Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

“ KERAJAAN SRIWIJAYA”

Disusun Oleh :
Harvey Pratama Putra (22)

Kelas :
XI RPL 3

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN TEKNOLOGI INFORMASI (SMK TI)

BALI GLOBAL DENPASAR

2018 / 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya. Adapun judul makalah yang penulis
ajukan adalah “KERAJAAN SRIWIJAYA”

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah
Indonesia. Dalam mempersiapkan, menyusun, dan menyelesaikan makalah ini, penulis tidak lepas dari
berbagai kesulitan dan hambatan yang dihadapi.

Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan,
untuk itu penulis mengharapkan saran, kritik, serta masukannya yang bersifat membangun tentunya demi
perbaikan dan pengembangan di dalam menyusun makalah di masa mendatang.

Denpasar, Juli 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................ 1


1.2 Rumusan masalah....................................................................... 1
1.3 Tujuan......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Historiografi…………………………………………………… 2
2.2 Sumber Sejarah………………………………………………… 3
2.3 Kehidupan Politik……………………………………………… 4
2.4 Struktur Birokrasi……………………………………………… 5
2.5 Kehidupan Ekonomi…………………………………………… 6
2.6 Kehidupan Sosial dan Budaya………………………………… 7
2.7 Hubungan Regional dan Luar Negeri………………………… 9
2.8 Masa Keemasan……………………………………………… 10
2.9 Masa Kemunduran…………………………………………… 11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………… 12
3.2 Saran…………………………………………………………… 12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut,
hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar pulau.
Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan
yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh
sampai ke luar wilayah Indonesia.

Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui laut
antara Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China dengan
Romawi telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk
wilayah Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang
China dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara Indonesia dan China beserta India.

Melalui hubungan itu juga, berkembang kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh para
pedagang di Indonesia. Dalam perkembangan hubungan perdagangan antara Indonesia dan India,
lambat laun agama Hindu dan Budha masuk dan tersebar di Indonesia serta dianut oleh raja-raja
dan para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-Budha tersebar ke
lingkungan rakyat biasa.

Hindu-Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para
musafir dari India. Raja-raja dan para bangsawan yang pertama kali menganut agama ini kemudian
membangun kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha seperti Kerajaan Kutai yang terletak
di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Holing, Kerajaan Melayu
di Sumatra Selatan dan berpusat di Jambi, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan
Kediri, Kerajaan Singasari, Kerajaan Bali dan Pajajaran, serta Kerajaan Majapahit.

Masing-masing kerajaan tentu memiliki sejarah dan peninggalan-peninggalan yang harus


kita ketahui. Salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang terletak di Sumatera Selatan
dan beribukota di Palembang ini memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk kita ketahui seperti
historiografi, sejarah berdirinya, lokasi kerajaan, prasasti-prasasti peninggalan, hubungan regional
dan luar negeri, masa kejayaannya, masa kemunduran maupun aspek-aspek kehidupan apa saja
yang terkandung dalam kerajaan ini.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya?
b. Di mana lokasi Kerajaan Sriwijaya?
c. Dari manakah sumber-sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya?
d. Apa sajakah bukti-bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya?
e. Bagaimana hubungan regional dan luar negeri Kerajaan Sriwijaya?
f. Siapakah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya?
g. Aspek kehidupan apa saja yang terkandung di dalam Kerajaan?
h. Apa yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan?

1.3 Tujuan
a. Setelah mempelajari makalah ini, pembaca diharapkan :
b. Mengetahui sejarah berdiri dan letak Kerajaan Sriwijaya.
c. Mengetahui bukti-bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya.
d. Mengetahui silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Sriwijaya.
e. Mengetahui aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya.
f. Mengetahui dan mampu menjelaskan penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Historiografi

Nama Kerajaan : Sriwijaya

Ibukota : Palembang

Bahasa : Melayu Kuno, Sansekerta

Agama : Budha, Hindu

Pemerintahan : Monarki

Sejarah : 1. Didirikan pada tahun 600-an M

2. Invasi Majapahit tahun 1300-an M

Mata Uang : Koin emas dan perak

Lokasi Kerajaan : Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa
kejayaan kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di
wilayah Indonesia, tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar
Indonesia mengenal Kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak
Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan jalur perdagangan antar
bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu adalah jalur
perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina
dengan India maupun Romawi.

George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le


Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan
bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih
lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak ibukota Sriwijaya adalah
Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam
karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled
from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah
Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai
Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.

Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan


Sriwijaya semakin meluas. Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda,
Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat
(Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra.

2.2 Sumber Sejarah

Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita
asing dan prasasti-prasasti.

 Sumber dari Luar Negeri


o Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada
tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari
seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha
di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya
untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah
lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama
beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke
bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang
datang secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.

o Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza,
Sabay atau Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan
tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya
merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung
adalah ditemukannya perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal
sementara di pusat Kerajaan Sriwijaya.

o Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari
kerajaan-kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan
Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti
yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan
bahwa Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan
5 desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para
mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di
samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga
menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India
Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai
Selat Malaka.

o Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih
merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni
Kern, pada tahun 1913 M telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur,
prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu,
Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang
raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.

 Sumber Lokal atau Dalam Negeri


Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari
Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar menggunakan
huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
o Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan
tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama
dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang
berjalan kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi
Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau
Bangka.
o Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya
bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil
menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya
menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan
adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk
perdagangan.
o Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan
Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
o Prasasti Karang Berahi
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi,
yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
o Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor
yang difungsikan untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
o Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari
Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan
Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa
meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra.
Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa
berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa
Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
o Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M.
Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular
kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar
air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan
upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu,
pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui
cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu
biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan
pusat Kerajaan Sriwijaya.
o Negara Maritim
Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi kerajaan
Maritim, perluasan kerajaan dilakukan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat
Malaka dan Selat Sunda yang merupakan jalur perdagangan dan pelayaran yang
sangat penting. Keberhasilan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu menjadikan
Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia
yang melalui Asia Tenggara.

Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas


pelayaran dan perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang
untuk singgah di pusat atau di bandar-bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin
ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan menjadikan Sriwijaya sebagai
tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para
pedagang dari Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar
wilayah Indonesia, sampai ke China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk
Persia di sebelah barat.

2.3 Kehidupan Politik


Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun 664
M dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya
hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya
mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki Semenanjung
Malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau
Jawa, Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai
seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan
Sriwijaya. Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
3. Ekachattra, artinya mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.

Berikut daftar silsilah para Raja Kerajaan Sriwijaya :

1. Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti


Talangtuo 684 M)
Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan
Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang
Sri Yayanaga telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah
Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah
mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.

2. Cri Indrawarman (berita Cina, 724 M)


3. Rudrawikrama (berita Cina, 728 M)
4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)
5. Maharaja (berita Arab, 851 M)
6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)

Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami


masa kejayaannya. Pada awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan
Syailendra (Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra,
antara Balaputradewa dan Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai
Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan
itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja
Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan,
sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat
menjadi raja.

7. Cri Udayadityawarman (berita Cina, 960 M)


8. Cri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)
9. Cri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M)
10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)
11. Cri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)

Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan


Chola. Di bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil
merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.
Namun, pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja
Sanggrama Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.

2.4 Struktur Birokrasi


Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja
berperan penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat
memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi
hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.
Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap
dengan perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu,
ditemukan prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa
antarwarga. Hal yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-
kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun
ada pendapat yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga
raja yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang
berkuasa.
2.5 Kehidupan Ekonomi

Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia
Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan. Karena
banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan,
istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan
perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu
di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan
berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan
lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang
dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra.

Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada,
pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu
sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu,
sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.

2.6 Kehidupan Sosial dan Budaya


Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan pusat
agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang berkembang di
Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut berita dari Tibet, seorang pendeta
bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar agama Budha dari
seorang guru bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar
India.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang,
Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim
yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama. Prasasti
dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti
Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs
Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Peninggalan sejarah Kerajaan
Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi
Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi,
Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti
yang ditemukan adalah Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau,
ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.

2.7 Hubungan Regional dan Luar Negeri


Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa
menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra,
Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat
Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal
yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya
sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang
akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan
sumber ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal
ini. Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra,
Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh Sriwijaya mulai
menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan Jawa, pertama
dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan berpindah dari
Palembang ke Jambi.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir
kerajaan, walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi
tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama dalam
bidang kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa raja
Balaputradewa mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan
dinasti Chola di India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-
11. Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan
Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan sebuah
biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan membuat keduanya bermusuhan.Raja
Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama
tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil
merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama Wijayatunggawarman
berhasil ditawan.

2.8 Masa Keemasan

Pada paruh pertama abad ke-10 yaitu antara masa jatuhnya Dinasti Tang dan naiknya
dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan
negeri kaya Guangdong, Kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan
dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

2.9 Masa Kemunduran

Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan
Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola
tidak berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat
terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan
yang berbasiskan pada pertanian.

Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta
besar ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang
ke Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya
sebagai pusat kerajaan.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-
Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat
dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk
agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini
pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-
pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu wilayah
Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia
(Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak),
Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-
fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).

Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan
Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari,
memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di
selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.

Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga
memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan
Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung
Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan
Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya.

Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya
akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan.
Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh
pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra
berpindah agama Islam.

Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya
terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan
oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.

Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan


Malaka di Semenanjung Malaysia.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Hindu terbesar di Indonesia, bahkan
dijuluki sebagai pusat agama Hindu di luar India. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat
kuat dan kaya raya. Terbukti dari sebutan negara maritimnya. Sejarah Kerajaan Sriwijaya dapat
diakses dari prasasti-prasasti peninggalan kerajaan baik di dalam maupun di lur negeri serta dari
berita-berita asing.
3.2 Saran
Dari keberadaanya kerajaan Sriwijaya di wilayah kita pada masa yang lalu. Maka kita
wajib mensyukurinya. Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan
hati yang tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan memelihara
budaya nenek moyang kita. Jika kita ikut berpartisipasi dalam menjamin kelestariannya berarti kita
ikut mengangkat derajat dan jati diri bangsa. Oleh karena itu marilah kita bersama – sama menjaga
dan memelihara peninggalan budaya bangsa yang menjadi kebanggaan kita semua
DAFTAR PUSTAKA

https://kumpulanmakalahdotblog.wordpress.com/2018/01/16/makalah-kerajaan-sriwijaya/

http://ganangalfianto.blogspot.com/2015/04/makalah-kerajaan-sriwijaya-dan-kalingga.html

http://irwanseptiawan90.blogspot.com/2015/05/makalah-kerajaan-sriwijaya-zona-iailm.html

Anda mungkin juga menyukai