Anda di halaman 1dari 16

Bantuan IMF Terkait Krisis Moneter 1998

SEJARAH EKONOMI INDONESIA

Pengajar: Dr. Bondan Kanumayoso, M. Hum

Oleh:

Ausaf Ali Athiyah, 1106057033


Kartika Chandra Hermawati, 1106056926
Mutya Widyalestari, 1106005162
Nida Karima, 1106056983
Yoga Bagas Satwika, 1106056895

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

FEBRUARI 2013
Latar Belakang
Di tahun 1990-an, terjadi dua peristiwa mencengangkan di dunia, yaitu bubarnya
Uni Soviet dan krisis ekonomi Asia. Tidak ada yang menduga bahwa negara-negara di
bagian Timur (Asia Tenggara dan Asia Timur) akan mengalami krisis ekonomi yang
parah setelah bubarnya Uni Soviet. Tetapi dalam dua dekade selanjutnya, negara-negara
di bagian Timur itu berhasil mengembalikan kestabilan ekonomi dan politik dan bahkan
mendapat gelar membanggakan yaitu “The Miracle of Asia”. Negara-negara Asia yang
berhasil melampaui kawasan negara Dunia Ketiga lainnya seperti Amerika Latin dan
Afrika adalah Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan Indonesia.
Namun di akhir dekade 1990, negara Asia yang di dekade sebelumnya
mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat satu per satu mulai tumbang. Dimulai
dari Thailand, kemudian meluas ke Malaysia, Korea Selatan, dan Indonesia, dimana di
Indonesia inilah krisis ekonomi paling parah. Gelar atas kawasan ini pun dibalik dari
“The Miracle of Asia” menjadi “The Melt down of Asia”.1
Pada sisi internal, krisis ini terjadi karena suatu negara tidak dapat memecahkan
permasalahan yang mendasar pada sektor luar negerinya, yaitu hilangnya kepercayaan
para investor asing untuk meneruskan kerjasama karena dilihat dari posisi neraca
transaksi berjalan yang selalu defisit dari tahun ke tahun.
Sedangkan pada sisi eksternal, krisis ini terjadi karena liberalisasi yang terlalu
cepat di sektor keuangan tidak didukung liberalisasi yang serupa di sektor riilnya.
Kondisi seperti ini ternyata rentan terhadap gejolak eksternal. Sektor keuangan global
yang berkembang sangat pesat, tetapi tidak kukuh fondasinya telah menyebabkan
gejolak yang krusial bagi negara-negara baru yang sangat terbuka dalam menampung
investasi keuangan dan portofilio lainnya.
Modal keuangan yang besar jumlahnya dan bergerak dari satu negara atau satu
kawasan ke negara atau kawasan lainnya seringkali membawa dampak ketidakstabilan
bagi perekonomian suatu negara. Jika negara yang dilintasinya tidak betul-betul kuat,
maka nilai tukar dan cadangan devisanya akan dengan mudah diserang dari luar.

1
Denny J.A. Jatuhnya Soeharto Dan Transisi Demokrasi Indonesia. (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. 2006).
Hlm. 3.
Ketahanan ekonomi internal juga akan menentukan apakah mudah terpengaruh gejolak
eksternal yang tidak bisa dipastikan kapan datangnya.2
Kesalahan penanganan dan misdiagnosa yang dilakukan oleh pemerintah atas
tekanan lembaga moneter internasional, International Monetary Fund (IMF) terhadap
krisis moneter berkembang menjadi krisis politik. Di Korea Selatan, Thailand dan
Indonesia, krisis ekonomi itu berujung kepada pergantian kekuasaan politik, baik
pengambilalihan kekuasaan oleh pihak oposisi maupun penguasa politik yang
diturunkan di tengah jalan.

Krisis Moneter di Indonesia 1997-1998


Pada dasawarsa pertama pemerintahan rezim Orde Baru (1971-1981),
perekonomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat mengesankan. Tingkat
pertumbuhan ekonomi selalu berada dia atas 5% per tahun. Dan bahkan di awal 1990-
an, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia,
yaitu mencapai rata-rata 7%. Faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia ini adalah minyak, dimana terjadinya peningkatan harga minyak mencapai
350% pada 1981. Tetapi, ada juga sektor lain yang menopang ekonomi Indonesia yaitu
sektor non-migas lainnya yang mulai digalakkan oleh pemerintah Orde Baru pada awal
1980-an.
Bukan hanya indikator pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi saja yang
menunjukkan perkembangan mengesankan, melainkan juga jumlah masyarakat miskin
yang secara signifikan mengalami pengurangan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk
miskin Indonesia tinggal 15% dari jumlah penduduk padahal pada tahun 1970 mencapai
60% dari total penduduk Indonesia. Pendapatan per kapita pun meningkat dikarenakan
tingkat pengangguran mengalami pengurangan yang signifikan hingga di bawah 10%
dari total angkatan kerja.
Hal Hill dari Australia National University (ANU) menyatakan bahwa hingga
pertengahan 1997, pertumbuhan ekonomi tetap kokoh. Penduduk miskin berkurang dari
15,1% tahun 1990 menjadi 11,3% pada 1996. Sedangkan kesenjangan relatif rendah,
gini rasio tidak memperlihatkan kecenderungan meningkat. Bahkan hingga Februari

2
Didik J. Rachbini, Suwidi Tono, dkk. Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. (Jakarta: PT.
Mardi Mulyo. 2000). Hlm. 58-59.
1998, Joseph Stiglitz (seorang ekonom terkemuka yang juga pemenang Nobel
ekonomi), menyatakan bahwa di zaman Soeharto program pengentasan kemiskinan
telah berhasil dengan baik dari 64% tahun 1975 menjadi 11% tahun 1995.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang konsisten dan mengesankan ini
telah menyebabkan Indonesia masuk dalam kategori the newly industrializing economy
(NIEs). Tak hanya itu, World Bank bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara dengan performa ekonomi yang tinggi di Asia (HPAEs—High Performing Asian
Economics).3
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami penurunan drastis setelah pada
pertengahan tahun 1997 muncul krisis moneter di Thailand karena devaluasi bath yang
menular ke Indonesia. Untuk menangani hal itu, pemerintah melakukan intervensi untuk
menstabilkan rupiah. Pada bulan Agustus 1997, Pemerintah membuat keputusan drastis,
antara lain pengalihan dana BUMN dari bank-bank komersial ke SBI dan menaikkan
tingkat suku bunga SBI (30% untuk satu bulan dan 28% untuk 3 bulan). Sayangnya
kebijakan tersebut justru mengakibatkan kurs rupiah terus merosot hingga Rp 3.100 per
US$ atau terdepresiasi hingga 32% sejak 1 Januari 1997. Sampai akhir tahun 1997
keadaan rupiah tidak stabil hingga akhirnya rupiah ditutup pada nilai Rp 4.650 atau
terdepresiasi hingga 68,7%. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus
meluncur dengan cepat ke lever sekitar Rp 17.000 per US$ pada 22 Januari 1998.4
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut berdampak negatif
terhadap posisi neraca pembayaran, terutama karena utang luar negeri makin
membengkak. Pada 1997, total utang luar negeri secara riil telah mencapai 64,2% dari
GDP dan membengkak menjadi 95,3% dari GDP. Pada Maret 1998, dari total utang luar
negeri mencapai US$ 138 Milyar, sekitar US$ 72,5 Milyar adalah utang swasta yang
dua pertiganya jangka pendek, sekitar US$ 20 Milyar jatuh tempo pada tahun 1998.
Sedangkan saat itu cadangan devisa hanya tinggal sekitar US$ 14,44 Milyar.
Sementara itu, angka inflasi pada akhir tahun 1997 mencapai 11,1% per tahun
dan terus meningkat hingga mencapai 77,6% per tahun pada 1998. Sedangkan
pertumbuhan ekonomi mengalami kontradiksi, yaitu pertumbuhan positif 3,4% pada

3
Fadli Zon. Politik Huru-Hara Mei 1998. (Jakarta: Institute of Policy Studies (IPS). 2004). hlm. 4-5.
4
Ibid. Hlm. 5.
kuartal ketiga 1997 hingga 0% pada kuartal terakhir 1997. Terus menciut tajam pada
tahun 1998, hingga akhirnya pada kuartal ketiga tahun 1998 menjadi -17,9%.
Anjloknya rupiah secara dramatis menyebabkan pasar uang dan pasar modal
juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan begitu pula dengan bank-
bank besar internasional. Bahkan surat utang pemerintah juga terus merosot ke level di
bawah junk atau menjadi sampah. Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin pada 15
September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar
menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.5
Krisis tersebut berdampak pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, mulai dari
skala kecil hingga konglomerat. Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor
konstruksi, manufaktur, dan perbankan. Tumbangnya perusahaan-perusahaan itu
melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan asumsi
pertumbuhan GDP 0% pada 1998, maka tingkat pengangguran diperkirakan mencapai
7,9 juta orang (8,3% dari angkatan kerja). Akibatnya pada 1998 dengan kontraksi
pertumbuhan yang lebih dari 15%, tingkat pengangguran melonjak ke level yang belum
pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20% lebih dari
angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di
bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50% dari total penduduk.
Pendapatan per kapita yang mencapai US$ 1.155 per kapita tahun 1996, menciut
menjadi US$ 610 per kapita pada tahun 1998.6

Peranan IMF terhadap Krisis Moneter di Indonesia


Krisis ekonomi yang terjadi pada Indonesia pada tahun 1997 berdampak pada
berbagai aspek kehidupan. Dalam penanganannya, pemerintah juga berusaha untuk
menyelesaikan masalah krisis tersebut dengan berbagai kebijakan seperti dengan
kebijakan moneter, fiskal, perbankan, dll. Namun, hal itu masih sulit untuk dilakukan
sehingga Presiden Soeharto meminta bantuan kepada IMF untuk membantu
menyelesaikan krisis ekonomi tersebut.

5
Ibid. Hlm. 6.
6
Ibid. Hlm. 7.
Presiden Soeharto sebenarnya keberatan untuk meminta bantuan kepada IMF.
Namun, karena mendapat desakan dari para penasehat ekonominya, maka pada 31
Oktober 1997, ditandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent / LoI) pertama dengan
IMF oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia
Sudradjad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Financial Policies.7
Nota Kesepakatan itu mencakup: sasaran anggaran berimbang, sasaran-sasaran
pengadaan uang dan inflasi, kebijakan nilai tukar uang, keseimbangan perdagangan dan
kebijakan perdagangan, reformasi hukum perburuhan, reformasi struktur PNS,
privatisasi, dan perubahan perundang-undangan. Dalam syarat jangka pendek, IMF
menekankan kebijakan: (a) devaluasi nilai tukar uang, unifikasi dan peniadaan kontrol
uang; (b) liberalisasi harga: peniadaan subsidi dan harga; (c) pengetatan anggaran.
Sedangkan untuk jangka panjang yaitu: (a) liberalisasi perdagangan: mengurangi dan
meniadakan kuota impor dan tarif; (b) deregulasi sektor perbankan sebagai “program
penyesuain sektor keuangan”; (c) privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara; (d)
privatisasi lahan pertanian, mendorong agrobisnis; (e) reformasi pajak: meningkatkan
pajak tak langsung; dan (f) mengelola kemiskinan melalui penciptaan sasaran dana-dana
sosial.8
Perwakilan IMF yang berada di Indonesia justru cenderung mendukung
kebijakan memangkas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dibanding stabilisasi
rupiah yang pada saat itu lebih penting. KKN memang jelas memperburuk keadaan
tetapi sulit untuk dikatakan bahwa itu menjadi penyebab krisis. Selama Soeharto
memimpin Indonesia, IMF dan World Bank sebenarnya mengetahui tindakan-tindakan
KKN tersebut tetapi mereka justru menutup mata. Di sisi lain, IMF menuduh bahwa
kegagalan paket IMF justru dikarenakan pemerintah tidak mengikuti arahan dari IMF.
Dengan adanya bantuan dari IMF tersebut, praktis Indonesia pada saat itu
bergantung kepada utang luar negeri. Meskipun hal itu membantu untuk penanganan
krisis, tetapi justru membuat utang luar negeri Indonesia semakin meningkat.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh IMF untuk menangani krisis moneter tidak
memperhatikan keadaan politik Indonesia pada saat itu dan kebijakan IMF dalam LoI
juga cenderung inkonsisten. Kesalahan IMF yang besar yaitu ditutupnya 16 bank swasta

7
Fadli Zon, Op. Cit., hal. 7
8
Ibid., hal. 7-8
yang diduga bank kroni, tanpa menyiapkan perangkat pengamanannya terlebih dahulu.
Hal itu membuat kondisi perbankan yang ada di Indonesia pada saat itu rusak dan
kepanikan dunia finansial muncul. Barisan antrian orang yang panjang untuk
mengambil uang mereka di bank terlihat di bank. Kepercayaan orang kepada bank
menjadi merosot dan cadangan rupiah di Bank Indonesia pun berkurang. Pola yang
digunakan oleh IMF untuk menangani krisis juga gagal. Ketidakseriusan IMF dalam
menangani krisis ekonomi tersebut justru membuat permasalahan ekonomi di Indonesia
semakin kompleks.
Pada 15 Januari 1998, Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan LoI yang
kedua. Dalam LoI tersebut, tercantum 50 pernyataan yang harus dijalankan oleh
Pemerintah Indonesia, seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan perbankan,
dan juga kebijaksanaan sektor riil melalui penyesuaian secara struktural.
Penandatangan LoI yang kedua tidak mendapat tanggapan yang positif sehingga
LoI yang kedua ini gagal menyelesaikan masalah utama pada saat itu yaitu jatuhnya
rupiah. Dengan gagalnya LoI yang kedua, pada 10 April 1998 ditandatangi kesepakatan
yang ketiga. Fokusnya tidak berbeda jauh dari beberapa kesepakatan sebelumnya
mengenai ekonomi mikro, bukan pada krisis mata uang pada saat itu. Pada 4 Mei 1998,
atas desakan IMF, pemerintah menaikkan harga BBM sampai 71%, tarif listrik
dinaikkan secara gradual. 9 Pada pertengahan 1998, perekonomian Indonesia masih
terpuruk. Diperkirakan 113 Juta orang penduduk Indonesia (56% dari jumlah penduduk)
berada dibawah garis kemiskinan. Ada yang mengatakan bahwa 40 juta orang penduduk
Indonesia tidak mampu membeli makanan dan dalam kondisi rawan pangan. 10

Penarapan Perjanjian IMF dengan Pemerintah Indonesia


Krisis Ekonomi yang terjadi di Indonesia menurut IMF disebabkan angka rupiah
yang sangat terdepresiasi. Menurut IMF juga langkah paling tepat untuk memulihkan
kaadaan ini adalah dengan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah
caranya adalah dengan memperbaiki dan strukturisasi sektor finansial.
Oleh karena itu berdasarkan perjanjian pertama pada 31 oktober 1997, bantuan yang
akan diberikan IMF adalah bantuan pada bidang:

9
Fadli Zon, Op. Cit., hal. 10
10
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. (Jakarta: Serambi. 2001). Hal. 656-657
1. Penyehatan sektor keuangan
2. Kebijakan Fiskal
3. Kebijakan moneter
4. Penyesuaian struktural
Lalu untuk mendukung program tersebut maka IMF meminjamkan uang
sejumlah US$ 11,3 Milyar. Jumlah US$ 3,04 milyar dicairkan langsung, dan sisanya
disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah berjalan sesuai
persetujuan. Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan
negara - negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya
mencapai kurang lebih US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan).
Namun karena dalam pelaksanaannya ada beberapa program yang kurang
terlaksana dengan baik oleh pemerintah Indonesia kemudian diajukanlah perjanjian
kedua dengan IMF yang ditandatangani pada 15 Januari 1998. Perjanjaina itu
menghasilkan 50 butir poin perjanjian yang inti programnya juga berfokus pada
penstabilan nilai rupiah. Pokok-pokok perjanjiannya adalah
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah berjalan beberapa waktu program yang disarankan IMF ini kembali
mengalami hambatan dalam pelaksanaannya sehingga pemerintah kembali melakukan
negoisasi ulang dengan IMF untuk mencari program yang sesuai. Maka setelah
negoisasi ketiga ini ditandatanganilah supplementary memorandum pada 10 April 1998
yang menghasilkan poin-poin yang cakupannya lebih luas dari sebelumnya, karena
mencakup masalah utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. untuk memenuhi
poin perjanjian dengan IMF maka strategi pemerintah adalah:
1. Menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi
Indonesia;
2. Memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
3. Memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi
yang efisien dan berdaya saing.
4. Menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
5. Kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga
ekspor bisa bangkit kembali.

Hambatan Pelaksanaan Tuntutan IMF


Krisis moneter berdampak luas dalam mempengaruhi berbagai sektor ekonomi.
Indonesia mencapai puncak krisis pada tahun 1998 dengan jumlah US$ 80 milyar.
Indonesia meminta bantuan International Monetery Fund (IMF), Bank World (Bank
dunia), dan Asia Development Bank (ADB) dengan harapan mendapat dukungan negara
sahabat dalam mengembalikan kepercayaan pasar dan masyarakat. Pemerintah meminta
fasilitas IMF, diberikannya paket bantuan IMF dengan meminjamkan dana sebersar
US$ 43 Miliar untuk menstabilkan keuangan Indonesia, sebagai implementasi dari
bantuan tersebut, pemerintah mengeluarkan Letter of Intent 1 (LoI 1) tanggal 31
oktober 1997. Isi dari LoI 1 sebagai berikut:
1. Kebijakan moneter akan diperketat untuk menunjang kestabilan nilai tukar
rupiah.
2. Adanya intervensi dari pasar valas. Intervensi tersebut dilakukan tanpa
mengurangi cadangan devisa dalam jumlah besar.
3. Tujuan lain adalah adanya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap tingkat inflasi.
Dengan sasaran tingkat inflasi mencapai 10%, BI akan mengurangi laju
kenaikan peredaran uang (M2) dari 27% (tahun 1996/1997) menjadi 18% (tahun
1997/1998) dan 11% (1998/1999).
4. Menurunkan laju kenaikan M2 dengan mengendalikan peredaran uang primer
melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT). yang berakhir dengan kegagalan
penerapan kebijakan OPT tersebut.
Setelah menandatangai LoI 1, IMF memberikan bantuan siaga sebesar US$ 10
milyar, Bank dunia US$ 4,.5 milyar, dan ADB US$ 3 milyar. Sedangkan cadangan BI
sendiri sebesar US$ 20 milyar.11
IMF pernah kecewa dan menyalahkan pemerintah yang tidak serius dalam
reformasi ekonomi Indonesia, karena terjadi inflasi. Inflasi diukur dengan indeks Harga
Konsumen (IHK) yang meningkat hingga 11.5% sejak 1984. Hal tersebut dikarenakan
adanya kekeringan berkepanjangan dan kebakaran yang menyebabkan menghambatnya
penyaluran makanan. Memasuki 1998, perekonomian Indonesia semakin memburuk
dengan pertumbuhan uang beredar (M2) menlonjak menjadi 54.9% pada Januari 1998
dibanding dengan sebelumnya 23.2% di bulan sebelumnya. IMF menganggap bahwa
Indonesia tidak sungguh-sungguh dalam memperbaiki perekonomian. Tetapi program
pemulihan terus dilanjutkan antara pemerintahan Indonesia dengan IMF dan Bank
Dunia, diadakannyalah LoI 2 pada 15 januari 1998, mengenai bidang fiskal dan
moneter.
1. Bidang fiskal: koreksi terhadap RAPBN dengan menurunkan target
pertumbuhan ekonomi 0%, inflasi dinaikkan dari 9% menjadi 20%, kurs dari Rp
4.000 menjadi Rp 5.000, deficit anggaran sebatas 1% dari PDB dengan
mengurangi BBM, mencabut keringanan pajak untuk mobil Mobnas,
menonaktivkan anggaran dan nonanggaran untuk proyek IPTN. Sebelumnya
IMF tidak menyetujui adanya deficit atau APBN yang seimbang.
2. Bidang moneter: mendukung stabilitasnya nilai tukar rupiah dengan likuidasi
melalui kenaikan suku bunga SBI secara tajam.
LoI 3 pada tanggal 10 april 1998. Disini dilakukannya penyesuaian terhadap
program yang telah disusun sebelumnya. Dicantumkan juga Memorandum of Economic
and Financial Policies (MEFP).
LoI 4 pada tanggal 24 Juni 1998, mencantumkan Second Supplementary MEFP.
Mengingat nilai tukar rupiah masih melemah dan rentan akan inflasi, sehingga harus
lebih ketat dalam menjalankan program sebelumnya. Tidak lupa membuat cadangan
untuk pembayaran cicilan utang antarbank dalam negri ataupun luarnegri. Selain itu BI
melakukan percepatan dalam melaksanakan kebijakan moneter di Indonesia.

11
Bank Indonesia. Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999 Bank Indonesia pada masa krisis
ekonomi, moneter, dan perbankan. Jakarta: BI. 2006. Hal. 145
LoI 5 pada 29 Juli 1998. Pemerintah menyetujui sisa perubahan bantuan IMF
dengan program Stand by Arrangement (SBA) pada tahun 1997 yang berubah menjadi
program Extended Funds Facilities (EFF) sebesar SDR 4.669 Juta. Selain itu dengan
adanya pinjaman utang luar negri menutupi devisa negara, meingkatnya devisa negara
sampai US$ 24 milyar danggap cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 5,5 bulan
impor.
LoI 6, 11 September 1998. Pelaksanaan restrukturisasi perekonomian Indonesia,
sesuai dalam program EFF. Langkah-langkah dalam restrukturisasi dan peminjaman
luar negeri untuk menunjang kepercayaan pasar. Tidak lupa untuk terus memperketat
kebijakan moneter di Indonesia.
LoI 7, 13 November 1998. Dalam LoI ini tercapainya perkembangan
perekonomian yang mantap.

Reaksi dan Dampak yang Terjadi terhadap Campur Tangan IMF dalam
Menangani Krisis
Paket pertama IMF gagal menunjukkan pada dunia bahwa Soeharto serius soal
reformasi. Misalnya penutupan 16 bank yang tidak hanya membuat penyetor tapi juga
bank sebagai debitur panik, juga paksaan pengetatan fiskal kendati Pemerintah tidak
mengalami defisit keuangan seperti negara korban krisis lainnya. Ditambah lagi, IMF
sama sekali tidak menyentuh jaringan patronisasi Soeharto.12
Sebelumnya, diketahui bahwa terdapat tiga elemen pendukung hagemoni
patron-client Soeharto yakni teknokrat13, militer14, dan sanak keluarganya.15 Bambang
Trihatmodjo, anak tengah Soeharto, menuduh IMF mencoba menjatuhkan ayahnya
dengan menginstruksikan teknokrat menusuk punggung Soeharto lewat
penandatanganan paket tersebut. Teknokrat tidak berdaya menghentikan kroni Soeharto
dalam usahanya merongrong pendapat IMF ini. Sementara itu, ketimbang mencari
sedikit informasi akan kompleksnya institusi politik dan ekonomi Indonesia, IMF

12
Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability, Ed. ke-2, 1999, NSW: Allen &
Uwin, hlm. 339
13
Ekonom nasional yang umumnya lulusan perguruan tinggi luar negeri. Beberapa kalangan
menyebutnya sebagai ‘Mafia Barkeley’ karena banyak dari mereka yang lulus dari universitas tsb.
14
ABRI, dwifungsi
15
Kroni, sanak keluarga Soharto, pengusaha kaya pemegang industri penting, KKN
menepis nasihat World Bank dan Asian Development Bank, yang mana keduanya justru
lebih punya kehadiran besar di lapangan.
Soeharto menyetujui second package (15 Januari 1998) tanpa banyak bicara.
Barangkali ia berpikir, menandatangani paket saja dapat megembalikan kepercayaan
pada ekonomi Indonesia yang terhuyung-huyung.16 Sementara itu, orang-orang muslim
radikal menganggap bahwa ketentuan IMF tidak masuk akal dan mengehendaki
penutupan negeri saja seperti Myanmar.17 Pihak asing di Jakarta juga sempat bingung.
PM Jepang Ryutaro Hashimoto dan Kanselir Jerman Helmut Kohl menelpon Soeharto.
PM Singapura Goh Chok Tong datang dengan kunjungan kilat. Presiden AS Bill
Clinton mengirim Wakil Sekretaris Bendahara Lawrence Summer ke Jakarta pada
Januari dan seorang utusan khusus, yakni mantan wakil presiden Walter Mondale, pada
bulan Maret. Pesan dari semua kunjungan ini kurang lebih sama: tetap pada program
IMF dan bangun kembali kepercayaan investor. Namun, pesan-pesan ini hanya masuk
kuping kanan keluar kuping kiri.18
Bagi kalangan teknokrat, paket 15 Januari berisi banyak indikator yang
diinginkan mereka sejak lama, seperti distopnya dukungan pemerintah terhadap proyek
mobil nasional Tommy Soeharto dan ekspansi rencana manufaktur-pesawat terbang
Habibie.19 Begitu pula dengan peniadaan bertahap subsidi BBM, minyak goreng, dan
gula pasir. Tak ketinggalan akhir dari aksi monopolistik curang keluarga Soeharto.
Akhirnya, Soeharto yang mula-mula setuju kini menyatakan konflik terbuka
20
dengan IMF, dibuktikan dengan banyaknya program paket yang gagal
diimplementasikan, misalnya seperti pembatalan proyek infrastruktur, pembukaan
kembali salah satu bank milik kroni Soeharto yang telah ditutup, dan ditemukannya
celah-celah agar monopoli cengkeh dan kayu lapis tetap berjalan.
Perwakilan World Bank di Indonesia kecewa dengan pelaksanaan paket. Orang-
orang Indonesia sendiri, dibandingkan IMF dan investor asing, mengerti betul bahwa
Soeharto sama sekali tidak berniat untuk patuh. Dalam beberapa minggu, kroni-kroni
Soeharto bertindak. Bob Hasan dengan monopoli sektor kehutanan (HPH). Tommy

16
Ibid
17
Ibid, hlm. 348
18
Ibid, hlm. 343
19
Ibid, hlm. 340 – 341
20
Leonardo Martinez-Diaz, 'Pathways Through Financial Crisis: Indonesia', Global Governance 12, 2006,
hlm. 395 – 412
Soeharto dan proyek mobil nasional. Titiek tak ketinggalan berkomentar, "Ya, kita
memang butuh IMF, tapi tidak jika kita tetap ditekan dengan syarat ini dan itu".
Banyak yang mengkritik teknokrat karena terlalu menekan paket 15 Januari. Ini
agaknya keliru. Ketika negosiasi paket kedua dimulai, teknokrat hanya berperan sedikit
sekali, karena Soeharto telah kehilangan rasa percaya terhadap mereka. Faktanya,
kepala teknokrat, Wijoyo Nitisastro, begitu marah pada cara IMF dan World Bank
menangani negosiasi itu hingga ia menolak bicara pada mereka selama sebulan penuh.
Adalah pendapat yang tidak benar mengatakan bahwa IMF harus menyingkir
jauh-jauh dari reformasi struktural. Indonesia paling menderita dari ‘Asian Flu’ bukan
hanya karena situasi ekonominya yang mengerikan atau karena IMF memberikan obat
yang keliru, melainkan karena sistem politiknya yang bobrok. 21 Ikatan antara pemimpin
dan rakyat telah lama hilang akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, bukan
cuma investor asing yang menyangsikan Soeharto mampu menangani krisis, rakyat
Indonesia pun demikian.
Kebingungan yang meliputi paket 15 Januari adalah faktor penting dalam terjun
bebasnya rupiah, tapi tidak hanya itu, beberapa perkembangan politik lainnya juga
berperan. Pertama, pada Sidang Umum MPR 1 Maret 1998, Soeharto kembali terpilih
sebagai Presiden. Seminggu kemudian, Soeharto mengumumkan kabinet baru. Terjadi
kontroversi, utamanya ketika Bob Hasan ditunjuk sebagai menteri perdagangan. Hasan
adalah seorang Cina-Indonesia yang dekat dengan Soeharto. Ia mengontrol monopoli
ekspor kayu lapis yang dicekal IMF dua bulan lalu. Sebagai menteri pertama dari etnis
Cina, Soeharto berharap kehadiran Hasan bisa menenangkan kaum Cina-Indonesia.
Adapun sejak pertengahan Januari 1998, Soeharto telah menyatakan akan mengangkat
Menteri Riset dan Teknologi B. J. Habibie, musuh lama para teknokrat, sebagai
wakilnya.22
Kedua, Soeharto telah jelas-jelas menyatakan ketidakpercayaannya pada
teknokrat karena dianggap gagal menangani krisis. Untuk membuktikannya, bulan
Februari, Soeharto memecat Gubernur BI, Soedradjat Djiwandono. Ada yang bilang ini
karena dia menentang rencara currency board.23

21
Catatan kaki no. 113 Chapter 11, dalam Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia's Search for
Stability, Ed. ke-2, 1999, NSW: Allen & Uwin, hlm. 342
22
Catatan kaki no. 117, Chapter 11, dalam Ibid, hlm. 343
23
Ibid.
Meski diberi waktu sampai Oktober oleh IMF, 4 Mei 1998, Pemerintah
mengumumkan pengurangan subsidi BBM dan menaikkan harga bensin hingga 70%.
Soeharto percaya bahwa dirinya imun terhadap protes publik sehingga memutuskan
memotong subsidi serempak sekali jalan, tapi itu salah besar24, Riot terjadi di mana-
mana. Dua hari setelah itu, tim IMF tiba di bandara Jakarta pada senja hari untuk
mendiskusikan program reformasi ekonomi.
Setelah Soeharto tumbang pada pertengahan 1998, B. J. Habibie secara otomatis
naik sebagai Presiden. Tugas utamanya adalah sebagai Pemerintahan transisi menuju
reformasi. Ini berarti mengontrol kestabilitasan ekonomi lebih dulu, dan Habibie
bermaksud menggunakan blueprint IMF untuk melakukannya. 25 Secara ironis, meski
rencana manufaktur pesawat terbangnya terkena cekal, kebijakan baru Habibie yang
terkuat adalah permintaan bantuan komunitas internasonal, termasuk IMF. Letter of
Intent ditandatangani kembali pada 29 Juli 1998 untuk menyatakan komitmen ulang
Pemerintah yang dibuat melalui persetujuan terdahulu dengan ditambahkannya
ketentuan baru terhadap perbankan dan restrukturisasi korporat.26
Habibie kemudian menunjuk Ginanjar Kartasasmita (menteri koordinator
ekonomi di kabinet terakhir Soeharto) sebagai menteri ekonomi senior dan
mempekerjakan kembali dua teknokrat lama, Wijoyo Nitisastro dan Ali Wardhana
sebagai penasihat ekonominya. Tiga orang ini dipilih karena punya hubungan baik
dengan komunitas keuangan internasional yang telah dibangun selama lebih dari 30
tahun lamanya.27
Oktober 1998, rupiah telah menguat kira-kira Rp 8.000,00 per dolar. 28 Inflasi
juga jatuh secara dramatis. Tidak seorang pun memprediksi, bahwa di awal tahun 1999
krisis ekonomi Indonesia terlihat akan segera berkahir.29
Dibandingkan negara-negara lainnya yang sama-sama terkena krisis, Indonesia
termasuk negara yang cukup lama bergantung pada bantuan IMF, karena Pemerintah
baru membatalkan seluruh program IMF di akhir tahun 2003—sejak pertama kali

24
Ibid, hlm. 354
25
Leonardo Martinez-Diaz, 'Pathways Through Financial Crisis: Indonesia', Global Governance 12, 2006,
hlm. 395 – 412
26
Ibid.
27
Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability, Ed. ke-2, 1999, NSW: Allen &
Uwin, hlm. 373
28
Catatan kaki no. 154, Chapter 12, dalam Ibid, hlm 408
29
Ibid, hlm 408 – 409
diluncurkan akhir tahun 1997—setelah kekuasaan Presiden berpindah 4 kali dalam
rentang 6 tahun.30
Terlepas dari kontroversi peran IMF dalam membantu Pemerintah Indonesia,
keduanya sama-sama mendapat pelajaran berharga dari kesalahan ini. Bagi kaum
legislatif di Indonesia, pengalaman yang mereka dapat dari menanggulangi Krisis
Keuangan Asia terbukti berguna ketika menghadapi efek negatif dari Krisis Keuangan
Global tahun 2008 dengan tetap menempel erat pada kebijakan ekonomi makro, selagi
menyuntikkan dorongan keuangan untuk membuat ekonomi tetap tumbuh. Tidak heran
karena sejak krisis terlewati, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir
(berdasarkan waktu ditulisnya jurnal ybs.) tumbuh rata-rata 2,5 % per tahun dan prestasi
paling baik dicapai pada tahun 2007 ketika pertumbuhan mencapai 6,3 %.31

Kesimpulan
Pada dasawarsa pertama pemerintahan rezim Orde Baru (1971-1981),
perekonomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat mengesankan karena
adanya minyak. Namun masa tersebut berakhir sampai adanya dampak domino dari
krisis internasional menjalar ke Indonesia, krisis di indonesia terjadi setelah krisis
terjadi di Thailand. Dengan adanya krisis, timbulnya berbagai masalah dalam sektor
ekonomi, perbankan, bahkan berujung pada masalah politik. Permasalahan juga ada
pada sektor luar negeri, dimana hilangnya kepercayaan para investor asing untuk
meneruskan kerjasama di indonesia. Indonesia mencapai puncak krisis pada tahun 1998
dengan jumlah US$ 80 milyar. Indonesia meminta bantuan International Monetery
Fund (IMF), Bank World (Bank Dunia), dan Asia Development Bank (ADB) dengan
harapan mendapat dukungan negara sahabat dalam mengembalikan kepercayaan pasar
dan masyarakat. Diantara 3 sumber pinjaman (IMF, BW, dan ADB), IMF memberikan
fasilitas bantuan lebih kepada Indonesia dibandingkan dengan sumber pinjaman lainnya.
Disamping itu, IMF tidak hanya membantu dengan meminjamkan dana bantuan ke
Indonesia saja, juga turut ikut campur tangan dalam perekonomian Indonesia dengan

30
Leonardo Martinez-Diaz, 'Pathways Through Financial Crisis: Indonesia', Global Governance 12, 2006,
hlm. 395 – 412
31
Thee Kian Wie, 'Understanding Indonesia: the Role of Economic Nationalism', Journal of Indonesian
Social Sciences and Humanities Vol. 3, 2010, hlm. 55 - 57
mengatur perekomian melalui kebijakan-kebijakannya, hingga berdampak pada
permasalahan politik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Bank Indonesia. Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999 Bank Indonesia pada
masa krisis ekonomi, moneter, dan perbankan. 2006. Jakarta: BI.
J, Denny A. Jatuhnya Soeharto Dan Transisi Demokrasi Indonesia. 2006. Yogyakarta:
LKIS Yogyakarta.
Rachbini, Didik J, Suwidi Tono, dkk. Bank Indonesia Menuju Independensi Bank
Sentral. 2000. Jakarta: PT. Mardi Mulyo.
Ricklefs, M. Sejarah Indonesia Modern. 2001. Jakarta: Serambi.
Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability, 2nd Edition.
1999. New South Wales: Allen & Uwin.
Tarmidi, Lepi T. Krisis Moneter Indonesia:Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan: Maret 1999.
Zon, Fadli. Politik Huru-Hara Mei 1998. 2006. Jakarta: Institute of Policy Studies
(IPS).

Jurnal
Martinez-Diaz, Leonardo. 'Pathways Through Financial Crisis: Indonesia'. Global
Governance 12. 2006. Hlm. 395 – 412.
Wie, Thee Kian. 'Understanding Indonesia: the Role of Economic Nationalism'. Journal
of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3. 2010. Hlm. 55 – 57.

Anda mungkin juga menyukai