td 3-7
Laurat 12 0 1 0.27 41-55
Miristat 14 0 1-2 0.96 14-19
Palmitat 16 0 32-47 33.68 6-10
Stearat 18 0 4-10 3.30 1-4
2. Asam lemak tak jenuh
Oleat 18 1 38-50 47.05 10-20
Linoleat 18 2 5-14 13.55 1-5
Linolenat 18 3 1 0.56 1-5
*)
Palm Oil Research Institute Malaysia (PORIM) (1988)
- : tidak terdeteksi
**)
Kritchevsky et al. (2001)

Karotenoid merupakan senyawa yang tersebar luas di dalam tanaman dan


buah-buahan. Karotenoid tidak selalu berdampingan dengan klorofil, tetapi
sebaliknya klorofil selalu disertai dengan karotenoid. Disamping pada daun dan
batang tanaman, karotenoid juga terdapat pada bagian-bagian lain tanaman
misalnya pada umbi dan buah. Pada umumnya umbi-umbian mengandung sedikit
karotenoid, kecuali ubi jalar atau wortel (Kumalaningsih 2006). Kandungan
karotenoid beberapa jenis bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Kandungan karotenoid berbagai jenis bahan pangan*)


Bahan Pangan μg RE/g
Jeruk 21
Pisang 50
Tomat 130
Wortel 400
Minyak Merah 5000
Minyak Sawit Kasar 6700
*)
Hariyadi (2006)

β-karoten merupakan molekul simetri, yaitu separuh bagian kiri merupakan


bayangan cermin dari kanannya. β-karoten mempunyai 40 atom karbon, yang
22

terdiri dari 8 unit isopren dan 11 ikatan rangkap, serta mempunyai 2 cincin β-
ionon yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya. β-karoten
mempunyai aktivitas provitamin A paling tinggi. Struktur isoprena dan β-karoten
dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

CH2 = C – C = CH2

CH3

Gambar 5 Struktur isoprena (Winarno 1992).

Gambar 6 Struktur β-karoten (Gross 1991).

β-karoten mempunyai sifat dapat membentuk isomer geometri. Isomer cis-


β-karoten mempunyai aktivitas provitamin A yang lebih rendah bila dibandingkan
bentuk all trans-nya. Perubahan geometri β-karoten dapat disebabkan oleh
cahaya, proses oksidasi, atau autooksidasi. Oksidasi akan membuka cincin β-
ionon β-karoten dan menyebabkan kerusakan aktifitas β-karoten (Bauernfeind dan
Klaul 1981).
Karotenoid minyak sawit. CPO adalah salah satu sumber alami yang
paling kaya akan karotenoid. Konsentrasi karotenoid bervariasi dari 400-3.500
ppm tergantung spesies dari kelapa sawit. CPO dari jenis Tenera mengandung
500-700 ppm (Ping dan Lian 2005).
Dibandingkan dengan sumber karoten lainnya, minyak sawit mempunyai
retinol ekivalen 15 kali lebih besar daripada wortel dan 300 kali lebih besar
daripada tomat (Tan 1987; Sundram 2007). Menurut Winarno (1999) karotenoid
dalam minyak sawit terutama mencakup α-karoten dan β- karoten dan sejumlah
kecil γ-karoten, likopen dan xantofil. Ooi et al. (1996) mengatakan α-karoten dan
β- karoten jumlahnya mencapai 90 persen dari total karotenoid yang ada dalam
minyak sawit. Komposisi karotenoid minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 9.
23

Tabel 9 Komposisi karotenoid minyak sawit*)


No. Komponen Jumlah (%)
1 α-karoten 35.16
2 β- karoten 56.02
3 γ-karoten 0.33
4 δ-karoten 0.83
5 δ-karoten 0.69
6 cis- α-karoten 2.49
7 cis- β- karoten 0.68
8 Phytoene 1.27
9 Lycopen 1.30
*)
Basiron (2005)

Manfaat karotenoid. Karotenoid mengandung ikatan rangkap dua yang


menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi. Kepekaannya terhadap oksidasi
membuat karotenoid digunakan sebagai antioksidan yang kekuatannya menyamai
vitamin C dan tokoferol (Muchtadi 1992). Oleh karena itu, karotenoid mempunyai
peran essensial dalam melindungi sel dan organisme terhadap peroksidasi lipida.
Sistem poliene yang terkonjugasi sangat efisien bagi molekul oksida tunggal dan
jenis radikal bebas pada fase lipida dan telah dikaitkan dengan penurunan resiko
kanker, atherosklerosis dan katarak (Bonnie dan Choo 1999; Kritchevsky et al.
2001).
β-karoten mempunyai potensi biologis paling besar. β-karoten berperan
sebagai antioksidan dan anti-karsinogen karena kemampuannya untuk menangkap
singlet oxygen (Manorama et al. 1999). Ziegler et al. (1996) melaporkan hasil
studi epidemologis yang menunjukkan kecendrungan rendahnya resiko penyakit
kanker dengan tingginya konsumsi makanan yang mengandung vitamin A dan β-
karoten. Lebih lanjut dikatakan bahwa konsentrasi β-karoten plasma yang tinggi
dapat menurunkan resiko penyakit kanker paru-paru dan penyakit jantung.
Menurut Kumalaningsih (2006), tubuh akan mengonversi β-karoten
menjadi vitamin A dalam jumlah secukupnya saja. Selebihnya akan tetap
tersimpan sebagai β-karoten. Sifat inilah yang menyebabkan β-karoten berperan
sebagai sumber vitamin A yang aman. Jadi, tidak seperti suplemen vitamin A
yang bisa menyebabkan keracunan, jika diberikan secara berlebihan. Aktivitas
provitamin A berbagai jenis kelompok karoten terdapat pada Tabel 10.
24

Tabel 10 Beberapa jenis karotenoid dengan aktivitas provitamin A-nya*)


No. Jenis Karotenoid Aktivitas provitamin A (%)
1 All-trans-β-karoten 100
2 All-trans-α- karoten 53
3 All-trans-kriptoxantin 57
4 γ-karoten 42-50
5 β-Zeakaroten 20-40
6 β-karoten-5,6-epoksi 21
7 β-karoten-5,8-epoksi (mutakrom) 50
*)
Gross (1991)

Minyak sawit merah dapat diaplikasikan pada beberapa area seperti


pewarna alami, sebagai komponen atau ingridien dalam industri pangan sebagai
pangan fungsional atau sebagai sumber provitamin A, substrat untuk neutrasetikal,
pengganti lemak hewani, dan salad oil (Unnithan dan Foo 2001).
Manorama et al. (1993) diacu dalam Ping dan May (2007) mengatakan
bahwa minyak sawit merah (red palm oil) lebih efektif sebagai pencegahan
karsinogenesis dalam tikus dibandingkan dengan refined bleached deodorized
palm olein (RBDPOo).
Minyak sawit merah kaya β-karoten yang digunakan dalam studi intervensi
dietary untuk meningkatkan kemungkinan peranannya dalam pencegahan
defisiensi vitamin A. Di India, anak-anak 5-10 tahun dengan keratomalacia
diberikan 2 kali sehari emulsi yang mengandung minyak sawit merah. Setiap
dosis mengandung 0.6 ml minyak sawit merah dan terapi dilanjutkan selama 15
hari. Perlakuan minyak sawit merah menunjukkan hasil yang baik dibandingkan
hasil yang diperoleh dari perlakuan kelompok pasien lain dengan menggunakan
minyak hati ikan yang mengandung dosis vitamin A yang serupa. Berdasarkan
hasil yang diperoleh telah direkomendasikan bahwa negara berkembang
seharusnya tidak ada keraguan dalam membuat strategi untuk meningkatkan
penggunaan minyak sawit merah dalam menghadapi defisiensi vitamin A
(Sundram 2007).
Jacques et al. (1991) melaporkan hasil penelitiannya tentang orang yang
mempunyai konsentrasi karoten plasma yang tinggi yaitu lebih dari 3.3 μmol/L
mempunyai prevalensi katarak lebih rendah 20 persen dibandingkan dengan orang
yang memiliki persentase karoten plasma kurang dari 1.7 μmol/L.
25

Salah satu masalah gizi utama yang diderita oleh anak balita Indonesia
adalah kekurangan Vitamin A (KVA). Untuk penanggulangan KVA tersebut,
setiap tahunnya, dua kali setahun kepada anak balita diberikan kapsul vitamin A
dosis tinggi (200.000 IU). Bila jumlah anak balita diperkirakan sekitar 7 persen
dari jumlah penduduk, maka berarti setiap tahunnya dibutuhkan vitamin A sebesar
kurang lebih 7% x 220 juta x 200.000 IU = 6.2 x 1012 IU (6,2 triliun IU) = 3700
kg β-karoten (1 IU vitamin A = 0.6 μg β-karoten). Pada awal penerapan program,
kapsul tersebut disuplai dari UNICEF, namun sejak tahun 1997 bantuan tersebut
dihentikan (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan 1998). Oleh karena
itu untuk memenuhi kebutuhan vitamin A, dirasa perlu dilakukan upaya
diversifikasi produk olahan yang diharapkan dapat membantu memenuhi
kebutuhan ini.
Stabilitas β-karoten. Secara umum karotenoid mempunyai sifat fisik dan
kimia sebagai berikut : larut dalam lemak, larut dalam kloroform, karbon
disulfida, petroleum eter, tidak larut dalam etanol dan metanol dingin, sensitif
terhadap oksidasi, autooksidasi, cahaya, dan mempunyai spektrum serapan yang
spesifik (Meyer 1982). Menurut Gross (1991) saponifikasi pada proses pemurnian
minyak tidak mempengaruhi karotenoid yang umumnya stabil terhadap alkali.
β-karoten sebagaimana karotenoid di alam, sebagian besar berupa
hidrokarbon yang larut dalam lemak, serta berikatan dengan senyawa yang
strukturnya menyerupai lemak. Adanya struktur ikatan rangkap pada molekul β-
karoten (11 ikatan rangkap pada 1 molekul β-karoten) menyebabkan bahan ini
mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Sundram (2007) karoten sensitif
terhadap oksigen dan cahaya. Oksidasi karoten dipicu oleh hidroperoksida yang
dihasilkan dari oksidasi lipid, mengakibatkan diskolorisasi dan bleaching.
Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis
logam, khususnya tembaga, besi dan mangaan. Oksidasi dapat terjadi secara acak
pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Bonnie dan Choo 1999).
Pengaruh suhu terhadap oksidasi pada karotenoid dikemukakan oleh Worker
(1957) diacu dalam Muchtadi (1992) yaitu bahwa karotenoid belum mengalami
kerusakan karena pemanasan pada suhu 60oC, sedangkan Gross (1991)
mengatakan bahwa laju oksidasi β-karoten meningkat dengan peningkatan suhu.
26

Menurut Alyas et al. (2006), peningkatan waktu pemanasan dari 30 menit


sampai 120 menit mengakibatkan reduksi β-karoten sebesar 3 persen pada suhu
50oC dan 6 persen pada suhu 100oC dalam red palm olein (RPOo). Pemanasan
RPOo pada suhu yang sangat tinggi 200oC selama 30 menit mengakibatkan
kehilangan β-karoten hanya 15 persen. Namun, peningkatan waktu pada suhu
200oC menyebabkan reduksi sebesar 59 persen kandungan β-karoten. Penurunan
yang signifikan dari β-karoten terjadi pada suhu yang lebih tinggi untuk waktu
pemanasan yang lebih lama. Hal ini sesuai dengan penemuan Lin dan Chen
(2005) yang mengatakan bahwa kecendrungan penurunan β-karoten seiring
dengan peningkatan suhu penyimpanan pada jus tomat yang di simpan pada suhu
yang berbeda. Menurut Rianto (1995) penurunan karoten total minyak sawit
merah mencapai 97.94 persen pada suhu 180oC selama 120 menit.
Mac Dougall (2002) menyebutkan bahwa warna kuning, orange, merah
karotenoid adalah terkait dengan sistem konjugasi ikatan rangkap karbon-karbon.
Semua struktur trans dapat diubah menjadi isomer cis. Isomerisasi cis-trans
menghasilkan perubahan warna produk yang ditunjukkan oleh sifat spektral
karotenoid cis yang berbeda dengan karotenoid trans.
Rantai poliene yang berperan dalam penyerapan cahaya dan ikatan rangkap
terkonjugasinya yang berperan sebagai antioksidan, disisi lain justru membuat
karotenoid menjadi tidak stabil. Strukturnya mudah rusak dengan adanya serangan
radikal bebas seperti molekul oksigen tunggal dan senyawa lain yang reaktif.
Panas, sinar dan asam memacu isomerisasi bentuk trans karotenoid ke bentuk cis.
Cahaya, enzim, dan prooksidan logam disisi lain memacu oksidasi (Bonnie dan
Choo 1999).
Perubahan struktur β-karoten khususnya maupun karotenoid pada umumnya
selama pengolahan dan penyimpanan dapat terjadi melalui beragam jalur,
tergantung pada kondisi proses reaksinya. Jalur degradasi yang umum adalah
isomerisasi, oksidasi, dan fragmentasi karotenoid (Bonnie dan Choo 1999).
Menurut Bonnie dan Choo (1999), isomerisasi, oksidasi dan kerusakan
molekul karotenoid terjadi sebagai akibat degradasi termal. Dua jenis produk
degradasi thermal yang terbentuk adalah volatil dan non-volatil. Fraksi volatil
27

terdiri dari molekul dengan berat molekul yang rendah yang mudah menguap.
Fraksi non-volatil adalah fraksi residual setelah penguapan fraksi volatil.
Eskin (1979) menyebutkan pula bahwa oksidasi juga dapat menyebabkan
kerusakan karotenoid. Oksidasi dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu oksidasi
enzimatis dan oksidasi non enzimatis. Oksidasi enzimatis dikatalis oleh enzim
lipoksigenase. Hasil proses oksidasi ini menyebabkan penyimpangan rasa.
Provitamin A (β-karoten) lebih stabil terhadap cahaya dan oksidasi
dibandingkan vitamin A. Hal ini disebabkan oleh lokasi karotenoid dalam
jaringan tanaman. Namun, perlakuan panas yang merusak jaringan jika
dipaparkan dengan oksigen, cahaya, dan asam dapat mengakibatkan kerusakan
provitamin A (β-karoten). Lebih lanjut, panas dan cahaya dilaporkan
menyebabkan isomerisasi vitamin A dan karotenoid. Faktor yang tidak
menguntungkan ini dapat menyebabkan isomerisasi bentuk all trans ke bentuk cis
yang secara biologis kurang baik (Gayathri et al. 2003).
Vitamin E minyak sawit. Vitamin E terjadi secara alami dan dengan luas
didistribusikan di alam. Minyak sawit mengandung 600-1000 ppm vitamin E.
Komposisi vitamin E pada minyak sawit dikarakterisasi oleh adanya α−tokoferol
(20%), α−tokotrienol (22%), γ−tokotrienol (46%) and δ−tokotrienol (12%).
Keunikan minyak sawit dibandingkan vegetable oil lainnya adalah kandungan
tokotrienol yang tinggi (Puah et al. 2007).
Puah et al. (2007) mengatakan bahwa hanya pada suhu tinggi yaitu diatas
260°C, vitamin E mengalami dekomposisi termal. Komposisi vitamin E (%)
selama pemurnian minyak sawit secara fisik dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Komposisi vitamin E (%) selama pemurnian minyak sawit secara fisik*)
Komposisi (%)
Sampel
α-T α-T3 γ-T3 δ-T3 α−tokomonoenol
Crude palm oil 17 24 49 7 3
Degummed palm oil 15 23 52 7 3
Bleached palm oil 14 22 53 7 3
Deodorized palm oil 15 24 52 6 3
*)
Puah et al. (2007)
α-T, α−tokoferol; α-T3, α−tokotrienol; γ-T3, γ−tokotrienol; δ-T3, δ−tokotrienol
28

Winarno (1999) mengatakan bahwa karotenoid dan tokoferol dapat


berfungsi sebagai antioksidan, maka keduanya berperan penting dalam menjaga
stabilitas minyak sawit dari proses oksidasi yang mengakibatkan ketengikan.

Peningkatan Skala

Peningkatan skala adalah suatu studi yang mengolah dan menggunakan data
hasil percobaan laboratorium atau percobaan skala pilot plant untuk merancang
proses alat/mesin yang akan digunakan dengan skala pabrik (Aiba 1973).
Menurut Smith (1990) percobaan pada peningkatan skala merupakan
percobaan pada laboratorium ukuran besar yang dirancang untuk bersifat luwes
bagi penggunaan peralatan dan penyesuaian operasi proses.
Peningkatan skala (scale up) merupakan salah satu target penelitian yang
mempunyai arah industri, selain itu juga merupakan kunci penghubung antar lab
dengan industri. Peningkatan skala pada proses deasidifikasi minyak sawit merah
adalah suatu tindakan untuk membuat hasil proses yang identik pada laju tingkat
produksi yang lebih besar dari perencanaan yang sebelumnya telah teruji baik.
Dalam hal ini tersirat peningkatan produksi akan dilakukan dengan peralatan yang
secara fisik lebih besar dari pada yang digunakan sebelumnya (Valentas et al.
1991).
Penentuan faktor fisik untuk skala yang lebih besar ditentukan berdasarkan
metode kesamaan geometri. Menurut Valentas et al. (1991), dua benda dinyatakan
mirip secara geometri jika setiap titik pada benda yang satu terwakili
keberadaanya pada benda yang lain dan sebaliknya. Kemiripan atau kesamaan
geometri ini juga ditunjukkan bahwa jika benda tersebut mempunyai kemiripan
geometri maka rasio dua garis (atau kedudukan) dalam benda pertama akan sama
dengan rasio garis (kedudukan) yang terwakili pada benda kedua dan sebaliknya,
prinsip kemiripan ini pada umumnya merupakan landasan peningkatan skala yang
paling banyak digunakan (Wirakartakusumah et al. 1991).
Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan
parameter proses yang bersifat bebas, tidak terpengaruh oleh ukuran (skala)
proses, yang pada umumnya melibatkan lebih dari satu skala proses. Kriteria
utama melibatkan parameter proses dan hasil proses secara kuantitas, sedangkan
29

kriteria tambahan adalah adanya perubahan secara fisik dan mekanik yang
berkaitan dengan perubahan skala, misalnya pengaruh skala terhadap transfer
panas atau terhadap tenaga. Sistem secara fisik dan obyek material pada dasarnya
dicirikan oleh 3 kualitas, yaitu ukuran, bentuk dan komposisi. Kemiripan yang
penting dalam peningkatan skala proses dan peralatan pangan adalah : kemiripan
geometri, mekanika, termal dan kimiawi (Valentas et al. 1991).
Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu : (1) skala laboratorium, (2)
skala pilot plant, (3) skala industri. Skala pilot plant merupakan skala untuk
mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi
secara komersial atau industrialisasi (Valentas et al. 1991). Menurut Lowenstein
(1985), peningkatan skala dijalankan melalui 4 tahapan yaitu : (1) skala
laboratorium, (2) skala jumbo, (3) skala pilot plant, (4) skala produksi penuh.
Tahapan peningkatan skala dapat dilihat pada Gambar 7.
Pada dasarnya apapun yang terdapat dalam proses dapat dijadikan
parameter ataupun hasil proses, tergantung jenis dan tujuan proses. Dalam proses
peningkatan skala ini memang diusahakan untuk menghindari parameter-
parameter dan hasil proses yang tidak terukur secara efektif, namun sebenarnya
tidak ada alasan untuk menyingkirkan parameter hasil/hasil subyektif, kecuali jika
penilaiannya tidak dijamin ketepatannya (Valentas et al. 1991).

Stainless steel, gelas, Peralatan


Gelas glass-lined steel proses standar

20-50 L 2.000-5.000 L

5L
≤5L Pilot Produksi
Jumbo Plant
Laboratorium skala penuh

Informasi tambahan
(biasanya data reaksi) Masukan data
masalah desain
reaksi)
Gambar 7 Tahapan peningkatan skala (Lowenstein 1985).

Anda mungkin juga menyukai