Anda di halaman 1dari 27

MANAJEMEN FARMASI

TUGAS DAN FUNGSI APOTEKER

Dosen Pembimbing :
Dr. Dra. Lili Musnelina, M.Si.,Apt.

Disusun oleh :
Diah Ayu Larasati 17340166
Yeni DwiRatna C. 17340151
Yeni Gusnitasari 17340172
Suci Lestari 17340178

PRGRAM STUDI APOTEKER


INSTITUTE SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakangan


Tenaga kesehatan terdiri antara lain tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga
keperawatan dan sebagainya. Tenaga kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah No.51 Tahun
2009 terdiri dari Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker sebagai pelaku utama
pelayanan kefarmasian yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan
diberi wewenang sesuai kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat
dengan hak dan kewajibannya..
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pada saat ini telah bergeser orientasinya
dari obat (drug oriented) kepada pasien (patient oriented) yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Sebagai konsekuensi dari perubahan orientasi tersebut, Apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat
melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses
pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada
untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang
rasional (PP no 51, 2009).
Apoteker mempunyai peran profesional dalam berbagai bidang pekerjaan meliputi
regulasi dan pengelolaan obat, farmasi komunitas, farmasi rumah sakit, industri farmasi,
kegiatan akademik, pelatihan tenaga kesehatan lainnya,dan penelitian. Peran professional
dalam semua bidang pekerjaan tersebut adalah memastikan hasil terapi obat optimal, baik
dengan cara berkontribusi pada pembuatan, pasokan, dan pengendalian obat, maupun dengan
cara memberikan informasi dan saran kepada pembuat resep dan penggunaan produk-produk
farmasi. Apoteker merupakan profesional kesehatan paling mudah diakses oleh publik,
mereka menyediakan kebutuhan obat-obatan baik melalui resep atau pun tanpa resep. Selain
memastikan secara akurat pasokan produ-produk yang tepat, kegiatan profesional mereka juga
mencakup konseling pasien pada saat dispensing obat baik melalui resep maupun tanpa resep,
informasi obat kepada professional kesehatan lain, pasien dan masyarakat umum, dan
berpartisipasi dalam program promosi kesehatan. (WHO, 1994).
Profesi farmasi diakui penting sebagai penyedia layanan kesehatan di banyak negara
maju, akan tetapi di kebanyakan negara berkembang profesi farmasi masih kurang
dimanfaatkan (Azhar, dkk., 2009). Pada tahun 1997, Federation Internationale de
Pharmaceutiques (FIP) menerbitkan dokumen standar kualitas pelayanan farmasi sebagai
pedoman cara pelayanan farmasi yang baik (Good Pharmacy Practice), dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas praktik farmasi di seluruh negara (FIP, 1999). Selanjutnya pada tahun
1998, FIP menerbitkan dokumen cara pelayanan farmasi yang baik khusus untuk negara
sedang berkembang (Good Pharmacy Practice in Developing Countries) (FIP, 1998).
Indonesia melalui kerja sama Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan (Ditjen Yanfar dan Alkes), Departemen Kesehatan RI dengan organisasi profesi
ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) merespon kedua dokumen FIP di atas dengan
menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian, antara lain bertujuan menyediakan pedoman
praktik bagi apoteker dalam menjalankan profesi, dan untuk melindungi masyarakat dari
pelayanan kefarmasian yang tidak profesional (Menkes, 2004).

1.2 Rumus Masalah


a. Bagaimana realita tugas dan fungsi Apoteker di lapangan dibandingkan
dengan teorinya?
b. Apa saja pelayanan yang diberikan oleh Apoteker?

I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui realita tugas dan fungsi Apoteker di lapangan dibandingkan dengan
teorinya.
2. Untuk mengetahui pelayanan yang diberikan oleh Apoteker.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apoteker
Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai
Apoteker. Menurut WHO (1994), Apoteker mempunyai peran profesional dalam berbagai
bidang pekerjaan meliputi regulasi dan pengelolaan obat, farmasi komunitas, farmasi rumah
sakit, industri farmasi, kegiatan akademik, pelatihan tenaga kesehatan lainnya,dan penelitian.
Peran professional dalam semua bidang pekerjaan tersebut adalah memastikan hasil terapi
obat optimal, baik dengan cara berkontribusi pada pembuatan, pasokan, dan pengendalian
obat, maupun dengan cara memberikan informasi dan saran kepada pembuat resep dan
penggunaan produk-produk farmasi.
Apoteker Pedamping adalah Apoteker yang bekerja di Apotek di samping Apoteker
Pengelola Apotek dan atau / menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka Apotek.
Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola Apotek selama
Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara
terus-menerus, telah memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola
Apotek di Apotek lain (Depkes, 2004).

2.2 Tugas dan Fungsi Apoteker


2.2.1 Apotek
a. Pengertian Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh Apoteker (PP No. 51 tahun 2009).
1) Membuat visi dan misi.
2) Membuat strategi, kebijakan, program kerja dan sasarannya.
3) Membuat dan menetapkan peraturam atau SOP pada setiap fungsi kegiatan di apotek.
4) Membuat dan menentukan standar format evaluasi (form record) pada setiap fungsi
kegiatan di apotek.
5) Membuat sistim pengawasan dan pengendalian SOP dan program kerja pada setiap
fungsi kegiatan di apotek (Umar, M. 2005).
b. Pengelolaan Apotek
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, pengelolaan apotek meliputi:
1) Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan,
dan penyerahan obat serta bahan obat.
2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.
3) Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi, yang meliputi :
4) Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi yang diberikan baik kepada
dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
5) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau
suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya.

2.2.2 Instalasi Rumah Sakit


Instalasi Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat.
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety).

Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang
bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber
daya manusia, sarana, dan peralatan.
1. Kegiatan Manajerial
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai di rumah sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan
perbekalan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai merupakan suatu siklus kegiatan,
dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi yang diperlukan
bagi kegiatan pelayanan kefarmasian.
Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
meliputi:
a) Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan.
b) Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat
waktu dan efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi
dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
c) Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan
kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang
tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan
yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan,
penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok,
penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.

d) Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan
kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan
dengan baik.
e) Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum
dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan persyaratan
kefarmasian. persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan
keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
f) Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dari
tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu,
stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
g) Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh
BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary
recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
h) Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dapat dilakukan oleh instalasi farmasi harus bersama dengan komite/tim farmasi dan
terapi di rumah sakit.
i) Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk memudahkan
penelusuran kegiatan yang sudah berlalu.
2. Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
a. Pengkajian dan pelayanan Resep;
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila
ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Apoteker
harus melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik,
dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan
Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan,
riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat pasien.
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan
Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi
Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu
Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari
Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif
yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya
serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
e. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat
dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat
jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker,
rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
f. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi
Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi
Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang
terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
j. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik
untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks
terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.

2.2.3 Puskesmas
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes, 2014).
a. Perencanaan dan Permintaan Obat
Perencanaan pengadaan obat dan alkes di Puskesmas difasilitasi oleh dokumen
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Dokumen penunjang dalam
pengadaan obat dan alkes di Puskesmas antara lain adalah Buku Pemakaian Obat harian; Buku
Register Obat; dan Kartu Stok Obat. Penggunaan obat dalam pelayanan harian dicatat dalam
Buku Pemakaian Obat Harian. Buku ini mencakup informasi tentang item obat dan jumlah
obat yang digunakan setiap harinya. Jumlah pemakaian obat harian kemudian diakumulasikan
dalam Buku Register Obat. Buku ini berisi informasi tentang item dan jumlah obat yang
dipakai tiap bulan. Jumlah obat yang terpakai tiap bulan kemudian di rekapitulasi dalam Kartu
Stok tiap item obat. Dari pengisian Kartu Stok akan didapatkan informasi tentang item obat,
jumlah obat yang terpakai, dan sisa obat yang ada di gudang Puskesmas. Hasil pengisian
Kartu Stok merupakan dasar untuk perencanaan pengadaan menggunakan LPLPO. Dari
informasi yang ada pada Kartu Stok tiap-tiap item obat dapat diketahui ketersediaan obat di
Puskesmas, dan jumlah pemakaiannya tiap bulan, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar
untuk permintaan akan item obat beserta jumlah yang diminta.

b. Penerimaan Obat
LPLPO terdiri atas rangkap tiga, satu lembar yang berwarna putih dikirimkan unuk
Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, dua lembar yang berwarna kuning dan merah dikirimkan
pada Gudang Farmasi Kota/Kabupaten sebagai laporan penggunaan obat dan permintaan atas
obat. Item-item obat yang disetujui pengadaannya oleh Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten akan
dikirimkan pada Puskesmas yang bersangkutan setiap dua bulan sekali melalui Gudang
Farmasi Kota/Kabupaten. Lembar LPLPO yang berwarna kuning akan dikembalikan pada
Puskesmas sebagai arsip. Item-item obat yang diminta tetapi tidak dapat terpenuhi
pengadaannya akan disertakan keterangannya pada LPLPO.
Item obat dan alkes yang diterima dicocokkan dengan LPLPO, kemudian dilakukan
pengecekan terhadap tanggal kadaluarsa dan kondisi item. Obat dan alkes yang telah dicek
disimpan dalam gudang dengan kondisi First In first Out (FIFO). Penerimaan item obat dan
alkes dicatat dalam Kartu Stok.

c. Manajemen SDM
Apoteker berkoordinasi dengan kepala Puskesmas berperan dalam pengaturan jadwal
serta job description dari masing-masing SDM di kamar obat Puskesmas. Dalam hal
pengaturan jadwal misalnya, karena jam layanan Puskesmas pagi dan sore, maka perlu adanya
rolling SDM untuk ditempatkan pada jam pelayanan sore. Selain itu perlu diatur jadwal
penempatan SDM di kamar obat Puskesmas Pembantu di Kelurahan Kemayoran.
d. Pembuatan Protap Pelayanan Kefarmasian
Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian maka Apoteker bisa membuat prosedur
penerimaan resep, peracikan obat, penyerahan obat, dan pelayanan informasi obat. Prosedur
tetap ini bisa di lihat di Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Depkes, 2006).

2.2.4 Industri Farmasi


Menurut peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1799
MENKES/PER/XII/2010, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari
Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
Peran apoteker di industri farmasi seperti yang disarankan oleh World Health
Organization (WHO), yaitu Eight Star of Pharmacist yang meliputi :
a. Care Giver, apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk informasi obat, efek
samping obat dan lain-lain kepada profesi kesehatan. Perlu ada interaksi dengan
individu/kelompok di dalam industri (regulatory, QA/QC, produksi dll) dan
individu/kelompok di luar industri.
b. Decision maker, apoteker sebagai pengambil keputusan yang tepat untuk mengefisienkan
dan mengefektifkan sumber daya yang ada di industri.
c. Communicator, apoteker harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik
secara lisan maupun tulisan.
d. Leader, apoteker sebagai pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam mengatasi
berbagai permasalahan di industri dan memberikan bimbingan ke bawahannya dalam
mencapai sasaran industri.
e. Manager, apoteker sebagai pengelola seluruh sumber daya yang ada di industri farmasi
dan mampu mengakumulasikannya untuk meningkatkan kinerja industri dari waktu ke
waktu.
f. Long-life learner, apoteker belajar terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan.
g. Teacher, bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan dunia industri kepada sejawat apoteker atau lainnya.
h. Researcher, apoteker sebagai peneliti yang harus selalu melakukan riset dan mengetahui
perkembangan obat baru yang lebih baik dan bermanfaat untuk kesehatan masyarakat.
Peran tersebut diterapkan di dalam fungsi-fungsi industrial yang diperlukan, yaitu
manajemen produksi, pemastian/manajemen mutu (Quality Assurance), registrasi produk,
pemasaran produk (Product Manager), dan pengembangan produk (Research and
Development).
1. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Produksi
Penanggungjawab produksi (kepala bagian produksi/ manajer produksi) hendaklah
seorang Apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang sesuai,
memiliki pengalaman praktis paling sedikit 5 tahun bekerja di bagian produksi pabrik farmasi,
memiliki pengalaman dan pengetahuan di bagian pembuatan obat dan perencanaan produksi,
pengetahuan mengenai peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat, CPOB, penguasaan
bahasa asing yang baik, serta keterampilan dalam kepemimpinan yanag dibuktikan dengan
sertifikasi lembaga yang ditunjuk.
Manajer produksi bertanggungjawab atas terselenggaranya pembuatan obat agar obat
tersebut memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan dan dibuat dengan memperhatikan
pelaksanaan CPOB, dalam batas waktu dan biaya produksi yang ditetapkan.
Secara rinci, ruang lingkup tugas dan tanggung jawab seorang penanggungjawab
produksi adalah sebagai berikut:
a) Bertanggungjawab dalam memastikan bahwa obat diproduksi dan disimpan sesuai
prosedur sehingga memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan.
b) Bertanggung jawab atas terlaksananya pembuatan obat dari perolehan bahan,
pengolahan, pengemasan, sampai pengiriman obat ke gudang jadi.
c) Memberikan pengarahan teknis dan administratif untuk semua pelaksanaan operasi di
gudang, penimbangan, pengolahan, dan pengemasan.
d) Bersama-sama dengan manajer perencanaan dan pengadaan bahan menyusun rencana
produksi.
e) Bertanggung jawab memeriksa catatan pengolahan bets dan catatan pengemasan bets
serta menjamin bahwa produksi dilaksanakan sesuai dengan prosedur pengolahan
bets dan prosedur pengemasan bets.
f) Berdiskusi dengan manajer pengawasan mutu jika ada kegagalan. Bertanggung jawab
atas peralatan yang digunakan dalam proses produksi, peralatan yang digunakan
harus selalu dikualifikasi dan divalidasi dengan benar.
g) Ikut membantu pelaksanaan inspeksi CPOB dan menjaga pelaksanaan serta
pematuhan terhadap peraturan CPOB.
h) Bertanggung jawab atas kebersihan di daerah produksi.
i) Bertanggung jawab untuk menjaga moral kerja yang tinggi, kemampuan
pengembangan, dan pelatihan serta melakukan evaluasi tahunan atas semua
karyawan yang dibawahinya.
j) Membuat laporan bulanan.
k) Membuat anggaran tahunan untuk bagian produksi.
l) Mengusahakan perbaikan biaya produksi.
m) Menjaga hubungan kerja yang baik dengan Penanggungjawab Pengawasan Mutu,
Teknik dan Perencanaan dan Pengadaan Bahan serta Pemasaran.
n) Berhubungan dengan pemerintah, dalam hal ini Pengawas Obat dan Makanan
berkaitan dengan kualitas obat.
Kepala Bagian Produksi hendaknya selalu menjaga hubungan kerja yang baik dengan
Manajer Pengawasan Mutu, Manajer Pemastian Mutu, Manajer Teknik, Manajer Perencanaan
dan Pengadaan Bahan serta Manajer Pemasaran. Berhubungan baik dengan pemerintah, dalam
hal ini Pengawas Obat dan Makanan sehubungan dengan kualitas obat.

2. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pengawasan Mutu (Quality Control)


Pengawasan mutu merupakan bagian yang penting dari CPOB untuk memberikan
kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan
pemakaiannya. Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analitik yang
dilakukan di laboratorium, termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan
awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini juga mencakup uji stabilitas,
program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi,
penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta
metode pengujiaannya.
Bagian pengawasan mutu dalam suatu pabrik obat bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa:
a) Bahan awal untuk produksi obat memenuhi spesifikasi yang ditetapkan untuk
identitas, kekuatan, kemurnian, kualitas, dan keamanannya.
b) Tahapan produksi obat telah dilaksanakan sesuai prosedur yang ditetapkan dan telah
divalidasi sebelumnya antara lain melalui evaluasi, dokumentasi, produksi terlebih
dahulu.
c) Semua pengawasan selama proses dan pemeriksaan laboratorium terhadap suatu
batch obat telah dilaksanakan dan batch tersebut memenuhi spesifikasi yang
ditetapkan sebelum didistribusikan.
d) Suatu batch obat memenuhi persyaratan mutunya selama waktu peredaran yang
ditetapkan.
Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu
hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan
digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan
mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk melakukan pengambilan sampel dan
penyelidikan bila diperlukan.
Seorang penanggung jawab pengawasan mutu (Kepala Bagian Pengawasan Mutu /
Manajer Pengawasan Mutu) adalah seorang apoteker yang terkualifikasi, memperoleh
pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam bidang pembuatan
obat dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara
profesional. Penanggung jawab pengawasan mutu harus seorang apoteker dengan pengalaman
praktis minimal 2 tahun bekerja di bagian pengawasan mutu pabrik farmasi, memiliki
pengalaman dan pengetahuan di bidang analisis kimia dan mikrobiologi, pemeriksaan bahan
pengemas, CPOB dan keterampilan dalam kepemimpinan.
Seorang penanggung jawab pengawasan mutu memiliki kewenangan dan tanggung
jawab penuh dalam pengawasan mutu, termasuk:
1) Menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk.
2) Memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan.
3) Memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan contoh, metode
pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain.
4) Memberikan persetujuan dan memantau semua kontrak analisis.
5) Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian pengawasan
mutu.
6) Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
7) Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil didepartemennya
dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.

3. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pemastian Mutu (Quality Assurance)


Seorang penanggung jawab Pemastian Mutu/Manajemen Mutu (Quality Assurance)
adalah seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang sesuai,
memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam bidang pembuatan obat dan keterampilan
manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional.
Penanggung jawab Pemastian Mutu/Manajemen Mutu harus seorang apoteker atau
Magister Sains atau Doktor Sains dan memiliki pengalaman paling sedikit 5 tahun sebagai
apoteker dalam suatu perusahaan farmasi, pengalaman praktek dalam analisis fisika dan
kimia, pengalaman dalam menggunakan metode dan peralatan laboratorium modern,
kemampuan untuk menguraikan metode analisis serta fasih berbahasa inggris, kesanggupan
dalam manajemen dan motivasi personalia serta memiliki pengetahuan yang baik dalam
proses pembuatan obat dan CPOB baik nasional maupun internasional.
Penanggung jawab Pemastian Mutu memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh
dalam sistem mutu, termasuk:
1) Memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) sistem mutu.
2) Ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan acuan mutu perusahaan.
3) Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala.
4) Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian pengawasan mutu.
5) Memprakarsai dan mengawasi audit eksternal (audit terhadap pemasok).
6) Memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi.
7) Memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Otoritas Pengawasan Obat
(OPO) yang berkaitan dengan mutu produk jadi.
8) Mengevaluasi/mengkaji catatan bets.
9) Meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan mempertimbangkan semua
faktor terkait.
10) Memantau kinerja sistem mutu dan prosedur serta menilai efektifitasnya. Penekanan
difokuskan pada pencegahan kerugian/cacat dan realisasi peluang perbaikan yang
berkesinambungan.
11) Menyiapkan prosedur dalam penerapan CPOB dalam pembuatan obat, pengemasan,
penyimpanan dan pengawasan mutu.
12) Memastikan pemenuhan peraturan pemerintah dan standar perusahaan.
13) Melaksanakan inspeksi diri dan menyelenggarakan pelatihan CPOB.
14) Menyusun prosedur tetap (Protap) dan mengelola sistem protap.
15) Melakukan penilaian terhadap keluhan teknik farmasi dan mengambil keputusan serta
tindakan atas hasil penilaian, bila perlu bekerja sama dengan bagian lain.
16) Memastikan penyelanggaraan validasi proses pembuatan dan sistem pelayanan.
17) Memantau penyimpangan bets.
18) Mengawasi sistem pengendalian perubahan dan menyetujui perubahan.
19) Menyetujui prosedur pengolahan induk dan prosedur pengemasan induk.
20) Menyetujui atau menolak pasokan bahan baku.
21) Bertanggung jawab dalam pelulusan atau penolakan obat jadi sesuai Protap terkait.

4. Apoteker dalam Proses Registrasi Obat dan Desain Kemasan


Unit ini dikepalai oleh seorang apoteker yang membawahi Packaging Specialist and
Documentation and Registration Officer. Unit ini bertanggung jawab terhadap pengembangan
kemasan (baik untuk produk baru dan produk lama) serta menyiapkan dokumen-dokumen
untuk registrasi. Selain itu juga bertugas membuat spesifikasi dan prosedur pemeriksaan
bahan kemas, dan membuat Master batch bekerja sama dengan kepala unit formulasi.
Sebuah obat harus memiliki Nomor Izin Edar (NIE) sebelum dapat dipasarkan. Untuk
memperoleh NIE sebuah industri farmasi harus mendaftarkan produknya ke BPOM dan
melalui prosedur registrasi yang berlaku. Dalam hal inilah seorang apoteker sebagai seseorang
yang kompeten di bidang obat berperan penting. Selain itu, apoteker sebagai seseorang yang
mengetahui peraturan mengenai kemasan dan label harus mampu dalam mengatur desain
kemasan yang benar. Uraian tugas dan tanggung jawab bagian registrasi dan desain kemasan:
1) Bertanggung jawab dalam melakukan semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan
pendaftaran semua produk / obat. Baik pendaftaran produk baru, atau pendaftaran ulang
suatu produk.
2) Bertanggung jawab dalam melengkapi dokumen registrasi dengan data valid dan data
yang sebenarnya.
3) Bertanggung jawab dalam melakukan desain kemasan yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

5. Apoteker sebagai Tenaga Pemasaran


Dalam pelaksanaan peran apoteker sebagai tenaga pemasaran/ritel perlu diakukan studi
kelayakan terlebih dahulu. Studi kelayakan merupakan suatu kajian sebagai bagian dari
perencanaan yang dilakukan menyeluruh mengenai suatu usaha dalam proses pengambilan
keputusan investasi yang mengawali resiko yang belum jelas. Melalui studi kelayakan
berbagai hal yang diperkirakan dapat menyebabkan kegagalan, dapat diantisipasi lebih awal.
Ritel adalah keseluruhan aktivitas bisnis yang terkait dengan penjualan dan pemberian
layanan kepada konsumen untuk penggunaan yang sifatnya individu sebagai pribadi maupun
keluarga. Agar sukses di dunia ritel maka ritel harus dapat menawarkan produk yang tepat,
dengan harga yang tepat, di tempat yang tepat, dan waktu yang tepat.
Fungsi Ritel adalah sebagai berikut :
1) Menyediakan berbagai jenis produk dan jasa
Konsumen selalu mempunyai pilihan sendiri terhadap bebagai jenis produk dan jasa.
Untuk itu, dalam fungsinya sebagai peritel, mereka menyediakan beraneka ragan produk dan
jasa yang dibutuhkan konsumen.
2) Memecah
Memecah beberapa ukuran produk menjadi lebih kecil, yang akhirnya menguntungkan
produsen dan konsumen. Jika produsen memproduksi barang dan jasa dalam ukuran besar,
maka harga barang dan jasa tersebut menjadi tinggi. Sementara konsumen juga membutuhkan
barang dan jasa tersebut dalam ukuran yang lebih kecil dan harga yang lebih rendah.
Kemudian peritel menawarkan produk-produk tersebut dalam jumlah kecil yang disesuaikan
dengan pola konsumsi para konsumen secara individual.
3) Penyimpanan Persediaan
Peritel juga dapat berposisi sebagai perusahaan yang menyimpan persediaan dengan
ukuran yang lebih kecil. Dalam hal ini, pelanggan akan diuntungkan karena terdapat jaminan
ketersediaan barang dan jasa yang disimpan peritel.
4) Penyedia Jasa
Dengan adanya ritel, maka konsumen akan mendapatkan kemudahan dalam
mengonsumsi produk-produk yang dihasilkan produsen. Selain itu, ritel juga dapat mengantar
hingga dekat ke tempat konsumen, menyediakan jasa yang memudahkan konsumen dalam
membeli dan menggunakan produk dengan segera dan membayar belakangan.
5) Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa
Dengan adanya beberapa jenis produk dan jasa, maka untuk suatu aktivitas pelanggan
mungkin memerlukan beberapa barang. Dengan menjalankanfungsi-fungsi tersebut, peritel
dapat berinteraksi dengan konsumen akhir dengan memberikan nilai tambah bagi produk atau
barang.
Kemajuan industri farmasi sangat ditentukan oleh strategi dan tenaga pemasaran yang
dimiliki perusahaan. Apoteker sebagai seorang yang kompeten di bidang obat dapat berperan
sebagai Product Manager. Apoteker sangat potensial dalam memperkenalkan produk industri
pada masyarakat (obat bebas/OTC) atau pada para dokter (obat ethical) karena ilmu
kefarmasian dan managemen yang dikuasainya.

6. Apoteker dalam Riset dan Pengembangan Produk


Seorang penanggung jawab riset dan pengembangan produk harus seorang apoteker
yang memiliki pengetahuan memadai mengenai zat aktif dan berbagai zat pembantu yang
akan digunakan dalam pengembangan formula. Uraian tugas dan tanggung jawab penanggung
jawab riset dan pengembangan produk adalah:
a) Bertanggung jawab dalam pengembangan produk baru sesuai dengan permintaan
marketing.
b) Bertanggung jawab untuk melakukan efisiensi biaya produksi dengan membuat formulasi
bahan yang memerlukan biaya rendah tetapi tetap menjaga kualitas.
c) Bertanggung jawab untuk memperbaiki formula obat jika ditemukan permasalahan dalam
produksi.
d) Bertanggung jawab untuk pengembangan sarana penunjang yang dibutuhkan untuk
kelancaran produksi (seperti sistem tata udara, sistem pengolahan air, sistem pengolahan
limbah, dan lain-lain).

2.2.5 Pemerintahan
1. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Unsur Organisasi Balai POM terdiri dari :
a. Bidang Pengujian Produk Teurapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan
Produk Komplemen.
Bidang Pengujian Produk Teurapetik, Narkotika, Obat Tradisional, Kosmetik dan
Produk Komplemen mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta
evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian
dan penilaian mutu di bidang produk teurapetik, narkotika, obat tradisional, kosmetik dan
produk komplemen.
b. Bidang Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya
Bidang Pengujian Pangan dan Bahan Berbahaya mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan
pemeriksaan secara laboratorium, pengujian mutu di bidang pangan dan bahan berbahaya.

c. Bidang Pengujian Mikrobiologi


Bidang Pengujian Mikrobiologi mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana
dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan secara
laboratorium, pengujian dan penilaian mutu secara mikrobiologi.

d. Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan


Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan mempunyai tugas melaksanakan penyusunan
rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan
setempat, pengambilan contoh untuk pengujian, dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi
dan instansi kesehatan serta penyidikan kasus pelanggaran hukum di bidang produk
teurapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik, produk
komplemen, pangan dan bahan berbahaya. Dalam melaksanakan tugas Bidang Pemeriksaan
dan Penyidikan menyelenggarakan fungsi:
1.) Penyusunan rencana dan program pemeriksaan dan penyidikan obat dan makanan.
2.) Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana
produksi, distribusi dan instansi kesehatan di bidang produk teurapetik, narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.
3.) Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana
produksi dan distribusi di bidang pangan dan bahan berbahaya.
4.) Pelaksanaan penyidikan terhadap kasus pelanggaran hukum.
5.) Evaluasi dan penyusunan laporan pemeriksaan, penyidikan obat dan makanan.

Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan ini terdiri dari :


1) Seksi Pemeriksaan, mempunyai tugas melakukan pemeriksaan setempat, pengambilan
contoh untuk pengujian, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi produk teurapetik,
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik dan produk
komplemen.
2) Seksi Penyidikan, mempunyai tugas melakukan penyidikan terhadap kasus
pelanggaran hukum di bidang produk teurapetik, narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lain, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan
berbahaya.
e. Dinas Kesehatan
Apoteker mempunyai tugas pokok melaksanakan pekerjaan kefarmasian yang
meliputi penyiapan rencana kefarmasian dan pengelolaan perbekalan farmasi.
Fungsi apoteker antara lain:
1) Membuat kerangka acuan dalam rangka penyiapan rencana kegiatan kefarmasian.
2) Mengklasifikasikan perbekalan farmasi dalam rangka pemilihan perbekalan farmasi.
3) Inventarisasi pemasok perbekalan farmasi dalam rangka pemilihan perbekalan farmasi.
4) Mengolah data dalam rangka perencanaan perbekalan farmasi.
5) Menyusun perbekalan farmasi dalam rangka penyimpanan perbekalan farmasi.
6) Merekapitulasi daftar usulan perbekalan farmasi dalam rangka penghapusan perbekalan
farmasi. (Permenkes RI No. 377/Menkes/Per/V/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan
Fungsional Apoteker dan angka kredit).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pelayanan yang diberikan Apoteker


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
a. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila
ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Apoteker
harus melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik,
dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan,
riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat pasien.
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan
Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi
Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu
Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari
Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif
yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya
serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
e. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat
dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat
jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker,
rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
f. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi
Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO
adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD).
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi
Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang
terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO yaitu:
1) mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat;
2) membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu;
3) memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
4) menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.

j. Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik
untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks
terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
3.2 Realita Tugas dan Fungsi Apoteker di Lapangan dibandingkan dengan
Teorinya
Berdasarkan peraturan pemerintah republik indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang
pekerjaan kefarmasian pada pasal 21 ayat (2) yaitu penyerahan dan pelayanan obat
berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. Tetapi di Indonesia, kenyataan
menunjukkan bahwa Apoteker sebagai peran sentral dan bertanggung jawab penuh dalam
memberikan informasi obat kepada masyarakat belum melaksanakan dengan baik, bahkan
dapat disebut kesenjangan ini terlalu lebar. Dalam Undang–Undang sudah jelas sekali
disebutkan bahwa pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat merupakan
pekerjaan kefarmasian. Namun fakta yang ada di lapangan yaitu Apotek dan Rumah Sakit,
seringkali peran farmasis dipertanyakan fungsinya dalam upaya kesehatan pasien. Apoteker
seringkali tidak melakukan pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat.
Faktanya di Apotek yang melakukan pelayanan obat atas resep dokter pelayanan
informasi obat adalah Asisten Apoteker atau pegawai Apotek yang hanya lulusan SMK
Farmasi saja, karena Apoteker tidak datang tiap hari di Apotek melainkan sebulan hanya 1 kali
datang ke Apotek dan itu pun hanya beberapa jam. Umumnya sebagian besar Apoteker
bukanlah sebagai Pemilik Sarana apotek (PSA). Mereka bekerja hanya sebagai penanggung
jawab, selebihnya yang berperan aktif adalah PSA. Sehingga bekerja di apotek bukan sebagai
pekerjaan pokok tetapi pekerjaan sambilan. Waktu kerja mereka lebih difokuskan dan
dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya. Maka tak heran bila seorang Apoteker bisa bekerja di
beberapa tempat atau berwiraswasta. Jam kerja di Apotek biasa mereka lakukan setelah waktu
kerja pokok mereka selesai.
Banyak sekali Apoteker yang belum secara utuh menjalankan fungsinya sehingga
mengakibatkan masyarakat awam (pasien) kurang mengenal Profesi Apoteker, bahkan oleh
para tenaga kesehatan farmasis/apoteker masih dipandang sebelah mata. Sementara itu di
dalam Rumah Sakit Apoteker masih sedikit atau tidak banyak yang melakukan tugasnya
secara utuh kerena kebanyakan rumah sakit masih tenaga apoteker masih sedikit atau di satu
rumah sakit hanya ada 1 atau beberapa saja Apotekernya dan tidak banyak. Dengan sedikitnya
Apoteker di rumah sakit, maka apoteker tidak bisa mendampingi pasien dalam penggunaan
obat yang baik.
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan realiata tugas dan fungsi Apoteker di lapangan dibandingkan dengan


teorinya, pada kenyataan menunjukkan bahwa Apoteker sebagai peran sentral dan
bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat belum
melaksanakan dengan baik, bahkan dapat disebut kesenjangan ini terlalu lebar. Tetapi dalam
bidang pemerintah seperti BPOM dan Dinas Kesehatan, Apoteker sudah melakukan sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam mendampingi, memberikan
konseling, membantu penderita mencegah dan mengendalikan komplikasi yang mungkin
timbul, mencegah dan mengendalikan efek samping obat, menyesuaikan regimen dan dosis
obat.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, 1-23,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/Menkes/Sk/X/2004, Tentang Standarpelayanan Farmasi Di Rumah Sakit, Jakarta.

Depkes RI, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Depkes Ri, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Departemen Kesehatan Ri: Jakarta.
Departemen Kesehatan. 2014, Peraturan Menteri Kesehatan No. 35/ 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Depkes Ri. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72/2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. Departemen kesehatan republic
Indonesia. Jakarta

Fip, 1999. Joint Statement By The International Pharmaceutical Federation And The World
Self-Medication Industry: Responsible Self-Medication. Fip & Wsmi, P.1-2.

Umar, M., 2005 , Manajemen Apotik Praktis , 65, 67-69, CV Ar-Rahman; Solo.

Anda mungkin juga menyukai