Bronkopenmonia
Disusun oleh:
dr. Eli Yulianti
Pembimbing Kasus:
dr. Nurbani, Sp.A
Pendamping Internsip:
dr. Safaruddin, MARS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Tanggal Lahir : 9 Juni 2015 / 2 tahun 5 bulan
BB : 10,2 kg
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : JL. Setia budi Rt/Rw 17/07
Agama : Islam
Masuk RS : 29 November 2017
Keluar RS : Desember 2017
No. RM : 47484
Status Gizi
- Berat Badan (BB) : 10,2 kg
- Tinggi/Panjang badan : 86 cm
- BB/TB (z-score) : 10,2-11,6 / 11,6-10,7 = -1,5 SD
Status gizi :normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan tanggal 29-11-2017
Hematologi
Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11,8 g/dL 11,7 – 15,5 g/dL
Hematokrit 33% 32 – 47%
Leukosit 34.020/𝜇L 3600 – 11.000/𝜇L
Eritrosit 5,34 juta 3.8 – 5.2 juta
Trombosit 302000 ribu/𝜇L 150.000 – 440.000/mL
Natrium 137 mmol/l 136-146 mmol/l
Kalium 3,9 mmol/l 3,5-5,0 mmol/l
Klorida 101 mmol/l 98-106 mmol/l
LED 76 mm/jam 0-15 mm/jam
Hitung Jenis
Hasil Nilai Rujukan
Basofil 0 0–1
Eosinofil 0 1–3
Neutrofil 81 50 – 70
Limfosit 7 20 – 40
Monosit 12 2 –8
Rontgen Thorax
V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUK Tebet pada tanggal 29 november 2017 dengan
keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun. Keluhan
ini disertai batuk dan pilek, batuk dirasakan seperti berdahak namun susah
keluar. Pasien sesak saat bernafas, dan nafas seperti mengorok . Ibu pasien
mengatakan, pasien lebih rewel dan muntah jika menangis. Ibu pasien
mengatakan nafsu makan pasien berkurang namun masih mau minum,
keluhan BAB dan BAK di sangkal.
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Non Medikamentosa
- Rawat inap
- Tirah baring
- Monitoring tanda vital
B. Medikamentosa
- IVFD Kaen 3B 10 tpm makro
- Inhalasi combivent + Ns 2 cc/8jam
- Paracetamol syr 1 cth/6 jam
- Ceftriaxone 1x800 mg IV
- Ranitidine 2x15mg IV
- Ondancetron 3x2mg IV
IX. FOLLOW UP
30/11/2017
S : Sesak berkurang, demam (-),batuk (+)
O : KU : tampak sakit sedang ; Kesadaran : Compos Mentis
N : 126 x/menit, RR :42 x/menit, S : 36,90C, SpO2 96%
Mata : Ca (-/-), Si (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-)
Mulut : faring tidak hiperemis
Cor : BJ I-II nomal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SNV, ronki (+/+), wheezing (-/-), Retraksi (+)
Abdomen : cembung, BU (+) Normal, supel, NT (-), timpani
Ekstremitas : edema (-/-), akral dingin (-/-)
A : Bronkopneumonia
P :
IVFD Kaen 3B 10 tpm makro
Inhalasi combivent + Ns 2 cc/8jam
Paracetamol syr 1 cth/6 jam
Ceftriaxone 1x800 mg IV
Ranitidine 2x15mg IV
Ondancetron 3x2mg IV
1/12/2017
S : Sesak berkurang, demam (-), batuk berkurang
O : KU : tampak sakit sedang ; Kesadaran : Compos Mentis
N : 127 x/menit, RR : 35-38 x/menit, S : 36,30C, SpO2 98%
Mata : Ca (-/-), Si (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-)
Mulut : faring tidak hiperemis
Cor : BJ I-II nomal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SNV, ronki (-/-), wheezing (-/-), Retraksi (-/-)
Abdomen : cembung, BU (+) Normal, supel, NT (-), timpani
Ekstremitas : edema (-/-), akral dingin (-/-)
A : Bronkopneumonia
P :
IVFD Kaen 3B 10 tpm makro
Inhalasi combivent + Ns 2 cc/8jam
Paracetamol syr 1 cth/6 jam
Ceftriaxone 1x800 mg IV
Ranitidine 2x15mg IV
Ondancetron 3x2mg IV
Cek DPL ulang
2/122017
S : Tidak ada keluhan
O : KU : tampak sakit ringan; Kesadaran : Compos Mentis
N : 110 x/menit, RR : 33 x/menit, S : 36,50C, SpO2 99%
Mata : Ca (-/-), Si (-/-)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : faring tidak hiperemis
Cor : BJ I-II nomal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : SNV, ronki (-/-), wheezing (-/-), Retraksi sela iga (-/-)
Abdomen : cembung, BU (+) Normal, supel, NT (-), timpani
Ekstremitas : edema (-/-), akral dingin (-/-)
A : Bronkopneumonia perbaikan
P : Rawat Jalan
Cefixime 2x1,5 cc
Paracetamol drop 3x1 cth jika demam
Kontrol post rawat ke poliklinik anak tgl 6/12/17
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanastionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Bronkopneumonia merupakan masalah kesehatan utama pada anak, khususnya
di negara berkembang. Bronkopneumonia merupakan penyebab utama kesakitan dan
kematian anak berusia di bawah lima tahun (balita). Insiden diperkirakan 0,29 episode
per anak balita setiap tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak setiap
tahun di negara maju. Hal ini berarti terdapat sekitar 156 juta episode baru setiap tahun
di seluruh dunia dengan 151 juta episode terdapat di negara berkembang. Sebagian
kasus terjadi di India (43 juta), Cina (21 juta), Pakistan (10 juta), dan Bangladesh,
Indonesia dan Nigeria (masing-masing 6 juta). Dari semua kasus, 7%-13% dengan
gejala klinis yang dapat mengancam jiwa dan membutuhkan rawat inap.
Angka kematian akibat bronkopneumonia pada anak masih tinggi. Diperkirakan
sekitar 19% dari seluruh kematian anak berusia di bawah lima tahun di seluruh dunia
meninggal akibat pneumonia, lebih dari 70% berlangsung di Afrika dan Asia Tenggara.
Data dari Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 571.547 balita
pneumonia, angka kematian sebesar 1,19%. Angka kematian kelompok bayi lebih
tinggi (2,89%) dibandingkan kelompok umur 1-4 tahun (0,20%). Mengingat,
bronkopneumonia merupakan penyebab utama kematian pada balita, global action plan
for the prevention and control of pneumonia and diarrhoea (GAPPD) memprioritaskan
pengendalian bronkopneumonia untuk mencapai target millenium development goals
ke empat (MDGs 4). Prioritas GAPPD menurunkan angka insiden pneumonia berat dan
diare sebesar 75% pada tahun 2025 dibanding tahun 2010 dengan tujuan utama untuk
mengakhiri kematian anak karena pneumonia dan diare pada tahun 2025 (GAPPD
WHO-UNICEF, 2013).
2.2 Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus
yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi pneumonia
yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis.
Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) melaporkan hampir 6 juta
anak balita meninggal dunia, 16% dari jumlah tersebut disebabkan oleh pneumonia
sebagai pembunuh balita nomor 1 di dunia. Berdasarkan data Badan PBB untuk Anak-
Anak (UNICEF), pada 2015 terdapat kurang lebih 14 persen dari 147.000 anak di
bawah usia 5 tahun di Indonesia meninggal karena pneumonia. Dari statistik tersebut,
dapat diartikan sebanyak 2-3 anak di bawah usia 5 tahun meninggal karena pneumonia
setiap jamnya. Hal tersebut menyebabkan pneumonia sebagai penyebab kematian
utama bagi anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia.
2.3 Etiologi
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Bakteri seperti Diplococus pneumonia,
Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza,
Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan Mycobacterium tuberculosis. Virus
seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti
Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides
immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia. Meskipun
hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab yang sering
adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan Pseudomonas
aeruginosa. Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda
dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan
patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun
gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.
Pneumonia adalah radang akut yang menyerang jaringan paru dan
sekitarnya. Pneumonia adalah manifestasi infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang
paling berat karena dapat menyebabkan kematian. Penyebab pneumonia adalah
berbagai macam virus, bakteri atau jamur. Bakteri penyebab pneumonia yang tersering
adalah pneumokokus (Streptococcus pneumonia), HiB (Haemophilus influenza type b)
dan stafilokokus (Staphylococcus aureus). Virus penyebab pneumonia sangat banyak,
misalnya rhinovirus, respiratory syncytial virus (RSV), virus influenza. Virus campak
(morbili) juga dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia.
2.4 Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi penyakit. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui
jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi
oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
2.6 Diagnosis
Diagnosis Bronkopneumonia
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-
menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh
nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan
grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk,
panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi
dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas,
batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga
> 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis.
Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan
cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-
anak kecil.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,
terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat
didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya
disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin,
terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara
klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis
dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi
antibiotik.
c. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum,
aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali
kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam
penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada
kurang dari 50% kasus.
Kriteria Diagnosis
Tanda-tanda bahwa balita mengalami pneumonia adalah terjadi peningkatan
frekuensi napas, sehingga anak tampak sesak. Selain itu jika diamati pada daerah dada,
tampak retraksi atau tarikan dinding dada bagian bawah setiap kali anak menarik napas.
Takipneu, yaitu napas cepat, merupakan tanda pneumonia yang penting, oleh sebab itu
kader kesehatan juga diajarkan untuk mengenali tanda awal pneumonia ini dengan cara
menghitung frekuensi napas selama 1 menit. Batasan frekuensi napas cepat pada bayi
kurang dari 2 bulan adalah lebih/sama dengan 60 kali per menit, pada bayi 2-12 bulan
adalah 50 kali per menit sedangkan usia 1-5 tahun adalah 40 kali per menit. Selain
takipneu dan retraksi, balita yang mengalami perburukan gejala ditandai dengan
gelisah, tidak mau makan/minum, kejang atau sianosis (kebiruan pada bibir) bahkan
penurunan kesadaran.
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan).
2.7 Penatalaksanaan
Untuk menanggulangi pneumonia ada 3 langkah utama yang dicanangkan oleh
WHO; yaitu proteksi balita, pencegahan pneumonia dan tata laksana pneumonia yang
tepat. Proteksi ditujukan untuk menyediakan lingkungan hidup yang sehat bagi balita,
yaitu nutrisi yang cukup, ASI ekslusif sampai bayi usia 6 bulan dan udara pernapasan
yang terbebas dari polusi (asap rokok, asap kendaraan, asap pabrik). Pemberian ASI
ekslusif dapat menurunkan kejadian pneumonia pada balita sebesar 20%.
Tata laksana yang tepat dimulai dari deteksi dini gejala pneumonia dan dengan
memberikan pengobatan yang cepat dan tepat pada balita yang mengalami pneumonia.
Akses terhadap layanan kesehatan dan ketersediaan obat serta oksigen merupakan hal
yang sangat penting. Ini merupakan suatu tantangan yang memerlukan perhatian pihak
pemerintah sebagai upaya menurunkan angka kematian balita.Tatalaksana pasien
pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik. Terapi suportif yang diberikan
pada penderita pneumonia adalah :
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan
terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan mengandung
gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana rutin
yang harus diberikan.
2.8 Kompliksi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi. Tidak jarang
bronkopenumonia berujung pada kematian.
2.9 Prognosis
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil
berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%.
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
2.10 Pencegahan
Pencegahan bayi dari sakit karena pneumonia terutama dilakukan dengan
memberikan imunisasi lengkap kepada bayi. Imunisasi yang lengkap mencakup
beberapa jenis imunisasi yang terkait dengan pneumonia dapat menurunkan kejadian
pneumonia sebesar 50%. Mengacu pada laporan John Hopkins Bloomberg School of
Public Health 2015: Pneumonia & Diarrhea Progress Report 2015, Indonesia adalah
salah satu dari negara dengan kasus pneumonia tertinggi yang belum memasukkan
vaksin pneumokokus sebagai vaksin program imunisasi rutin nasional. Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) telah merekomendasikan pemberian imunisasi PCV untuk
anak berumur 2 bulan hingga 5 tahun. Sementara itu beberapa negara seperti
Bangladesh, India, Kenya, Uganda, dan Zambia telah mengembangkan program
rencana hingga skala nasional untuk menggalakkan upaya penanggulangan pneumonia.
Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai jenis vaksinnya.
Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat mencegah pneumonia :
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus (Invasive
Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia adalah PCV-7
dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia
2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. vaksin influenza untuk mencegah influenza
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit
IDAI : Jakarta
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/memperingati-hari-pneumonia-
dunia
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/search?subject=pneumonia
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20330/Chapter%20II.pdf;jsess
ionid=4DB383AD0396A2224FFB6A77BB40A2C4?sequence=4