Anda di halaman 1dari 1

PANCASILA

Perubahan Sila Pertama


Sebagaimana kita ketahui usul para wakil golongan nasionalis Islam dalam
sidang terakhir BPUPK sangat berpengaruh dalam menyusun Piagam Jakarta
22 Juni 1945. Dalam sidang terakhir yang beranggotakan 9 orang itu, terdapat
4 orang wakil golongan nasionalis Islam. Golongan nasionalis sekuler:
Sukarno, Mohamad Hatta, A. A. Maramis, Ahmad Subardjo dan Mohamad
Yamin. Golongan nasionalis Islam: Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar
Muzakkir, Hají Agus Salim dan A. Wahid Hasjim.
Meskipun sila pertama kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa,
menurut Nijwenhuijze, seorang sarjana Belanda, sila tersebut berasal dari
golongan nasionalis Islam. Begitu pula Hazairin dalam bukunya Demokrasi
Pancasila (Jakarta 1970:58) menyatakan bahwa istilah tersebut hanya
mungkin berasal dari kebijaksanaan dan iman orang Indonesia yang
beragama Islam. Khususnya sebutan Yang Maha Esa, yang dapat dikaitkan
dengan seburtan Allahu al-wahidu al-Ahad(Allah Yang Satu dan Esa).
Pernyataan kedua sarjana tersebut dapat dihubungkan dengan pernyataan
Profesor Supomo S. H. Dalam pidatonya 31 Mei 1945 dalam sidang BPUPK
Prof. Supomo membedakan bahwa ada dua gagasan tentang negara yang
dikemukakan dalam BPUPK, yaitu gagasan “Negara Islam” dan gagasan
“Negara berdasarkan cita-cita luhur dari agama Islam”. Menurut Supomo:
Dalam negara yang tersusun sebagai “Negara Islam”, negara tidak bisa
dipisahkan dari agama.Negara dan agama ialah satu., bersatu padu… dan
hukum syariat itu dianggap sebagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar
untuk dipakai oleh negara.”

Supomo menganjurkan agar negara Indonesia tidak menjadi negara Islam,


tetapi menjadi “negara yang memakai dasar moral yang luhur yang
dianjurkan juga oleh agama Islam”. Alasan Supomo diterima oleh banyak
nasionalis Islam, karena itu untuk sementara waktu perubahan rumusan sila
pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta tidak lagi mencantumkan kata-kata
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dan diganti
dengan kata-kata “Yang Maha Esa”.
Tetapi perdebatan tentang hal tersebut muncul kembali pada tahun 1950-
1959, dan pada setelah lengsernya Presiden Suharto dan munculnya
Reformasi pada tahun 1998 sampai sekarang.

Anda mungkin juga menyukai