Anda di halaman 1dari 2

Melawan Korupsi dan Intoleransi

Korupsi dan intoleransi telah menjadi persoalan yang menggelisahkan sekaligus menguras
banyak energi bangsa sehingga Indonesia tidak akan kemana-mana bila kedua persoalan ini
tidak diselesaikan dengan segera, disamping persoalan keadilan dan kemiskinan yang mana
kesemuanya saling berkelindan dan menciptakan efek berantai.

Untuk mengatasi permasalahan ini, tentu pertama perlu dicari tahu apa-apa yang
melatarbelakangi orang untuk bertindak koruptif dan intoleran terhadap perbedaan.

Pertama, korupsi. Secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan melawan hukum,
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri
atau orang lain. Korupsi bukan semata soal uang, mengambil atau tidak mengakui hak orang
lain juga termasuk korupsi.

Meskipun cakupannya sangat luas, setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan
seseorang berlaku koruptif, diantaranya: faktor psikologis, faktor ekonomi, dan faktor
lingkungan.

Secara psikologis manusia cendrung untuk mencari kesenangan dan menjauhi penderitaan.
Uang sebagai salah satu sumber kesenganan dapat membuat seorang menjadi amoral dan
melakukan tindakan-tindakan koruptif untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

Di samping itu, lingkungan yang kurang baik dan pengawasan yang longgar dapat
mendorong orang yang awalnya tidak berniat untuk korupsi menjadi ikut terlibat di
dalamnya. Bukan semata karena niat, malainkan juga karena kesempatan.

Untuk itu, solusi untuk persoalan ini adalah dengan usaha terus-menerus untuk memperbaiki
ketiga aspek di atas.

Secara lebih spesifik, faktor psikologis dapat diatasi dengan mulai dari pendidikan semenjak
dini tentang moral dan karakter. Pendidikan yang dimaksud tentu bukan pendidikan bergaya
ceramah, melainkan dalam berbagai kegiatan-kegiatan produktif seperti lomba membuat
esay, membuat aplikasi pemerintahan, media pembelajaran, dsb.

Sehingga dengan begitu orang akan merasa dilibatkan secara langsung dalam upaya
pengentasan korupsi dan yang terpenting jauh dari membosankan.

Selanjutnya, faktor ekonomi dapat diatasi dengan memperbaiki kesejahteraan yakni dimulai
dengan kebijakan ekonomi yang berkeadilan untuk semua orang. Sebab persoalan korupsi
tidak semata pekerjaan para elit di tingkat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, melainkan
telah menjalar ke segala sendi kehidupan manusia di tingkat pertama yaitu diri sendiri,
keluarga, masyarakat (pemerintah daerah).

Tentu tidak akan seindah dalam gambaran ideal bila telah mengingatkan seseorang untuk
tidak korup sementara insting paling dasar untuk memenuhi kebutuhan sendiri sedang
terancam?
Terakhir, untuk faktor lingkungan dapat diatasi dengan mengkondisikan seseorang agar
selalu merasa bahwa dirinya selalu diawasi (panopticon), yakni dengan cara memperkuat
instrumen abstrak (teologis, moral) dan konkret (KPK, PPATK, Kepolisian, Pengadilan, E-
Gov, partisipasi masyarakat, dst).

Khusus tentang E-Gov, dengan kecanggihan teknologi sekarang seharusnya segala bentuk
transaksi keuangan dapat tercatat dan terpantau secara terbuka. Dengan demikian,
diharapakan akan semakin menurunkan potensi terjadinya kecurangan dan kerugian negara.

Kedua, terkait dengan semakin maraknya sikap intoleran belakangan ini yang sedikit
banyaknya dipengaruhi perkembangan media komunikasi, maka perlu adanya kontrol yang
tegas terhadap media ini.

Meskipun kemudian itu mengancam kebebasan bereskpresi, tapi menjadi paradoks dalam
demokrasi bila kebebasan yang dijamin oleh konstitusi tersebut dimanfaatkan oleh mereka
yang tidak toleran terhadap perbedaan. Bukankah kebebasan itu kemudian dapat memakan
tuannya sendiri?

Sejalan dengan itu, perlu juga dilakukan lewat sosialisasi secara berkelanjutan untuk
mendewasakan masyarakat untuk menyadari tentang batas-batas hak dan kewajibannya
mereka sendiri. Karena hak setiap individu selalu dibatasi oleh hak orang lain.

Kebebasan yang tidak terkontrol ini mungkin dapat dipahami karena setelah reformasi terjadi,
gelombang masuknya kecangihan teknologi informasi dan komunikasi menghantam bertubi
sehingga setiap orang tampak tidak siap dengan kebebasan yang mereka miliki.

Maka sekali lagi, perlu mendidik masyarakat untuk lebih bijak menggunakan media
komunikasi. Pun di tingkat elit seharusnya isu intoleransi ini tidak malah digunakan untuk
kepentingan pribadi untuk meraih kekuasaan. Sebab dampak yang ditimbulkannya akan
membekas sangat panjang di masa yang akan datang.

Entahlah apakah mereka memikirkan soal ini?

Wacana intoleransi juga tidak selalu harus dijawab dengan counter wacana, sebab seringkali
wacana yang dimunculkan dipergunakan untuk mengidentifikasi musuh (bersama) untuk
menciptakan identitas kolektif.

Seperti yang pernah diisyaratkan Jacques Lacan dalam kajian psikoanalisisnya, bahwa
identitas itu terbentuk dari menyadari the other (liyan). Maka solusi terbaik adalah
menjawabnya dengan kerja nyata; lewat pendidikan, festival-festival budaya, musik, tarian,
prestasi di tingkat lokal maupun dunia, dsb.

Karena sikap intoleran itu muncul boleh jadi karena kurangnya melihat dunia dan
ketidakmampuan melampaui suatu narasi intoleransi serta bias kognitif manusia itu sendir

Anda mungkin juga menyukai