Anda di halaman 1dari 64

KAPASITAS KADER

DALAM PENYULUHAN KELUARGA BERENCANA


DI KOTA PALEMBANG

SHANTI DEVI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kapasitas Kader dalam
Penyuluhan Keluarga Berencana di Kota Palembang adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Shanti Devi
NIM I351120111
RINGKASAN

SHANTI DEVI. Kapasitas Kader dalam Penyuluhan Keluarga Berencana di Kota


Palembang. Dibimbing oleh ANNA FATCHIYA and DJOKO SUSANTO.
Mengatasi berbagai masalah kependudukan diperlukan langkah nyata, salah
satu program yang dipandang penting adalah Keluarga Berencana (KB). Melalui
KB diupayakan mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan, melakukan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Melalui
program KB, perempuan bisa mengatur kehamilannya dan angka kematian ibu
hamil dapat ditekan. Program KB juga menurunkan konsumsi, biaya kesehatan
reproduksi serta biaya pendidikan. Ibu berkesempatan mengembangkan potensi
dirinya, serta anak yang dilahirkan menjadi lebih sehat dan cerdas karena
perhatian dan nutrisi yang cukup.
Pelaksanaan program KB membutuhkan keseriusan dalam keterlibatan
semua pihak, termasuk petugas lapangan KB sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan petugas
pelaksana penyuluhan. Pelaksana penyuluhan KB adalah para Penyuluh KB
(PKB) dan kader KB. Sehubungan ketidakcukupan jumlah PKB, maka dalam
menjalankan tugas, dibantu oleh kader KB yang merupakan penduduk setempat.
Kenyataannya di lapangan, kader KB yang lebih banyak berperan dalam kegiatan
penyuluhan KB; karena jumlahnya yang lebih banyak dan kedekatan tempat
tinggal menjadikan lebih sering berinteraksi dengan masyarakat. Sejauhmana
kapasitas kader KB dalam melaksanakan penyuluhan KB dan faktor-faktor apa
saja yang berhubungan dengan kapasitas tersebut sangat penting dikaji.
Tujuan penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi tingkat kapasitas kader KB
dalam kegiatan penyuluhan KB di Kota Palembang. (2) Menganalisis faktor -
faktor yang berhubungan dengan kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan
KB di Kota Palembang. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai
September 2015 di Kota Palembang. Populasi penelitian adalah 4020 kader KB di
Kota Palembang dan pengumpulan data dilakukan kepada 100 kader KB
berdasarkan area random sampling. Data dalam penelitian ini meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden
dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di
lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif serta untuk menguji
hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kapasitas kader KB di Kota
Palembang termasuk kategori rendah; faktor yang penting diperhatikan untuk
mengembangkan kapasitas kader KB adalah: pengalaman, pelatihan yang diikuti,
dukungan penyuluh, dan dukungan informasi. Usaha mengembangkan kapasitas
kader KB dapat dilakukan dengan menyediakan akses pelatihan secara optimal
bagi kader KB; penyuluh dan instansi KB mengintensifkan kegiatan-kegiatan
pertemuan dengan kader KB, serta memotivasi kader KB supaya mengembangkan
potensi diri sehingga terampil dalam mengakses internet dan memastikan
tersedianya informasi yang sesuai dengan kebutuhan kader KB.

Kata kunci: kader keluarga berencana, kapasitas, keluarga berencana, penyuluhan


SUMMARY

SHANTI DEVI. The Capacity of Family Planning Volunteers in Extension in


Palembang. Supervised by ANNA FATCHIYA and DJOKO SUSANTO.

To overcome the population problems in Indonesia, a program so-called


Family Planning is considered as a concrete step. This program is expected to be
able not only to create healthy and happy families but also to control the
population explosion in our country.
Family Planning is a method to regulate or prevent the birth of children,
limit or space childbirth, ensure the ideal age for women to become pregnant and
give birth, and assist as well as protect women related to their reproductive rights
so that the mortality rate of mothers and infants could be reduced drastically.
Through the family planning program, it is hoped that public welfare can be
further improved, because with small families they do not have to spend as much
money as large families on their daily life, including education expenses of their
children. On the other hand, the mothers would have the opportunity to develop
their potential.
Therefore, the family planning program should be taken seriously by
involving all relevant parties, particularly the volunteers of family planning in the
field.
Due to the shortage of officers in carrying counseling activities, the
volunteers of family planning, who are the local residents, usually assist them in
the field. In fact, the volunteers of family planning play a greater role in family
planning counseling activities, simply because there are more volunteers of family
planning than there are extension officers. In addition, their residence is close to
the women they serve, allowing them for a frequent interaction. Thus, the
capacity of volunteers of family planning in carrying out the family planning
counseling is a vary important factor in the success of the family planning
program.
The objectives of this study were: (1) to identify the capacity level of
volunteers of family planning in extension activities in the city of Palembang, and
(2) to analyze the factors related to the capacity of the volunteers of family
planning in performing family planning counseling activities in the city of
Palembang.
This research was conducted from August to September 2015 in the city of
Palembang. The study population consisted of 4020 volunteers of family planning
in the city of Palembang and the data was obtained from 100 volunteers of family
planning based on area random sampling. The data used in this study included
primary data and secondary data. The primary data was obtained directly from the
respondents and informants of the research, through interviews and direct
observation in the field. The data obtained was then analyzed quantitatively.
Meanwhile, the correlation test of Rank Spearman was performed to test the
hypothesis that had been formulated.
The results showed that the capacity level of the volunteers of family
planning in Palembang was categorized as low, while the factors that were
considered important to develop the capacity of family planning volunteers
included experience, the training obtained, the support of extension officers, and
information support. To develop the capacity of family planning volunteers could
be done by providing optimal access to training for volunteers of family planning.
Additionally, counselors and family planning agencies should intensify the
activities of meeting with volunteers of family planning, not only to motivate
them to develop their own potential in accessing the internet, but also to ensure
the availability of the information needed for the success of performing their
duties in the field.

Key words: capacity, extension, family planning, family planning volunteers


 Hak cipta milik IPB, tahun 2016

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAPASITAS KADER
DALAM PENYULUHAN KELUARGA BERENCANA
DI KOTA PALEMBANG

SHANTI DEVI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi
PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
pertolongan-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian adalah
“Kapasitas Kader dalam Penyuluhan Keluarga Berencana di Kota Palembang.”
Penyelesaian karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada komisi pembimbing
yaitu: Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi dan Bapak Prof Dr Djoko Susanto, SKM
yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan sabar dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini. Rasa terima kasih juga ingin penulis sampaikan
kepada :
(1) Semua keluarga yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.
(2) Para Kepala UPTD Keluarga Berencana di Kota Palembang.
(3) Para penyuluh KB di Kota Palembang.
(4) Para enumerator yang telah membantu pengumpulan data.
(5) Semua responden/kader Keluarga Berencana di Kota Palembang yang telah
berkenan diwawancarai dalam pengumpulan data penelitian.
(6) Teman-teman mahasiswa S2 dan S3 PPN - SPs IPB, atas segala bantuan,
masukan dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2016

Shanti Devi
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Masalah Penelitian 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Program KB 3
Penyuluhan Keluarga Berencana 5
Kader KB 5
Konsep Kapasitas 7
Karakteristik Personal yang Berhubungan dengan Kapasitas 8
Faktor Eksternal yang Berhubungan dengan Kapasitas 12
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 15
METODE PENELITIAN 16
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Rancangan Penelitian 17
Populasi dan Sampel 17
Data dan Instrumentasi 17
Pengumpulan Data 22
Analisis Data 22
HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 23
Karakteristik Personal Kader KB 26
Faktor Eksternal Kader KB 30
Kapasitas Kader KB di Kota Palembang 36
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Kader KB 39
SIMPULAN DAN SARAN 43
DAFTAR PUSTAKA 44
DAFTAR TABEL

1. Jumlah kader KB dan sampel per kecamatan populasi 17


2. Peubah, indikator, dan pengukuran karakteristik personal kader KB 19
3. Peubah, indikator, dan pengukuran faktor eksternal kader KB 20
4. Peubah, indikator, dan pengukuran kapasitas kader KB 21
5. Luas wilayah menurut kecamatan di Kota Palembang 23
6. Jumlah kelurahan, rukun warga, rukun tetangga, dan keluarga
di Kota Palembang 24
7. Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin 24
8. Luas daerah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut
kecamatan di Kota Palembang 25
9. Deskripsi karakteristik personal kader KB 26
10. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator motivasi 29
11. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator pelatihan 29
12. Deskripsi faktor eksternal kader KB 31
13. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan keluarga 31
14. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan penyuluh 32
15. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan tokoh masyarakat 33
16. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan informasi 34
17. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan kebijakan pemerintah daerah 35
18. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator kapasitas kader KB di Kota Palembang 36
19. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
kemampuan kader KB menjalankan fungsi-fungsi 37
20. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator kemampuan kader KB dalam memecahkan masalah 38
21. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator kemampuan kader KB merencanakan kegiatan 39
22. Nilai koefisien korelasi antara karakteristik personal dan faktor eksternal
dengan kapasitas kader KB 40
23. Nilai koefisien korelasi antara indikator pelatihan yang diikuti
dengan kapasitas kader KB 41
24. Nilai koefisien korelasi antara indkator dukungan penyuluh dengan
kapasitas kader KB 41
25. Nilai koefisien korelasi antara indikator dukungan informasi dengan
kapasitas kader KB 42
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di


dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, jumlah
penduduk Indonesia adalah 248,8 juta jiwa. Masalah kependudukan ini diikuti
oleh masalah kemiskinan dan pengangguran. Data BPS (2013) menunjukkan
bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang atau
11,47 persen dari total penduduk Indonesia; sedangkan jumlah pengangguran
terbuka sebanyak 6,25 persen atau 15,55 juta orang.
Mengatasi berbagai masalah kependudukan diperlukan langkah nyata, salah
satu program yang dipandang penting adalah Keluarga Berencana (KB). Melalui
KB diupayakan mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan, melakukan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (UU nomor
52 tahun 2009). Program KB tidak “sekedar” bertujuan mengendalikan penduduk
(birthcontrol), melainkan diarahkan hingga sampai pada terwujudnya keluarga
berkualitas.
Mewujudkan keluarga berkualitas dalam lingkungan yang sehat, perlu
diprioritaskan karena keluarga merupakan unit sosial ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang menjadi landasan dasar suatu masyarakat. Keluarga juga
mempunyai sejumlah fungsi strategis yang tidak dapat digantikan oleh lembaga
manapun. Terbentuknya keluarga berkualitas akan melahirkan masyarakat dan
bangsa yang berkualitas.
Melalui program KB, perempuan bisa mengatur kehamilannya dan angka
kematian ibu hamil dapat ditekan. Program KB juga menurunkan konsumsi, biaya
kesehatan reproduksi serta biaya pendidikan. Ibu berkesempatan mengembangkan
potensi dirinya, serta anak yang dilahirkan menjadi lebih sehat dan cerdas karena
perhatian dan nutrisi yang cukup. (www.bkkbn.go.id). Sejalan dengan hal
tersebut, program KB mendukung pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM);
karena pembangunan kualitas sumberdaya manusia akan sulit terlaksana jika
jumlah penduduk tidak terkendali.
Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah dengan konsep desentralisasi,
justru menyebabkan “terbengkalainya” program KB. Keadaan ini menjadikan
program KB tidak tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. Penelitian
Puspita (2011) menyebutkan bahwa menurunnya kuantitas dan kualitas program
KB berakibat rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya program
KB. Hal tersebut diperkuat penelitian Utsman (2002) dan Amanah et al. (2009)
yang menemukan rendahnya tingkat pengetahuan pasangan usia subur tentang KB
dan Kesehatan Reproduksi (KR). Penelitian Harun (2014) menyatakan bahwa
rendahnya pengetahuan masyarakat tentang program KB menyebabkan rendahnya
peserta aktif KB.
Puspita (2011) menyimpulkan bahwa rendahnya pemahaman dan
keikutsertaan masyarakat dalam program KB berdampak pada meningkatnya
pertumbuhan penduduk dengan pesat. Berdasarkan data BPS tahun 2013, laju
pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,49 persen pertahun, artinya setiap
tahun terjadi pertambahan penduduk 3-4 juta orang. Data BPS juga menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dari seorang perempuan usia
produktif (Total Fertility Rate) adalah 2,6 masih jauh diatas dari target 2,11.
Pelaksanaan program KB membutuhkan keseriusan dalam keterlibatan
semua pihak, termasuk petugas lapangan KB sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan petugas
pelaksana penyuluhan. Pelaksana penyuluhan KB adalah para Penyuluh KB
(PKB) dan kader KB. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), jumlah PKB pada tahun 2014 adalah 22.481
orang. Jumlah ini baru memenuhi 56,2 persen dari jumlah PKB ideal yang
dibutuhkan yaitu setiap desa mempunyai dua PKB (www.bkkbn.go.id).
Sehubungan ketidakcukupan jumlah PKB, maka dalam menjalankan tugas,
dibantu oleh kader KB yang merupakan penduduk setempat.
Kenyataannya di lapangan, kader KB yang lebih banyak berperan dalam
kegiatan penyuluhan KB; karena jumlahnya yang lebih banyak dan kedekatan
tempat tinggal menjadikan lebih sering berinteraksi dengan masyarakat.
Sejauhmana kapasitas kader KB dalam melaksanakan penyuluhan KB dan faktor-
faktor apa saja yang berhubungan dengan kapasitas tersebut sangat penting dikaji,
yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan kapasitas
kader KB.

Masalah Penelitian

Kader KB sebagai pelaksana penyuluh KB di lapangan, di samping


mengatasi masalah ketidakcukupan jumlah PKB, juga sejalan dengan pendekatan
community-based service delivery, yaitu dalam rangka mendekatkan pelayanan
KB kepada masyarakat (Herartri 2008).
Pendekatan berbasis komunitas (community-based) tersebut, program KB
kemudian menjadikan partisipasi komunitas (community participation) atau
peran-serta masyarakat sebagai kebijakan utama, yaitu diantaranya merekrut kader
KB sebagai pelaksana penyuluh KB di lapangan.
Sepanjang perjalanan program KB, kader KB telah banyak menunjukkan
peran yang besar, sebagai ujung tombak program KB di masyarakat. Namun pada
sisi lain, kemampuan kader KB masih belum optimal sebagaimana yang
diharapkan. Penelitian Herartri (2008) menemukan bahwa kader KB belum
mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal dan masih sebatas
melaksanakan yang diperintahkan oleh PKB. Kader KB belum mampu
merumuskan perencanaan dan evaluasi kegiatan dengan baik, serta belum mandiri
dalam melaksanakan kegiatan.
Temuan di atas mengindikasikan rendahnya kemampuan kader KB dalam
melaksanakan penyuluhan KB, sehingga diperlukan pengembangan kapasitas
kader KB dalam melaksanakan penyuluhan KB. Upaya–upaya untuk
mengembangkan kapasitas kader KB dapat dilakukan terlebih dahulu dengan
mengetahui sejauhmana tingkat kapasitas yang telah dimiliki oleh kader KB dan
mengkaji faktor – faktor apa saja yang berhubungan dengan kapasitas kader KB.
Berdasarkan pada data BPS (2013) laju pertumbuhan penduduk Indonesia
mencapai 1,49%, jauh dari angka ideal yang semestinya di bawah 1%. Laju
pertumbuhan penduduk kota Palembang, diatas rata-rata nasional, yaitu: 1,76%.
Dibandingkan dengan kota dan kabupaten lain di provinsi Sumatera Selatan,
Palembang merupakan kota dengan kepadatan penduduk paling tinggi. Upaya
mengurangi laju pertumbuhan penduduk dapat dilakukan dengan mengendalikan
jumlah kelahiran dan penundaan usia kawin, sehingga diperlukan peran kader KB.
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana tingkat kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan KB di kota
Palembang?
2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kapasitas kader KB dalam
kegiatan penyuluhan KB di kota Palembang?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan


penelitian adalah:
1. Mengidentifikasi tingkat kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan KB
dikota Palembang.
2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas kader KB
dalam kegiatan penyuluhan KB di kota Palembang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini mengarahkan perhatian utama pada kader KB sebagai ujung


tombak dari program KB di masyarakat. Kesuksesan program KB banyak
dipengaruhi kemampuan kader KB, oleh sebab itu perlu dikaji kapasitas kader
KB dikota Palembang, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang
mendalam mengenai unsur-unsur kapasitas yang harus dimiliki dan dikuasai oleh
kader KB untuk menekan tingginya laju perkembangan jumlah penduduk serta
faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas tersebut.
Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan memberikan perluasan
wawasan tentang kapasitas kader dalam kegiatan penyuluhan program KB melalui
pemahaman yang tepat tentang berbagai faktor yang berhubungan terhadap
penguatan kapasitas kader KB. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan
berguna bagi pemerintah dan instansi terkait lainnya sebagai masukan untuk
penguatan kapasitas kader dalam kegiatan penyuluhan program KB.

TINJAUAN PUSTAKA

Program Keluarga Berencana

Pengertian Keluarga Berencana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia


diartikan sebagai pembatasan kelahiran dan jarak antar anak. WHO (2011)
menyebutkan bahwa family planning mengarahkan individu - individu dan
pasangan untuk mengantisipasi dan mengatur jumlah dan jarak anak, serta waktu
melahirkan (www.who.int). Upaya ini dicapai melalui penggunaan alat
kontrasepsi modern dan perlakuan tentang “involuntary infertility”.
Buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN 2004)
menyebutkan bahwa Program KB Nasional adalah upaya peningkatan kepedulian
dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan
kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga
untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera menuju keluarga
berkualitas. Menurut UU yang baru yakni UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, keluarga berencana
adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur
kehamilan, melakukan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak
reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Program KB di
Indonesia tidak sekedar bermakna “pengendalian penduduk” (birth control),
melainkan diarahkan hingga sampai pada terwujudnya sebuah keluarga
berkualitas. Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa program KB merupakan
upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam perencanaan perkawinan,
kelahiran, dan perekonomian untuk mewujudkan keluarga sejahtera.

Penyuluhan Keluarga Berencana

Penyuluhan KB adalah kegiatan penyampaian informasi untuk


meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna
mewujudkan keluarga berkualitas (BKKBN 2004). Sasaran utama program KB
adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yakni suami istri di mana istri berusia 15-49
tahun karena mempunyai kemungkinan untuk hamil dan memiliki anak. Dengan
demikian, PKB harus mampu memberikan informasi kepada mereka agar menjadi
tahu, mau, dan mampu merencanakan sendiri keluarganya agar berkualitas.
Program KB mengenal istilah Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
yang merupakan proses penyampaian dan penerimaan pesan dalam rangka
meningkatkan dan memanfaatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
masyarakat, dan mendorongnya agar secara sadar menerima program KB
(BKKBN 2007). Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang responsif gender
adalah salah satu pendekatan dalam komunikasi yang bertujuan mempercepat
perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal ini diukur dari berbagai
saluran komunikasi, di mana penyampaian dan penerimaan pesannya
memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan. Tujuannya adalah: (1)
mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang, keluarga dan
masyarakat agar mempunyai pemahaman tentang adanya kepentingan antara laki-
laki dan perempuan; (2) mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,
(3) mengurangi atau menghilangkan segala bentuk diskriminasi gender yang
berkembang di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya kebijakan/program/
peraturan yang responsif gender. Caranya adalah dengan melalui lima tahap
yakni: (1) analisis situasi, (2) desain strategi, (3) pengembangan rencana, ujicoba
bahan dan produksi, (4) pelatihan dan monitoring, dan (5) kegiatan evaluasi.
Perlunya KIE terutama bagi perempuan disebabkan banyak (terlebih lagi yang
kurang berpendidikan dan tinggal di pedesaan) yang masih belum terlalu (atau
bahkan tidak sama sekali) paham tentang hal-hal penting yang terkait dengan
kesehatan mereka. Hal ini akan mengganggu keberlangsungan keluarga secara
optimal.
Jenis komunikasi lain yang sering digunakan dalam program KB adalah
konseling. Konseling adalah proses di mana seseorang membantu orang lain
dalam membuat keputusan atau mencari jalan untuk mengatasi masalah, melalui
pemahaman tentang fakta-fakta dan perasaan-perasaan yang terlibat di dalamnya
(BKKBN 2006). Suatu hubungan konseling berpedoman pada pandangan bahwa
pengambilan keputusan adalah tanggung jawab klien. Sedangkan pada pemberian
nasehat, si pemberi nasehat berperan seakan ia seorang “ahli” dan memikul
tanggung jawab lebih besar terhadap tingkah laku/tindakan klien. Persamaannya,
keduanya mengandung unsur pemberian informasi yang tepat.
Menjadi komunikator yang efektif, perlu memahami 12 langkah sebagai
berikut: (1) deskripsikan pesan dengan jelas, (2) peka terhadap sikap klien
mengenai masalah yang disampaikan, (3) peka terhadap sikap klien terhadap
komunikator, (4) menyesuaikan cara penyampaian pesan dengan karakteristik
penerima pesan, (5) berusaha menempatkan diri pada posisi penerima pesan, (6)
pesan disampaikan dengan ringkas dan sederhana, (7) pesan diberikan secara
bertahap dan sistematis, (8) ulangi hal-hal yang penting dan ingin ditekankan, (9)
berikan contoh-contoh konkret, (10) kaitkan suatu ide dengan hal yang sudah
diketahui penerima pesan, (11) kemukakan ide-ide penting terlebih dahulu, jangan
tenggelam ke dalam detil-detil, dan (12) hindari situasi bising yang mengganggu
(BKKBN 2006).
Secara ringkas, langkah-langkah konseling dapat dijelaskan dengan akronim
“SATU TUJU” yang “SA”= beri salam kepada klien (menciptakan hubungan),
“T” = tanyakan kepada klien untuk menjajagi pengetahuan, perasaan dan
kebutuhannya tentang kontrasepsi, “U” = uraikan (menyediakan informasi)
tentang alat/cara KB yang ingin diketahui klien, “TU”= bantu klien menyocokkan
alat/cara KB dengan keadaan dan kebutuhannya, “J”= jelaskan lebih rinci
alat/cara KB yang dipilih/akan dipakai klien, dan “U”= kunjungan ulang klien
atau rujuk ke tempat pelayanan lain bila diperlukan (BKKBN 2006).
Menurut Erwindi (2013), tantangan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional dalam rangka peningkatan partisipasi dalam ber KB. Salah
 satu sasaran programnya adalah meningkatkan pria/suami sebagai peserta KB,
 motivator  dan kader,  serta mendukung  istri dalam  KB  dan  kesehatan
reproduksi, yang tolak ukurnya (1) Meningkatnya peserta
 KB Kondom dan Medis Operasi Pria (MOP) 10 %, dan (2) Meningkatnya
motivator/kader pria 10 %. Dengan demikian, penyuluhan KB adalah upaya
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan keluarga dan masyarakat
guna mewujudkan keluarga berkualitas, melalui komunikasi, informasi dan
edukasi.

Kader KB

Kader KB adalah anggota masyarakat yang membantu pelaksanaan program


KB. Mereka yang menjalankan tugas di tingkat desa tergabung dalam Pembantu
Pembina KB Desa (PPKBD), di tingkat RW dikenal dengan Sub PPKBD dan di
tingkat RT dikenal dengan kelompok-kelompok akseptor.
Kader KB lahir beriringan dengan kelahiran program KB. Pada waktu itu
tahun 1970- pendekatan yang digunakan adalah community-based service delivery
guna mendekatkan pelayanan kepada masyarakat perdesaan. Pelayanan ulang alat
kontrasepsi, mencakup pil dan kondom, dilakukan oleh masyarakat di bawah
pengawasan PLKB dan Puskesmas. Tempat pelayanan ulangnya diberi nama Pos
KB (Haryono Suyono et al., dalam Herartri, 2008).
Fungsi PPKBD kemudian dianggap sebagai ”perpanjangan tangan” PLKB
di tingkat desa/ kelurahan. Pada pedoman kerja PLKB dan kader KB(2001)
dicantumkan: ”PLKB/PKB memerlukan peran serta institusi masyarakat untuk
membantu pelaksanaan berbagai kegiatan Gerakan Keluarga Berencana Nasional
di tingkat desa/kelurahan ke bawah. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan, dibina
dan dikembangkan PPKBD”.
Pedoman yang dikeluarkan pada tahun 2001, fungsi PPKBD sebagai
organisasi pengelola program KB di desa, bukan sekadar ”pembantu” atau
”perpanjangan tangan” PLKB. Pada pedoman tersebut dinyatakan PPKBD adalah
”organisasi pengelola dan pembina kegiatan program KB di desa yang berperan
mulai dari merencanakan, mengorganisasikan, menyelenggarakan kegiatan,
membina, mengembangkan.” Peran PPKBD juga mencakup membina poktan
(kelompok kegiatan) yang merupakan “wadah sekaligus pelaksana kegiatan-
kegiatan substantif program KB yang telah direncanakan (oleh PPKBD) tersebut”
(BKKBN 2001).
Pedoman mengenai peran yang harus dilaksanakan oleh PPKBD, yaitu 6
peran yang terdiri dari: pertama, pengorganisasian: membentuk kepengurusan
PPKBD, SubPPKBD, dan Kelompok KB, serta membentuk Pokja KB tingkat
desa. Kedua, pertemuan rutin: untuk melakukan up-dating data, membahas
perencanaan dan evaluasi kegiatan, serta. Pertemuan yang dilakukan antar-
pengurus IMP (Institusi Masyarakat Pedesaan) maupun antara pengurus IMP
dengan PLKB atau petugas sektor terkait. Ketiga, KIE dan konseling: mencakup
substansi KB-Keluarga Remaja (KR) dan Keluarga Sejahtera (KS)-Pendataan
keluarga (PK). Keempat, pencatatan dan pendataan: memanfaatkan data untuk
pelayanan dan pembinaan di wilayahnya. Kelima, pelayanan kegiatan: mencakup
pelayanan KB-KR dan KS-PK. Keenam, upaya kemandirian dalam pelaksanaan
kegiatan: mencakup kemandirian dalam aspek substansi kegiatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Budisantoso (2009), menyebutkan bahwa
masih ada nilai-nilai sosial budaya negatif yang berhubungan dengan partisipasi
pria dalam KB seperti: faktor malu terhadap lingkungan apabila pria berpartisipasi
dalam KB, masih ada yang menganggap nilai anak laki-laki lebih tinggi dari pada
anak perempuan dan urusan KB adalah urusan wanita. Hal ini memerlukan
Kapasitas Kader KB dalam menghadapi tantangan dengan solusi yang sesuai
dengan keadaan sosial budaya yang ada.
Kader KB, yakni masyarakat setempat yang membantu program KB. Para
penyuluh formal (PKB/PLKB) terus membina mereka agar tetap aktif membantu.
Melalui cara pemberian pelatihan dan insentif, penyediaan sarana dan prasaranan
kerja, serta hubungan kerja yang setara dan saling menghargai. Dengan demikian,
kader KB adalah anggota masyarakat yang menjadi perpanjangan tangan
penyuluh KB dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan keluarga
dan masyarakat tentang program keluarga berencana.

Konsep Kapasitas

Secara harfiah istilah kapasitas berasal dari istilah bahasa Inggris, capacity
yang memiliki makna: kemampuan, daya tampung yang ada. Penggunaan kata
kapasitas sering diidentikkan dengan istilah posisi kemampuan ataupun kekuatan
seseorang yang ditampilkan dalam bentuk tindakan.
Konsep kapasitas dalam pembangunan telah lama dikembangkan terutama
oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam
rangka membantu negara-negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan.
Menurut OECD (1996), pengembangan kapasitas merupakan gambaran
kemampuan dari individu ataupun masyarakat untuk menghadapi permasalahan
mereka sebagai bagian dari usaha mereka untuk mencapai tujuan pembangunan
secara berkesinambungan. Alikodra (2004) berpendapat bahwa kapasitas individu
maupun masyarakat menyangkut kemampuan dan keterampilan dalam
memecahkan permasalahan yang dimiliki individu ataupun masyarakat tersebut
berdasarkan tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Makna kapasitas yang
dikembangkan oleh The Ontario Prevention Clearinghouse (2002) memberikan
definisi pengertian lebih luas yaitu: pengetahuan yang sebenarnya, keahlian,
partisipasi, kepemimpinan, dan sumberdaya yang oleh dibutuhkan individu,
organisasi, atau komunitas untuk secara aktif menangani masalah di tingkat
organisasi atau komunitas terebut .
Demikian juga pengertian kapasitas yang dikembangkan oleh Canadian
International Developmetn Agency(CIDA 2000): “capacity as the abilities, skills,
under-standings, attitudes, values, relationships, behaviors, motivations,
resources and conditions that enable individuals, organzations, network/sectors
and broader social system to carry out functions and achieve thier development
objectives over times“. Secara implisit pengertian tersebut memberikan makna
bahwa kapasitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu, organisasi
maupun masyarakat untuk memecahkan permasalahan yang dimiliki secara
efektif.
Lebih jauh Goodman (Brown et al. 2001), mengatakan bahwa kapasitas
diperlukan untuk membangun tingkat kesiapan yang dimiliki oleh individu,
organisasi maupun masyarakat sehingga dapat ditandai dengan suatu kemajuan
maupun kemunduran. Konsep kapasitas menurut Goodman (Brown et al. 2001)
memiliki makna kemampuan dalam melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan
(the ability to carry out stated objectives). Sejalan dengan pendapat Goodman
tersebut, Havelock (Sumardjo 1999) memberikan pengertian konsep kapasitas
adalah suatu kemampuan untuk mengerahkan dan mengivestasikan berbagai
sumber daya yang dimiliki.
Liou (2004) menyatakan bahwa kapasitas mengacu pada kinerja,
kemampuan, kapabilitas dan potensi kualitatif dari suatu objek atau seseorang.
Millen (2001) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, organisasi
atau sistem untuk melakukan fungsi-fungsi yang tepat secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan. Kapasitas berhubungan dengan kinerja yang ditargetkan dan
kesesuaian menjalankan fungsi dan tugas, yaitu pemberian kontribusi terhadap
pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Govnet (Morgan 2006) menyatakan bahwa kapasitas adalah kemampuan
orang-orang, organisasi, dan masyarakat dalam mengelola segala urusan/usaha
secara optimal. Kaplan (Morgan 2006) mendefinisikan kapasitas adalah
kemampuan mengorganisir suatu pekerjaan/urusan secara ulet, sesuai
rencana/tujuan, dan dengan kekuatan/daya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut,
United Nation Development Program (UNDP 1998) mendefinisikan kapasitas
adalah kemampuan individu, lembaga dan masyarakat untuk melaksanakan
fungsi-fungsi, menyelesaikan masalah-masalah, dan menyusun serta mencapai
tujuan secara berkelanjutan.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
kapasitas adalah segala daya-daya kekuatan yang menghasilkan kemampuan, yang
dimiliki oleh individu, organisasi maupun masyarakat untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kapasitas dalam rencana penelitian ini adalah kemampuan
kader KB dalam menjalankan fungsi-fungsi kegiatannya (program KB),
kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan merencanakan kegiatan.

Karakteristik Personal yang Berhubungan dengan Kapasitas Kader KB

Penelitian Fatchiya (2010) membuktikan bahwa tingkat kapasitas yang ada


pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dirinya sendiri
maupun dari lingkungan diluar dirinya, terutama dari lingkungan kelompok
tempat dirinya hidup. Rogers dan Shoemaker (1987) menyebutkan bahwa
karakteristik mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi
lainnya. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik personal adalah
sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek
kehidupan.
Penelitian Fatchiya (2010) menyimpulkan bahwa karakteristik personal yang
terbukti secara nyata berhubungan dengan kapasitas seseorang adalah umur,
pendidikan, pengalaman, pendapatan, dan skala usaha. Sidi dan Setiadi (2005)
menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya membekali seseorang dengan ilmu
dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik,
serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri.
Menurut Morgan (2006) pendidikan dan pelatihan sebagai alat untuk
meningkatkan kapasitas seseorang. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan
bahwa seseorang yang belajar dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan
untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktik. Penelitian
Batoa dkk. (2008), Domihartini dan Jahi (2005), Abdullah dan Jahi (2006),
Kustiari dkk. (2006), serta Putra dkk. (2006) menunjukkan bahwa tingkat
pengalaman berhubungan dengan kemampuannya dalam menjalankan usaha.
Denny (1997) menjelaskan bahwa motivasi berkaitan sangat erat dengan
kemampuan yang terkandung dalam pribadi seseorang. Penelitian Subagio, dkk
(2008) menyimpulkan bahwa kosmopolitan berhubungan dengan kapasitas.
Dalam penelitian ini, karakteristik personal kader KB dibatasi pada umur,
pendidikan formal, tingkat pengalaman, tingkat motivasi, pelatihan yang diikuti,
dan tingkat kekosmopolitan.
Umur
Padmowihardjo (1994) mengatakan umur bukan merupakan faktor
psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis.
Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan
dengan umur. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak,
organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi
pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Wiraatmadja (1990)
mengemukakan bahwa umur seseorang akan memengaruhi penerimaan seseorang
terhadap hal-hal baru.
Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan
harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga
terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki (Bettinghaus,
1973). Rakhmat (2001) mengatakan bahwa kelompok orangtua melahirkan pola
tindakan yang pasti berbeda dengan anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh
lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat
sampai awal dua puluhan, dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun
terakhir (Berelson dan Garry, 1973).
Umur merupakan aspek yang berhubungan terhadap kemampuan fisik,
psikologis, dan biologis seseorang (Setiawan et al., 2006). Umur dengan demikian
merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam belajar,
baik dalam proses belajar maupun mengaktualisasikan hasil belajar dalam
pengalaman hidup. Umur dalam penelitian ini adalah jumlah tahun hidup kader
KB.

Tingkat Pendidikan formal


Pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf
hidup atau kemajuan yang lebih baik. Pada akhirnya pendidikan bertujuan untuk
menjadikan seseorang menjadi anggota masyarakat tempat dia tinggal,
sebagaimana yang dinyatakan UNESCO dengan Empat Pilar Pendidikan, yaitu
sebagai berikut: (a) learning to know: belajar untuk mengetahui; (b) learning to
do: belajar untuk berbuat; (c) learning to be: belajar untuk menjadi dirinyasendiri;
dan (d) learning to live together: belajar untuk hidup bersama dengan orang lain
(www.unesco.org). Undang-undang Dasar tahun 1945, pasal 31 ayat (3) secara
eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang. Tujuan pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta untuk
mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab
Pendidikan formal dengan demikian merupakan proses yang dijalani
seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian
menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan formal dalam penelitian ini adalah
jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh kader KB.
Tingkat Pengalaman
Menurut Padmowihardjo (1994), pengalaman adalah suatu kepemilikan
pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
Dalam otak manusia dapat digambarkan adanya pengaturan pengalaman yang
dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya. Melalui proses
belajar, seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan
pengalaman yang dimiliki.
van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa seseorang yang belajar
dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola
sikap melalui pengalaman dan praktik. Pengalaman dengan demikian dapat
berupa pengalaman belajar (kepemilikan pengetahuan dan pengalaman dalam
praktek) seseorang dalam masa tertentu. Pengalaman seseorang dalam rencana
penelitian ini adalah lamanya waktu dalam tahun yang telah dicurahkan oleh
seseorang (kader KB) dalam suatu program/kegiatan (program KB). Selama kurun
waktu itu, selain mendapatkan pengalaman langsung dalam menghadapi
masyarakat, juga didapat melalui pertukaran pengalaman antar kader untuk
mengembangkan kemampuan diri.

Tingkat Motivasi
Morgan et al., (1963) mengemukakan bahwa konsep motivasi tidak bisa
dilepaskan dari adanya motif (motive), dorongan (drive) dan kebutuhan (needs).
Tindakan yang bermotif dapat dikatakan sebagai tindakan yang didorong oleh
kebutuhan yang dirasakannya, sehingga tindakan tersebut tertuju ke arah suatu
tujuan yang diidamkan. Menurut Padmowihardjo (1994), motivasi merupakan
usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau
melakukan tindakan. Motivasi tersebut menggambarkan kecenderungan asli
manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan di
sekelilingnya.
Suparno (2000) mengemukakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu
jika mengharapkan akan melihat hasil, memiliki nilai (value) atau manfaat.
Perasaan berhasil (the experience of success) akan menimbulkan motivasi
seseorang untuk mempelajari dan melakukan sesuatu. Motivasi dengan demikian
merupakan dorongan yang berasal dari dalam maupun luar diri seseorang untuk
melakukan tindakan dalam upaya mencapai suatu tujuan. Motivasi dalam rencana
penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong seseorang (kader KB) untuk
melakukan kegiatan/program (program KB).

Pelatihan yang diikuti


Pelatihan adalah kegiatan untuk memperbaiki kemampuan seseorang dengan
cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan
suatu pekerjaan (Soeprihanto 2008). Pelatihan merupakan upaya untuk
meningkatkan kecakapan sesorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan tertentu,
dan pelatihan itu sendiri harus dapat menimbulkan perubahan diri yang dilatihnya.
Latihan dan pengembangan merupakan langkah akhir dalam upaya menjamin
seseorang memiliki pengetahuan, keterampilan yang diperlukan dalam
melaksanakan pekerjaannya (Departemen Pertanian 2006).
Pelatihan adalah suatu proses pendidikan yang memerlukan lebih dari
informasi yang memberi atau pengembangan keterampilan (Maalouf 1993).
Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu
pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau suatu pekerjaan
yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif biasanya pelatihan harus
mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktifitas – aktifitas yang
terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban
atas kebutuhan – kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan, yaitu untuk mencapai
tujuan organisasi, yang pada waktu bersamaan juga mewujudkan tujuan – tujuan
dari para pekerja (Gomes 2002).
Melalui pelatihan seperti pelatihan penggerakan KB bagi Kader KB,
diharapkan Kader dapat memiliki kapasitas sebagai berikut:
1. Mampu melakukan penyuluhan KB;
2. Mampu melakukan pembinaan peserta KB;
3. Mampu mengintegrasikan kegiatan Kader KB;
4. Mampu membina keluarga tentang tumbuh kembang anak;
5. Mampu menjaga kelangsungan kesertaan KB bagi anggota;
6. Mampu memadukan kegiatan BKB dengan kegiatan Posyandu dan Paud;
7. Mampu melakukan pelaporan BKB
Peningkatan Kapasitas Tenaga Program Keluarga Berencana dan Keluarga
Sejahtera, dilaksanakan melalui orientasi/pelatihan menggunakan metoda
partisipatif, pendekatan orang dewasa, komunikatif dan membantu upaya
penyelesaian kasus serta memberikan ruang dan kreatifitas seluas-luasnya pada
peserta, dengan memperhatikan :
1. Jumlah peserta per angkatan maksimal 30 orang
2. Kelas didisain untuk memaksimalkan dukungan aktif antara fasilitator dan
peserta
3. Membangun suasana yang menyenangkan (nyaman)
(Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 232/Hk-010/G1/2010)
Dengan demikian, pelatihan merupakan upaya untuk mengubah diri
seseorang sesuai target yang direncanakan melalui proses pendidikan atau
pengalaman belajar. Pelatihan, dalam rencana penelitian ini adalah kegiatan untuk
meningkatkan kemampuan seseorang (kader KB) dengan cara meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan suatu pekerjaan
(program KB).

Tingkat Kekosmopolitan
Kekosmopolitan secara umum dapat diartikan sebagai keterbukaan
seseorang terhadap berbagai sumber informasi sehingga memiliki wawasan dan
pengetahuan yang luas. Sifat kekosmopolitan menurut Mardikanto (1993) adalah
tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri.
Kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan
yang dilakukan. Bagi warga masyarakat yang lebih kosmopolit, adopsi inovasi
dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi bagi yang localite (tertutup, terkungkung di
dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat
lambat karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik
seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya
sendiri.
Menurut Mosher (1978), keterbukaan seseorang berhubungan dengan
penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan usaha mereka.
Hanafi (1986) mengutip pendapat Rogers mengemukakan bahwa kekosmopolitan
individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang
lain di dalam komunitasnya, yaitu: (1) individu tersebut memiliki status sosial, (2)
partisipasi sosial lebih tinggi, (3) lebih banyak berhubungan dengan pihak luar,
(4) lebih banyak menggunakan media massa, dan (5) memiliki lebih banyak
hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya.
Menurut Rogers, salah satu ciri kosmopolit adalah memiliki intensitas hubungan
atau kontak yang lebih tinggi dengan pihak di luar komunitasnya. Hanafi (1986)
menyatakan bahwa kosmopolit memiliki hubungan dengan pihak – pihak maju
atau pihak-pihak lain yang berada di luar komunitasnya.
Salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial menurut Soekanto (2006)
adalah adanya kontak dengan budaya lain. Bila pendapat Soekanto tersebut
diterjemahkan pada konteks individu, dapat dimaknai bahwa perubahan perilaku
seseorang dapat diakibatkan oleh adanya kontak dengan pihak di luar komunitas.
Lebih lanjut Soekanto menyebutkan bahwa pertemuan individu dari satu
masyarakat dengan individu dari masyarakat lainnya memungkinkan terjadinya
difusi. Penelitian Agussabti (2002) menunjukkan bahwa perilaku seseorang dalam
mengelola usaha kegiatannya berhubungan dengan frekuensi dukungan sesama.
Semakin intensif mereka berdukungan, maka semakin banyak mendapat informasi
baru untuk mengembangkan usaha kegiatannya. Kekosmopolitan dalam penelitian
ini adalah tingkat hubungan kader KB dengan dunia luar di luar sistem sosialnya
sendiri dan dicirikan oleh frekuensi ke luar sistem sosial yang dilakukan kader
KB.

Faktor Eksternal yang Berhubungan dengan Kapasitas Kader KB

Menurut Rakhmat (2001) faktor eksternal adalah ciri – ciri yang menekan
seseorang yang berasal dari luar dirinya, yang merupakan faktor yang penting
dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan usaha. Penelitian
Fatchiya (2010) menyimpulkan bahwa dukungan penyuluh dalam meningkatkan
kapasitas tidak bisa dilepaskan dari filosofi penyuluhan itu sendiri, yaitu
membantu individu untuk mampu menolong dirinya sendiri dalam menyelesaikan
masalah lingkungannya. Penelitian Farid (2008) menyimpulkan bahwa
akses/dukungan informasi, etos kerja, dan keaktifan dalam kelompok terbukti
secara nyata berhungan dengan kapasitas sumber daya seseorang. Menurut
Haryani (2004), keaktifan seseorang untuk berhubungan dengan lingkungan untuk
mencari informasi merupakan sifat positif dalam pengembangan kapasitas
seseorang. Penelitian Subagio, dkk (2008) menyimpulkan bahwa akses/dukungan
informasi berhungan dengan kapasitas. Dalam penelitian ini, karakteristik
eksternal kader KB dibatasi pada dukungan keluarga, dukungan penyuluh,
dukungan tokoh masyarakat, dukungan informasi dan dukungan kebijakan
pemerintah daerah.

Dukungan Keluarga
Keluarga dalam suatu sistem sosial adalah subsistem terkecil yang sangat
berpengaruh pada perkembangan anak manusia selanjutnya. Pada awal kehidupan
manusia, agen sosial seorang anak adalah orang tua dan saudara kandungnya.
Suatu masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended family), agen
sosialisasi lebih banyak lagi seperti nenek, kakek, paman, bibi, dan lain-lain
(Maruis 2007). Di dalam dan melalui kelurgalah seseorang anak manusia mulai
belajar bagaimana ia hidup. Kebiasaan – kebiasaan belajar, norma, kelakuan
dalam rumah tangga akan menentukan perilaku selanjutnya.
Fenomena proses belajar yang berawal dari keluarga yang juga menjadi
fenomena proses belajar seorang kader KB. Keluarga adalah tempat awal semua
tata nilai disosialisasikan dan kemudian diteruskan disekolah, lingkungan
bermain, lingkungan sosial masyarakat secara umum. Perilaku displin, jujur,
keingintahuan, suka belajar, dan mencari hal – hal baru berawal dari didikan
keluarga. Keluarga adalah “sekolah” pertama bagi seorang anak manusia. Situasi,
kondisi, norma yang berlaku dalam keluarga, perilaku rumah tangga akan
memengaruhi perilaku seseorang. Dukungan awal keluarga terhadap keseluruhan
perilaku orang termasuk kader KB menentukan perilaku dan sikapnya. Motivasi
untuk maju dan suka bekerja keras, hidup yang disiplin dan kemauan untuk
belajar tidak muncul begitu saja. Semua perilaku itu berada dalam suatu proses
yang bermula dari kehidupan keluarga. Dalam penelitian ini, dukungan keluarga
merupakan keseluruhan sikap dan penghargaan anggota keluarga terhadap profesi
kader KB yang memungkinkan kader KB secara leluasa meningkatkan
kapasitasnya.

Dukungan Penyuluh
Wiraatmadja (1990) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penyuluhan,
seorang penyuluh harus mengadakan hubungan, hubungan tersebut pada akhirnya
dapat menimbulkan komunikasi. Dukungan dengan penyuluh KB merupakan
hubungan yang kemudian terjalin komunikasi untuk saling bertukar informasi
antara kader KB dan penyuluh KB. Dalam penelitian ini dukungan dengan
penyuluh KB dalam meningkatkan kapasitas kader KB diukur dari tingkat kualitas
dan kuantitas hubungan kader KB dengan penyuluh KB dalam hal mendapatkan
informasi/teknologi dan wawasan tentang KB.

Dukungan tokoh masyarakat


Menurut Gerungan (1996) dukungan adalah suatu hubungan antara dua atau
lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu memengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.
Pengertian tokoh masyarakat, menurut Rivai (2003), adalah orang – orang yang di
dalam kehidupan di desa mampu memengaruhi penduduk berkat pengakuan atas
kepemimpinannya yang banyak dilandasi oleh kharisma, sifat pribadi,
kepeduliannya terhadap desa dan penduduknya serta memiliki kualifikasi dalam
bidang tertentu. Menurut Haryani (2004), keaktifan seseorang untuk berhubungan
dengan lingkungan untuk mencari informasi dan wawasan merupakan sifat positif
dalam pengembangan kapasitas seseorang.
Dukungan dengan tokoh masyarakat merupakan hubungan yang kemudian
terjalin komunikasi untuk mendapatkan informasi untuk menambah wawasan
kader KB. Dukungan dengan tokoh masyarakat juga merupakan dalam rangka
menggalang dukungan moral bagi kader KB dan hal tersebut sebagai kekuatan
psikologis dalam menjalankan kegiatan (BKKBN 2001). Dalam penelitian ini
dukungan dengan tokoh masyarakat dalam meningkatkan kapasitas kader KB
diukur dari tingkat kualitas dan kuantitas hubungan kader KB dengan tokoh
masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan/program KB.

Dukungan informasi
Informasi diartikan sebagai penerangan; pemberitaan. Menurut Wiryanto
(2004) informasi adalah proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah
mengolah/memproses stimulus, yang masuk ke dalam dalam diri individu melalui
panca indera, kemudian diteruskan ke otak/pusat syaraf untuk diolah/diproses
dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki. Setelah
mengalami pemrosesan, stimulus itu dapat dimengerti sebagai informasi.
Menurut Slamet (2003) informasi adalah bahan mentah untuk menjadi
pengetahuan, dan pengetahuan itu sangat diperlukan untuk bisa mempertahankan
hidupnya. Informasi juga dapat diartikan sebagai suatu hal yang member
pengetahuan. Informasi dapat berbentuk benda fisik, warna, suhu, kelakuan dan
lain – lain (Soemarwoto 1989).
Dukungan informasi adalah ketersediaan informasi yang terkait dengan
kegiatan penyuluhan KB yang diperlukan kader KB sebagai ujung tombak dari
program KB dimasyarakat, untuk menekan tingginya laju perkembangan jumlah
penduduk. Dalam penelitian ini dukungan informasi diukur berdasarkan tingkat
kemudahan mengakses informasi tentang KB melalui berbagai media dan instansi,
serta tingkat kesesuaiannya dengan kebutuhan.

Dukungan kebijakan Pemerintah Daerah


Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah, program KB mengalami
perubahan paradigma. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan dan Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, program KB tidak lagi
dilaksanakan sentralistik di bawah koordinasi BKKBN, melainkan
didesentralisasikan kepada daerah. Jadi, Kabupaten/Kota memiliki kemandirian
dalam menangani masalah KB, termasuk urusan anggaran dan personilnya.
Kebijakan otonomi daerah bidang penyuluhan KB ini juga dimaksudkan
supaya pemerintah daerah mampu meningkatkan kinerja penyuluhan KB. Dengan
demikian perkembangan penyuluhan khususnya penyuluhan KB sangat
bergantung pada kebijakan daerah/pemda tingkat kabupaten/kota. Puspita (2010)
mengidentifikasi beberapa kendala penyuluhan KB era otonomai daerah: (1)
beberapa kabupaten/kota menunjukkan komitmen rendah, hal ini tampak dari
bentuk kelembagaannya yang digabung dengan badan/dinas/kantor yang dianggap
sejenis, (2) berkurangnya penyuluh KB, baik karena beralih tugas menjadi pejabat
struktural ditingkat kabupaten/kota/kecamatan. Kondisi ini memberikan
keragaman kondisi penyuluhan di tiap daerah.
Kebijakan pemerintah daerah kabupaten/ kota terhadap penyuluhan KB
yang paling mudah dilihat adalah dukungan terhadap petugas lapangan yang
menjadi ujung tombak kegiatan penyuluhan KB. Dukungan Pemda terhadap
pengembangan SDM petugas lapangan penyuluhan KB menjadi indikator penting
dalam mengkaji kebijakan pemda terhadap penyuluhan KB. Oleh karena itu
indikator yang digunakan terhadap variable dukungan kebijakan Pemda adalah
pemberian penghargaan terhadap capaian kinerja kader KB serta kelancaran
insentif yang diterima kader KB.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka Berpikir

Alur berpikir dimulai dari kenyataan masalah tentang laju pertumbuhan


penduduk kota Palembang, diatas rata-rata nasional, yaitu: 1,76%. Ditambah lagi,
jika dibandingkan dengan kota dan kabupaten lain di provinsi Sumatera Selatan,
Palembang merupakan kota dengan kepadatan penduduk paling tinggi.
Kemampuan kader Keluarga Berencana (KB) sebagai ujung tombak dari program
KB dimasyarakat, sangat diharapkan untuk berperan penting untuk menekan
tingginya laju perkembangan jumlah penduduk. Kesuksesan program KB banyak
dipengaruhi kemampuan kader KB, maka dari pada itu penting untuk mengetahui
faktor-faktor manakah yang dominan berhubungan dengan kapasitas kader KB di
kota Palembang.
Ndraha (1999) menyebutkan bahwa kemampuan seseorang tidak saja
ditentukan oleh potensi yang ada dalam dirinya (faktor internal), tetapi juga
ditentukan oleh faktor di luar dirinya (faktor eksternal). Terbentuknya pribadi
seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik lingkungan vertikal (genetika,
tradisi) maupun lingkungan horizontal (geografik, sosial).
Penelitian Fatchiya (2010) membuktikan bahwa tingkat kapasitas yang ada
pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dirinya sendiri
maupun dari lingkungan di luar dirinya, terutama dari lingkungan kelompok
tempat dirinya hidup. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Farid (2008) dan
Subagio, dkk (2008) menyimpulkan bahwa karakteristik pribadi dan faktor
eksternal serta lingkungan terbukti secara nyata berhubungan dengan kapasitas
sumber daya seseorang. Liou (2004) menyatakan bahwa kapasitas mengarah pada
konteks kinerja (performance), kemampuan (ability), kapabilitas (capability) dan
potensi kualitatif suatu objek atau orang.
Penelitian ini ingin mengkaji tingkat kapasitas kader KB dalam kegiatan
penyuluhan tentang KB. Kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan
tentang KB adalah kemampuan kader KB dalam menjalankan fungsi-fungsi
kegiatan penyuluhan tentang KB, kemampuan memecahkan masalah, dan
kemampuan merencanakan kegiatan. Beberapa faktor yang berasal dari dalam
diri kader KB (karakteristik personal) dan faktor yang berasal dari luar diri kader
KB (faktor eksternal), diduga berhubungan dengan tingkat kapasitas kader dalam
penyuluhan KB.
Karakteristik personal yang diduga berhubungan nyata dengan kapasitas
kader KB adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman, tingkat motivasi,
pelatihan yang diikuti, dan tingkat kekosmopolitan. Faktor eksternal yang diduga
berhubungan dengan kapasitas kader KB adalah dukungan keluarga, dukungan
penyuluh KB, dukungan tokoh masyarakat, dukungan informasi dan dukungan
kebijakan pemerintah daerah. Hubungan antara peubah disajikan pada Gambar 1.
Karakteristik Personal Kader
KB
(X1)
X1.1 Umur
X1.2 Tingkat Pendidikan Formal
X1.3 Tingkat Pengalaman
X1.4 Tingkat Motivasi
X1.5 Pelatihan yang diikuti
X1.6 Tingkat Kekosmopolitan Kepuasan
Akseptor
Kapasitas
Kader KB
(Y) Akseptor
Faktor Eksternal Konsisten
Kader KB Ikut
(X2) Program KB
X2.1 Dukungan Keluarga
X2.2 Dukungan Penyuluh
X2.3 Dukungan Tokoh
Masyarakat
X2.4 Dukungan Informasi
X2.5 Dukungan Kebijakan
Pemerintah Daerah

Gambar 1 Kerangka berpikir operasional faktor-faktor yang berhubungan dengan


kapasitas kader KB

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan,


maka hipotesis penelitian adalah:
1. Karakteritik personal berhubungan positif nyata dengan kapasitas kader KB.
2. Karakteritik faktor eksternal berhubungan positif nyata dengan kapasitas kader
KB.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2015 di kota


Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi didasarkan pada
permasalahan, tujuan penelitian, dan kecukupan sampel yang diambil.
Rancangan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka jenis penelitian


yang digunakan adalah explanatory research dengan metode survey yang
dilaksanakan untuk melihat hubungan antara peubah-peubah penelitian dan
menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Penelitian terdiri dari dua
peubah bebas yaitu karakteristik personal kader KB (X1) dan faktor eksternal
kader KB (X2) serta peubah terikat yaitu kapasitas kader KB (Y) .
Uji statistik dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan, sehingga
menggunakan pendekatan kuantitatif dan untuk menjelaskan substansi hasil uji
statistik digunakan data kualitatif.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh kader KB di kota Palembang, yaitu


sebanyak 4020 kader KB. Menurut Wallen (1974) menyatakan jumlah minimum
sampel adalah 100 untuk studi deskriptif, 50 untuk studi karelasional. Sampel
penelitian ini sebanyak 100 kader KB.
Penarikan sampel dilakukan secara proporsional pada 5 kecamatan (Area
Random Sampling), dari 16 kecamatan di kota Palembang provinsi Sumatera
Selatan. Pemilihan 5 kecamatan mewakili kawasan utara, selatan, timur, barat dan
tengah kota Palembang. Penentuan kecamatan terpilih dilakukan secara acak dari
beberapa kecamatan pada kawasan yang sama.
Matrik sampel disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah kader KB dan sampel per kecamatan populasi


No Kecamatan Jumlah kader KB Jumlah sampel
1 Seberang Ulu I 435 31
2 Bukit Kecil 162 12
3 Sako 261 19
4 Ilir Barat I 301 21
5 Kalidoni 234 17
JUMLAH 1393 100

Data dan Instrumentasi

Data
Penelitian ini mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer
yang dikumpulkan adalah data karakteristik personal kader KB yaitu umur,
tingkat pendidikan normal, tingkat pengalaman, tingkat motivasi, pelatihan yang
diikuti, dan tingkat kekosmopolitan; data faktor eksternal kader KB meliputi
dukungan keluarga, dukungan penyuluh, dukungan tokoh masyarakat, dukungan
informasi dan dukungan kebijakan pemerintah daerah; serta data kapasitas kader
KB. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data jumlah penduduk, jumlah kader
KB, jumlah penyuluh, jumlah peserta KB, jumlah PUS (pasangan usia subur), dan
kondisi umum wilayah penelitian. Data sekunder didapatkan dari Kantor BKKBN
(Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) kota Palembang,
Kantor Camat, Kantor Lurah, dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) KB di
setiap kecamatan.

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah


Definisi operasional dalam kegiatan penelitian ditetapkan untuk mencegah
terjadinya kesalahan arah terhadap konsep yang telah ditetapkan, dengan
demikian pengukuran terhadap peubah dapat dilakukan secara jelas dan terukur.
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

Karakteristik Personal kader KB (X1)


Karakteristik personal kader KB adalah ciri-ciri yang melekat pada diri
responden yang diduga berhubungan dengan kapasitas responden, yang meliputi:
1. Umur (X1.1) adalah lamanya (tahun) hidup responden yang dihitung sejak
dilahirkan sampai dengan saat wawancara/penelitian dilakukan.
2. Tingkat Pendidikan formal (X1.2) adalah jumlah tahun responden mengikuti
pendidikan formal.
3. Tingkat Pengalaman (X1.3) adalah jumlah tahun responden menjadi kader KB.
4. Tingkat Motivasi (X1.4) adalah alasan responden untuk melakukan fungsi
sebagai kader KB dan keberhasilan KB sebagai pendorong.
5. Pelatihan yang diikuti (X1.5 ) adalah jumlah kegiatan yang diikuti responden
dalam rangka meningkatkan kompetensi dalam melaksanakan fungsi sebagai
kader KB.
6. Tingkat Kekosmopolitan (X1.6) adalah jumlah kali responden melakukan
perjalanan / kunjungan ke luar sistem sosial dalam 3 bulan terakhir.

Faktor Eksternal kader KB (X2)


Faktor eksternal kader KB adalah faktor-faktor yang berada di luar diri
responden yang diduga dapat mendukung fungsi sebagai kader KB, yang
meliputi:
1. Dukungan keluarga (X2.1) adalah keseluruhan sikap dan penghargaan anggota
keluarga terhadap profesi kader KB yang memungkinkan kader KB secara
leluasa meningkatkan kapasitasnya.
2. Dukungan penyuluh (X2.2) adalah tingkat intensitas penyuluh memberikan
informasi kepada kader KB terkait dengan program KB serta bantuan
penyuluh terhadap kader KB dalam kegiatan penyuluhan program KB.
3. Dukungan tokoh masyarakat (X2.3) adalah bantuan aparat kelurahan/RT/RW
dan tokoh agama terhadap kader KB dalam kegiatan penyuluhan program KB.
4. Dukungan informasi (X2.4) adalah Tingkat kemudahan mengakses berita,
pesan, dan pengetahuan tentang penyuluhan KB melalui berbagai media dan
instansi serta kesesuaiannya dengan kebutuhan responden.
5. Dukungan kebijakan pemerintah daerah (X2.5) adalah dukungan pemerintah
daerah kepada kader KB dalam memberikan penghargaan terhadap capaian
kinerja dan kelancaran insentif.
Kapasitas kader KB (Y)
Kapasitas adalah kemampuan kader KB dalam hal: menjalankan fungsi-
fungsi kegiatan/program KB, memecahkan masalah, dan merencanakan
kegiatan/program KB.

Definisi Operasional Karakteristik Personal kader KB (X1): ciri – ciri yang


melekat pada diri responden yang diduga berhubungan positif dengan tingkat
kapasitas responden dalam melakukan penyuluhan KB.

Tabel 2 Peubah, indikator, dan pengukuran karakteristik personal kader KB


Kategori Skala
No Peubah Indikator
pengukuran data
1 Umur (X1.1) Lamanya tahun Muda , Sedang, Skala
kehidupan responden dan tua ordinal

2 Tingkat Jenjang pendidikan Tamat SD, SLTP Skala


Pendidikan formal SLTA, Diploma, ordinal
formal (X1.2) Sarjana

3 Tingkat Lama menjadi kader 1 - 5 tahun, 6 – 10 Skala


Pengalaman KB tahun, > 10 tahun ordinal
(X1.3)
4 Tingkat  Yang menjadi Rendah = 1; Skala
Motivasi dorongan sedang = 2; ordinal
(X1.4 ) melakukan fungsi tinggi = 3,
sebagai kader KB berdasarkan
 Keberhasilan KB sebaran hasil
sebagai pendorong penelitian

5 Pelatihan  Kegiatan untuk Rendah = 1; Skala


yang diikuti meningkat sedang = 2; tinggi Ordinal
(X1.5 ) kan kompetensi = 3, berdasarkan
sebaran hasil
penelitian

6 Tingkat Frekuensi melakukan Rendah = 1; Skala


Kekosmopoli perjalanan ke luar sedang = 2; tinggi Ordinal
tan (X1.6 ) sistem sosial = 3, berdasarkan
sebaran hasil
penelitian
Definisi Operasional Faktor Eksternal kader KB (X2):faktor-faktor yang berada di
luar diri responden yang diduga dapat mendukung fungsi sebagai kader KB.

Tabel 3 Peubah, indikator, dan pengukuran faktor eksternal kader KB


Kategori Skala
No Peubah Indikator
pengukuran data
1 Dukungan  Sikap dan penghargaan Rendah = 1; Skala
Keluarga suami / keluarga sedang = 2; Ordinal
(X2.1) tinggi = 3,
berdasarkan
sebaran hasil
penelitian
2 Dukungan  Intensitas penyuluh Rendah = 1; Skala
penyuluh memberikan informasi sedang = 2; Ordinal
(X2.2)  Bantuan kepada tinggi = 3,
responden ketika ada berdasarkan
masalah dalam sebaran hasil
menjalankan penelitian
penyuluhan program KB
 Dukungan dalam
memotivasi responden
untuk mencari informasi
baru tentang program
KB
3 Dukungan  Intensitas aparat Rendah = 1; Skala
Tokoh kelurahan / RT / RW sedang = 2; Ordinal
Masyarakat dan tokoh agama tinggi = 3,
(X2.3) memberikan informasi berdasarkan
 Bantuan kepada sebaran hasil
responden ketika ada penelitian
masalah dalam
menjalankan
penyuluhan program KB
 Keterbukaan untuk
menampung aspirasi
4 Dukungan  Tingkat kemudahan Rendah = 1; Skala
Informasi mengakses sedang = 2; Ordinal
(X2.4)  Kesesuain dengan tinggi = 3,
kebutuhan berdasarkan
sebaran
5 Dukungan  Penghagaan yang Rendah = 1; Skala
Kebijakan diberikan oleh sedang = 2; Ordinal
Pemerintah pemerintah daerah tinggi = 3,
Daerah (X2.5)  Kelancaran insentif berdasarkan
sebaran hasil
penelitian
Definisi Operasional Kapasitas kader KB (Y1 ): kemampuan kader KB dalam hal:
menjalankan fungsi-fungsi kegiatan / program KB, memecahkan masalah,
merencanakan kegiatan/program KB.

Tabel 4 Peubah, indikator, dan pengukuran kapasitas kader KB


Kategori
No Indikator Skala data
pengukuran
1 Kemampuan menjalankan fungsi-fungsi Rendah = 1; Skala
1. Pengorganisasian sedang = 2; tinggi ordinal
2. pertemuan rutin = 3, berdasarkan
3. KIE dan konseling sebaran hasil
4. Pencatatan dan Pendataan penelitian
5. Pelayanan kegiatan
6. Kemandirian dalam pelaksanaan
kegiatan
2 Kemampuan memecahkan masalah Rendah = 1; Skala
dalam sedang = 2; tinggi ordinal
1.Kemampuan memecahkan masalah = 3, berdasarkan
berupa penolakan calon akseptor sebaran hasil
karena keyakinan/agama penelitian
2. Kemampuan memecahkan masalah
berkaitan dengan kesehatan calon
akseptor KB
3. Kemampuan memecahkan masalah
berkaitan dengan ketidaksetujuan
suami calon akseptor KB
4. Kemampuan memecahkan masalah
berupa
jauhnya lokasi tempat tinggal calon
akseptor
3 Kemampuan merencanakan tentang Rendah = 1; Skala
1.Kemampuan menyusun jadwal sedang = 2; tinggi ordinal
kegiatan = 3, berdasarkan
2.Kemampuan membuat daftar akseptor sebaran hasil
yang akan diundang penelitian
3.Kemampuan menentukan nara sumber
4.Kemampuan menentukan tempat
kegiatan

Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kesahihan suatu
instrumen. Instrumen yang sahih atau valid, berarti memiliki validitas tinggi,
demikian pula sebaliknya. Sebuah instrumen dikatakan sahih, apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan atau mengungkapkan data dari peubah yang
diteliti secara tepat (Hasan 2002).
Penelitian ini menggunakan teknik validitas konstruk (construct validity),
dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) penyesuaian daftar pertanyaan
dengan esensi kerangka konsep yang diperoleh dalam kajian pustaka, terutama
yang berfokus pada peubah dan indikator-indikator yang diteliti; (2) konsultasi
dengan dosen pembimbing dan pihak lain yang dianggap memiliki kompetensi
tentang materi alat ukur.

Uji Reliabilitas
Menurut Ancok (1989) reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan
sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat
ukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran
yang diperoleh relatif konsisten, maka alat ukur tersebut reliabel.
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji coba instrumen dilakukan
pada 15 kader KB di kota Palembang di luar responden, yang mempunyai
karakteristik yang sama dengan responden. Hasil uji reliabilitas instrumen
menunjukkan bahwa nilai α yang diperoleh sebesar 0,791. Menurut Malhotra
(1996), instrumen dianggap sudah cukup reliable jika α ≥ 0,6. Hasil uji reliabilitas
menunjukkan bahwa nilai α sama dengan 0,791; berarti instrumen reliabel (dapat
dipercaya).

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan mendatangi dan melakukan wawancara terhadap
responden dengan berpedoman pada kuesioner yang kemudian diklarifikasi
dengan wawancara mendalam dan wawancara bebas. Pengumpulan data dibantu
oleh enumerator yang sebelumnya diberikan pembekalan.
Selain melakukan Tanya jawab dengan responden, juga dilakukan
wawancara dengan pihak – pihak lain yang berhubungan dengan penelitian,
seperti : penyuluh KB, Kepala UPTD, lurah, dan staf kantor BKKBN kota
Palembang.

Analisis Data

Data yang telah terkumpul diolah melalui tahapan editing, koding, dan
tabulasi dengan interval yang dihasilkan pada masing-masing hasil pengukuran.
Data yang diperoleh, diolah dan analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis
kuantitatif dengan menggunakan statistik meliputi: analisis statistik deskriptif
untuk mendeskripsikan kondisi peubah. Pengujian hipotesis menggunakan
analisis Uji Korelasi Rank Spearrman pada α = 0,05 atau α = 0,01 (Siegel 1992)
dan untuk memudahkan pengolahan data digunakan program statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kota Palembang terletak antara 2o52’ Lintang Selatan (LS) sampai 3o5’ LS
dan 104o37’ sampai 104o52’ Bujur Timur (BT) dengan ketinggian rata-rata 8
meter dari permukaan laut. Kota Palembang terdiri atas 16 kecamatan dan 107
kelurahan; luas wilayah Kota Palembang adalah 400,61 km2 atau 40.061 Ha.
Batas-batas wilayah adalah: sebelah utara, sebelah timur dan sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin, sebelah selatan dengan Kabupaten
Muara Enim dan Kabupaten Ogan Ilir. Luas wilayah menurut kecamatan disajikan
pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas wilayah menurut kecamatan di Kota Palembang


Persentase terhadap
No Kecamatan Luas wilayah (km2)
luas Kota Palembang
1 Ilir Barat II 6,220 1,55
2 Gandus 68,780 17,17
3 Seberang Ulu I 17,440 4,35
4 Kertapati 42,560 10,62
5 Seberang Ulu II 10,690 2,67
6 Plaju 15,170 3,79
7 Ilir Barat I 19,770 4,93
8 Bukit Kecil 9,920 2,48
9 Ilir Timur I 6,500 1,62
10 Kemuning 9,000 2,25
11 Ilir Timur II 25,580 6,39
12 Kalidoni 27,920 6,97
13 Sako 18,040 4,50
14 Sematang Borang 36,980 9,23
15 Sukarami 51,459 12,85
16 Alang-alang Lebar 34,581 8,63
Jumlah 400,610 100,000
Sumber: BPS (2014)

Kota Palembang merupakan suatu daerah Tingkat II yang merupakan suatu


kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak,
berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai UU No. 5 Tahun 1974.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 19 Tahun 2007 tentang
pemekaran kelurahan dan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 20 Tahun 2007
tentang pemekaran kecamatan, jumlah kecamatan di Kota Palembang adalah 16
kecamatan dan 107 kelurahan. Jumlah Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga
(RT) di Kota Palembang masing-masing sebanyak 924 Rukun Warga (RW) dan
4.115 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk sebesar 1.535.900 jiwa, sehingga
rata-rata kepadatan per kilometer per segi adalah 3.834 jiwa.
Tabel 6 Jumlah kelurahan, rukun warga, rukun tetangga, dan keluarga per
kecamatan di Kota Palembang
No Kecamatan Jumlah
Rukun
Kelurahan Rukun arga Keluarga
Tetangga
1 Ilir Barat II 7 51 208 18 484
2 Gandus 5 38 174 14 782
3 Seberang Ulu I 10 100 454 34 148
4 Kertapati 6 51 263 19 861
5 Seberang Ulu II 7 62 258 24 195
6 Plaju 7 62 229 21 180
7 Ilir Barat I 6 60 302 32 992
8 Bukit Kecil 6 39 155 10 706
9 Ilir Timur I 11 68 264 21 958
10 Kemuning 6 52 201 29 290
11 Ilir Timur II 12 89 372 39 303
12 Kalidoni 5 41 237 22 494
13 Sako 4 74 250 18 694
14 Sematang Borang 4 24 107 9 582
15 Sukarami 7 69 376 41 459
Alang-alang 4 49 225 17 045
16
Lebar
Jumlah 107 929 4075 376 173
Sumber: BPS (2014)

Berdasarkan data BPS (2014), jumlah penduduk Kota Palembang adalah


sebanyak 1.535.900 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 769.000
jiwa dan perempuan sebanyak 766.900 jiwa. Rasio jenis kelamin di Kota
Palembang sebesar 100,27 persen yang berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Untuk wilayah
kecamatan, rasio jenis kelamin yang tertinggi terdapat di Kecamatan Seberang
Ulu I sebesar 106,45 persen. Diurutan kedua adalah Kecamatan Gandus sebesar
102,61 persen, sedangkan diurutan ketiga adalah Kecamatan Kertapati dengan
angka rasio jenis kelamin sebesar101,23 persen.

Tabel 7 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin


No Kecamatan Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah Sex ratio
1 Ilir Barat II 32.877 32.628 65.505 100,76
2 Gandus 30.897 30.110 61.007 102,61
Seberang Ulu
3 I 86.510 81.270 167.780 106,45

4 Kertapati 41.938 41.427 83.365 101,23


Seberang Ulu
5 II 48.528 48.567 97.095 99,92
6 Plaju 40.788 40.354 81.142 101,08
7 Ilir Barat I 66.773 66.463 133.236 100,47
Bukit Kecil
8 22.095 22.025 44.120 100,32

9 Ilir Timur I 33.468 35.562 69.030 94,11


10 Kemuning 41.595 42.955 84.550 96,83
11 Ilir Timur II 81.404 82.158 163.562 99,08
12 Kalidoni 53.753 53.993 107.746 99,56
13 Sako 44.253 44.397 88.650 99,68
Sematang
14 Borang 18.089 17.885 35.974 101,14

15 Sukarami 77.322 77.779 155.101 99,41


Alang-alang
16 Lebar 48.710 49.327 98.037 98,75

Jumlah 769.000 766.900 1.535.900 100,27


Sumber: BPS (2014)

Tabel 8 Luas daerah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut


kecamatan di Kota Palembang
Luas Kepadatan
No Kecamatan wilayah Penduduk (Jiwa) pPenduduk
(km2) (jiwa/km2)
1 Ilir Barat II 6,220 65.505 10.531
2 Gandus 68,780 61.007 887
3 Seberang Ulu I 17,440 167.780 9.620
4 Kertapati 42,560 83.365 1.959
5 Seberang Ulu II 10,690 97.095 9.083
6 Plaju 15,170 81.142 5.349
Ilir Barat I
7 19,770 133.236 6.739

8 Bukit Kecil 9,920 44.120 4.448


9 Ilir Timur I 6,500 69.030 10.620
Kemuning
10 9,000 84.550 9.394
11 Ilir Timur II 25,580 163.562 6.394
12 Kalidoni 27,920 107.746 3.859
Sako
13 18,040 88.650 4.914
14 Sematang Borang 36,980 35.974 699
15 Sukarami 51,459 155.101 4.194
Alang-alang
16 Lebar 34,581 98.037 2.835
Jumlah 400,610 1.535.900 3.834

Karakteristik Personal Kader KB

Kondisi karakteristik personal kader KB di Kota Palembang didominasi


umur 39-46 tahun, mayoritas tamatan SLTA, pengalaman rata-rata hampir tujuh
tahun, tingkat motivasi kategori sedang, jarang mengikuti pelatihan, serta jarang
ke luar sistem sosial (Tabel 9).

Tabel 9 Deskripsi karakteristik personal kader KB


No Karakteristik Personal (X1) Kategori Persen (%)
30 – 38 tahun 18
1 Umur 39 – 46 tahun 42
47 - 55 tahun 40
Tamat SD
Tamat SLTP
2 Tingkat Pendidikan formal Tamat SLTA 3
Diploma
Sarjana
8
83
5
1
1 - 5 tahun 39
3 Tingkat Pengalaman 6 – 10 tahun 50
> 10 tahun 11
Rendah 9
4 Tingkat Motivasi Sedang 88
Tinggi 3
Rendah 53
5 Pelatihan yang Diikuti Sedang 32
Tinggi 15
Rendah 63
6 Tingkat Kekosmopolitan Sedang 29
Tinggi 8
Keterangan: n = 100 kader KB
Umur
Dominasi umur kader KB adalah di atas 40 tahun, karena yang direkrut
menjadi kader KB harus sudah berkeluarga dan berumur dewasa, mengingat
bidang pekerjaannya adalah menghadapi dan memengaruhi orang-orang yang
sudah berkeluarga. Aktivitas sebagai kader KB membutuhkan kematangan usia,
namun juga harus didukung kekuatan fisik karena mesti melakukan aktivitas
kunjungan ke rumah-rumah calon akseptor serta menghadiri pertemuan-
pertemuan. Berdasarkan pengamatan, rentang umur kader KB di Kota Palembang
pada 30 - 55 tahun, mempunyai kekuatan fisik yang baik untuk melakukan
kegiatan dalam program KB.
Menurut Poerwito (2015), usia 27 tahun merupakan usia yang matang bagi
perempuan pada aspek emosi, pola pikir, dan perilaku. Semua kader KB di Kota
Palembang adalah perempuan dan berumur di atas 27 tahun, sehingga sudah
matang secara psikologis. Kelompok usia tersebut masih produktif untuk
mengembangkan diri dan mengembangkan program KB. Secara umum, kader KB
pada usia tersebut mempunyai kemampuan beraktivitas yang cukup baik, hal ini
merupakan suatu potensi dalam kegiatan penyuluhan KB.

Tingkat Pendidikan Formal


Sebagaimana persyaratan untuk umur, yang membutuhkan tingkat
kematangan; maka juga dibutuhkan latar belakang pendidikan yang mumpuni.
Pekerjaan sebagai kader KB membutuhkan keahlian dalam berkomunikasi,
menyampaikan ide, dan mengarahkan pola pikir orang lain. Mayoritas kader KB
dengan latar belakang pendidikan SLTA menjadi dasar untuk dapat melakukan
hal tersebut dengan optimal.
Pada masa 15 tahun sebelumnya, mayoritas yang direkrut sebagai kader KB
adalah tamatan SLTA. Lima tahun belakangan, sebagian (6 persen) dari yang
direkrut terdapat yang berpendidikan tinggi (Diploma dan Sarjana). Pekerjaan
sebagai kader KB bersifat sukarela dan sedikitnya insentif sehingga menyebabkan
rendahnya minat para tamatan sarjana dan diploma untuk menjadi kader KB.
Pendidikan formal sangat penting bagi seseorang untuk mengembangkan
kapasitas dirinya, karena dengan mengenyam pendidikan formal yang lebih tinggi
pengalaman belajar dan wawasan pengetahuan yang diperoleh juga akan
meningkat. Berbekal pengalaman dan pengetahuan ini dapat dikembangkan sikap
yang positif dan keterampilan yang lebih baik. Bagi kader KB, pengetahuan yang
tinggi, sikap yang positif, dan keterampilan yang tinggi akan menjadikan dirinya
mampu memengaruhi masyarakat untuk mengadopsi KB, lebih adaptif terhadap
perubahan, mengatasi masalah dengan baik, dan mampu merencanakan pekerjaan
dan mengevaluasinya secara lebih tepat. Tilaar (1997) menjelaskan bahwa fungsi
pendidikan adalah proses menguak potensi individu dan cara manusia mampu
mengontrol potensinya yang telah dikembangkan agar dapat bermanfaat bagi
peningkatan kualitas hidupnya.

Tingkat Pengalaman
Sesuatu yang telah dialami seseorang akan ikut membentuk dan
memengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Pengalaman dalam
melakukan penyuluhan KB memiliki peranan yang sangat penting bagi kader
dalam mengembangkan kegiatan penyuluhan sehingga mampu menerapkan
metode dan teknik penyuluhan yang tepat.
Sebagian besar kader KB memiliki pengalaman pada tingkat sedang (6-10
tahun), dengan variasi antara 1 hingga 15 tahun. Kader KB menjalankan aktivitas
penyuluhan KB sebagai kerja sampingan. Pada tahap awal, kader KB yang baru
direkrut, melakukan penyuluhan dengan didampingi oleh penyuluh KB atau kader
senior. Melalui proses tersebut, kader KB mendapatkan pengalaman tentang
pengetahuan/materi dan keterampilan perihal metode serta teknik penyuluhan.
Pengalaman kerja yang dimiliki oleh seorang kader KB dapat berhubungan
dengan kemampuan dalam menjalankan aktivitasnya, karena selama masa
menggeluti pekerjaannya orang tersebut akan mengalami proses belajar termasuk
memperoleh pelajaran cara mengatasi permasalahan yang dihadapi. Havelock
(1969) menyatakan, pengalaman seseorang memengaruhi kecenderungannya
untuk memerlukan dan siap menerima pengetahuan baru.
Sebagaimana kegiatan penyuluhan pada umumnya, kegiatan penyuluhan KB
menjadikan masyarakat sebagai subjek sasaran. Kondisi sosial dan budaya
masyarakat dengan latar belakang yang beraneka ragam, menghendaki kader KB
yang memiliki kapasitas dalam menghadapi hal tersebut. van den Ban dan
Hawkins (1999) menyebutkan bahwa seseorang yang melakukan penyuluhan
harus memperhatikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat kliennya.
Tiga puluh dua persen kader KB merupakan tokoh masyarakat. Pengalaman
sebagai tokoh masyarakat, meng-handle kegiatan kemasyarakatan dan
mengkoordinir masyarakat ikut membantu dalam kelancaran pelaksanaan
penyuluhan KB. Hal ini dapat menjadi faktor pendukung dalam pengembangan
kapasitas kader KB.

Tingkat Motivasi
Motivasi kader KB di Kota Palembang pada tingkat sedang. Kebutuhan
untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan menambah pergaulan merupakan
alasan terbesar yang mendasari responden menjadi kader KB, artinya ada tujuan
yang akan dicapai yang memberi dorongan lebih untuk menjadi kader. Hal ini
sejalan dengan pendapat McClelland (Barbutto et al. 2004) dan Bird (1989),
bahwa motivasi terkait dengan kebutuhan seseorang. Seseorang memiliki motif
atau dorongan menjadi kader KB karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi.
Dorongan tersebut bisa disebabkan adanya faktor dari luar kader KB maupun
faktor internal atau keyakinan dan kepuasan internalnya; artinya ada tujuan yang
akan dicapai yang memberi dorongan lebih kepada kader untuk melakukan
kegiatan penyuluhan.
Sejumlah besar (91 persen) responden menjadi kader KB, karena diminta
oleh penyuluh KB. Seleksi pemilihan kader dilakukan secara informal,
berdasarkan rekomendasi aparat kelurahan. Kader KB yang dipilih, biasanya
anggota masyarakat yang juga aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan,
sehingga 42 % kader KB juga berperan sebagai kader Posyandu.
Tabel 10 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator motivasi
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Alasan menjadi Rendah 6 6
kader KB Sedang 90 90
Tinggi 4 4
Penyebab terpilih Rendah 6 6
menjadi kader KB Sedang 91 91
Tinggi 3 3
Hasil kerja Rendah 0 0
penyebab Sedang 0 0
termotivasi Tinggi 100 100
Keterangan: n = 100 kader KB

Semua kader menyebutkan bahwa bertambahnya jumlah akseptor KB


menjadi faktor motivasi untuk melakukan kegiatan penyuluhan dengan lebih
efektif. Motivasi merupakan modal yang sangat penting bagi kader KB untuk
menunjang kesuksesan dalam kegiatan penyuluhan. Motivasi yang tinggi
diperlukan untuk mendorong kader dalam menyukseskan program KB; menerima
atau mengadopsi teknik serta metode penyuluhan yang baru guna efektivitas dan
efisiensi kegiatan penyuluhan.

Pelatihan yang Diikuti


Pelatihan yang diikuti mayoritas kader KB (53 persen) di Kota Palembang
pada kategori rendah. Rendahnya pelatihan yang diikuti terkait dengan
penyelenggaraan penyuluhan yang tidak secara rutin dilakukan. Pelaksanaan
pelatihan merupakan tanggung jawab Kantor BKKBN Kota Palembang, sehingga
tergantung alokasi anggaran yang tersedia. Penentuan peserta dari setiap
kecamatan, yang akan mengikuti pelatihan dipilih berdasarkan senioritas serta
hubungan kedekatan dengan penyuluh KB; sehingga terjadi kecenderungan kader
yang sama mendapatkan pelatihan lebih sering sedangkan beberapa kader yang
lain jarang mengikuti pelatihan. Kondisi ini menyebabkan kurangnya regenerasi,
karena kader KB yang lebih senior semakin sering mengikuti pelatihan dan
sebaliknya kader KB yang baru justru jarang mengikuti pelatihan.

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


pelatihan
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Jumlah pelatihan Rendah 85 85
yang diikuti Sedang 11 11
Tinggi 4 4
Kesesuaian materi Rendah 53 53
pelatihan dengan Sedang 32 32
kebutuhan Tinggi 15 15
Manfaat pelatihan Rendah 53 53
Sedang 32 32
Tinggi 15 15
Jenis pelatihan yang pernah diikuti adalah pelatihan organisasi dan
ketatalaksanaan badan KB, pengetahuan kontrasepsi reproduksi sehat, delapan
fungsi keluarga, pengertian peran dan tugas pokok, lima pola pembinaan kader,
pendataan keluarga, praktek kegiatan pencatatan dan pelaporan. Sebagian besar
(53 persen) kader KB menyebutkan bahwa materi pelatihan belum memberikan
pencerahan tentang teknik dan metode penyuluhan yang ideal. Materi pelatihan
lebih banyak pada aspek yang tidak berhubungan dengan cara menghadapi
(memengaruhi) masyarakat yang beraneka latar belakang sosial budaya. Implikasi
dari hal ini, menjadikan pelatihan belum memberikan manfaat yang besar,
menurut sebagian besar kader KB.
Pelatihan kader KB diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
maksimal dalam melaksanakan program penyuluhan KB. Maalouf (1993)
menyebutkan bahwa pelatihan adalah proses pendidikan yang memerlukan lebih
dari informasi yang memberi atau pengembangan keterampilan.

Tingkat Kekosmopolitan
Kekosmopolitan yang diukur dalam penelitian adalah frekuensi kader KB
melakukan kunjungan ke luar dari sistem sosial. Kader KB melakukan kunjungan
ke luar sistem sosial jika ada urusan keluarga, rekreasi dengan keluarga ataupun
untuk tujuan silaturrahmi dengan keluarga di luar kota. Adanya hubungan dengan
luar sistem sosial, membuka kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain
dan sumber informasi sehingga menambah wawasan baru. Slamet (2003)
menyatakan bahwa dengan mengadakan hubungan dengan dunia luar membuka
peluang untuk mendapatkan informasi-informasi baru ataupun pengenalan
terhadap suatu inovasi baru.

Faktor Eksternal Kader KB

Faktor eksternal kader KB yang diamati dalam penelitian ini adalah:


(1) dukungan keluarga, (2) dukungan penyuluh, (3) dukungan tokoh masyarakat,
(4) dukungan informasi, dan (5) dukungan kebijakan pemerintah daerah.
Dukungan eksternal kepada kader KB dalam menjalankan pekerjaannya, masih
rendah pada aspek dukungan keluarga, dukungan tokoh masyarakat, dukungan
informasi, serta dukungan kebijakan pemerintah daerah (Tabel 12). Pada uraian
berikut, dideskripsikan dukungan eksternal tersebut.

Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah sikap dan penghargaan anggota keluarga
terhadap profesi serta pekerjaan sebagai kader KB. Dukungan keluarga
merupakan faktor penting dalam sukses dan lancarnya suatu aktivitas atau
pekerjaan. Melalui dukungan keluarga, seseorang bisa mendapatkan bantuan
materil ataupun moril.
Tabel 12 Deskripsi faktor eksternal kader KB
No Faktor Eksternal (X2) Kategori Persen (%)
Rendah 90
1 Dukungan Keluarga Sedang 6
Tinggi 4
Rendah
2 Dukungan Penyuluh Sedang 10
Tinggi
59
31
Rendah 73
3 Dukungan Tokoh Masyarakat Sedang 4
Tinggi 23
Rendah 74
4 Dukungan Informasi Sedang 13
Tinggi 13
Rendah 68
5 Dukungan Kebijakan Pemerintah Daerah Sedang 28
Tinggi 4
Keterangan: n = 100 kader KB

Dukungan keluarga terhadap kader KB di Kota Palembang masih rendah.


Semua keluarga kader KB setuju atas profesi anggota keluarganya sebagai kader
KB, namun sejumlah besar (90%) keluarga kader KB tidak membantu ketika ada
masalah dalam kegiatan penyuluhan program KB serta tidak mendorong kader
KB untuk mencari cara-cara baru dalam menyukseskan program KB yaitu
peningkatan jumlah akseptor KB. Hal ini karena keluarga mayoritas para kader
KB bukan berlatar belakang atau punya keahlian di bidang KB.
Dukungan keluarga terhadap kader KB ikut menentukan perilaku dan sikap
dalam profesi. Diperlukan dukungan keluarga bagi kader KB dalam menjalankan
tugas dan fungsinya. Puspitawati (2012) menyebutkan bahwa motivasi untuk maju
dan suka bekerja keras, hidup yang disiplin, dan kemauan untuk belajar tidak
muncul begitu saja. Semua perilaku itu berada dalam suatu proses yang bermula
dari kehidupan keluarga.

Tabel 13 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


dukungan keluarga
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Persetujuan Rendah 0 0
suami/keluarga Sedang 0 0
Tinggi 100 100
Bantuan Rendah 90 90
suami/keluarga Sedang 7 7
dalam masalah Tinggi 3 3

Bantuan Rendah 90 90
suami/keluarga Sedang 6 6
dalam mencari Tinggi 4 4
cara-cara baru
Keterangan: n = 100 kader KB

Dukungan Penyuluh
Dukungan penyuluh diindikasikan dari intensitas penyuluh memberikan
informasi kepada kader KB terkait dengan program KB serta bantuan penyuluh
terhadap kader KB dalam kegiatan penyuluhan program KB. Setiap kelurahan
rata-rata terdapat satu orang penyuluh dan setiap Rukun Tetangga (RT) rata-rata
terdapat satu orang kader KB. Dukungan penyuluh terhadap kader KB di Kota
Palembang termasuk kategori sedang.
Penyuluh merupakan nara sumber utama bagi kader KB. Melalui interaksi
dengan penyuluh, kader KB memperoleh pengetahuan/materi dan wawasan
tentang program KB; serta cara/teknik dan metode penyuluhan sehingga dapat
diterapkan dalam kegiatan penyuluhan KB. Penyuluh merupakan pihak yang
sering dihubungi dan dimintakan bantuan oleh kader KB, jika mengalami
kesulitan serta masalah dalam kegiatan penyuluhan KB. Namun penyuluh kurang
optimal mendorong kader KB untuk mencari cara-cara baru (inovasi) dalam
mengupayakan penambahan jumlah akseptor KB serta belum optimal mendorong
kader KB untuk mencari informasi dari berbagai sumber informasi tentang
program penyuluhan KB.

Tabel 14 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


dukungan penyuluh
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Pertemuan dengan Rendah 100 100
penyuluh Sedang 0 0
Tinggi 0 0
Kemudahan Rendah 0 0
dihubungi melalui Sedang 0 0
media komunikasi Tinggi 100 100
Bantuan penyuluh Rendah 0 0
dalam Sedang 0 0
menyelesaikan Tinggi 100 100
masalah
Bantuan penyuluh Rendah 79 79
dalam mencari Sedang 15 15
cara-cara baru Tinggi 6 6
Mendorong Rendah 79 79
mencari informasi Sedang 15 15
Tinggi 6 6
Keterangan: n = 100 kader KB

Penyuluh belum mengadakan pertemuan secara rutin dengan kader KB.


Pertemuan dibuat hanya sekali dalam tiga bulan. Agenda pertemuan diantaranya
untuk mengevaluasi kegiatan penyuluhan yang sudah dilakukan dan membahas
rencana kegiatan yang akan dilakukan. Rendahnya tingkat pertemuan rutin antara
penyuluh dan kader KB, menyiratkan kurangnya evaluasi program serta
rendahnya koordinasi kerja penyuluhan KB di Kota Palembang. Melalui
pertemuan rutin, diharapkan rencana dan evaluasi kerja dapat dibahas secara
optimal serta kontiniu; sehingga diperlukan intensitas pertemuan yang cukup.
Kartasapoetra (1987) menyatakan bahwa hubungan yang kontinu antara penyuluh
dengan subjek mitra dapat menciptakan rasa kekeluargaan yang akan
mempermudah dan mempelancar pemberian dan penerimaan informasi dalam
rangka peningkatan kemampuan.

Dukungan Tokoh Masyarakat


Dukungan tokoh masyarakat diindikasikan dari bantuan aparat
kelurahan/RT/RW dan tokoh agama terhadap kader KB dalam kegiatan
penyuluhan program KB. Dukungan tokoh masyarakat terhadap kader KB di Kota
Palembang pada kategori rendah.
Bantuan aparat kelurahan/RT/RW dalam menyelesaikan masalah kegiatan
penyuluhan KB, masih rendah. Pada sisi lain, kader KB kurang melibatkan aparat
kelurahan/RT/RW untuk membantu menyelesaikan masalah, misal penyelesaian
masalah penolakan calon akseptor untuk mengikuti program KB. Kader KB
beralasan, bahwa melibatkan aparat kelurahan/RT/RW membutuhkan dana dan
tidak ada alokasi anggaran untuk hal tersebut.
Aparat kelurahan/RT/RW tidak membantu kader KB dalam menemukan
cara-cara baru dalam menambahkan jumlah akseptor KB. Kader KB juga tidak
mengkonsultasikan kepada aparat kelurahan/RT/RW tentang teknik-teknik yang
mungkin dapat dilakukan dalam penyuluhan KB. Keterlibatan aparat kelurahan
terbatas pada koordinasi jika ada kegiatan penyuluhan secara massal yang
melibatkan tenaga penyuluh dari Dinas Kota atau Provinsi.

Tabel 15 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


dukungan tokoh masyarakat
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Bantuan aparat Rendah 81 81
kelurahan/RT/RW dalam Sedang 3 3
menyelesaikan masalah Tinggi 16 16

Bantuan aparat Rendah 100 100


kelurahan/RT/RW dalam Sedang 0 0
mencari cara-cara baru Tinggi 0 0
Bantuan Tokoh agama Rendah 100 100
dalam menyelesaikan Sedang 0 0
masalah Tinggi 0 0
Tokoh agama mendorong Rendah 86 86
masyarakat Sedang 12 12
Tinggi 2 2
Keterangan: n = 100 kader KB

Tokoh agama jarang dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan KB di Kota


Palembang. Keterlibatan tokoh agama sebatas pada kegiatan penyuluhan massal
yang dilakukan secara insidental. Pada kegiatan tersebut, tokoh agama diminta
untuk memberikan penjelasan keabsahan program KB dari segi agama.
Tokoh masyarakat merupakan orang yang mampu memengaruhi pendapat
(opini) dan memengaruhi perilaku masyarakat. Semestinya para tokoh dilibatkan
secara aktif dalam kegiatan penyuluhan KB; karena para tokoh masyarakat
merupakan jembatan masuknya suatu inovasi ke dalam masyarakat. Rogers dan
Shoemaker (1987) menyebutkan tokoh masyarakat sebagai pemimpin opini
(opinion leaders) dan para pemimpin opini memegang peranan penting dalam
kegiatan penyuluhan terutama dalam proses adopsi-difusi inovasi.

Dukungan Informasi
Dukungan informasi diindikasikan dari tingkat kemudahan kader KB dalam
mengakses berita, pesan, dan pengetahuan tentang penyuluhan KB melalui
berbagai media dan instansi. Ketersediaan informasi memengaruhi kader KB
dalam melaksanakan fungsinya. Dukungan informasi bagi kader KB di Kota
Palembang masih rendah.
Tingkat penguasaan yang rendah terhadap internet, menyebabkan
kurangnya akses kader KB terhadap website tentang program KB. Pernah
dilakukan pelatihan tentang internet, namun belum menjadikan sejumlah besar
kader KB terampil mengakses internet. Akses kader KB ke Kantor Dinas Kota
dan Provinsi juga terbatas, sehingga informasi yang didapatkan kader KB dari
instansi tersebut juga terbatas. Pada umumnya, kader KB mendapatkan informasi
(materi) tentang KB melalui penyuluh dan sedikit akses melalui buku
pedoman/panduan KB, karena keterbatasan jumlah buku panduan.
Tingkat kesesuaian informasi dengan kebutuhan kader KB, pada kategori
rendah. Kader KB menyebutkan bahwa website tentang program KB jarang di-
update, sehingga informasi yang disajikan tidak mutakhir. Kader KB
membutuhkan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan
dalam memengaruhi seluruh lapisan masyarakat supaya ikut program KB dan hal
tersebut sangat sedikit didapatkan melalui sumber informasi media cetak,
elektronik, maupun dari instansi KB.

Tabel 16 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan


indikator dukungan informasi
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Kemudahan Rendah 79 79
informasi melalui Sedang 10 10
media cetak Tinggi 11 11
Kemudahan Rendah 93 93
informasi melalui Sedang 2 2
media elektronik Tinggi 5 5
Kemudahan Rendah 80 80
informasi melalui Sedang 15 15
instansi KB Tinggi 5 5

Kesesuain Rendah 79 79
informai dengan Sedang 10 10
kebutuhan melalui Tinggi 11 11
media cetak
Kesesuaian Rendah 93 93
informai dengan Sedang 2 2
kebutuhan melalui Tinggi 5 5
media elektronik
Kesesuaian Rendah 80 80
informasi dengan Sedang 15 15
kebutuhan melalui Tinggi 5 5
instansi KB
Keterangan: n = 100 kader KB

Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa kader KB kurang termotivasi


untuk mengakses lebih banyak informasi melalui berbagai media. Kader KB, jika
terlibat aktif dalam mengakses sumber informasi maka akan membuka peluang
terhadap penambahan wawasan sehingga meningkatkan kapasitas, sebagaimana
Slamet (2003) menjelaskan bahwa tingkat keseringan mengakses sumber
informasi akan memengaruhi kemampuan penyuluh.

Dukungan Kebijakan Pemerintah Daerah


Dukungan kebijakan pemerintah daerah diindikasikan dari dukungan
pemerintah daerah kepada kader KB dalam memberikan penghargaan terhadap
capaian kinerja dan kelancaran insentif. Penghargaan dan insentif merupakan
salah satu alat motivasi bekerja, sehingga menjadi hal yang penting dalam upaya
meningkatkan kualitas kerja.
Dukungan kebijakan pemerintah daerah terhadap kader KB di Kota
Palembang termasuk kategori rendah. Insentif yang diberikan kepada kader KB
tidak bersifat bulanan tetapi hanya diberikan per kegiatan, jika ada kegiatan yang
diselenggarakan dan melibatkan kader KB. Penghargaan terhadap capaian kinerja
kader KB juga belum menjadi kebijakan yang tetap dan masih bersifat insidental.
Rendahnya insentif bagi kader KB, menjadikan tidak mudah untuk merekrut
setiap orang untuk menjadi kader KB di Kota Palembang. Penyuluh dan instansi
yang membidangi KB tidak menentukan syarat-syarat yang rumit untuk menjadi
kader KB, tercatat sebagai akseptor KB sudah cukup sebagai syarat utama untuk
menjadi kader KB. Konsekuensinya terdapat 34 persen kader KB di Kota
Palembang yang mempunyai anak lebih dari dua, namun setelah menjadi kader
KB tidak lagi merencanakan program hamil.

Tabel 17 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


dukungan kebijakan pemerintah daerah
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Penghargaan yang Rendah 59 59
diberikan oleh Sedang 31 31
pemerintah daerah Tinggi 10 10
Kelancaran Rendah 12 12
insentif Sedang 84 84
Tinggi 4 4
Keterangan: n = 100 kader KB
Kapasitas Kader KB di Kota Palembang

Kapasitas adalah segala daya-daya kekuatan yang menghasilkan


kemampuan, yang dimiliki oleh individu, organisasi maupun masyarakat untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kapasitas kader KB adalah kemampuan
kader KB dalam menjalankan fungsi-fungsi kegiatannya (program KB),
kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan merencanakan kegiatan.
Kapasitas kader KB di Kota Palembang pada aspek-aspek tersebut masih rendah,
sebagaimana disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


kapasitas kader KB di Kota Palembang
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Kemampuan Rendah 82 82
menjalankan Sedang 10 10
fungsi-fungsi Tinggi 8 8
Kemampuan Rendah 83 83
memecahkan Sedang 12 12
masalah Tinggi 5 5
Kemampuan Rendah 90 90
merencanakan Sedang 2 2
kegiatan Tinggi 8 8
Keterangan: n = 100 kader KB

Kemampuan menjalankan fungsi-fungsi


Kapasitas kader KB di Kota Palembang dalam melaksanakan fungsi–fungsi
termasuk kategori sedang dan rendah (Tabel 19). Semua kader KB belum mampu
membentuk kelompok kerja KB, tidak ada kelompok-kelompok kerja pada
wilayah yang menjadi tanggung jawab setiap kader KB. Kader KB juga belum
mampu mandiri untuk melaksanakan kegiatan, baik merencanakan maupun
mengevaluasi kegiatan; pada umumnya kegiatan-kegiatan dirancang oleh
penyuluh dan kader KB hanya sebagai peserta.
Kader KB tidak mengalami kesulitan memberikan informasi serta
menjelaskan tentang program KB kepada calon akseptor. Kader KB juga bisa
menjaga dengan baik rahasia/informasi pribadi dari akseptor. Rata-rata
pengalaman pada kisaran tujuh tahun menjadikan kader KB cukup mampu
memberikan informasi yang dibutuhkan calon akseptor KB. Namun jika informasi
yang sudah rumit, seperti berhubungan dengan masalah kesehatan akibat ikut
program KB, maka kader KB kesulitan untuk menjelaskan secara detail.
Delapan puluh dua persen kader KB tidak melakukan pendataan pada
kegiatan penyuluhan KB sehingga program penyuluhan yang dilakukan tidak
didasarkan kepada data yang valid. Data yang tersedia hanya pendataan dari
kegiatan Posyandu dan pendataan keluarga yang dilakukan per lima tahun. Kader
KB tidak tahu jumlah PUS pada setiap wilayah kerjanya, sehingga tidak ada target
kerja untuk jumlah akseptor yang harus dicapai. Temuan ini sejalan dengan
penelitian Herartri (2008) yang menyebutkan bahwa kader KB belum mampu
melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal dan masih sebatas
melaksanakan yang diperintahkan oleh PKB.

Tabel 19 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


kemampuan kader KB menjalankan fungsi-fungsi
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Membentuk Rendah 100 100
kelompok kerja Sedang 0 0
KB Tinggi 0 0
Merencanakan Rendah 100 100
kegiatan Sedang 0 0
pertemuan Tinggi 0 0

Melakukan Rendah 100 100


evaluasi kegiatan Sedang 0 0
Tinggi 0 0
Memberikan Rendah 10 10
informasi kepada Sedang 82 82
calon akseptor KB Tinggi 8 8
Menjawab Rendah 3 3
pertanyaan dari Sedang 79 79
calon akseptor KB Tinggi 18 18
Memberikan Rendah 3 3
contoh dalam Sedang 79 79
menjelaskan Tinggi 18 18
kepada calon
akseptor KB
Membuat daftar Rendah 82 82
PUS Sedang 18 18
Tinggi 0 0
Melakukan Rendah 82 82
pendataan Sedang 18 18
Tinggi 0 0
Menggunakan data Rendah 100 100
jumlah PUS untuk Sedang 0 0
menentukan target Tinggi 0 0
Menjaga rahasia Rendah 0 0
atau privasi Sedang 14 14
Tinggi 86 86
Keterangan: n = 100 kader KB

Kemampuan dalam memecahkan masalah


Kapasitas kader KB dalam memecahkan masalah termasuk kategori rendah
(Tabel 20). Kadang-kadang masih ditemui, penolakan calon akseptor tidak mau
ikut program KB karena faktor agama/keyakinan; jika menemui keadaan seperti
ini, 68 persen kader KB menyebutkan tidak lagi mengajak calon akseptor tersebut
untuk ikut program KB. Kader KB beralasan, bahwa hal tersebut termasuk ranah
sensitif.
Delapan puluh persen kader KB, jika menemui masalah yang berhubungan
dengan kesehatan bagi akseptor KB, menyarankan akseptor tersebut untuk
sementara waktu berhenti ikut program KB. Kader KB belum punya kemampuan
untuk memberikan solusi yang lebih baik.
Sebagian besar (83 persen) kader KB juga kesulitan jika calon akseptor
menolak ikut program KB karena dilarang suami. Menurut kader KB, tidak ada
forum pertemuan yang dilaksanakan untuk para suami dalam rangka mengajak
pasangan usia subur ikut program KB.
Beberapa lokasi rumah pasangan usia subur berada jauh dan sulit dijangkau
dengan kendaraan bermotor. Sembilan puluh persen kader KB menyebutkan
bahwa keadaan seperti tersebut tidak punya solusi atau memilih tidak melakukan
tindakan apa pun. Kader KB beralasan bahwa tidak ada dana khusus untuk
menjangkau daerah/kawasan yang sulit dijangkau.
Kader KB kurang mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam kegiatan
penyuluhan program KB dan cenderung pasif jika terjadi masalah. Sebagian kader
KB, jika ada masalah, cenderung meminta bantuan pihak lain (penyuluh, bidan,
dokter) untuk menyelesaikan masalah. Kader KB belum punya inisiatif dan
inovasi dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
Kegiatan penyuluhan KB menjadikan masyarakat sebagai subjek
penyuluhan, yang memiliki berbagai latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi,
dan budaya. Terkadang tidak mudah masyarakat langsung menerima
perubahan/inovasi yang ditawarkan oleh kader KB. Diperlukan kemampuan kader
KB dalam mengidentifikasi setiap masalah dalam kegiatan penyuluhan program
KB, menemukan penyebab masalah, dan merumuskan solusi pemecahan masalah.
Menurut Morgan (2006) kemampuan mencari jawaban atas mengapa dan
bagaimana kondisi yang terjadi menentukan pencapaian tujuan yang
berkelanjutan.

Tabel 20 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan


indikator kemampuan kader KB dalam memecahkan masalah
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Penolakan calon Rendah 68 68
akseptor karena Sedang 30 30
faktor Tinggi 2 2
agama/keyakinan
Masalah berkaitan Rendah 80 80
kesehatan calon Sedang 15 15
akseptor KB Tinggi 5 5
Masalah karena Rendah 83 83
dilarang suami Sedang 10 10
Tinggi 7 7
Lokasi tempat Rendah 90 90
tinggal akseptor Sedang 5 5
KB sulit dijangkau Tinggi 5 5
Kemampuan dalam merencanakan kegiatan
Kapasitas kader KB dalam merencanakan kegiatan pada kategori rendah
(Tabel 21). Kader KB tidak banyak kontribusi dalam merancang kegiatan
penyuluhan KB. Kader KB tidak dilibatkan dalam menyusun jadwal kegiatan,
menentukan pihak yang diundang, menentukan narasumber, serta menentukan
tempat kegiatan. Semua aspek tersebut dirancang, ditentukan dan diputuskan oleh
penyuluh KB. Kader KB hanya menjadi pihak yang pasif, yang diikutkan dalam
kegiatan yang sudah dirancang oleh penyuluh KB.
Tingkat kapasitas kader KB di Kota Palembang termasuk kategori rendah.
Tiga aspek kapasitas yang diukur yaitu melaksanakan fungsi–fungsi, kemampuan
memecahkan masalah, dan kemampuan merencanakan kegiatan termasuk kategori
rendah. Kader KB adalah perpanjangan tangan penyuluh dalam kegiatan
penyuluhan KB di desa. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukan upaya-upaya
dalam mengembangkan kapasitas kader KB dalam melakukan kegiatan
penyuluhan KB di Kota Palembang.

Tabel 21 Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator


kemampuan kader KB merencanakan kegiatan
Indikator Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah 100 100
Menyusun jadwal kegiatan Sedang 0 0
Tinggi 0 0
Rendah 100 100
Membuat daftar akseptor Sedang 0 0
yang akan diundang Tinggi 0 0
Rendah 92 92
Menentukan narasumber Sedang 8 8
Tinggi 0 0
Rendah 100 100
Menentukan tempat Sedang 0 0
kegiatan Tinggi 0 0
Keterangan: n = 100 kader KB

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Kader KB

Tingkat Pengalaman
Tingkat pengalaman kader KB berhubungan positif sangat nyata dengan
kapasitas kader KB dalam melakukan penyuluhan KB di Kota Palembang.
Artinya semakin lama pengalaman sebagai kader KB maka semakin tinggi tingkat
kapasitas kader KB dalam melakukan penyuluhan program KB. Temuan ini
sejalan dengan temuan Fatchiya (2010) yang menyatakan bahwa pengalaman
berpengaruh terhadap kapasitas. Sumber daya yang berkualitas adalah kapasitas
diri kader KB yang berkualitas sebagai faktor penting untuk menyukseskan
program KB.
Lima puluh persen kader KB mempunyai pengalaman selama 6-10 tahun
dan rata-rata kader KB punya pengalaman selama tujuh tahun. Semakin lama
kader KB melakukan kegiatan penyuluhan KB, memungkinkan kader KB lebih
lama mengalami proses belajar, mendapatkan lebih banyak informasi, lebih
banyak mengalami tempaan dalam kegiatan penyuluhan program KB. Hal ini
menjadikan kader KB lebih terampil, lebih memahami fungsinya, sehingga lebih
mampu melayani kebutuhan–kebutuhan klien. Bird (1989) menyebutkan
pengalaman seseorang menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan,
dan kompetensi yang penting. Pengalaman kerja tidak hanya pengetahuan tetapi
juga kegiatan praktek langsung dalam bidangnya.

Tabel 22 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik personal dan faktor


eksternal dengan kapasitas kader KB
Koefisien korelasi
No Karakteristik personal dan faktor eksternal
(dengan kapasitas)
1 Umur 0,079
2 Tingkat Pendidikan formal - 0,128
3 Tingkat Pengalaman 0,601**
4 Tingkat Motivasi - 0,074
5 Pelatihan yang Diikuti 0,640**
6 Tingkat Kekosmopolitan 0,080
7 Dukungan Keluarga 0,180
8 Dukungan Penyuluh 0,342**
9 Dukungan Tokoh Masyarakat 0,160
10 Dukungan Informasi 0,811**
11 Dukungan Kebijakan Pemerintah Daerah 0,146
Keterangan:
n = 100 kader KB
** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01

Pelatihan yang Diikuti


Pelatihan yang diikuti kader KB berhubungan positif sangat nyata dengan
tingkat kapasitas kader KB dalam melakukan penyuluhan program KB. Artinya
pelatihan punya peran yang sangat penting dalam mengembangkan kapasitas
kader KB.
Hasil penelitian membuktikan bahwa jumlah pelatihan yang diikuti
berhubungan sangat nyata dengan tingkat kapasitas kader KB (Tabel 23). Hal ini
dikarenakan pada setiap kegiatan pelatihan kader KB mendapatkan tambahan
pengetahuan dan keterampilan, serta menerima informasi/inovasi mengenai
kegiatan program KB. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Farid (2008)
yang menyatakan bahwa pelatihan terbukti secara nyata berpengaruh terhadap
kapasitas sumber daya.
Namun fakta yang terjadi pada kader KB di Kota Palembang, pelatihan
yang jarang diikuti oleh kader KB sehingga menjadikan kapasitas kader KB
rendah. Kader KB sebagai perpanjangan tangan atau ujung tombak penyuluhan
KB sangat penting untuk ditingkatkan kapasitasnya melalui kegiatan pelatihan
yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi kader KB. Uraian di atas menunjukkan
bahwa agar kapasitas kader KB dapat meningkat, dapat dilakukan dengan
memberi akses kepada kader KB akan kegiatan pelatihan atau kegiatan
pengembangam kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi tugas
kader KB.

Tabel 23 Nilai koefisien korelasi antara indikator pelatihan yang diikuti dengan
kapasitas kader KB
Indikator pelatihan Koefisien korelasi
(dengan kapasitas)
Jumlah pelatihan yang diikuti 0,634**
Kesesuain materi pelatihan dengan
kebutuhan 0,029
Manfaat pelatihan 0,116
Keterangan: n = 100 kader KB

Dukungan Penyuluh
Dukungan penyuluh berhubungan positif sangat nyata dengan tingkat
kapasitas kader KB dalam melakukan penyuluhan program KB. Artinya dukungan
penyuluh punya peran yang sangat penting dalam mengembangkan kapasitas
kader KB.
Hasil penelitian membuktikan pertemuan dengan penyuluh, berhubungan
sangat nyata dengan tingkat kapasitas kader KB (Tabel 24). Hal ini dikarenakan
pada setiap pertemuan, penyuluh berupaya memberikan informasi yang berkaitan
dengan kegiatan penyuluhan program KB dan terjadi saling tukar informasi antara
kader KB dan penyuluh. Melalui interaksi dengan penyuluh maka kader KB
berpeluang mengkonsultasikan permasalahan dan mendiskusikan kondisi riil di
lapangan kepada penyuluh, yang pada akhirnya dapat menjadi bekal bagi kader
KB dalam melakukan kegitan penyuluhan program KB. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Malta (2011) yang menyatakan bahwa interaksi dengan
penyuluh memengaruhi tingkat kemampuan mitra penyuluh.
Fakta yang terjadi pada kader KB di Kota Palembang, dukungan penyuluh
terhadap kader KB belum optimal dan pada kategori sedang (Tabel 12), dengan
beberapa aspek yang masih rendah (Tabel 14). Kondisi ini menjadikan kapasitas
kader KB rendah, karena faktor yang berperan penting dalam mengembangkan
kapasitas kader KB, yaitu dukungan penyuluh, masih rendah.
Namun hasil uji statistik membuktikan bahwa peran dukungan penyuluh
sangat nyata dalam mengembangkan kapasitas kader KB, maka upaya untuk
meningkatkan kapasitas kader KB dapat dilakukan dengan lebih intensifnya
interaksi penyuluh dengan kader KB melalui pertemuan-pertemuan yang sesuai
dengan kebutuhan dan pengembangan fungsi kader KB.

Tabel 24 Nilai koefisien korelasi antara indkator dukungan penyuluh dengan


kapasitas kader KB
Indikator dukungan penyuluh Koefisien korelasi
(dengan kapasitas)
Pertemuan dengan penyuluh 0.244*
Kemudahan dihubungi 0.167
Bantuan penyuluh dalam 0,167
menyelesaikan masalah
Bantuan penyuluh dalam mencari 0.142
cara-cara baru
Mendorong mencari informasi 0.107
Dukungan Informasi
Dukungan informasi berhubungan positif sangat nyata dengan tingkat
kapasitas kader KB dalam melakukan penyuluhan program KB. Artinya dukungan
informasi merupakan faktor yang penting diperhatikan dalam mengembangkan
kapasitas kader KB. Temuan ini sejalan dengan temuan Ningsih (2011) yang
menyatakan bahwa keterpaparan terhadap informasi menjadikan sumberdaya
berkualitas. Sumberdaya yang berkualitas adalah kapasitas diri kader KB yang
berkualitas sebagai faktor penting untuk menyukseskan kegiatan penyuluhan KB.
Fakta yang terjadi pada kader KB di Kota Palembang, dukungan informasi
bagi kader KB masih rendah dan semua indikator yang diukur juga masih rendah
(Tabel 12 dan 16). Kondisi ini menjadikan kapasitas kader KB rendah, karena
faktor yang berperan penting dalam mengembangkan kapasitas kader KB, yaitu
dukungan informasi, masih rendah
Namun hasil uji statistik membuktikan bahwa peran dukungan informasi
sangat nyata dalam mengembangkan kapasitas kader KB (Tabel 22). Keaktifan
kader KB dalam mengakses informasi, melakukan komunikasi dan berhubungan
dengan pihak-pihak luar dapat meningkatkan kapasitas kader KB dalam
melakukan penyuluhan dan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi
dalam kegiatan program KB sehingga menjadi lebih baik. Akses terhadap
informasi program KB adalah kemampuan kader KB untuk mengembangkan
potensi diri terhadap perkembangan teknologi dan pembaharuan. Hal ini juga
berkaitan dengan perkembangan proses belajar, yang menuntut kader KB untuk
mencari informasi serta inovasi, baik tentang program KB maupun perihal teknik
dan metode penyuluhan untuk diterapkan dalam penyuluhan KB.
Slamet (2003) menyebutkan kemampuan seseorang dalam mencari
informasi, melakukan komunikasi serta interaksi dengan pihak “pemilik”
informasi menjadikan seseorang tersebut memiliki “modal” dalam membuat dan
menentukan pengambilan keputusan yang terbaik. Uraian di atas menunjukkan
bahwa agar kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan KB dapat meningkat,
dapat dilakukan dengan memotivasi kader KB untuk selalu aktif mengakses
informasi serta memastikan tersedianya sumber informasi yang sesuai dengan
kebutuhan serta fungsi kader KB.

Tabel 25 Nilai koefisien korelasi antara indikator dukungan informasi dengan


kapasitas kader KB
Indikator dukungan informasi Koefisien korelasi
(dengan kapasitas)
Kemudahan informasi melalui media cetak 0.922**
Kemudahan informasi melalui media elektronik 0.128
Kemudahan informasi melalui instansi KB 0.922**
Kesesuaian informasi dengan kebutuhan melalui media 0.922**
cetak

Kesesuaian informasi dengan kebutuhan melalui media 0.128


elektronik
Kesesuaian informasi dengan kebutuhan melalui instansi 0.922**
KB
Keterangan: n = 100 kader KB
Hipotesis yang menyatakan bahwa karakteristik personal kader KB
berhubungan dengan kapasitas kader KB, diterima untuk faktor: tingkat
pengalaman dan pelatihan yang diikuti, serta ditolak untuk faktor: umur, tingkat
pendidikan formal, tingkat motivasi, dan tingkat kekosmopolitan. Hipotesis yang
menyatakan bahwa faktor eksternal berhubungan dengan kapasitas kader KB,
diterima untuk faktor: dukungan penyuluh dan dukungan informasi, serta ditolak
untuk faktor: dukungan keluarga, dukungan tokoh masyarakat, dan dukungan
kebijakan pemerintah daerah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka disimpulkan beberapa hal sebagai


berikut:
1. Kapasitas kader KB di Kota Palembang termasuk kategori rendah; kader KB
belum mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal dan masih
sebatas melaksanakan yang diperintahkan oleh Penyuluh KB. Kader KB belum
mampu membentuk kelompok kerja KB dan tidak melakukan pendataan pada
kegiatan penyuluhan KB. Kader KB juga belum mampu mandiri untuk
melaksanakan kegiatan. Kader KB juga kurang mampu memecahkan masalah
yang terjadi dalam kegiatan penyuluhan program KB dan cenderung pasif jika
terjadi masalah.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas kader KB di Kota
Palembang adalah: tingkat pengalaman, pelatihan yang diikuti, dukungan
penyuluh, dan dukungan informasi.

Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, disarankan sebagai berikut:


1. Pemerintah Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) KB
menyediakan akses pelatihan secara optimal bagi kader KB, pelatihan yang
penting dilakukan adalah peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader KB
dalam memengaruhi masyarakat supaya ikut program KB.
2. Penyuluh dan instansi KB hendaknya: (a) mengintensifkan kegiatan-kegiatan
pertemuan dengan kader KB, sebagai upaya mengembangkan kemampuan
kader KB dalam menjalankan fungsinya, (b) memotivasi kader KB supaya
mengembangkan potensi diri sehingga terampil dalam mengakses internet dan
memastikan tersedianya informasi yang sesuai dengan kebutuhan kader KB.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sukmawati, Jahi A. 2006. Hubungan sejumlah karakteristik petani


sayuran dengan pengetahuan mereka tentang pengelolaan usahatani sayuran
di kota Kendari Sulawesi Tenggar. Jurnal Penyuluhan Vol 2,No 4.
Agussabti. 2002. Kemandirian petani dalam mengambil keputusan adopsi inovasi
kasus petani sayuran di propinsi Jawa Barat [Disertasi]. Bogor (ID):
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HA. 2004. Pengembangan Kapasitas Institusi Lingkungan Hidup.
Bogor: SPs IPB.
Amanah S, Virianita R, Devina. 2009. Program KB dan Penjaminan Kesehatan
Ibu dan Anak di Era Desentralisasi. Bogor: Program Studi Wanita/PSW
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan – Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB.
Ancok D. 1989. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian. Di dalam: Masri
Singarimbun dan Sofian Effendi, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta
(ID): LP3ES. hlm 122-146.
Balai Pustaka. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka.
[BPS] Badan Pusat Statitik. 2013. Data Kependudukan. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statitik. 2014. Palembang dalam Angka. Jakarta (ID): BPS.
Batoa, Hartina, Jahi A, Susanto D. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kompetensi petani rumput laut di kabupaten Konawe provinsi Sulawesi
Tenggara. Jurnal Penyuluhan Vol 4 No 1.
Barbutto, J.E., Trout, S.K., dan Brown, L.L. 2004. Identifying Sources Motivation
of Adult Rural Workers. Journal of Agricultural Education 45:3.
Berelson, B., dan Garry A.S. 1973. Human Behavior. New York (US): Harcourt,
Brace and World.
Bettinghaus, E.P. 1973. Persuasive Communication. New York (US): Holt,
Rinehart and Winston, Inc.
Bird, B.J. 1989. Entrepreneurial Behavior. Glenview, Illinois: Scott Foresman and
Company.
Brown L, LaFond A, Macintyre K. 2001. Measuring Capacity Building. Caroline:
University of Nort Caroline.
Budisantoso SI. 2009. Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana Di Kecamatan
Jetis Kabupaten Bantul. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4 No. 2
BKKBN. 2001. Pedoman Kerja PLKB dan Kader Kelurga Berencana dalam
Perubahan. Jakarta (ID): BKKBN.
BKKBN. 2001. Standart Pelayanan Minimal Bidang Keluarga Berencana dan
Keluarga Sejahtera di kabupaten/kota. Jakarta (ID): BKKBN.
BKKBN. 2004. Buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana. Jakarta (ID):
BKKBN.
BKKBN. 2006. Pedoman Tekhnis Komunikasi Interpersonal/Konseling Keluarga
Berencana. Jakarta (ID): BKKBN.
BKKBN. 2007. Pemantauan Pasangan Usia Subur (PUS). Jakarta (ID): BKKBN.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2010. Peraturan
Kepala BKKBN Nomor : 232/Hk-010/G1/2010 tentang Pengembangan
Kapasitas Tenaga Program Keluarga Berencana Dan Keluarga Sejahtera.
Jakarta (ID): BKKBN.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Proyeksi Penduduk, Angkatan Kerja, Tenaga
Kerja, dan Peran Serikat Pekerja dalam Peningkatan Kesejahteraan.
http://www.bps.go.id [2 Jan 2015].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Palembang dalam Angka. Palembang (ID):
BPS.
[CIDA] Canadian International Development Agency. 2000. Capacity
Development: Why, What, and How. Ocasional Series.
Domihartini RS, Jahi A. 2005. Hubungan karakteristik petani dengan kompetensi
agribisnis pada usahatani sayuran di kabupaten Kediri, Jawa Timur. Jurnal
Penyuluhan. 1(1):41-48.
Denny R. 1997. Sukses Memotivasi. Jakarta (ID): Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Utama.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Laporan Studi Dampak Pelatihan
Pertanian. Jakarta (ID): Deptan.
[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): Depdiknas.
Erwindi. 2013. Pelaksanaan Koordinasi Dalam Meningkatkan Kesertaan Pria
Ber-KB di Kelurahan Bangka Belitung Darat Kecamatan Pontianak
Tenggara. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. 2(2).
Farid A. 2008. Kemandirian usaha tani dalam pengambilan keputusan usahatani
kasus: petani sayuran di kabupaten Bondowoso dan kabupaten Pasuruan
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fatchiya A. 2010. Pola pengembangan kapasitas pembudidaya ikan kolam air
tawar di provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Gerungan WA. 1996. Psikologi Sosial. Bandung (ID): Eresco.
Gomes FC. 2002. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta (ID): Andi.
Hanafi A. 1986. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya (ID): Usaha Nasional.
Harun H. 2014. Analisis Standar Pelayanan Minimum (SPM) Peserta Aktif KB
(Contraceptive Prevalenci Rate/CDR) di Kecamatan Sangir Solok Selatan
tahun 2012. [tesis]. Padang (ID): Universitas Andalas Padang.
Haryani M. 2004. Tingkat kemandirian wanita tani dalam pengelolaan usahatani
sayuran (kasus kecamatan Sukaraja kabupaten Sukabumi) [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Hasan MI. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya.
Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.
Havelock RG. 1969. Planning for Innovation Theory the Dissimination and
Utilization of Knowledge. Michigan (US): Institute for Social Research, The
University of Michigan.
Herartri R. 2008. Peran institusi masyarakat perdesaan/perkotaan (IMP) dalam
pelaksanaan program KB di era otonomi daerah. Jurnal Ilmiah KB & KR.
2(2).
Kartasapoetra AG. 1987. Teknologi untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Jakarta(ID): PT. Bina Aksara.
Kustiari, Tanti, Susanto D, Pulungan I. 2006. Faktor-faktor penentu tingkat
kemampuan petani dalam mengelola lahan marjinal kasus di desa
Karangmaja kecamatan Karanggayam, kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
Jurnal Penyuluhan Vol 2, No 1.
Liou J. 2004. Community capacity building to strengthen socio-economic
development with spatial asset mapping. 3rd FIG Regional Conference; 2004
Okt 3-7; Jakarta, Indonesia.
Maalouf WD. 1993. Planning for Effective Training: A Guide to Curriculum
Development. Rome (IT): The United Nations.
Malhotra, N.K.1996. Marketing Reseaarch. London (GB): Prentice-Hall
International,Inc.
Malta. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja petani jagung di
lahan gambut. Jurnal Mimbar. 27(1):67-78.
Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Yogyakarta (ID):
Sebelas Maret University Press.
Marius JA. 2007. Pengembangan kompetensi penyuluhan pertanian di provinsi
Nusa Tenggara Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Millen A. 2001. What Do We Know about Capacity Building. An Overview of
Existing Knowledge and Good Practice, Geneva.
Morgan P, Holmes GE, Bundy CE. 1963. Methods in Adult Education. New York
(US): The Interstate Printers & Publishers, Inc.
Morgan P. 2006. The Concept of Capacity. Brussel (BE): European Centre for
Development Policy Management.
Mosher AT. 1978. Thinking About Rural Development. New York (US): The
Agricultural Development Council. Inc.
Ndraha T. 1999. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal
Landas. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Ningsih K. 2011. Pengembangan sumberdaya manusia petani. Jurnal Pertanian
UIM. 2(1):34-45.
[OECD] Organization for Economic Co-operation and Development. 1996.
Capacity Development: Principles in Practice. Workshop on Capacity
Development in Environment; 1996 Des; Roma, Italia.
[OPC] Ontario Prevention Clearinghouse. 2002. Capacity Building for Health
Promotion: More Than Bricks and Mortar. Toronto.
Padmowihardjo, S. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta (ID): Universitas
Terbuka.
Poerwito R. 2015. Usia 27 Diliputi Kematangan dan Ekspektasi Sosial. [diunduh
2016 Apr 27]. Tersedia pada: www.psikologi.co.id.
Puspita DR. 2011. Faktor – faktor yang memengaruhi kinerja penyuluhan
keluarga berencana dan dampaknya pada kinerja kader keluarga berencana
di tiga kabupaten kota di provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia.
Bogor (ID): IPB Press.
Putra, Adi GS, Asngari PS, Tjitropranoto P. 2006. Dinamika petani dalam
beragribisnis salak. Jurnal Penyuluhan Vol 2 no 4.
Rakhmat J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya.
Rivai V. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta (ID): Raja
Grafindo Persada.
Rogers EM, Shoemaker FM. 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Hanafi A,
penerjemah. Surabaya (ID): Penerbit Usaha Nasional. Terjemahan dari:
Communication of Innovation.
Setiawan, I.G., Pang S.A, dan Prabowo T. 2006. Dinamika Petani dalam
Beragribisnis Salak. Jurnal Penyuluhan 2:47.
Sidi IPS, Setiadi BN. 2005. Manusia Indonesia abad 21 yang berkualitas tinggi
ditinjau dari sudut pandang psikologis. Makalah [internet]. [diunduh 2014
Nov 03]. Tersedia pada http//www.himpsi.org.
Siegel S. 1992. Statistik Nonparametrik: untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT.
Gramedia Utama.
Slamet M. 2003. Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah.
Di dalam: Yustina I, Sudrajat A, editor. Membentuk Pola Perilaku Manusia
Pembangunan. Bogor (ID): IPB Press. hlm 56-67.
Soekanto. 2006. Beberapa upaya untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
dalam Pembangunan Desa. Jakarta (ID): Analisis CSIS.
Soemarwoto O. 1989. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta
(ID): Djambatan.
Soeprihanto J. 2008. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan.
Yogyakarta (ID): BPFE.
Subagio H, Sumardjo, Asngari, Tjitropranoto P, Susilo D. 2008. Kapasitas petani
dalam mewujudkan keberhasilan usaha pertanian kasus petani sayuran di
kabupaten Pasuruan dan kabupaten Malang provinsi Jawa Timur. Jurnal
Penyuluhan 4(1).
Sumardjo. 1999. Transformasi model penyuluhan pertanian menuju
pengembangan kemandirian petani: kasus di Propinsi Jawa Barat [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suparno S. 2000. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta (ID): Depdiknas
Tilaar HAR. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi:
Visi, Misi, dan Program Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020.
Jakarta(ID): PT. Grasindo.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. http://www.
hsph.harvard.edu/population/policies/indonesia.population09. pdf. [7
Januari 2014].
Utsman. 2002. Pengetahuan dan Perilaku Reproduksi Sehat Wanita USia Subur
(WUS) Keluarga Pra Sejahtera di Desa-desa Tertinggal di Kabupaten
Karanganyar Jawa Tengah. Jurnal Pemberdayaan Perempuan Volume 2,
Nomor 1. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
UNDP. 1998. Capacity Assessment and Development in a System and Strategic
Management Context. Technical Advisory Paper 3, UNDP.
van den Ban AW, Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Wallen NE. 1974. Educational Reserch, a Guide to process: Wadsworth/Thomson
Learning.
[WHO] World Health Organization. 2011. Family Planning. [diunduh 2014 Nov
30]. Tersedia pada: www.who.int.
Wiraatmadja S. 1990. Pokok – pokok Penyuluhan pertanian. Jakarta (ID): CV.
Yasaguna.
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta (ID): Gramedia
Widiasarana Indonesi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 06


Maret 1982 sebagai anak ke-2 dari pasangan Abdul Gani dan Zaleha Aziz.
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas MIPA, lulus tahun 2005. Pada tahun
2012 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Sebuah poster telah disajikan pada Simposium Nasional Penyuluhan
Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan
Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia. Sebuah artikel berjudul
Kapasitas Kader dalam Penyuluhan Keluarga Berencana di Kota Palembang akan
diterbitkan pada Jurnal Penyuluhan edisi September 2016. Karya-karya ilmiah
tersebut merupakan bagian dari program S2 penulis.

Anda mungkin juga menyukai