TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit
Penampang melintang dan membujur buah kelapa sawit dapat dilihat pada
Gambar 1. Secara anatomi, bagian-bagian buah kelapa sawit adalah:
1. Perikarp
Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80 persen perikarp dan 20 persen
buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kelapa sawit menghasilkan 2 jenis minyak
yang sifatnya sangat berbeda, yaitu minyak dari sabut (minyak sawit kasar)
dan minyak dari biji (minyak inti sawit) (Somaatmadja 1981). Perikarp terdiri
dari :
a. Epikarp, yaitu kulit buah yang keras dan licin
b. Mesokarp, yaitu bagian buah berserabut dan mengandung minyak dengan
rendemen paling tinggi, menghasilkan minyak sawit mentah (CPO)
melalui ekstraksi. Menurut Morad et al. (2006), mesokarp jumlahnya
sekitar 60% dari total komposisi buah kelapa sawit dan CPO dihasilkan
dari bagian ini. Mesokarp mengandung 39 persen minyak, 41 persen air
dan serat 20 persen dari keseluruhan komposisi.
2. Biji, terdiri dari :
a. Endokarp (kulit biji = tempurung), berwarna hitam dan keras
b. Endosperm (kernel = daging biji) berwarna putih yang menghasilkan
minyak inti sawit (PKO)
c. Lembaga/embrio
Epikarpium
Mesokarpium
Endokarpium
Endosperm
Perebusan
TBS yang ada di lori perebusan dimasukkan ke dalam sterilizer yang dapat
ditutup dengan rapat untuk menghindari terjadinya pengeluaran steam sebagai
media perebus. Proses perebusan berlangsung pada suhu 135-160oC selama 90-
110 menit dengan tekanan 2.8-3.0 kg/cm2. Perebusan ini bertujuan untuk
mempermudah pelepasan buah dari tandan, melunakan buah sehingga
mempermudah dalam proses penghancuran, menonaktifkan enzim lipase dan
oksidase yang dapat merangsang pembentukan asam lemak bebas, menurunkan
kadar air di dalam jaringan buah, memudahkan pemisahan tempurung dengan inti,
menguraikan pektin dan polisakarida sehingga buah menjadi lunak.
Perontokan
Pelumatan (pencacahan)
Ekstraksi minyak
Klarifikasi
digliserida serta zat warna yang terdiri dari karotenoid dan klorofil (Ketaren
2005).
Tahapan proses pemurnian minyak sawit secara kimia meliputi tiga tahap
yaitu (1) degumming dan netralisasi atau deasidifikasi, (2) bleaching dan filtrasi,
serta (3) deodorisasi (Basiron 2005).
Degumming
Pengolahan minyak sawit merah dari minyak sawit mentah diawali dengan
degumming. Degumming diartikan sebagai suatu proses pemisahan getah atau
lendir yang terdapat dalam minyak tanpa mereduksi asam lemak bebas yang ada.
Getah atau lendir pada umumnya terdiri atas fosfatida, protein, dan karbohidrat.
Kotoran-kotoran yang tersuspensi tersebut sukar dipisahkan bila berada dalam
kondisi anhydrous, sehingga dapat diendapkan dengan cara hidrasi. Hidrasi dapat
dilakukan dengan menggunakan uap, penambahan air, atau dengan penambahan
larutan asam lemah (Dijkstra dan Van Opstal 1990).
Asam fosfat, cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Termasuk dalam
food grade dengan konsentrasi 85 persen umumnya digunakan dalam proses
pemurnian minyak sawit. Asam fosfat lebih disukai penggunaannya oleh refiner
minyak sawit di Malaysia karena biayanya yang lebih murah dan penanganannya
lebih mudah (Morad et al. 2006). Penambahan asam fosfat sebelum netralisasi ke
dalam minyak yang mengandung fosfatida yang nonhydratable umum
dipraktekan untuk menjamin bahwa semua gum telah hilang selama deasidifikasi.
Hidrasi dilakukan untuk membuat fosfatida menjadi tidak larut dalam minyak
(Basiron 2005).
Menurut Dijkstra dan Van Opstal (1990) asam yang biasa digunakan adalah
asam fosfat. Proses degumming dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu
70-80oC setelah ditambahkan asam fosfat (H3PO4) 0.3-0.4 persen (b/b) dengan
konsentrasi 20-60 persen (b/b). Sementara menurut Akoh dan Min (2002)
sebelum netralisasi minyak diberi perlakuan dengan 0.02-0.5 persen asam fosfat
pada suhu 60-90oC selama 15-30 menit, membuat fosfatida yang kurang larut
dalam minyak menjadi lebih mudah dihilangkan.
11
Deasidifikasi
Tabel 2 Kualitas yang diharapkan pada produk intermediet dan produk akhir
proses pemurnian minyak sawit dengan alkali*)
Neutralized
Neutralized
Neutralized Bleached
Spesifikasi Bleached
Palm Oil Deodorized
Palm Oil
Palm Oil
Asam lemak bebas (sebagai
0.15 0.1 0.1
palmitat) (% maks)
Bilangan peroksida meq/kg) - 0 0
Kadar air dan kotoran (% maks) 0.1 0.1 0.1
Besi (mg/kg) - 0.15 0.12
Posfor (mg/kg) - 4 4
Tembaga (mg/kg) - 0.06 0.05
Sabun (mg/kg) 20 - -
*)
Basiron (2005)
Menurut Akoh dan Min (2002), netralisasi harus dilakukan dengan benar
atau beberapa gliserida akan tersabunkan yang mengakibatkan peningkatan
refining loss. Minyak dengan bilangan asam yang rendah disebut minyak netral.
Netralisasi yang baik itu bergantung pada penggunaan sejumlah natrium
hidroksida yang tepat, pengadukan yang tepat, temperatur yang tepat, waktu
kontak yang cukup dan pemisahan yang efisien.
Suhu dan waktu yang digunakan dalam proses netralisasi minyak harus
dipertimbangkan dengan baik dan dipilih sedemikian rupa sehingga sabun yang
terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat. Proses
pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak, sebab sebagian
minyak akan diserap oleh sabun. Suhu proses yang tinggi serta waktu proses yang
lama dapat merusak karotenoid yang merupakan pigmen alami minyak sawit
(Ketaren 2005).
Pengadukan dilakukan dengan menggunakan agitator. Agitator dilengkapi
dengan lengan penyapu yang masing-masing terdiri dari paddle yang berfungsi
untuk mendorong cairan ke arah atas selama pengadukan. Agitator biasanya
bekerja pada laju maksimum 30-35 rpm dan minimum 8-10 rpm. Pemecahan
emulsi dapat terjadi pada suhu sekitar 60oC dimana sabun terpisah dari minyak
jernih membentuk suatu flokulan kecil (O`Brien 2004).
14
Unsur primer dalam lemak dan minyak kasar adalah trigliserida, tetapi
lemak dan minyak kasar juga mengandung berbagai komponen minor, yang
secara signifikan juga mempengaruhi sifat fisik dan kimia lemak dan minyak,
khususnya adalah asam lemak bebas (O`Brien 2004).
Asam lemak bebas tidak hanya dapat melarutkan ion-ion logam yang
mengkatalis oksidasi sehingga menurunkan stabilitas minyak, tetapi juga
mengubah komposisi gliserida minyak sehingga mempengaruhi sifat fisik dan
kimia minyak (Pathak 2005). Air dalam minyak akan mempercepat kerusakan
minyak karena terjadi hidrolisis, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas
dan gliserol, yang dapat menyebabkan ketengikan (Ketaren 2005). Mekanisme
reaksi hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 3.
Hidrolisis terjadi pada ikatan ester dari molekul gliserida membentuk asam
lemak bebas dan gliserol. Hidrolisis disebabkan oleh enzim lipolitik (lipase) yang
terdapat secara alami dalam buah sawit dan oleh mikroba lipolitik. Lipase mulai
aktif pada saat struktur seluler buah menjadi pecah atau rusak, utamanya selama
pascapanen sawit, sedangkan hidrolisis oleh mikroba disebabkan oleh fungi yang
menghasilkan enzim lipase (Ketaren 2005).
Kenaikan asam lemak bebas mempermudah proses oksidasi berantai dan
pembentukan senyawa peroksida, aldehida, keton dan polimer. Oksidasi berantai
menyebabkan penguraian konstituen aroma, flavor dan vitamin. Pembentukan
senyawa seperti peroksida, aldehida, dan keton menyebabkan bau tengik,
pencoklatan minyak dan kemungkinan menimbulkan keracunan (Ketaren 2005).
Mekanisme reaksi oksidasi dapat dilihat pada Gambar 4.
16
Bleaching
Deodorisasi
Minyak sawit bentuknya semi padat pada suhu ruang (28oC) dengan titik
leleh sekitar 32-40oC (Lin 2002), berwarna kuning jingga karena mengandung
pigmen karotenoid, sebaliknya minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar.
Perbedaan sifat ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan jumlah rantai asam lemak
yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut (Budiman 1987; Goh
et al. 1987).
Minyak sawit seperti minyak dan lemak lainnya terbentuk oleh sebagian
besar trigliserida dan beberapa nongliserida dalam jumlah yang kecil. Komposisi
kimia ini menggambarkan karakteristik fisiko kimia minyak sawit (Basiron 2005).
Beberapa karakteristik komponen lemak dalam minyak sawit dapat dilihat
pada Tabel 5. Tabel ini menunjukkan stearin sawit mempunyai titik cair yang
tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang
tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak
inti sawit. Asam lemak dengan C6 dan C8 hanya terdapat minyak inti sawit
(PORIM 1988).
Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen karoten yang larut dalam
minyak, sebab asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Bau dan flavor
terdapat secara alami, bau khas minyak sawit ditimbulkan oleh persenyawaan β-
18
ionone. Bau juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat
kerusakan minyak (Ketaren 2005).
Unsur utama dalam minyak sawit adalah trigliserida, yaitu molekul gliserol
yang teresterifikasi dengan tiga asam lemak. Selama ekstraksi minyak dari
mesokarp, trigliserida menarik komponen seluler larut minyak atau lemak lainnya
(Sundram 2007).
Unsur-unsur minor yang terdapat dalam minyak sawit dapat dikelompokan
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari derivat asam lemak, seperti
monogliserol (MG), digliserol (DG), asam lemak bebas, fosfatida, ester dan sterol.
Kelompok kedua meliputi kelas yang secara kimia tidak berhubungan dengan
asam lemak seperti hidrokarbon, alkohol alifatik, tokoferol, tokotrienol, pigmen
dan sedikit logam-logam. Sebagian besar komponen minor ditemukan dalam
fraksi yang tidak tersabunkan (unsaponifiable) pada minyak sawit adalah sterol,
alkohol alifatik yang lebih tinggi, pigmen dan hidrokarbon (Sundram 2007).
Menurut Morad et al. (2006) fosfolipid nonhidrat dapat dihidrasi, biasanya
dilakukan dengan asidulasi diikuti dengan netralisasi. Komponen utama dari
fosfolipid adalah fosfatida yang dapat membentuk komplek dengan logam-logam
yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi. Fosfolipid berada dalam jumlah yang
relatif kecil sekitar 5 – 130 ppm dalam minyak sawit dibandingkan minyak sayur
lainnya.
Fraksinasi minyak sawit akan menghasilkan dua fraksi yang unik, yakni
fraksi olein yang mempunyai bilangan iod tinggi dan titik leleh rendah dan fraksi
stearin yang mempunyai bilangan iod lebih rendah dan titik leleh yang tinggi (Lin
2002). Menurut Gunstone (2005) minyak sawit dapat difraksinasi menghasilkan
fraksi padat (palm stearin, 30-35%, titik leleh 48-50oC dan fraksi cair (palm olein,
65–70%, titik leleh 18–20oC).
minyak sawit kasar mencapai 95 persen. Rantai asam lemak yang terdapat pada
trigliserida minyak sawit dapat bervariasi jumlah atom karbon dan strukturnya
(adanya ikatan rangkap seperti ketidakjenuhan). Variasi struktur dan jumlah
karbon pada rantai asam lemak menggambarkan sifat fisik dan kimia minyak
sawit (Basiron 2005).
Terdapat 7 sampai 10 persen trigliserida jenuh, sebagian besar adalah
tripalmitin. Trigliserida tidak jenuh terdiri dari 6 sampai 12 persen. Posisi Sn-2
mempunyai spesifisitas untuk asam lemak tidak jenuh. Untuk itu, lebih dari 85
persen asam lemak tidak jenuh berada dalam posisi Sn-2 pada molekul gliserol
(Sundram 2007). Menurut Winarno (1999) trigliserida minyak sawit seperti
trigliserida alami pada umumnya, mengandung asam lemak jenuh pada posisi 1
dan/atau 3 serta asam lemak tidak jenuh pada posisi 2, namun ada juga beberapa
trigliserida yang ketiga asam lemak penyusunnya asam lemak jenuh. Perbedaan
penempatan asam lemak dan jenis asam lemak pada molekul gliserol
menghasilkan sejumlah perbedaan trigliserida. Trigliserida dalam minyak sawit
mendefinisikan secara parsial sebagian besar karakteristik fisik minyak sawit
seperti titik cair (melting point) dan sifat kristalisasi (Sundram 2007).
Basiron (2005) melaporkan terdapat empat jenis gliserida utama dalam
minyak sawit, yaitu gliserida dengan tiga asam lemak jenuh (trisaturated, 10.2%),
gliserida dengan dua asam lemak jenuh (disaturated, 48.0%), gliserida dengan
satu asam lemak jenuh (monosaturated, 34.6%) dan gliserida dengan tiga asam
lemak tidak jenuh (triunsaturated, 6.8%).
Komposisi minyak sawit di Indonesia rata-rata mengandung PPP : 10.5%,
PPO: 8.6%, POP: 40.0%, POO : 34.0%, dan OOO : 6.6 % (Hamilton dan Han
1980). Asam palmitat bentuk bebas dan bentuk terikat sebagai monopalmitin,
dipalmitin dan tripalmitin memiliki titik leleh yang relatif tinggi (diatas 60oC),
sehingga pada suhu ruang senyawa tersebut berbentuk padat (Belitz dan Grosh
1999).
Karotenoid
Tabel 7 Komposisi asam-asam lemak (%) yang terdapat dalam minyak sawit*)
Jumlah Minyak
Jumlah Minyak Minyak sawit
No. Asam lemak ikatan tak inti
atom C sawit merah **)
jenuh sawit
1. Asam lemak jenuh
Butirat 4 0 Td Td 0.3
Kaproat 6 0 Td Td 2-4
Kaprilat 8 0 Td Td 3-7
Kaprat 10 0 Td Td 3-7
Laurat 12 0 1 0.27 41-55
Miristat 14 0 1-2 0.96 14-19
Palmitat 16 0 32-47 33.68 6-10
Stearat 18 0 4-10 3.30 1-4
2. Asam lemak tak jenuh
Oleat 18 1 38-50 47.05 10-20
Linoleat 18 2 5-14 13.55 1-5
Linolenat 18 3 1 0.56 1-5
*)
Palm Oil Research Institute Malaysia (PORIM) (1988)
- : tidak terdeteksi
**)
Kritchevsky et al. (2001)
terdiri dari 8 unit isopren dan 11 ikatan rangkap, serta mempunyai 2 cincin β-
ionon yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya. β-karoten
mempunyai aktivitas provitamin A paling tinggi. Struktur isoprena dan β-karoten
dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
CH2 = C – C = CH2
CH3
Salah satu masalah gizi utama yang diderita oleh anak balita Indonesia
adalah kekurangan Vitamin A (KVA). Untuk penanggulangan KVA tersebut,
setiap tahunnya, dua kali setahun kepada anak balita diberikan kapsul vitamin A
dosis tinggi (200.000 IU). Bila jumlah anak balita diperkirakan sekitar 7 persen
dari jumlah penduduk, maka berarti setiap tahunnya dibutuhkan vitamin A sebesar
kurang lebih 7% x 220 juta x 200.000 IU = 6.2 x 1012 IU (6,2 triliun IU) = 3700
kg β-karoten (1 IU vitamin A = 0.6 μg β-karoten). Pada awal penerapan program,
kapsul tersebut disuplai dari UNICEF, namun sejak tahun 1997 bantuan tersebut
dihentikan (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan 1998). Oleh karena
itu untuk memenuhi kebutuhan vitamin A, dirasa perlu dilakukan upaya
diversifikasi produk olahan yang diharapkan dapat membantu memenuhi
kebutuhan ini.
Stabilitas β-karoten. Secara umum karotenoid mempunyai sifat fisik dan
kimia sebagai berikut : larut dalam lemak, larut dalam kloroform, karbon
disulfida, petroleum eter, tidak larut dalam etanol dan metanol dingin, sensitif
terhadap oksidasi, autooksidasi, cahaya, dan mempunyai spektrum serapan yang
spesifik (Meyer 1982). Menurut Gross (1991) saponifikasi pada proses pemurnian
minyak tidak mempengaruhi karotenoid yang umumnya stabil terhadap alkali.
β-karoten sebagaimana karotenoid di alam, sebagian besar berupa
hidrokarbon yang larut dalam lemak, serta berikatan dengan senyawa yang
strukturnya menyerupai lemak. Adanya struktur ikatan rangkap pada molekul β-
karoten (11 ikatan rangkap pada 1 molekul β-karoten) menyebabkan bahan ini
mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Sundram (2007) karoten sensitif
terhadap oksigen dan cahaya. Oksidasi karoten dipicu oleh hidroperoksida yang
dihasilkan dari oksidasi lipid, mengakibatkan diskolorisasi dan bleaching.
Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis
logam, khususnya tembaga, besi dan mangaan. Oksidasi dapat terjadi secara acak
pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Bonnie dan Choo 1999).
Pengaruh suhu terhadap oksidasi pada karotenoid dikemukakan oleh Worker
(1957) diacu dalam Muchtadi (1992) yaitu bahwa karotenoid belum mengalami
kerusakan karena pemanasan pada suhu 60oC, sedangkan Gross (1991)
mengatakan bahwa laju oksidasi β-karoten meningkat dengan peningkatan suhu.
26
terdiri dari molekul dengan berat molekul yang rendah yang mudah menguap.
Fraksi non-volatil adalah fraksi residual setelah penguapan fraksi volatil.
Eskin (1979) menyebutkan pula bahwa oksidasi juga dapat menyebabkan
kerusakan karotenoid. Oksidasi dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu oksidasi
enzimatis dan oksidasi non enzimatis. Oksidasi enzimatis dikatalis oleh enzim
lipoksigenase. Hasil proses oksidasi ini menyebabkan penyimpangan rasa.
Provitamin A (β-karoten) lebih stabil terhadap cahaya dan oksidasi
dibandingkan vitamin A. Hal ini disebabkan oleh lokasi karotenoid dalam
jaringan tanaman. Namun, perlakuan panas yang merusak jaringan jika
dipaparkan dengan oksigen, cahaya, dan asam dapat mengakibatkan kerusakan
provitamin A (β-karoten). Lebih lanjut, panas dan cahaya dilaporkan
menyebabkan isomerisasi vitamin A dan karotenoid. Faktor yang tidak
menguntungkan ini dapat menyebabkan isomerisasi bentuk all trans ke bentuk cis
yang secara biologis kurang baik (Gayathri et al. 2003).
Vitamin E minyak sawit. Vitamin E terjadi secara alami dan dengan luas
didistribusikan di alam. Minyak sawit mengandung 600-1000 ppm vitamin E.
Komposisi vitamin E pada minyak sawit dikarakterisasi oleh adanya α−tokoferol
(20%), α−tokotrienol (22%), γ−tokotrienol (46%) and δ−tokotrienol (12%).
Keunikan minyak sawit dibandingkan vegetable oil lainnya adalah kandungan
tokotrienol yang tinggi (Puah et al. 2007).
Puah et al. (2007) mengatakan bahwa hanya pada suhu tinggi yaitu diatas
260°C, vitamin E mengalami dekomposisi termal. Komposisi vitamin E (%)
selama pemurnian minyak sawit secara fisik dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Komposisi vitamin E (%) selama pemurnian minyak sawit secara fisik*)
Komposisi (%)
Sampel
α-T α-T3 γ-T3 δ-T3 α−tokomonoenol
Crude palm oil 17 24 49 7 3
Degummed palm oil 15 23 52 7 3
Bleached palm oil 14 22 53 7 3
Deodorized palm oil 15 24 52 6 3
*)
Puah et al. (2007)
α-T, α−tokoferol; α-T3, α−tokotrienol; γ-T3, γ−tokotrienol; δ-T3, δ−tokotrienol
28
Peningkatan Skala
Peningkatan skala adalah suatu studi yang mengolah dan menggunakan data
hasil percobaan laboratorium atau percobaan skala pilot plant untuk merancang
proses alat/mesin yang akan digunakan dengan skala pabrik (Aiba 1973).
Menurut Smith (1990) percobaan pada peningkatan skala merupakan
percobaan pada laboratorium ukuran besar yang dirancang untuk bersifat luwes
bagi penggunaan peralatan dan penyesuaian operasi proses.
Peningkatan skala (scale up) merupakan salah satu target penelitian yang
mempunyai arah industri, selain itu juga merupakan kunci penghubung antar lab
dengan industri. Peningkatan skala pada proses deasidifikasi minyak sawit merah
adalah suatu tindakan untuk membuat hasil proses yang identik pada laju tingkat
produksi yang lebih besar dari perencanaan yang sebelumnya telah teruji baik.
Dalam hal ini tersirat peningkatan produksi akan dilakukan dengan peralatan yang
secara fisik lebih besar dari pada yang digunakan sebelumnya (Valentas et al.
1991).
Penentuan faktor fisik untuk skala yang lebih besar ditentukan berdasarkan
metode kesamaan geometri. Menurut Valentas et al. (1991), dua benda dinyatakan
mirip secara geometri jika setiap titik pada benda yang satu terwakili
keberadaanya pada benda yang lain dan sebaliknya. Kemiripan atau kesamaan
geometri ini juga ditunjukkan bahwa jika benda tersebut mempunyai kemiripan
geometri maka rasio dua garis (atau kedudukan) dalam benda pertama akan sama
dengan rasio garis (kedudukan) yang terwakili pada benda kedua dan sebaliknya,
prinsip kemiripan ini pada umumnya merupakan landasan peningkatan skala yang
paling banyak digunakan (Wirakartakusumah et al. 1991).
Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan
parameter proses yang bersifat bebas, tidak terpengaruh oleh ukuran (skala)
proses, yang pada umumnya melibatkan lebih dari satu skala proses. Kriteria
utama melibatkan parameter proses dan hasil proses secara kuantitas, sedangkan
29
kriteria tambahan adalah adanya perubahan secara fisik dan mekanik yang
berkaitan dengan perubahan skala, misalnya pengaruh skala terhadap transfer
panas atau terhadap tenaga. Sistem secara fisik dan obyek material pada dasarnya
dicirikan oleh 3 kualitas, yaitu ukuran, bentuk dan komposisi. Kemiripan yang
penting dalam peningkatan skala proses dan peralatan pangan adalah : kemiripan
geometri, mekanika, termal dan kimiawi (Valentas et al. 1991).
Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu : (1) skala laboratorium, (2)
skala pilot plant, (3) skala industri. Skala pilot plant merupakan skala untuk
mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi
secara komersial atau industrialisasi (Valentas et al. 1991). Menurut Lowenstein
(1985), peningkatan skala dijalankan melalui 4 tahapan yaitu : (1) skala
laboratorium, (2) skala jumbo, (3) skala pilot plant, (4) skala produksi penuh.
Tahapan peningkatan skala dapat dilihat pada Gambar 7.
Pada dasarnya apapun yang terdapat dalam proses dapat dijadikan
parameter ataupun hasil proses, tergantung jenis dan tujuan proses. Dalam proses
peningkatan skala ini memang diusahakan untuk menghindari parameter-
parameter dan hasil proses yang tidak terukur secara efektif, namun sebenarnya
tidak ada alasan untuk menyingkirkan parameter hasil/hasil subyektif, kecuali jika
penilaiannya tidak dijamin ketepatannya (Valentas et al. 1991).
20-50 L 2.000-5.000 L
5L
≤5L Pilot Produksi
Jumbo Plant
Laboratorium skala penuh
Informasi tambahan
(biasanya data reaksi) Masukan data
masalah desain
reaksi)
Gambar 7 Tahapan peningkatan skala (Lowenstein 1985).