Abstrak : Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Kata kunci : difteri, infeksi bakteri, menular, anak-anak
Abstract: Diphtheria is a highly infectious disease (contagious disease). The disease is
caused by infection with the bacteria Corynebacterium diphtheriae, the germs that infect the
respiratory tract, especially the tonsils, nasopharynx (the part between the nose and pharynx
/ throat) and larynx. Transmission of diphtheria can be through close relations contact,
through contaminated air by career or patient to be cured, as well as through coughing and
sneezing patients.
Keywords: diphtheria, a bacterial infection, contagious, children
Pendahuluan
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
1
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian
bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Skenario 10
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke IGD RS karena sesak nafas sejak 1
hari yang lalu.
Pembahasan
Anamnesis
Identitas Pasien. Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi:
Nama lengkap pasien, Umur pasien, Tanggal lahir, Jenis kelamin, Agama, Alamat, Umur
(orang tua), Pendidikan dan pekerjaan (orang tua), Suku bangsa. Keluhan Utama
Menanyakan keluhan utama pasien yaitu : anak tampak sesak nafas sejak 1 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang. Menanyakan perjalanan penyakit pasien, dimana keluhan
didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu, demam tinggi, nyeri menelan sejak 2 hari
yang lalu serta anak tidak mau makan. Riwayat Penyakit Dahulu, Apakah pernah mengalami
hal seperti ini sebelumnya. Jika ya, apakah sudah berobat ke dokter dan apa diagnosisnya
serta pengobatan yang diberikan. Riwayat Imunisasi, Menanyakan apakah riwayat imunisasi
anak lengkap terutama imunisasi DPT bila mencurigai anak terkena difteri. Tanyakan apakah
sudah diimunisasi dan apakah imunisasi diulang setelah 1 tahun.Riwayat Penyakit Dalam
Keluarga. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini. Riwayat Status
Sosial Ekonomi, Keluarga ini termasuk berkecukupan atau tidak. Apakah pasien tinggal
ditempat yang cukup memadai dan kondisi lingkungan rumah yang cukup higienis.
Bagaimana pola makan dan kebersihan diri anak. Riwayat Pengobatan, Obat apa saja yang
sudah diminum pasien untuk mengatasi sesak pada anak.1
Pemeriksaan Fisik
Seperti biasa di pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi,akulstasi. Dan
juga beberapa pemeriksaan fisik untuk anak seperti berikut.
Pemeriksaan tanda – tanda vital serta keadaan umum pasien
2
Kesadaran compos mentis, tampak sesak dan agitasi. Frekuensi nafas 50 x/menit,
denyut nadi 30x/menit, suhu 40 derajat celcius, tekanan darah.
Antopometri
Untuk mengetahui berat badan dan tinggi badan anak apakah normal atau tidak.
Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau
jaringan parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan
perhatikan setiap nodus limfatikus yang terlihat.Lakukan palpasi nodus limfatikus. Gunakan
3
permukaan ventral jari telunjuk serta jari tengah, dan gerakkan kulit di atas jaringan yang ada
di bawahnya pada setiap daerah. Pasien harus berada dalam keadaan rileks dengan leher
sedikit difleksikan ke depan dan jika diperlukan, agak difleksikan ke arah sisi yang hendak
diperiksa. Biasanya, pemeriksaan kedua sisi leher dapat dilakukan dalam satu pemeriksaan.
Namun, untuk memeriksa nodus limfatikus submental, tindakan palpasi dengan tangan yang
satu sementara bagian puncak kepala pasien ditahan dengan tangan lainnya akan membantu
pemeriksaan ini.
Pemeriksaan thorax
Diawali dengan inspeksi untuk melihat bentuk thorax, pergerakan dada saat statis
maupun dinamis, keadaan sela iga. Palpasi secara acak dan terstruktur thorax anterior dan
posterior, meraba sela iga, pergerakan thorax saat statis maupun dinamis, pemeriksaan vocal
fremitus. Perkusi secara acak dan terstuktur. Auskultasi dengan meminta anak untuk menarik
napasnya dalam-dalam, seringkali anak tersebut akan menahan napas, sehingga menyulitkan
dalam melakukan auskultasi paru. Jadi, bagi anak prasekolah akan lebih mudah untuk
membiarkannya bernapas seperti biasa. Dengarkan bunyi pernapasan dengan memperhatikan
intensitasnya dan mengenali setiap variasi dari pernapasan vesikuler yang normal. Biasanya
bunyi pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas. Pada keadaan terdapatnya
obstruksi saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan disertai tanda lain seperti stridor,
batuk, serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan yang khas pada penderita difteria.
Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher daripada pada dinding dada. Stridor
menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan memerlukan tindakan segera.2
Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita difteri hasil akan menunjukkan :
- Ronsen menunjukkan adanya sumbatan pada faring maupun laring.
- Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan.
- Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebacterium
difteriae.
- Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahan di bawah
membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood. 3
- Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein.
4
- Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan
swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat
lesi mukokutan lain. Sebagian membran harus diambil dan diserahkan bersama eksudat di
bawahnya. Idealnya, spesimen harus diambil oleh dokter atau personil yang terlatih. Pasien
harus duduk menghadap sumber cahaya. Sambil lidah ditekan dengan spatula, sebuah lidi
kapas steril diusapkan dengan kuat pada setiap tonsil, melalui dinding belakang faring dan
semua tempat yang meradang. Hati-hati jangan sampai menyentuh lidah atau permukaan pipi
bagian dalam (bukal). Sebaiknya mengambil dua usapan dari daerah yang sama. Usapan yang
satu dapat digunakan untuk membuat sediaan apus, sedangkan usapan yang lain dimasukkan
ke dalam wadah kaca atau plastic dan dikirim ke laboratorium. Alternatif lainnya adalah
menempatkan kedua usapan dalam suatu wadah dan mengirimkannya ke laboratorium. Jika
spesimen tidak dapat diproses dalam 4 jam, usapan harus dimasukkan dalam media transport
(misalnya Amies atau Stuart).
Sistem pernapasa nmerupakan saluran penghantar udara yang terdiri dari beberapa
organ dasar seperti hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan paru-paru. Organ-organ ini
bekerja sama dalam menerima udara bersih, pergantian udara dari darah, dan mengeluarkan
udara yang telah dimodifikasi.Sistem pernapasan dapat dibagi menjadi 2 bagian tergantung
fungsinya, yaitu konduksi, sebagai bagian yang berfungsi dalam proses penghantaran dan
bagian respiratorik yang terdiri atas alveoli dan regio distal lainnya yang berfungsi dalam
pertukaran gas. Organ-organ respirasi dapat dibagi lagi menurut letaknya, yaitu upper
respiratory tract yang terdiri dari daerah dari hidung hingga laring dan lower respiratory tract
yang terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan paru-paru.4
Hidung (Nares)
Hidung merupakan ‘pintu masuk’ udara pertama kali sebelum masuk ke dalam
saluran pernapasan dalam. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit tipis dengan jaringan
subkutan yang cukup kuat di bawahnya.Hidung tersusun atas osteon pada bagian atas dan
5
kartilago pada bagian bawah. Osteon pada hidung tersusun oleh os nasale, processus frontalis
os maxillaris, dan bagian nasal dari os frontalis. Sedangkan bagian kartilago, disusun oleh
cartilago septal nasi, kartilago nasi lateralis, serta kartilago ala nasi mayor dan minor. Hidung
memiliki struktur yang terbuka ke arah wajah melalui Nares dan struktur yang terbuka ke
arah Nasopharynx melalui Choana. Hidung bagian kanan dan hidung bagian kiri dipisahkan
oleh suatu sekat yang disebut Septum Nasi. Septum Nasi dibentuk oleh Lamina Perpendicular
Ossis Ethmoidalis, Os Vomer, dan Cartilago Septum Nasi.
Rongga Hidung
Rongga hidung berada di sebelah superior Palatum Durum dan terpisah satu sama lain
oleh Septum Nasi di garis tengah. Masing-masing rongga hidung memiliki pintu anterior dan
pintu posterior, dasar, atap, dinding lateral, dan dinding medial yang terbentuk oleh Septum
Nasi.Sementara itu, masing-masing lubang hidung membentuk muara di sebelah anterior
untuk masing-masing ronggahidung dan Choana membentuk pintu hidung di sebelah
posterior.Kedua Choana merupakan pintu-pintu bertulang yang kaku yang membentuk
saluran penghubung antara rongga-rongga hidung dan Nasopharynx.Choana memiliki arah
bidang frontal kepala. Selaput lendir rongga hidung dipersarafi oleh N. Olfaktorius (I) dan N.
Trigeminus (V). N. Olfaktorius merupakan saraf sensoris khusus yang mempersarafi selaput
lendir atap rongga hidung.
Pharynx
Lapisan-lapisan otot pharynx (Tunica Muscularis) terdiri atas 3 otot lingkar/sirkular, yaitu
M. Constrictor Pharyngis Inferior, M. Constrictor Pharyngis Medius, dan M. Constrictor
Pharyngis Superior, serta 3 otot yang masing-masing turun dari Processus Styloideus, Torus
Tubarius, dan Palatum Molle, yaitu M. Stylopharyngeus, M. Salpingopharyngeus, dan M.
Palatopharyngeus.
6
Perdarahan pharynx berasal dari A. Pharyngea Ascendens, A. Palatina Ascendes dan
Ramus Tonsillaris cabang A. Facialis, A. Palatina Major dan A. Canalis Pterygoidei cabang
A. Maxillaris Interna, serta Rami Dorsales Linguae cabang A. Lingualis.3 Pembuluh-
pembuluh balik membentuk sebuah plexus yang ke atas berhubungan dengan plexus
pterygoideus dan ke arah bawah bermuara ke dalam V. Jugularis Interna dan V. Facialis.
Persarafan Pharynx berasal dari Plexus Pharyngeus yang dibentukoleh Rami Pharyngei N.
Glossopharyngeus, N. Vagus, dan serabut-serabut simpatik postganglioner dari Ganglion
Cervicale Superius. Saraf motorik utama Pharynx adalah Pars Cranialis N. Accessorius yang
melintasi cabang-cabang N. Vagus, mempersarafi semua otot Pharynx dan Palatum, kecuali
M. Stylopharyngeus dan M. Constrictor Pharyngis Superior yang dipersarafi oleh N.
Glossopharyngeus..
Larynx
Larynx merupakan saluran udara yang bersifat sphincter dan juga organ pembentuk
suara, membentang antara lidah sampai trachea atau pada laki-laki dewasa setinggi vertebra
cervical 3 sampai 6, tetapi sedikit lebih tinggi pada anak-anak dan perempuan dewasa.
Larynx berada di antara pembuluh-pembuluh besar leher dan di sebelah ventral tertutup oleh
kulit, fascia, otot, dan depressor lidah. Ke arah superior, Larynx terbuka ke dalam
Laryngopharynx, dinding posterior Larynx menjadi dinding anterior Laryngopharynx. Kearah
posterior, Larynx dilanjutkan sebagai trachea. 5
Diagnosa Banding
Abses Peritonsiler
Abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses
submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara
fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan
terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri
dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. Abses peritonsil adalah penyakit
infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerob
dan anaerob di daerah peritonsilar. Tempat yang biasa terjadi abses adalah di bagian pillar
tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil
7
terbentuk karena penyebaran organisme bakteri yang menginfeksi tenggorokan pada satu
ruangan areolar yang longgar disekitar faring yang biasa menyebabkan pembentukan abses,
dimana infeksi telah menembus bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor
faring. Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
Abses Retrofaringeal
Ruang retrofaring merupakan salah satu daerah potensial di leher dalam. Abses
retrofaring adalah terkumpulnya nanah di ruang retrofaring. Pada bayi dan anak usia kurang
dari lima tahun lebih sering terjadi akibat penjalaran infeksi. Sedangkan pada anak di atas
umur 6 tahun, lebih sering disebabkan trauma tindakan medis seperti adenoidektomi, intubasi
endotrakea dan endoskopi maupun oleh trauma benda asing. Benda asing tajam akan
cenderung tersangkut di kripta tonsil, dasar lidah, valekula dan sinus piriformis. Benda asing
dapat menimbulkan luka lecet atau laserasi mukosa faring. Dengan adanya kuman di saluran
nafas atas dapat mengakibatkan terjadinya infeksi dan berlanjut menjadi abses. Demam, leher
kaku, nyeri dan sukar menelan. Posisi kepala hiperekstensi dan miring ke arah yang sehat.
Anak kecil akan menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Dapat timbul sesak napas,
stridor, dan perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan hiperemis yang
teraba lunak.6
Penatalaksanaan terdiri dari pembebasan jalan nafas, antibiotika, penggantia cairan,
drainase abses. Sejak ditemukannya antibiotika angka kesakitan dan kematian akibat abses
menurun drastis.
Diagnosa Kerja
Difteria
Diagnosis kerja kasus tersebut adalah difteria yang merupakan toksikoinfeksi yang
disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae strain penghasil toksin.
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding
belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
8
Penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
- Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian sekret
yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran
pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
- Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial )
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita
akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan
pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada
kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh
yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan
yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan
regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara
serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
- Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala
gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak
nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck,
laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi
sebagai pertolongan pertama.
- Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang
terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan
umbilikus.
- Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa
otitiseksterna dengan sekret purulen dan berbau.
Etiologi
Difteria berupa infeksi akut terutama pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh
C. diphteriae yang toksigenik. Kadang-kadang kulit, konjungtiva, dan vulva dapat terinfeksi
9
tetapi sangat jarang sekali. Difteria kulit lebih sering dijumpai di daerah-daerah tropic.
Penyakit difteria terutama menyerang anak-anak umur kurang dari 15 tahun yang tidak
diimunisasi, terutama antara umur 1-9 tahun, tetapi mungkin pula terdapat pada orang-orang
dewasa yang tidak divaksinasi atau pada bayi-bayi baru lahir. Pada saluran pernapasan, lesi
primer umum dijumpai dalam tenggorok/nasofaring di mana tampak terbentuknya
pseudomembran berwarna keabu-abuan. Pada kasus-kasus ringan, membrane ini mungkin
tidak terbentuk. Strain-strain non-toksigenik mungkin pula membentuk membrane yang khas,
hal mana menunjukkan bahwa eksotoksin bukan merupakan penyebabnya. Kuman difteri
berkembang biak pada tempat tersebut, sedangkan eksotoksin yang dihasilkan terbawa oleh
aliran darah ke jaringan tubuh lainnya dan menimbulkan hemoragik serta nekrotik pada
berbagai macam organ.6
Epidemiologi
Difteria terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Imunisasi
aktif anak-anak pra sekolah sangat menurunkan kejadian penyakit ini. Penyakit ini terutama
menyerang anak-anak usia 1-9 tahun. Angka kematian karena difteri berkisar 5-10% lebih
tinggi sampai 20% pada anak dengan usia kurang dari > 5 tahun dan dewasa usia lebih dari
40 tahun. Imunisasi sangat berpengaruh besara pada tingkat kematian. Sebagian besar
kematian terjadi pada hari ke 3-4, karena asfiksia akibat infeksi membran faring atau karena
miokarditis. Pada keadaan spesis mortalitas mencapai 30-40.
Predileksi ras untuk difteri telah dilaporkan, berdasarkan jenis kelamin. Tidak ada
perbedaan kejaidan difteri pada laki-laki atau perempuan. Difteri merupakan penyakit pada
anak, terutama usia kurang dari 12 tahun. Bayi rentan terhadap penyakit ini usia 6-12 bulan
setelah kekebalan yang berasal dari ibu berkurang.
Patofisiologi
Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang
disebabkan oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local
diabsorpsi oleh darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling
utama ialah meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C.
diphteriae adalah saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan
superficial pada selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit
atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang local. Di sana, eksotoksinnya diuraikan,
menyebabkan nekrosis pada jaringan sekitarnya
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi, dan
10
kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet infection. Selain itu penyakit ini bisa
juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.7
Manifestasi Klinis
Fokus infeksi primer difteri adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan
laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari,
terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang local. Demam jarang lebih tinggi dari 39°C.
Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen,
serosanguinis dengan pembentukan membran. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah
dalam adalah khas.
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia,
serak, malaise, atau nyeri kepala. Infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan
membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring, dan daerah glottis. Udem jaringan lunak di
bawahnya dan dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran ‘bull neck’. Tingkat
perluasan local berkorelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull
neck, dan kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.
Membrane pelekat seperti kulit meluas ke posterior daerah tenggorok, relative tidak panas,
dan disfagia membantu membedakan difteri dari faringitis eksudat karena Streptococcus
pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent, flebitis infektif dan thrombosis vena
jugularis, serta mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi kanker biasanya
dibedakan oleh keadaan klinis. Infeksi laring, trakea, dan bronkus dapat merupakan perluasan
primer atau sekunder dari infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk radang tenggorok
(croup), merupakan kunci. Perbedaan dari epiglotis bakteri, laringotrakeitis virus berat, dan
trakeitis staphylococcus sebagian berhubungan relative kecil dengan tanda-tanda dan gejala-
gejala pada penderita dengan difteri, dan terutama pada visualisasi perlekatan
pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.
Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena udem jaringan lunak
dan penyumbatan lepas epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembuatan saluran
napas buatan dan pemotongan psudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada
komplikasi obstruktif lebih lanjut, dan komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan. C.
diphteriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti
telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital
11
(vulvovaginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane, dan
perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.
Pengobatan
Antitoksin
Antitoksin spesifik merupakan terapi utama dan harus diberikan atas dasar diagnosis
klinis, karena ia hanya menetralisasi toksin bebas. Antitoksin difteri yang sekarang ini
tersedia adalah preparat dari serum kuda. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris
didasarkan pada derajat toksisitas, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit. Kebanyakan
pakar lebih menyukai lewat intravena, dengan infuse di atas 30-60 menit. Antitoksin mungkin
tidak bermanfaat untuk manifestasi local difteri kulit, tetapi penggunaannya hati-hati karena
dapat terjadi sekuele toksik. 8Sebanyak 10% individu sebelumnya menderita hipersensitivitas
terhadap protein kuda, bahkan penderita yang sangat sakit pun harus diuji sebelum diinfus
antitoksin. Uji intradermal yang digunakan adalah 0,02 mL antitoksin yang dilarutkan dalam
garam fisiologis 1 : 100 atau antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 1000 jika
individu tersebut memiliki riwayat alergi binatang atau terpajan sebelumnya oleh serum
binatang. Reaksi segera ditentukan sebagai indurasi dengan eritema sekitarnya sekurang-
kurangnya 3 mm lebih besar daripada uji control negative, dibaca pada 15 sampai 20 menit.
Desensitisasi dilakukan pada mereka yang menunjukkan reaksi segera menurut protocol yang
dianjurkan oleh American Academy of Pediatrics dengan dosis berturut-turut setiap 15 menit.
Untuk mereka dengan hasil uji negative, dosis awal 0,5 mL antitoksin diencerkan dalam 10
mL garam fisiologis atau larutan glukosa 5% diberikan selambat mungkin dengan
pengamatan 30 menit; sisanya kemudian dilarutkan 1 : 20 dan diberikan pada kecepatan tidak
melebihi 1 mL/menit.8
Antibiotik
Terapi antibiotik terindikasi untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi
yang terlokalisasi, dan mencegah penularan organism pada kontak C. diphteriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampin,
dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat
telah digunakan secara luas. Antibioik yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin.
Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
Terapi yang tepat adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau parenteral (40-50
mg/kg/24 jam; maksimum 2 g/24 jam), penisilin G Kristal aqua diberikan secara
intramuskuler atau intravena (100.000 – 150.000 U/kg/24 jam; dibagi dalam 4 dosis), atau
penisilin prokain (25.000 – 50.000 U/kg/24 jam; dibagi dua dosis) diberikan secara
12
intramuskuler. Terapi antibiotik bukan pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama
14 hari. Terapi diberikan selama 14 hari. Hilangnya organism harus dipantau sekurang-
kurangnya 2 biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil
dengan interval 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulangi jika
hasil biakan positif.
Terapi Lainnya
Penderita dengan difteri faring ditempatkan dalam isolasi yang ketat, dan penderita
dengan difteri kulit ditempatkan pada isolasi kontak sampai biakan yang diambil sesudah
penghentian terapi menunjukkan hasil negative. Luka kulit dibersihkan menyeluruh dengan
dengan sabun dan air. Tirah baring sangat penting pada fase akut penyakit, dengan
pengembalian aktivitas fisik berpedoman pada tingkat toksisitas dan keterlibatan jantung.
Komplikasi penyumbatan jalan napas dan aspirasi harus secara agresif dicegah pada
penderita difteria orofaring dan laring, dengan pembentukan jalan napas artificial terlebih
dahulu. Gagal jantung kongestif dan malnutrisi harus dipikirkan dan dicegah. Trakeostomi
apabila terdapat sumbatan saluran nafas.
Komplikasi
Ada banyak komplikasi dalam penyakit ini anatra lain; Kegagalan pernapasan, Edema
jaringan dan nekrosis, iokarditis, ilatasi jantung, Endokarditis, gangguan irama, blok jantung
dan disritmia, Pneumonia bakterial sekunder, Disfungsi saraf kranial, neuropati perifer,
kelumpuhan total, neuritis optik, syok/ septikemia (jarang), artritis septik,Neuropati toksik
dan miokardiopati toksik. osteomielitis dan kematian
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio cordis. Kelumpuhan
otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan, suara parau, dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.9
Prognosis
Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada virulensi organism (subspecies
gravis mempunya mortalitas tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan
pemberian antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri bull neck dan
13
komplikasi miokarditis menyebabkan mortalitas karena difteria yang paling besar. Mortalitas
hampir 10% untuk difteri saluran pernapasan. Pada penyembuhan, pemberian toksoid difteri
terindikasi untuk menyempurnakan dosis imunisasi booster, karena tidak semua penderita
mengembangkan antibodi pascainfeksi.
Pencegahan
Imunisasi aktif dengan toksoid merupakan cara pencegahan terbaik. Imunisasi
pertama dilakukan pada bayi berumur antara 2-3 bulan, biasanya berupa 2 dosis APT (alum
precipitated toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis, yang
diberikan dengan interval 2, 4, dan 6 bulan. Dosis booster diberikan usia 18 dan 24 bulan,
serta pada anak sekolah berumur 5 tahun.9
Kesimpulan
Hipotesis di terima. Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae yang menghasilkan toksin, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan,
terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh
karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Gejala
klinik yang paling khas dari difteri adalah adanya pseudomembran, demam ringan, dan
adanya eksotoksin dari Corynebacterium diphtheria.
Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta :Erlangga,
2007.h.1-17.
2. Rudolph AM, Hoffman JIE. Pediatri. Jakarta : EGC, 2010. h. 635-39.
3. Mansjoer A, Triyanti K. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia,
2000.h.119.
4. Syahrurachman A. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia, 2010.h. 156.
5. Berhman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatric. Jakarta : EGC, 2010.h.556.
6. Latief A. Ilmu kesehatananak. Jakarta : Infomedika, 2007.h. 555.
7. Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases and
epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers ; 2009.p. 97 –
105
8. Srivastava RK. Diphtheria A Re-emerging threat. National Institute of Communicable
Diseases, Directorate General of Health Services, Government of India. 2008. January-
March. Vol 12.
14
9. Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features Diphtheria. In: Current
diagnosis and therapy in pediatric. 18th ed. United State of America : Library of congress
press; 2007.p.1176 – 8
15