Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tanah sebagai media tumbuh tanaman berkontribusi nyata dalam menyuplai unsur
hara bagi tanaman. Di dalam tanah terdapat berbagai macam mineral. Mineral tersebut
berasal dari batuan induk yang melapuk. Pelapukan menguraikan mineral-mineral tersebut
(mineral primer) menjadi unsur-unsur penyusunya yang kemudian akan bergabung bersama
unsur-unsur lain membentuk mineral baru (mineral sekunder). Salah satu mineral sekunder
penyusun tanah adalah kaolinit.
Kaolinit merupakan mineral liat tipe 1:1 yang paling banyak dijumpai di Indonesia
(Prasetyo et al., 2008). Mineral kaolinit umumnya terbentuk pada lingkungan yang pencucian
basa-basanya intensif, reaksi tanah masam, dengan drainase tanah yang relatif baik
(Wambeke, 1992 ). Kaolinit dapat terbentuk oleh Al dan Si yang terbebaskan dari mineral-
mineral primer ataupun mineral sekunder. Pada tanah-tanah yang berkembang dari batuan
beku, kaolinit dapat terbentuk dari pelapukan mineral feldspar.
Kaolinit sebagai salah satu mineral liat penting yang dipelajari dalam kimia tanah
karena memiliki kimia permukaan yang berbeda dari butir mineral yang berukuran lebih
besar. Selain itu kaolinit adalah mineral liat yang berstruktrur kristalin yang berbeda dengan
tipe mineral liat lainnya yang tidak memiliki struktur kristalin atau amorf. Setiap mineral liat
memiliki karakteristik kimia permukaan yang berbeda-beda. Kimia permukaan berperan
penting dalam mekanisme penyediaaan unsur hara bagi tanaman. Hal ini akan dijelaskan
pada bagian pembahasan. Dalam tulisan ini akan dibahas khusus mengenai kimia permukaan
kaolinit.

2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan karya tulis ini yaitu untuk mengetahui dan mempelajari
kimia permukaan dari mineral liat tipe 1:1 (kaolinit) yang meliputi struktur, karakteristik dan
faktor-faktor yang mempengaruhi.

1
METODE PENULISAN

Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari berbagai literatur
dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Data-data yang
dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal dari berbagai literatur kepustakaan
yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan
adalah buku pelajaran kimia tanah, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah yang bersumber dari
internet. Penulisan diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai dengan topik
yang dibahas.

2
PEMBAHASAN

1. Kaolinit
Kaolinit merupakan alumino-silikat terhidrasi dengan komposisi kimia umum
Al2O3.SiO2.H2O. Secara struktural, kaolinit tergolong filosilikat tipe 1:1 yaitu terdiri dari
lembaran Al oktahedral dan Si tetrahedral. Kedua lembar pembentuk satu lapis unit dipegang
bersama oleh atom-atom oksigen, yang secara bersama digunakan oleh atom-atom silikon
dan aluminium dalam lembar-lembar yang bersangkutan. Lapisan satuan, diikat bersama oleh
ikatan hidrogen, yang menghasilkan ruang antar misel dengan ukuran yang tetap. Jarak dasar
(001) dari kaolinit adalah 0,714 nm (gambar 1). Ikatan struktural kaolinit sangat kuat seingga
partikel kaolinit tidak mudah untuk dihancurkan. Hal ini juga yang menyebabkan kaolinit
memiliki sifat plastisitas dan daya mengerut yang rendah (Tan, 2011).

Aluminium oktahedral

Silika tetrahedral

Gambar 1. Struktur kaolinit yang terdiri dari lembar aluminium oktahedral dan silika tetrahedral (Tan,
2011)

Kaolinit dapat terbentuk oleh dua proses (Harben dan Kuzvart, 1996), yaitu :
a. Proses alterasi hidrotermal
b. Proses pelapukan

3
Kelimpahan kaolinit terjadi dalam tanah yang telah terbentuk dari pelapukan batuan secara
kimiawi di tempat yang panas, iklim lembab, misalnya di daerah hutan hujan tropis.
Indonesia merupakan wilayah tropis sehingga proses pelapukan berjalan intensif. Mineral liat
ini banyak terdapat pada tanah-tanah yang sudah sangat berkembang yaitu Oxisols dan
Ultisols.
Tanah-tanah di lapang tidak murni hanya mengandung kaolinit saja melainkan
pencampuran dari beberapa mineral dan bahan organik. Dalam meneliti kimia permukaan
dari kaolinit, sebelumnya tanah yang diambil dari lapangan perlu dipisahkan dari bahan-
bahan lainnya (bahan pengotor). Untuk melihat bahan pengotor yang terkandung dalam tanah
yang ingin diteliti digunakan uji X-ray diffraction (XRD). Bahan pengotor ini dapat
diidentifikasi dengan membandingkan pola difraksi di atas dengan pola difraksi standar yang
diperoleh melalui JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards, file 6-0221 dan
29-1488). Dalam penelitian Khawmee et al. (2013) pada tanah di Thailand mengandung
bahan pengotor dalam jumlah yang sedikit diantaranya kuarsa, bahan organik, vermikulit, dan
illit. Selain itu Sunardi (2010) dalam penelitiannya pada tanah di Tatakan, Kalimantan
Selatan mengandung bahan pengotor kuarsa, klorit, halosit, christobalite. Untuk mengurangi
atau menghilangkan bahan pengotor tersebut maka dilakukan dengan menggunakan teknik
dispersi dan dekantasi serta ekstraksi dithionite-citrate-bicarbonate (DCB).

2. Asal Muatan Negatif pada Mineral Liat


Pemahaman umum mengenai macam muatan negatif pada mineral liat diperlukan sebelum
mempelajari mengenai kimia permukaan liat (kaolinit). Dua sumber utama muatan negatif
yaitu :
a. Substitusi Isomorfik
Muatan permanen terbentuk karena adanya substitusi dari ion yang memiliki ukuran
yang hampir sama namun memiliki muatan yang berbeda tanpa menganggu struktur kristal.
Perbedaan dimensi ukuran dari ion-ion yang saling berganti dilaporkan tidak lebih dari 15%,
dan valensi ion-ion yang saling bergantian seharusnya tidak berbeda lebih dari satu-satuan.
Ion aluminium (Al3+ ) memiliki ukuran (0,51 Å) yang hampir sama dengan ukuran Si4+(0,42
Å) , Mg2+(0,66 Å), dan Fe3+(0,64 Å) sehingga memungkinkan ion-ion tersebut saling
bergantian namun dengan tingkat kemudahan yang berbeda-beda.
Substitusi oleh kation yang memiliki valensi yang lebih kecil terhadap kation dengan
valensi yang lebih besar menyebabkan adanya muatan negatif. Contohnya jika Si4+ dalam
lapisan tetrahedra diganti oleh Al3+ maka akan terbentuk muatan negatif (gambar 2). Muatan

4
negatif yang terbentuk tersebut dianggap sebagai muatan permanen karena tidak berubah
dengan berubahnya pH. Disosiasi dari Gugus Hidroksil yang Terbuka. Substitusi isomorfik
umumnya terjadi dan merupakan sumber utama muatan negatif pada mineral liat tipe 2:1.
Pengukuran muatan negatif permanen menggunakan metode adsorbsi Cesium (Cs), seperti
yang dilakukan dalam penelitian Khawmee et al. (2013), Chorover dan Sposito (1995), dan
Schroth dan Sposito (1997).

Gambar 2. Pembentukan muatan permukaan negatif melalui substitusi oleh Al3+ terhadap Si4+ pada
lembaran tetrahedral mineral liat (Bolan et al., 1999).

b. Disosiasi dari Gugus Hidroksil yang Terbuka


Muatan negatif dapat timbul karena adanya gugus OH pada tepi kristal atau bidang
yang terbuka. Muatan negatif yang terbentuk tersebut disebut muatan variabel atau muatan
bergantung pH (pH dependent charge). Pada saat pH tinggi (konsentrasi OH- dalam larutan
tinggi), hidrogen dari hidroksil terurai sedikit dan permukaan liat menjadi bermuatan negatif,
yang berasal dari ion oksigen. Pada saat pH rendah (konsentrasi H+ dalam larutan tinggi),
hidroksil akan memperoleh tambahan H+ yang menjadikan permukaan liat bermuatan postif
(gambar 3). Besaran dari muatan berubah-ubah ini beragam bergantung pH dan tipe koloid.
Jenis muatan ini sangat penting pada liat tipe 1:1, mineral amorf, dan koloid organik. Dalam
penelitian Schroth dan Sposito (1997) pengukuran muatan variabel menggunakan titrasi
potensiometrik 0,01 mol dm-3 LiCl.

Gambar 3. Pembentukan muatan bergantung pH

5
3. Zero Point of Charge (ZPC)
Konsep dari ZPC hanya terkait dengan mineral yang memiliki muatan variabel.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mineral dengan muatan variabel akan
bermuatan baik positif maupun negatif bergantung pada pH karena ada adsorbsi H+ dan OH-.
Pada saat pH tertentu, muatan permukaan secara elektrik netral. Titik atau nilai pH ini disebut
sebagai Zero Point of Charge (ZPC) atau muatan titik nol (σH + σp = 0). Beberapa penulis
mengenal tiga jenis ZPC, ZPPC, dan ZPNC. Pengertian dari ZPC seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. ZPPC (Zero Point Proton Charge) di mana muatan positif sama
dengan nol (σH = 0), sedangkan ZPNC (Zero Point Net Charge) di mana total muatan sama
dengan nol (σe + σos + σis = 0) yakni muatan permukaan efektif (σe), muatan permukaan pada
bagian luar struktur liat (σos), dan muatan permukaan pada bagian dalam struktur liat (σis).
Istilah ZPC dalam banyak penelitian dikenal dengan PZC namun sebenarnya sama
artinya. Selain ZPC dikenal juga PZSE (Poin of Zero Salt Effect) yang merupakan nilai pH
yang menunjukan tidak ada pertukaran dengan ion kuat . Dalam penelitian Khawmee et al.,
(2013) ZPC diukur menggunakan adsorbsi ion, titrasi potensiometrik, dan metode
electrophoretic mobility. Titrasi potensiometrik juga digunakan untuk mengukur ZPC pada
penelitian Zhu, et al. (2016).

4. Kimia Permukaan Kaolinit


Kaolinit (liat tipe 1:1) memiliki muatan permukaan negatif yang rendah dibandingkan
dengan mineral tipe 2:1 karena sedikit sekali terjadi substitusi isomorfik yang menghasilkan
muatan permanen, tetapi memiliki muatan yang bergantung pada pH. Hal ini menyebabkan
kapasitas tukar kation (KTK) dari kaolinit lebih rendah dari mineral liat tipe 2:1 dan
cenderung berubah-ubah sesuai tingkat kemasaman tanah. Kaolinit memiliki KTK berkisar 3
– 15 cmol (+) kg-1 (Tan, 2011). Berdasarkan penelitian Khawmee et al., (2013) KTK dari
kaolinit pada Oxisol 27,6 – 42,9 cmol (+) kg-1, kecuali pada Oxisol yang diambil dari wilayah
Chok Chai 1 dan Chok Chai 2 (8,8 – 9,5 cmol (+) kg-1 ) lebih tinggi dari kaolinit pada Ultisol
(10,0 – 22,5 cmol (+) kg-1) dan kaolinit murni yang digunakan sebagai referensi/kontrol (2,31
cmol (+) kg-1). Hal ini diduga karena kaolinit tersebut masih mengandung bahan pengotor
meskipun telah dikurangi menggunakan metode dispersi dan dekantasi. Metode tersebut
belum cukup efektif dalam memurnikan kaolinit dari pengotornya karena pada Oxisol dan
Ultisol terdapat vermikulit dan illit yang memiliki ukuran koloid yang sama dengan kaolinit
sehingga sulit untuk didekantasi. Vermikulit dan illit tersebut diduga menyumbangkan
muatan permanennya sehingga KTK yang diukur lebih tinggi dari kaolinit kontrol dan

6
referensi dari Tan (2011). Penelitian yang dilakukan oleh Nursyamsi dan Suprihati (2005)
menunjukan KTK dari Oxisol dan Inceptisol yang memiliki mineral dominan kaolinit secara
berturut yaitu 7,2 dan 16,0 cmol (+) kg-1. Selain itu Miranda-Trevino dan Coles dalam
penelitian menunjukan KTK dari kaolinit pada pH 3,8 sebesar 16,63 cmol (+) kg-1 dan pada
pH 8,4 sebesar 18,41 cmol (+) kg-1. Peningkatan nilai KTK yang kecil seiring meningkatnya
pH menunjukkan bahwa sumber muatan terbesar dari liat tersebut berasal dari muatan
permanen dari illit (tipe 2:1) yang berperan sebagai bahan pengotor dari kaolinit. Hal ini
didukung oleh penelitian Ma dan Eggelton (1999) yang menunjukkan adanya peningkatan
KTK yang signifikan dari kaolinit yang terkontaminasi smektit (tipe 2:1).
Selain KTK sifat kimia lain yang turut mempengaruhi kimia permukaan kaolinit
terutama KTK adalah luas permukaan spesifik (Kanket et al., 2005). Luas permukaan spesifik
dari kaolinit berkisar antara 10 – 20 m2 g-1 (Bohn et al., 1979). Dilaporkan dalam penelitian
Zhu et al. (2016) luas permukaan spesifik dari tiga jenis kaolinit yang diukur berkisar 14,35 –
19,29 m2 g-1. Sedangkan penelitian Miranda-Trevino dan Coles (2003) menunjukan nilai luas
permukaan spesifik dari kaolinit 16,41 m2 g-1. Secara statistik korelasi antar KTK dan luas
permukaan spesifik lebih lemah dibanding korelasinya dengan muatan permanen (Khawmee
et al., 2013).
Muatan permanen pada tanah dengan liat tipe 1:1 yang terkontaminasi oleh liat tipe
2:1 lebih tinggi dibandingkan dengan kaolinit murni atau kaolinit dengan kontaminasi yang
sangat rendah. Nilai muatan permanen pada tanah kaolinit yang terkontaminasi vermikulit
dan illit adalah berkisar 90,2 – 145,3 mmolc kg-1 lebih besar dari nilai muatan permanen dari
kaolinit kontrol yakni 10,2 mmolc kg-1 (Khawmee et al., 2013). Nilai muatan permanen
tersebut berasal dari substitusi isomorfik yang umumnya terjadi pada lembar tetrahedral dari
liat 2:1 di mana terjadi pergantian Si4+ oleh Al3+. Pada penelitian Chorover dan Sposito
(1995) terhadap tanah tropis Brazil yang mengalami pelapukan yang intensif karena pengaruh
dari faktor pelapukan yang cukup tinggi sehingga banyak terdapat kaolinit menunjukan nilai
muatan permanen berkisar 8,3 – 19 mmolc kg-1. Nilai tersebut dapat dihasilkan dari
vermikulit dalam tanah sebesar 10 g kg-1 (Chorover dan Sposito, 1995). Sedangkan Schroth
dan Sposito (1997) melaporkan bahwa nilai muatan permanen dalam penelitiannya terhadap
dua jenis kaolinit adalah 6,3 mmolc kg-1 dan 13,6 mmolc kg-1. Namun pada penelitian yang
dilakukan oleh Anderson dan Sposito (1991) pada tanah di Brazil di mana hasil XRD
menunjukan bahwa liat tipe 2:1 tidak terdeteksi, nilai muatan permanen sangat rendah yaitu
0,33 mmolc kg-1. Hal ini menunjukan bahwa pada kaolinit muatan negatif permanen sangat
sedikit sehingga nilai KTK dari kaolinit pun rendah.

7
Kaolinit memiliki muatan yang bergantung pH. Jika pH rendah maka permukaan
kaolinit bermuatan positif sedangkan pada saat pH tinggi permukaan kaolinit akan bermuatan
negatif (Philips dan Sheenan, 2005). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Khawmee et al.,
(2013) yang menunjukan bahwa muatan positif kaolinit terbentuk pada tanah yang batuan
induknya berasal dari basal, batuan kapur, granit, dan batuan sedimen secara berturut-turut
pada rentang pH 2 – 6 adalah 42 – 0.5, 28 – 1.5, 17.2 -0.8, 25.6 – 2.5 mmolc kg-1 dengan
pHZPC berkisar 4 – 5. Artinya pada kaolinit di tanah dari batuan basal pada pH 2 memiliki
muatan positif sebesar 42 mmolc kg-1 dan menurun (0.5 mmolc kg-1) pada saat pH dinaikan
menjadi 6. Sedangkan muatan positif dari kaolinit kontrol adalah sebesar 16,9 mmolc kg-1
pada saat pH 2 dan semakin menurun seiring dengan peningkatan pH hingga mencapai 1,2
mmolc kg-1 pada pH 6. Hal ini dapat terjadi karena adanya reaksi protonasi pada lembar
oktahedral dari kaolinit yang secara struktural dapat dilihat pada gambar 4(a) dan reaksi
kimia sebagai berikut (Tombácz dan Szekeres, 2006) :
AlOH + H+ AlOH+2 (protonasi)
Pada penelitian Schroth dan Sposito (1997) menunjukkan bahwa muatan positif sama dengan
nol (ZPNC) pada saat kisaran pH 4,35 – 5,01 dan pH 5,52 – 5,34 pada dua macam kaolinit
yang diuji. Sedangkan pada penelitian Chorover dan Sposito (1995) ZPNC tercapai pada saat
pH 3,0 – 3,5 pada tiga jenis tanah Brazil yang diteliti dengan metode LiCl. Sedangkan pHZPC
dimana muatan negatif sama dengan muatan positif sehingga menghasilkan muatan sama
dengan nol secara struktural dapat dilihat pada gambar 4(b).

c) Masam b) Netral a) Basa


pH < pHzpc pH = pHzpc pH > pHzpc

Gambar 4. Muatan pada ujung partikel kaolinit karena perubahan pH (Zhu, et al., 2016)

8
Muatan negatif bergantung pH pada kaolinit terjadi pada saat pH lebih besar dari
pHZPC karena berlangsungnya deprotonasi (penambahan OH-) yang terjadi pada permukaan
Al-OH seperti yang ditunjukan pada gambar 4(c) dan reaksi kimianya sebagai berikut
(Tombácz dan Szekeres, 2006) :
AlOH + OH- AlO- + H2O (deprotonasi)
Pada penelitian Khawmee et al., (2013) menunjukkan muatan negatif pada kaolinit semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya pH di mana muatan negatif terbentuk pada tanah
yang batuan induknya berasal dari granit, sedimen, basal, dan batuan kapur secara berturut-
turut pada rentang pH 2 – 6 adalah 1 – 71.5, 3.5 – 101, 4.9 – 114.5, 21.1 – 217.8 mmolc kg-1
dengan pHZPC berkisar 4 – 5. Pada penelitian Chorover dan Sposito (1995) menunjukkan
bahwa muatan negatif tergantung pH pada empat tanah yang diteliti adalah berkisar 1 – 30
mmolc kg-1 dengan kisaran pH 4 – 7 dan pHZPC 3 – 6. Setiap tanah memiliki pHZPC yang
berbeda, Liu et al., (2013) melaporkan dalam penelitiannya pHZPC pada kaolinit adalah
sebesar 4.
Secara statistik terdapat hubungan antara KTK dan kenaikan pH yang ditunjukan oleh
uji regresi linear. Secara keseluruhan terdapat hubungan yang signifikan antara muatan
permanen, muatan variabel, luas permukaan spesifik, dan KTK sehingga ketiga sifat kimia
tersebut merupakan indikator utama dari kimia permukaan kaolinit (Khawmee et al., 2013).

5. Penerapan Pengetahuan Mengenai Kimia Permukaan Kaolinit dalam Pertanian


Sifat-sifat kimia permukaan kaolinit sangat penting untuk diketahui dan dipelajari
sebelum mengelola tanah untuk lahan pertanian. Umumnya pada tanah-tanah di alam yang
terkandung kaolinit memiliki pHZPC lebih rendah dari pH alami di tanah sehingga muatan
permukaan pada tanah dominan kaolinit memiliki muatan negatif dan dapat mengaadsorbsi
kation (unsur hara). Tetapi kemasaman tanah sebagai akibat dari praktek pertanian yang
intensif dapat menurunkan kemampuan KTK tanah dan hal tersebut dapat menurunkan
kemampuan tanah dalam menjerap kation unsur hara seperti Ca2+, Mg2+, dan K+. Sebaliknya,
aplikasi pengapuran pada tanah sebagai bahan amelioran dalam meningkatkan pH tanah
berpengaruh signifikan dalam meningkatkan KTK tanah. Penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya menunjukan bahwa tanah yang dominan kaolinit memiliki sifat kimia
yang berbeda-beda sehingga dalam usaha pertanian sifat kimia kaolinit referensi tidak boleh
menjadi dasar dalam pengelolaan tanah melainkan perlu diteliti sebelumnya.
Salah satu sifat kimia yang penting untuk diketahui dalam praktek pertanian adalah
KTK. Semakin besar KTK maka kejenuhan basa (KB) semakin tinggi. KB berkaitan dengan

9
kation-kation yang berperan sebagai unsur hara bagi tanaman. Kaolinit memiliki KB yang
rendah dibanding dengan liat tipe 2:1 karena memiliki KTK yang rendah. Terdapat korelasi
positif antara kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya kejenuhan basa tinggi jika pH tanah
tinggi. Kejenuhan basa yang rendah berarti terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering
dianggap sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Suatu tanah dianggap sangat subur jika
KB ≥ 80%, berkesuburan sedang jika KB antara 80 dan 50%, dan tidak subur jika KB ≤ 50%.
Suatu tanah dengan KB sebesar 80% akan melepaskan basa- basa yang dapat dipertukarkan
lebih mudah daripada tanah yang sama dengan KB 50% (Tan, 2011).
Kejenuhan basa pada Ultisol (dominan kaolinit) dikabupaten Langkat di kebun kelapa
sawit termasuk sangat rendah sampai rendah (10,7 - 69,03%), dengan pola distribusi yang
bervariasi menurut kedalaman tanah (Tambunan, 2008). Sedangkan pada penelitian
Nursyamsi dan Suprihati (2005) menunjukkan bahwa KB dari Inceptisol dan Oksisol yang
memiliki liat dominan kaolinit sebesar 23% dan 33%. Kejenuhan basa yang rendah pada
tanah dengan kaolinit yang dominan perlu untuk ditingkatkan melalui pemupukan dan
penambahan bahan organik.

10
KESIMPULAN

Kaolinit (Al2O3.SiO2.H2O) tergolong filosilikat tipe 1:1 yaitu terdiri dari lembaran Al
oktahedral dan Si tetrahedral. Kaolinit memiliki muatan yang bergantung pH (muatan
variabel). Muatan negatif jika pH lebih besar dari pHZPC akibat deprotonasi (penambahan OH-
) dan muatan positif jika pH lebih kecil dari pHZPC karena terjadi protonasi (penambahan H+).
KTK, luas permukaan spesifik, dan muatan permanen pada kaolinit rendah. Terdapat
hubungan yang signifikan antara muatan permanen, muatan variabel, luas permukaan
spesifik, dan KTK sehingga ketiga sifat kimia tersebut merupakan indikator utama dari kimia
permukaan kaolinit.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, S. J. Dan Sposito, G. 1992. Proton surface charge density in soil with stuctural and
ph dependent charge. Soil Sci. Soc. Amer. J. 56, 1437 – 1443.

Bohn, H. L., McNeal, B. L., dan O’Connor, G. A. 1979. Soil Chemistry. Wiley, New York.

Bolan, N.S., Naidu, R., Syers, J. K., dan Tillman, R. W. 1999. Surface charge and solute
interactions in soils. Advances in Agronomy. 67.

Chorover, J., Sposito, G., 1995. Surface charge characteristics of kaolinitic tropical soils.
Geochimica et Cosmochimica Acta 59 (5), 875–884.

Harben, P. W. Dan Kuzvart, M. 1996. A Global Geology: Industrial Minerals, Industrial


Minerals Information. Ltd., New York.

Kanket, W., Suddhiprakarn, A., Kheoruenromne, I., Gilkes, R.J., 2005. Chemical and
crystallographic properties of kaolin from Ultisols in Thailand. Clays and Clay
Minerals 53, 478–489.

Khawmee, K., Suddhiprakarn, A., Kheoruenromne, I., Singh, B., 2013. Surface charge
properties of kaolinite from Thai soils. Geoderma 192, 120–131.

Kuswoyo, N. 2010. Mineral kaolinit. Universitas Jendral Soedirman. Purbalingga.

Liu, J., Nikolova, L.S., Wang, X.M., Miller, J.D., 2013. Surface force measurements at
kaolinite edge surfaces using atomic force microscopy. J. Colloid Interface Sci. 420,
35–40.

Miranda-Trevino, J. C. dan Coles, C. A. 2003. Kaolinite properties, structure and influence of


metal retension on pH. Appl. Clay Sci. 34, 133 – 139.

Ma, C. dan Egglenton, R. A. 1999. Cation exchange capacity of kaolinite. Clay and Clay
Minerals 47 (2), 174 – 180.

Nursyamsi, D. Dan Suprihati. 2005. Sifat-sifat kimia dan mineralogi tanah serta kaitannya
dengan kebutuhan pupuk untuk padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), dan kedelai
(Glycine max). Bul Agron. 33 (3), 40 – 47.

Philips, I. R dan Sheehan, K. J. 2005. Importance of surface charge characteristic when


selecting soils for wastewater re-use. Australian Journal of Soil Research 43, 915 – 927.

Prasetyo, B. H., Adiningsih, J. S., Subagyono, A., dan Simanungkalit, R. D. M. 2008.


Mineralogi, Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Sawah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor.

Schoonheydt, R.A. dan Johnston, C.T. 2013. Surface and interface chemistry of clay
minerals. Developments in Clay Science. 5A.

12
Schroth, B.K., Sposito, G., 1997. Surface Charge Properties of Kaolinite. Clay Clay Miner.
45 (1), 85–91.

Sunardi. 2010. Kajian spektroskopi FTIR, XRD dan SEM kaolin alam asal tatakan,
kalimantan selatan hasil purifikasi dengan metode sedimentasi. Program Studi Kimia
FMIPA. Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.

Tambunan, W.A. 2008. Kajian sifat fisik dan kimia tanah hubungannya dengan produksi
kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq) di kebun kelapa sawit PTPN II. Universitas
Sumatera Utara. Medan.

Tan, K. H. 2011. Principles of soil chemistry fourt edition. CRC Press.

Tombácz, E. Dan Szekeres, M.. 2006. Surface charge heterogeneity of kaolinite in aquaeous
suspension in comparision with monmorilonite. Appl. Clay Sci. 34, 105 – 124.

Wambeke, A. V. 1992. Soil of The Tropics. Departemen of Soil, Crop and Atmospheric
Sciences. Cornel Univ. Ithaca New York.

Zhu, X., Zhu, Z., Lei, X., dan Yan, C. 2016. Defect in structure as the source of the surface
charges of kaolinite. Appl. Clay Sci. 124 (125), 127 – 136.

Beringer, H. 1980. The role of potassium in crop production. in: proceeding of the
international seminar the role of pottasium in crop production. FSS Publication: 25-32.

13

Anda mungkin juga menyukai