Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Menteri Kesehatan (Menkes), angka kematian ibu (AKI) dan
angka kematian bayi (AKB) di Indonesia tinggi dibandingkan dengan Negara
tetangga. Hal ini dikarenakan persalinan masih banyak dilakukan dirumah.
Sementara itu, salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) tahun
2015 dalam menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi
menjadi prioritas utama dalam pembangunan kesehatan di Indonesia
(Menkes, 2011).
Selaras dengan MDGs, Departemen Kesehatan (Depkes) menargetkan
penurunan AKI di Indonesia pada tahun 2015 adalah 102 kematian per
100.000 kelahiran hidup dan penurunan AKB pada tahun 2015 adalah
menjadi 22 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Namun hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa
AKI adalah 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 32
per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2012 )
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesda) menunjukan
penyebab kematian ibu adalah pendarahan 40-60%, preeklamsi dan eklamsi
20-30%, infeksi 20-30%, sedangkan penyebab tidak langsung salah satunya
adalah 35% ibu hamil menderita anemia (WHO, 2010).
Kehamilan sering terjadi bersamaan dengan infeksi yang dapat
mempengaruhi kehamilan atau sebaliknya memberatkan infeksi seperti
infeksi menular seksual atapun infeksi lainnya
. Di samping itu terdapat beberapa infeksi yang dapat menimbulkan
kelainan kongenital sehingga kombinasi tersebut memerlukan pengobatan
yang intensif dan melakukan gugur kandung. Untuk kepentingan pendidikan,
bidan dan tugas bidan di tengah masyarakat tidak semua infeksi akan

1
dibicarakan danterutama ditekankan pada infeksi yang umum dijumpai atau
pengaruh timbal balik antara infeksi dan kehamilan

B. Rumusan Masalah
1. Apa infeksi menular seksual yang mempengaruhi kehamilan ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui infeksi menular seksual

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. infeksi menular seksual

Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
virus, parasite atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual
dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual
merupakan salah satu penyebab infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua
IMS menyebabkan ISR, dan sebaliknya tidak semua ISR disebabkan IMS.

Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :

1. Infeksi menular seksual, misalnya gonorrhea, sifilis, trikomoniasis, ulkus mole,


herpes genitalis, kondiloma akuminata dan infeksi HIV.
2. Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh berlebihan, misalnya
kandidosis vaginalis dan vaginosis bacterial.
3. Infeksi iatrogenik yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme yang masuk
ke saluran reproduksi akibat prosedur medic dan intervensi selama kehamilan,
pada waktu partus atau pascapartus dan dapat juga oleh karena kontaminasi
instrument.

Secara gender perempuan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan
dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi.
Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organisme penyebab, lamanya
infeksi, dan usia kehamilan pada saat perempuan terinfeksi hasil konsepsi yang
tidak sehat seringkali terjadi akibat IMS, misalnya kematian janin (abortus
spontan atau lahir mati), berat bayi lahir rendah (akibat prematuritas atau retardasi
pertumbuhan janin dalam rahim) dan infeksi kongenital atau perinatal (kebutaan,
pneumonia neonatus, dan retardasi mental).

Diagnosis dan manajemen IMS pada kehamilan dapat menurunkan


morbiditas dan mortalitas maternal maupun janin. Sebagian besar IMS bersifat
asimptomatik atau muncul dengan gejala yang spesifik. Tanpa adanya tingkat

3
kewaspadaan yang tinggi dan ambang batas tes yang rendah, sejumlah besar kasus
IMS dapat terlewatkan, yang pada akhirnya mengarah pada hasil perinatal yang
tidak diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan melakukan
pemeriksaan skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat
pemeriksaan prenatal yang pertama adalah penting.

Dengan adanya perubahan fisiologik selama kehamilan yang mempengaruhi


farmakokinetik dari terapi medic, eksposur obat ke janin dan pertimbangan
keamanan menyusui untuk bayi, penatalaksaan IMS pada perempuan hamil, dan
pascapersalinan dapat berbeda dari tatalaksana untuk perempuan tidak hamil.
Selain itu, pertimbangan khusus berkaitan dengan potensi penularan untuk
beberapa IMS viral perlu dipertimbangkan dalam menentukan keamanan dari
pemberian air susu.

A. Klamidiatis
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri chlamydia
trachomatis, berukuran 0,2 – 1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan
merupakan parasit intrasel obligat.
Terdapat 3 spesies yang patogen terhadap manusia yaitu C. Pneumoniae,C,
psittaci, dan C, trachomatis. C, trachomatis sendiri mempunyai 15 macam
serovar, serovar A, B, Ba, dan C merupakan penyebab trachoma endemik,
serovar B, D, E, F, G, H, I, J dan K, dan M merupakan penyebab terjadinya
infeksi traktus genitourinarius serta pneuminia pada neonatus. Sementara itu,
serovavar L1, L2 dan L3 menyebabkan penyakit limfogranuloma verereum.
Yang menjadi dasar pembagian berbagai serovar CT adalah ekspresi major
outer membrane protein (MOMP).
Masa inkubasi berkisar antara 1- 3 minggu. Manifestasi klinik infeksi CT
merupakan efek gabungan berbagai faktor yaitu kerusakan jaringan akibat
reflikasi CT, respons inflamasi terhadap CT, dan bahan nakrotik dari sel
pejamu yang rusak. Sebagian besar infeksi CT asimptomatik dan tidak
menunjukan gejala klinik spesifik. Endoserviks merupakan organ pada
perempuan yang paling sering terinfeksi CT. Walaupun umumnya infeksi CT

4
asimptomatik, 37 % perempuan memberikan gambaran klinik duh
mukopurulen dan 19 % ektopik hipertrofik. Servisitis dapat ditegakkan bila
ditemukan duh serviks yang mukopurulen, ektopi serviks, edema, dan
perdarahan serviks baik spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas.
Infeksi pada serviks dapat menyebr melalui rongga endometrium hingga
mencapai tuba falloppii. Secara klinis dapat memberi gejala metrorargia.
Sebanyak 10 % CT pada serviks akan menyebar secara asendens
danmenyebabkan penyakit radang panggul (PRP). Infeksi CT yang kronis
dan /ataurekuren menyebabkan jaringan parut pada tuba. Komplikasi jangka
panjang yang sering adalah kehamilan ektopik dan infertilitas akibat
obstruksi. Komplikasi lain dapat pula terjadi seperti artritis reaktif dan
perihepatitis (sindrom Fitz-Hugh-Curtis).
Perempuan hamil yang terinfeksi dengan C, trachormatis menunjukan
gejala keluarnya sekret vagina, perdarahan disuria, dan nyeri panggul.
Namun, sebagian besar perempun hamil tidak menunjukan gejala.
Pemeriksaan panggul dapat membantu menunjukan adanya servisitis.
Perdarahan endoserviks juga dapat mengarah pada infeksi serviks pada
kehamilan.
Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan,
kelahiran prematur, dan kematian perinatal. Disamping itu, bisa juga
menyebabkan konjungtivitis pada neonatus dan pneunomia infantil. Oleh
karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi juga dianjurkan untuk
dilakukan skriningterhadap infeksi CT pada saat datang untuk pertamakali
antenatal dan juga pada trimester ketiga kehamilan.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan
melalui beberapa metode yaitu
a. Kultur
b. Deteksi antigen secara : Direct Fluorescent Antibody (DFA), enzyme
imuno assay?enzyme linked immunosorbentassay (EIA/ELISA) dan rapid
atau pointof care test.

5
c. Deteksi asam nukleat : hibridisasi probe deoxyrribonucleic acid (DNA), uji
amplikasi asam nukleat seperti Polymerae Chai Reaction (PCR), dan
Ligase Chain Reaction (LGR).
d. Pemeriksaan serologi.

Untuk pengobatan, obat yang diberikan terutama obat yang dapat


mempengaruhi sintesis protein CT, misalnya golongan tetrasiklin dan
eritromisin. Obat yang dianjurkan adalah doksisiklin 100 mg per oral, 2 kali
sehari selama 7 hari atau azitromisin 1 g peroral, dosis tunggal, atau
tetrasiklin 500 mg, per oral, 4 kali perhari selama 7 hari, atau eritromisin 500
mg peroral, 4 kali sehari selama 7 hari, atau ofloksasin 200 mg, 2 kali sehari
selama 9 hari. Untuk kehamilan obat golongan kuinolon dan tetrasiklin tidak
dianjurkan pemakaiannya.

Untuk pengobatan konjungtivitis pada neonatus atau pneumonia infantil


dianjurkan pemberian sirop eritromisin, 50 mg per kg BB per oral, perhari
dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama 14 hari.

B. Trikomoniatis
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh
trichomonas vaginalis (TV), biasanya ditularkan melalui hubungan seksual
dan sering menyerang traktus urogenitas bagian bawah baik pada perempuan
maupun pria. Dari berbagai penelitian di indonesia yang dilakukan pada tahun
1978-1997 pada perempuan berisiko rendah, dijumpai kasus trikomoniasis
sebesar 1,6 – 7,3%.
Gejala yang dikeluhkan oleh perempuan dengan trikimoniasis adalah
keputihan, gatal, dan iritasi. Tanda dari infeksi tersebut meliputi duh tubuh
vagina (42%), bau (50%), dan edema atau eritema (22-27%). Duh tubuh yang
klasik berwarna kuning kehijauan dan berbusa, tetapi keadaan ini hanya
ditemukan pada 10-30% kasus. Kolpitis makularis (strawberry cervix)
merupakan tanda klinik yang spesifik untuk infeksi ini, tetapi jarang
ditemukan pada pemeriksaan rutin.

6
Diagnosis trikomoniasis paling sering ditegakkan dengan melihat
trikomonad hidup pada sediaan langsung duh tubuh penderita dalam larutan
NaCl fisiologik. Baku emas ntuk diagnostik adalah kultur. Namun, media
kultur diamond tidak mudah didapat dan penggunaan nya terutama untuk
penelitian. Untuk pengobatan hingga saat ini metronidazol merupakan
antimikroba yang efektif untk mengobati trikomoniasis. Dosis metronidazol
yang dianjurkan adalah dosis tunggal 2 g secara oral atau dapat juga diberikan
dalam dosis harian 2 x 500 mg/hari selama 7 hari. Pemberian metronidazol
telah direkomendasikan oleh FDA selama masa kehamilan.

C. Vaginosis Bacterial
Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat pergantian laktobasilus
spp penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri
anaerob dalam kontrasepsi tinggi (seperti bakterides spp, mobiluncus,
gardnerella vaginalis, dan mycoplasma bominis). (Sarwono,dkk.2013)
Vaginosis bakteri, bukan merupakan infeksi dalam arti biasa tetapi
penyakit ini adalah maldistribusi flora normal vagina. Jumlah laktobasilus
menurun, dan spesies yang jumlahnya berlebihan adalah bakteri anaerob
termasuk gardnerella vaginalis, mobilucus, dan beberapa spesies bakterioids.
Hampir 30% perempuan tak hamil memeiliki vaginosis (Allsworth dan
Peipert, 2007 simhan dkk, 2008). Pada kehamilan berkaitan dengan kelahiran
kurang bulan (Denney dan Culhane, 2009).
Perempuan dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala atau dengan
keluhan dengan bau vagina yang khas yaitu bau amis, terutama pada waktu
setelah senggama. Bau tersebut di sebabkan oleh adanya amin yang menguap
bila cairan vagina menjadi basa. Pada pemeriksaan ditemukan sekret yang
homogen, tipis, dan berwarna keabu-abuan. Tidak ditemukan inflamasi pada
vagina dan vulva.
Vaginosis bakterial telah di asosiasikan dengan gangguan kehamilan
termasuk abortus spontan dengan spontan pada kehamilan trimester pertama
dan kedua, kelahiran prematur, ruptur membran yang prematur , persalinan

7
prematur, dan infeksi pada pascaoprasi sesar. Bukti yang ada saat ini tidak
mendukung adanya kriing rutin untuk vaginosis bakterial pada perempuan
hamil pada popilasi umum. Namun, skrining pada kunjungan pertama
pranatal direkomendasikan untuk pasien yang beresiko tinggi untuk kelahiran
prematur (misalnya pasien dengan riwayat kelahiran prematur atau ruptur
membran yang prematur ). Sebagian besar kasus (50-75%) vaginosis bakterial
bersifat asimptomatik atau dengan gejala ringan. Gejala klinik termasuk bau
amis seperti ikan atau bau seperti amonia yang berasal dari sekret vagina dan
sekret vagina yang homogen, tidak menggumpal, abu-abu keputihan,tipis.
Disurea da disparenuia jarang ditemukan sedangkan pruritus dan imflamasi
tidak ada. Sekret vagina yang diasosiasikan dengan vaginosis bakterialis
berasal dari vagina dan bukan dari serviks. Mengingat dampak vaginalis
bakterialis pada awal kehamilan dan terakhir kehamilan maka sebaiknya
dilakukan skrining minimal pada waktu datang antenatal pertama kali.
Diagnosis ditegakan berdasarkan kriteria amsel yaitu adanya tiga dari
empat tanda-tanda berikut:
1. Cairan vagina homogen, putih keabu-abuan, dan melekat pada dingding
vagina.
2. PH vagina >4,5.
3. Sekret vagina berbau amis setelah penambahan KOH 10%
4. Clue sell pada pemeriksaan mikroskopis

Pengobatan yang dianjurkan adalah metronizazol 500mg 2x sehari selama


7 hari, metronizazol 2g peroral dosis tunggal atau klindamisisn peroral 2x
300mg/hari selama 7 hari. Pada perempuan hamil jenis obat dan dosisnya
sama seperti pada perempuan tidak hamil.

Terapi dicadangkan untuk wanita gejala, dan biasanya mengeluh berbau


ikan, tetapi yang dianjurkan adalah metronizazol, 500mg 2x sehari peroral
selama 7 hari. Selain itu, dapat digunakan gel metronizazol 0,75% dengan
aplikator dosis 250mg 3x sehari selama 7 hari, atau krim dilamisin 2%, 1
dosis aplikator yang dimasukan intra vagina sebelum tidur selama 7 hari,

8
(conters for diseasea control and prevention, 2006). Sayangnya, terapi tidak
mengurangi kelahiran kurang bulan, dan penapisan rutin dianjurkan
(American College of Obstetricians and Gynecologists,2001)

D. Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh Treponema
pallidum yang dapat mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa,
jantung hingga susunan saraf pusat, juga dapat tanpa manifestasi lesi ditubuh.
Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis
laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umumnya
ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertikal pada masa
kehamilan. Lesi primer sifilis berupa tukak yang biasanya timbul di daerah
genetal eksterna dalam waktu 3 minggu setelah kontak. pada perempuan
kelainan sering ditemukan di labia mayor, labia minor, fourchette atau
serviks. Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi
awal berupa papul berindurasi yang tidak nyeri, kemudian permukannya
mengalami nekrosis dan ulserasi, dengan tepi yang meninggi, teraba keras,
dan teraba tegas. Jumlah ulserasi biasanya hanya satu, namun dapat juga
multipel.
Lesi sekunder ditandai dengan malese, demam, nyeri kepala,
limfadenopati generalisata, ruam generalisata dengan lesi di palmar, plantar,
mukosa oral atau geneital, kondiloma lata didaerah intertrigenosa dan
alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula,
papuloskuamosa dan pustul yang jarang disertai keluhan gatal. T. pallidum
banyak ditemukan pada lesi di selaput lendir atau lesi yang basah seperti
kondiloma lata.
Sifilis Laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya
pemeriksaan serologik yang rekatif. Hal ini mengindikasikan organisme ini
masih tetap ada di dalam tubuh, dan dalam perjalanannya fase ini dapat
berlangsung selama bertahun-taun, bahkan seumur hidup. Kurang lebih 2/3

9
pasien sifilis latem yang tidak diobati akan tetap dalam fase ini selama
hidupnya.
Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini dapat
terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten dimulai.
T. pallidum menginvasi dan menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat,
sistem kardiovaskular, mata, kulit, serta organ lain. Pada sistem
kardiovaskuler dapat terjadi aneurisma aorta dan endokarditis. Gumma timbul
akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen T. pallidum, lesi
tersebut bersifat destruktif dan biasanya muncul di kulit, tulang, atau organ
dalam.
Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak
hamil, hanya perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan
normal bisa memberikan hasil positif palsu. Transmisi treponema dari ibu ke
janin umumnya terjadi setelah plasenta terbentuk utuh, kira-kira sekitar umur
kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder
ditemukan pada kehamilan setelah 16 minggu, kemungkinan bentuk
timbulnya sifilis kongenital lebih memungkinkan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menemukan T. pallidum dalam
spesimen dengan menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan
Burry atau mikroskop imunofluoresensi. Pemeriksaan bantu lain adalah tes
non treponemal (tes reagen) untuk melacak antibodi IgG dan IgM terhadap
lipid yang terdapat pada permukaan sel treponema misalnya; Rapid Plasma
Reagen (RPR), Venereal Disease Research Laboratory (VDRL). Hasil positif
palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakat umum mencapai 1-2%
(termasuk pada ibu hamil. Tes treponemal menggunakan T. pallidum
misalnya: Treponema pallidum haemaglutination Assay (TPHA). Pada
sebagian besar kasus tes treponema reaktif, hasil reaktif tersebut akan tetap
rektif seumur hidup. Untuk menegakkan diagnosis sifilis kongenital
pemeriksaan IgM pada bayi sangat diperlukan, karena IgM dari ibu tidak
dapat melalui plasenta. WHO dan CDC telah merekomendasikan pemberian
terapi injeksi Penisilin Benzatin 2,4 juta MU untuk sifilis primer, sekunder,

10
dan laten dini. Sedangkan untuk sifilis laten lanjut atau tidak diketahui
lamanya, mendapat 3 dosis injeksi tersebut. Alternatif pengobatan bagi yang
alergi terhadap penisilin dan tidak hamil dapat diberi dosisiklin per oral, 2 x
100 mg/hari selama 30 hari, atau tetrasiklin peroral 4 x 500 mg/hari selama
30 hari. Alternatif pengobatan bagi yang alergi terhadapa penisilin dan dalam
keadaan hamil sebaiknya diberi penisilin dengan cara desensitisasi. Bila tidak
memungkinkan, pemberian eritromisin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30
hari dapat dipertimbangkan .
Untuk semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar diberi
pengobatan dengan benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis
tunggal intra muskular. Untuk memonitor hasil pengobatan dilakukan
pemeriksaan serologi non treponemal 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun dan 2
tahun setelah pengobatan selesai.

E. Condiloma Accuminata
Genital warts, juga dikenal sebagai condiloma acuminata disebabkan oleh
human Papilloma Virus (hPV). Lesi dapat berpoliferasi selama kehamilan
dan sering mengalami regresi spontan setelah persalinan. Tidak ada
komplikasi kehamilan yang disebabkan hPV yang diketahui seperti abortus
spontan ataupun persalinan premature.
Lesi berupa vegetasi soliter atau multiple, permukaan berjonjot tajam
seperti kutil, dapat meliputi daerah yang luas hingga ke orifisium uretra,
mukosa labium mayor dan anus. Genital warts jarang ditransmisikan pada
neonatus, tetapi terdapat laporan adanya papillomatosis laring dan respiratorik
dan perinatal warts pada bayi. hPV tipe 6 dan 11 dapat menyebabkan
papillomatosis repiratoris pada bayi dan anak. Diperkirakan bahwa virus hPV
mungkin didapat saat melewati jalan lahir. Oleh karena itu, operasi sesar tidak
direkomendasikan sebagai prevensi tranmisi hPV pada bayi dan hanya
dipertimbangkan pda kasus dengan obstruksi jalan lahir atau bila persalinan
pervaginam dapat menimbulkan perdarahan berlebihan.

11
Diagnosis klinik dari genital warts biasanya sudah cukup. Walaupun
pemeriksaan serotype untuk hPV tersedia, hal ini tidak diperlukan untuk
diagnosis dan manajemen genital warts.
Terapi dapat dipertimbangkan, terutama pada pasien simptomatik, karena
lesi dapat menjadi rapuh ketika berpoliferasi selama kehamilan atau
mengganggu proses persalinan. Krioterapi dan trikloroasetik asid merupakan
terapi yang direkomendasikan. Karena area genital sangat vascular selama
kehamilan dan perdarahan berlebihan dapat terjadi pada elektrokauterisasi,
direkomendasikan terapi kauterisasi, jika diindikasikan, dilakukan di rumah
sakit. Imikuimod, 5-flourourasil, podofillin, dan podofillotoksin
dikontraindikasikan pada kehamilan.
Selain itu, pada Sarwono tahun 2010 mengatakan bahwa penanganan
untuk kasus condiloma acuminate yaitu
1 Bersihkan/irigasi lokasi lesi dengan larutan antiseptic kemudian lakukan
ablasi denngan kauteter elektrik pada semua lesi yang ditemukan (paling
aman bagi ibu hamil). Pilihan terapi likal lainnya adalah :
a. Asam trikloro asetat 40-50%
b. Asam salisilat 20-40% (lindungi bagian sekitar lesi dengan vaselin agar
tidak membakar mukosa yang sehat.
2 Berikan pula asiklovir 200 mg setiap 4 jam.
3 Beri antibiotika profilaksis pascaablasi (ampisilin + sulbaktam 2,25 g oral
dosis tunggal.
4 Bila timbul lesi yang sangat ekstensif (pascapengobatan) pertimbangkan
kemungkinan adanya HIV.
5 Obati pula pasangannya dengan terapi yang sama, gunakan metode barrier
(kondom) apabila melakukan hubungan seksual.
6 Lakukan penjadwalan kunjungan ulang (pemantauan dan terapi).

12
F. Gonorrhea
Gonorrhea adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae. N. gonorrhoeae di bawah mikroskop cahaya tampak sebagai
diplokokus berbentuk biji kopi lembar 0,8 µm dan bersifat asam. Kuman ini
bersifat Gram negative, tampak di luar dan di dalam leukosit polimorfnuklear,
tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering,
tidak tahan pada suhu di atas 390C, dan tidak tahan zat desinfektan.
Gambaran klinik dan perjalanan penyakit pada peremuan berbeda dari
pria. Hal ini disebabkan perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria
dan peremuan. Gonorrhea pada perempuan kebanyakan asimptomatik
sehingga sulit untuk menentukan masa inkubasinya.
Komplikasi pada trimester pertama adalah salfingitis gonoroika, salfingo-
ooforitis dan pelvioperitonitis yang disebabkan oleh bakteri yang naik dari
serviks uteri ke endosalping. Pada permulaan kehamilan trimester II, bakteri
dari serviks uteri tidak dapat mencapai ke daerah endosalping karena korion
sudah melekat dengan desidua dan menutup kavum uteri.
Infeksi gonorrhea selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic
inflammatory disease (PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester
pertama sebelum korion berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri.
Pada tahap lanjut, Neisseria gonorrhoeae diasosiasikan dengan rupture
membran yang premature, kelahiran premature, korioamnionitis dan infeksi
pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal (opthalmia neonatorum),
manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umumnya ditranmisikan selama
proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada
perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang
termasuk meningitis sepsis diseminata dengan artritis, serta infeksi rektal dan
genital.
Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi dianjurkan
untuk dilakukan skrining terhadap infeksi gonorrhea pada saat datang untuk
pertama kali antenatal dan juga pada trimester ketigakehamilan. Dosis dan
obat-obat yag diberikan tidak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan

13
tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil
tidak dianjurkan.
1. Pada masa kehamilan, berikan salah satu antibiotika dibawah ini :
a. Ampisilin 2 g IV dosis awal, lanjutkan dengan 3 x 1 g oral selama 7
hari.
b. Ampisilin + sulbaktam 2,25 g oral dosis tunggal
c. Spektinomisin 2 g IM dosis tunggal
d. Ceftriaxone 400 mg IM dosis tunggal.
2. Bila pada masa nifas berikan salah satu antibiotika berikut ini :
a. Ciprofloksasin 1 g oral dosis tunggal
b. Trimetrophin + sulfamethoksazol (160 mg + 800 mg) 5 kaplet dosis
tunggal.
3. Ofthalmia neonatorum (konjungtivitis) yang disebabkan oleh gonorrhea
(waktu bayi melalui jalan lahhir), diobati dengan garamisin tetes mata 3 x
2 tetes dan salah satu antibiotika di bawah ini :
a. Ampisilin 50 mg/kg BB IM selama 7 hari
b. Amoksisiklin + asam klavulanat 50 mg/kg BB IM selama 7 hari
c. Ceftriaxone 50 mg/kg BB IM dosis tunggal.

Lakukan konseing tentang penggunaan metode barrier dalam melakukan


hubungan seksual selama pengobatan, upaya pencegahan lanjutan, risiko
PMS terhadap ibu dan bayi yang dikandungnya/dilahirkannya.

Berikan pengobatan yang sama pada pasangannya. Buat jadwal kunjungan


ulang dan pastikan pasien (dan pasangannya) akan menyelesaikan pengobatan
hingga tuntas.

G. Herpes Genitalis
Herpes Genitalis (HG) merupakan IMS virus yang menempati urutan
kedua tersering di dunia dan merupakan penyebab ulkus genital tersering di
Negara maju.
Manifestasi klinik HG sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu, pejanan
VHS sebelumnya, sepisode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya

14
berkisar 3-7 hari, bahkan dapat lebih lama. Predileksi pada perempuan dapat
ditemukan di daerah labia mayor/minor, klitoris, intoitus vagina dan serviks,
sedangkan yang lebih jarang di daerah perianal, bokong dan mons pubis.
Episode pertama HG dapat primer maupun non primer. Episode pertama
primer adalah episode penyakit yang terdapat pada seseorang tanpa didahului
oleh pajanan/infeksi VHS-1 maupun VHS-2 sebelumnya. Sementara itu,
episode pertama nonprime dapat merupakan :
1. Episode penyakit yang terjadi pada seseorang dengan riwayat
pajanan/infeksi VHS-1 atau VHS-2 sebelumnya, atau
2. Reaktivasi dari infeksi genital asimptomatik, atau
3. Infeksi genital pada seseorang dengan riwayat infeksi orolabialis
sebelumnya.

Gejala klinik yang terjadi yaitu

1. Timbulnya erupsi bintik kemerahan disertai rasa panas dan gatal pada kulit
region genitalis.
2. Kadang-kadang disertai demam seperti influenza dan setelah 2-3 hari,
bintik kemerahan tersebut berubah menjadi vesikel disertai rasa nyeri.
3. 5-7 hari kemudian, vesikel pecah dan keluar cairan jernih dan pada lokasi
vesikel yang pecah, timbul keropeng (atau ditutupi lapisan kekuningan bila
terkena infeksi sekunder).
4. Bila mengenai region genitalia yang cukup luas, dapat menyebabkan
gangguan mobilitas, vaginitis, urethritis, sistitis dan fisura ani herpetika.
5. Dapat menyebabkan abortus, anomaly kongenital dan infeksi pada
neonatus (konjungtivitis/keratitis, ensefalitis, vesikulitis kutis, icterus dan
konvulsi.

Tranmisi virus dapat terjdi melalui kontak seksual dengan pasangan yang
telah terinfeksi, tetapi juga dapat secara vertical dari ibu kepada janin yang
dikandungnya. Sekitar 70% infeksi pada neonatus terjadi pada saat persalinan
ketika bayi berkontak langsung melalui jalan lahir dengan duh vagina ibu
yang terinfeksi. Selain itu, infeksi dapat terjadi pada saat janin masih berada

15
di dalam kandungan secara asendens dari serviks atau vulva, maupun
transplasental. Transmisi ini juga dapat terjadi pada masa asimptomatik.
Risiko tinggi transmisi pada janin akan terjadi pada keadaan timbul lesi
primer pada kehamilan, atau keadaan seronegatif dengan suami seropositive,
atau pemakaian alat monitor kulit kepala bayi dengan ibu seropositive.

Diagnosis secara klinik ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa


vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan riwayat gejala serupa
berulang. Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalh uji Tzank, akan
tetapi sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Deteksi
VHS dengan kultur masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk infeksi
VHS genital dini. Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan untuk
menentukan adanya antigen atau antibody VHS dam serum penderita.

Penatalaksanaan HG pada kehamilan dapat dibedakan antara perempuan


hamil episode primer dan perempuan hamil episode rekurens. Pengobatan
dengan asiklovir harus diberikan kepada semua perempuan yang menderita
HG episode primer dalam kehamilan. Terapi supresif dengan asiklovir pada 4
minggu terakhir kehamilan dapat mencegah rekurensi HG pada saat pertus.
Dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea terhadap semua perempuan hamil
yang dating dengan HG lesi primer pada saat menjelang persalinan. HG
rekurens dihubungkan dengan resiko yang kecil mendapat herpes neonatus.
Pada keadaan perempuan hamil menjelang partus dan terdapat lesi HG
rekurens, maka indikasi mutlak adalah seksio sesarea.

Penanganan khusus yaitu :

1. Atasi nyeri dan demam dengan parasetamol 3 x 500 mg


2. Bersihkan lesi dengan larutan antisseptik dan Kompres dengan air hangat.
Setelah nyeri berkurang, keringkan dan oleskan asiklovir 5% topical.
3. Berikan asiklovir oral 200 mg setiap 4 jam.
4. Rawat inap bial terjadi demam tinggi, nyeri hebat, retensi urin, konvulsi,
neurotis, reaksi neurologic lokal, ketuban pecah dini, partus prematurus.

16
5. Obati pasangannya dengan asiklovir oral selama 7 hari.
6. Bila diputuskan untuk partus pervaginam, hindari tansmisi ke bayi dan
penolong.
7. Pengobatan untuk neonatus dengan infeksi VHS dapat diberikan asiklovir
10 mg/kgBB intravena tiap 8 jam selama 10-21 hari.

H. HIV AIDS
1. Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan
tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang
mirip yang menyerang spesies lainnya.
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau
disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh
manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap
infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik
dengan spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala
(asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang lebih
lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut, maka dapat terjadi infeksi
kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai replikasi virus secara
terlambat. Kemudian setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat,
maka terjadi berbagai infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah
masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala
AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi pertama, bahkan bisa
lebih lama lagi.
Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada
bayi dan anak – anak di Amerika Serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada

17
janin dapat terjadi intrauterine (5-10%), saat persalinan (10-20%), dan
pascapersalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi pada janin adalah
berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm dan abortus
spontan.
Antibodi virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3 hingga 6 bulan
sesudah infeksi. Pemeriksaan konfirmasi menggunakan Western blot
(WB) cukup mahal, sebagai penggantinya dapat dengan melakukan 3
pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring memakai reagen dan teknik
berbeda.
Telah banyak bukti menunjukkan bahwa keberadaan IMS
meningkatkan kemudahan seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap
sebagai kofaktor HIV. Oleh karena itu, upaya pengendalian infeksi HIV
dapat dilaksanakan dengan melakukan pengendalian IMS.

2. Etiologi
Berikut ini antara lain penjelasan penyebab dari HIV pada ibu dan bayi:
a. Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan
HIV terjadi kalau di cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti
hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik, dan
alat-alat penusuk (tato, penindik, dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu
hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanita
pengidap HIV.
b. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular
c. Walaupun janin dalam kandungan dapat terifeksi, bayi lebih mungkin
tertular jika persalinan berlanjut lama
d. Selama proses persalinan, bayi dalam keadaan beresiko tertular oleh
darah ibu
e. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV juga mengandung virus tersebut. Jadi
jika bayi disusui oleh ibu HIV (+), bayi bisa tertular.
3. Patofisiologi
Berikut ini penjelasan dari patofisiolog dari HIV

18
a. Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah,
semen, dan sekret vagina.
b. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui kontak seksual
c. HIV awalnya di kenal dengan nama Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV) merupakan golongan retrovirus dengan materi genetik
Ribonucleic Acid (RNA) yang dapat di ubah menjadi Deoxyribonucleic
Acid (DNA) untuk diintregasikan ke dalam sel penjamu dan di program
membentuk gen virus.
d. Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang
mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T yang
memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan
sistem kekebalan tubuh (Prawirohardjo, 2008)
4. Stadium HIV
Infeksi HIV memiliki 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS, yaitu :
a. Stadium 1, gejalanya antara lain :
1) Belum menynjukan gejala
2) Dalam hal ini, ibu dengna HIV positif tidak akan menunjukan gejala
klinis yang berat, sehingga ibu akan tampak sehat seperti orang
normal, dan mampu melakukan aktifitasnya seperti biasa
b. Stadium II, gejalanya antara lain :
1) Sudah mulai menunjukan gejala yang ringan
2) Gejala ringan tersebut, sepertipenurunan berat badan kurang dari
10%, infeksi yang berulang pada saluran nafas dan kulit
c. Stadium III, gejala antara lain :
1) Ibu dengan gejala HIV sudah tampak lemah
2) Gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan
3) Ibu akan mengalami penurunan berat badan yang lebihberat
4) Diare yang tak kunjung sembuh
5) Demam yang hilang timbul
6) Mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut bahkan infeksi
sudah menjalar ke paru-paru

19
d. Stadium IV, gejalanya antara lain :
1) Pasien akan menjadi AIDS
2) Aktifitas pasien akan banyak dilakukan di tempat tidur krena kondisi
dan keadaannya sudah mulai lemah
3) Infeksi mulai bermunculan dimana-mana dan cenderung berat
4) Salah satu kesulitan mengenali infeksi HIV adalah masa laten tanpa
gejala yang lama, antara 2 bulan hingga 2 tahun.
5) Umur rata-rata saat diagnosis infeksi HIV ditegakan adalah 35 tahun.
5. Prognosis
a. Kelompok resiko tertinggi terhadap infeksi HIV adalah homoseksual,
pria biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena dan penderita
hemofilia yang mendapat transfusi darah.
b. Kelompok resiko tinggi lanyya adalah kaum prostitusi dan mitra
homoseksual pria berada dalam kelompok resiko tinggi
c. Semua drah harus di skrinning terhadap HIV sebelum di transfusikan
untuk memperkecil resiko melalui transfusi
d. Wanita lebih mudah mendapat virus dari pria dibanding sebaliknya
karena konsentrasi HIV dalam semen tinggi dan robekan mukosa pada
introitus atau vagina saat berhubungan seksual lebih sering terjadi di
banding kerusakan kulit penis (Benson, 2009)
e. Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bai
dan anal-anak di Amerika Serikat
f. Transmisi HIV ibu ke janin dapat terjadi intruterine (5-10%), saat
persalinan (10-20%), dan pasca persalinan (5-20%)
g. Kelahiran yang dapat terjadi pada janin antara lain, berat badan lahir
rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan
(Prawirohardjo, 2008)
6. Pencegahan
a. Karena belum ada obat untuk HIV , terapi dewasa ini hanya untuk
memperlambat kemajuan penyakit
b. Karena itu penting sekali menekankan upaya pencegahan

20
c. Disamping upaya untuk tidak melakukan hubungan seksual
(abstinentia) atau hanya menjalin hubungan seksual dengan satu mitra
saja yang diketahui tidak terinfeksi.penggunaan kondom lateks yang
sudah di lumasi dengan nonoxynol 9 merupakan metode yang paling
efektif dalam membatasi resiko infeksi
d. Jika seorang wanita positif HIV, ia harus diberikan nasihat tentang :
1) Tidak mendonorkan darah, plasma, jaringan, atau organnya
2) Menghindari kehamilan
3) Menjaga hubungan dengan satu pasangan
4) Tekun menggunakan kondom yang telah dilumasi dengan nonxynol
9 selama kontak seksual apapun.
7. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
Ibu dengan HIV+ dapat mengurangi resiko banyinya tertular dengan :
a. Mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)
1) Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV
a) Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai
b) Angka penularan hanya 1-2% biala ibu memakai ART
c) Angka ini kurang lebih 4% bila ibu memakai AZT selama 6 bulan
terakhir kehamilannya dan bayinya di berikan AZT selama 6
minggu pertama kehidupnnya
d) Jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai melahirkan :
(1)Ada 2 cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini :
AZT dan 3TC di pakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu
dan bayi selama satu minggu setelah lahir
(2)Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan,
kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir
(3)Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan
mengurangi penularan menjadi hanya 2%
(4)Namun, resistensi terhadap nevirapine dapat muncul pada
hingga 20% perempuan yang memakai satu tablet saat hamil

21
(5)Hal ini kemudian mengurangi keberhasilan ART yang dipakai
oleh ibu
(6)Resistensi ini juga dpata di sebarkan pada bayi waktu
menyusui
(7)Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di
Negara berkembang (Lembaran Informasi Spiritia LI610)
b. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya
1) Semakin lama proses kelahiran, semakin besar resiko penularan
2) Bila ibu memakai AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000,
maka dikatakan resiko hampir nol
3) Ibu dengan viral load yang tinggi dapat mengurangi resiko dengan
memakai bedah sesar
c. Menghindari menyusui
1) Kurang lebih 14% bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi
2) Resiko ini dapat dihindari jika bayinya di beri pengganti ASI (PASI
atau Formula)
3) Namun jika PASI tidak diberi secara benar, resiko lain pada bayinya
semakin tinggi
4) Jika formula tidak bisa di larut dalam air bersih, atau masalah biaya
menyebabkan kesultan dalam pemberian formula, lebih baik bayi di
susui
5) Yang terburuk adalah apabila ASI dicampur PASI
6) Mungkin cara cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah
menyusui secara eksklusif (tidak dicampur dengan PASI) selama 3-4
bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif
(tidak dicampur dengan ASI)
d. Melakukan diet khusus untuk orang HIV
1) Mengkonsumsi protein yang berkualias dari sumber hewani dan
nabati seperti daging, telur, ayam, ikan, kacang-kacangan, dan
produknya seperti tempe yang mengandung Vit B12 berfungsi
sebagai bakterisida dan dapat mengobati dan mencegah diare.

22
2) Banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan secara
teratur , terutama yang berwarna dan kaya vitamin A(beta karoten),
zat besi,Vitamin C dan E sebagai anti radikal bebas
3) Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan yang beragi
(tape, brem, roti)
4) Pastikan makan bersih dari pestisida dan zat-zat kimia berbahaya,
cuci makanan sebelum dikonsumsi.
5) Bila ODHA mendapat obat antiretroviral, pemberian makanan di
sesuaikan dengan jadwal meminum obat, dimana ada obat yang di
berikan saaat lambung kosong, pada saat lambung penuh atau di
berikan bersama-sama dengan makanan.
6) Menghindari makanan yang merangsang alat penciuman (untuk
mencegah mual)
7) Menghindari rokok, kafein, dan alkohol
8) Makan sedikit, namun sering (kebutuhan gizi ODHA di tambah 10-
25% dari kebutuhan minimum yang di anjurkan
9) Minum susu setiap hari, susu yang rendah lemak dan sudah
dipasteurisasi, jika tidak dapat menerim susu sapi, dapat diganti
dengan susu kedelai
10) Sesuaikan dengan syarat diet penyakit infeksi yang menyertai,
misalnya rendah serta, makanan lunak dan cair jika ada gangguan
saluran pencernaan rendah laktosa dan rendah lemak jika diare.

23
BAB III

TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEBIDANAN PADA Ny. R UMUR 20 TAHUN

DENGAN KEPUTIHAN PATOLOGIS

Tanggal Pengkajian : kamis, 19 April 2018

Jam : 10.00 WITA

Tempat : Puskesmas Tanjung Karang

A. Subjectif
1. Identitas
Nama : Ny”D”
Umur : 22 tahun
Suku/Bangsa : sasak/indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : D3
Pekerjaan : Swasta
Alamat : kekalik
2. Keluhan Utama
ibu mengatakana keputihan sejak 1 bulan yang lalu, berwarna putih kental,
berbau amis dan gatal.
3. Riwayat Mensturasi
Ibu mengatakan pertama kali haid pada usia 14 tahun dengan konsistensi
cair, banyaknya ±2 kali ganti pembalut/hari, siklus ±28hari lamanya rata-
rata 6 hari tidak ada keluhan yang menyertai haid.
4. Riwayat KB
ibu mengatakan menggunakan metode kalender
5. Riwayat Kesehatan

24
tidak ada

6. Riwayat Penyakit Terdahulu

Ibu mengatakan tidak pernah mengalami penyakit berat, menular


ataupun penyakit keturunan.

7. Perilaku Kesehatan

Ibu mengatakan tidak pernah menggunakan obat-obatan terlarang,


merokok, alkohol, dll.

8. Riwayat kesehatan keluarga

Ibu mengatakan semua anggota keluarganya tidak ada yang mempunyai


penyakit, baik penyakit berat maupun penyakit keturunan.

9. Pola kebiasaan sehari-hari

a. Nutrisi

Ibu mengatakan makan ±3kali sehari dengan menu bervariasi seperti


sayur-sayuran, tahu, tempe dan daging. Minum ±8 gelas sehari, tidak ada
pantangan dan masalah makan ataupun minum.

b. Eliminasi

Ibu mengatakan BAB ±1kali sehari dengan konsistensi lembek, dan BAK
6-8 kali sehari dengan warna jernih kekuningan, tidak ada penyulit dalam
BAK maupun BAB.

c. Istirahat dan tidur

Ibu mengatakan tidur malam ±8jam dan tidur siang 2 jam.

d. Personal Hygiene

25
Ibu mengatakan mandi dan gosok gigi 2 kali sehari keramas 2 kali
seminggu. Ibu biasa menggunakan pakaian dari bahan yang menyerap
keringat, ganti pakaian 2 kali sehari, ganti celana dalam 2 kali sehari tetapi
bahan yang digunakan untuk celana dalam kadang menyerap keringat
kadang tidak menyerap keringat.

e. Pola Hubungan Seksual

Ibu mengatakan melakukan hubungan seksual ±2 kali dalam seminggu dan


tidak ada keluhan dalam melakukan hubungan seksual.

f. Aktivitas

Ibu mengatakan aktivitas yang biasa dilakukan adalah melakukan


pekerjaan ibu rumah tangga seperti menyapu, mengepel, mencuci pakaian,
mencuci piring, memasak dan lain-lain.

10. Riwayat Perkawinan

Ibu mengatakan ini merupaka pernikahan yang pertama bagi ibu maupun
suaminya, usia ibu pada waktu menikah 20 tahun dan suami berusia 25
tahun, lamanya menikah baru 2 bulan.

B. Objectif
1. Pemeriksaan Umum

a. Keadaan umum : Baik

b. Kesadaran : Compos Mentis

c. Keadaan emosional : Stabil

d. Tanda-tanta vital

Tekanan darah : 100/80 mmHg

Nadi : 75 kali/menit

Resfirasi : 23 kali/menit

26
Suhu : 37°C

e. Tinggi Badan : 155 cm

f. Berat Badan : 50 Kg

2. Pemeriksaan fisik

a. Kepala : Rambut bersih, kulit kepala bersih, tidak

rontok, kepala simetris, tidak ada kelainan.

b. Muka : Tidak pucat, tidak ada oedema, simertis,

tidak ada kelainan.

c. Mata : Simetris, besih, sklera berwarna putih,

konjungtiva merah muda, tidak ada

kelainan, refleks pupil (+).

d. Hidung : Simetris, bersih, tidak ada tanda infeksi,

pembesaran (-).tidak ada sekret dan


kelainan.

e. Telinga : Bersih, Simetris, letak dan bentuk normal,

lubang telinga bersih, fungsi pendengaran

baik.

f. Bibir dan Mulut : Warna normal, bibir tidak pecah-pecah,

stomatitis (-), gigi tidak berlubang tidak

simetris, lidah normal, gusi normal.

g. Leher : Pembengkakan kelenjar getah bening (-),

kelenjar tiroid (-), tidak ada kelainan.

h. Dada : Bentuk dada simetris, lingkar dada normal,

tojolan puting (+), dimpling (-), tidak ada

kelainan.

27
i. Abdomen : Bentuk normal, bising usus (+),

pembesaran hepar (-), tidak ada kelainan.

j. Genitalia : Tidak ada luka, Varises (+), Ada cairan

dengan konsistensi kental berwarna

kekuningan, dan berbau.

a. Ekstremitas atas : Oedema (-), Gerak tangan baik, mengepal

baik, tidak ada kelainan.

Ekstremitas bawah : Oedema (-), Varises (-), Refleks


Patella(+), tungkai simetris, tidak ada
kelainan.

k. Anus : Tidak Haemorroid.

3. pemeriksaan penunjang
a. PMN : +
C. Analisa

Ny. R 20 tahun dengan Keputihan abnormal.

D. Penatalaksanaan
a. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu .
b. Menganjurkan ibu untuk makan yang sehat, pilih makanan yang
seimbang (jangan terlalu manis, berlemak atau berminyak dan
mengandung semua zat-zat gizi).
c. Menganjurkan ibu untuk banyak-banyaklah mengkonsumsi cairan
terutama air putih minimal 2 liter per hari.
d. Memberikan obat untuk mengatasi keputihan dan menganjurkan suami
untuk di periksa ke dokter.
e. Menganjurkan ibu untuk menjaga kebersihan daerah vagina dan
sekitarnya, jangan menggunakan sabun yang terlalu keras atau PH-nya
basa.

28
f. Menganjurkan ibu agar tidak membilas vagina secara mendalam bila
tidak ada indikasi karena dapat membunuh bakteri yang dibutuhkan dan
mencegah terbentuknya flora normal di dalam vagina.
g. Menginformasikan kepada ibu untuk membasuh vagina dengan cara yang
benar yaitu dengan gerakan dari depan ke belakang. Cuci dengan air
bersih setiap buang air dan mandi, biasakan mencuci tangan sebersih-
bersihnya sebelum digunakan untuk membasuh.
h. Menganjurkan ibu untuk mengganti celana dalam sesering mungkin.
i. Menganjurkan ibu ketika menstruasi, pembalut juga harus di ganti
sesering mungkin karena darah merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan kuman.
j. Melakukan kolaborasi dengan dokter kandungan untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut..

29
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehamilan sering terjadi bersamaan dengan infeksi yang dapat
mempengaruhi kehamilan atau sebaliknya memberatkan infeksi seperti
infeksi menular seksual atapun infeksi lainnya. Contoh penyakit infeksi
menular seksual seperti sifilis, gonorrhoe, klamidia, herpes simpleks,
condiloma acuminata, trikomoniasis, vaginosis bacterial, dan HIV/AIDS.
Sedangkan infeksi lain yang mempengaruhi kehamilan infeksi TORCH dan
infeksi nifas. Oleh karena itu melakukan screening penyakit pada ibu hamil
penting untuk mendeteksi adanya penyakit, danmendeteksi komplikasi yang
akan muncul serta akan mudah di tanggulangi agar tidak lebih parah.

30
DAFTAR PUSTAKA

Sarwono Prawirohardjo,2013,Ilmu Kebidanan. PT.Bina Pustaka Sarwono


Prawirahardjo. Jakarta

Sarwono Prawirahdjo, 2005, Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawihardjo. Jakarta

Maryunani Anik, Puspita Eka. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan


Neonatal. Trans Info Media : Jakarta

Rukiyah Ai Yeyeh. 2013. Asuhan Kebidanan 4 Patologi Kebidanan. Trans Info


Media : Jakarta

Cunningham, dkk. 2009. Obstetri Williams Volume 2. Jakarta; Penerbit Buku


Kedokteran

Dorland. 1996. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta; Penerbit Buku


Kedokteran

31

Anda mungkin juga menyukai