Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN RESMI KIMIA KOORDINASI

STOIKIOMETRI KOMPLEKS AMMIN-TEMBAGA (II)

Oleh:
Fredy Hermawan 652015015

Program Studi Kimia


FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
Nama/NIM : Fredy Hermawan

Judul : Stoikiometri kompleks ammin-tembaga (II)


Tanggal Praktikum : 16 Maret 2017

Dasar Teori :

Senyawa Tembaga

Tembaga adalah unsur kimia yang diberi lambang Cu (Latin: cuprum) dalam suatu
Sistem Periodik Unsur (SPU) tembaga termasuk dalam golongan 11dan menempati posisi
dengan nomor atom 29 dan mempunyai massa atom 63,546 (Cotton, 1989).

Tembaga dalah logam merah-muda, yang lunak, dapat ditempa, dan liat. Ia melebur
pada 10380C. Karena potensial elektroda standarnya positif (+0,34 V untuk pasangan
Cu/Cu2+), ia tak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer, meskipun dengan adanya
oksigen ia bisa larut sedikit (Svehla, 1990).

Tembaga adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa dan liat. Melebur pada
0
1038 C. Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam yang paling ringan dan paling aktif.
Cu+ mengalami disproporsionasi secara spontan pada keadaan standar (baku). Hal ini bukan
berarti larutan senyawa Cu(I) tidak mungkin terbentuk. Untuk menilai pada keadaan
bagaimana mereka ditemukan, yaitu jika kita mencoba membuat (Cu+) cukup banyak pada
larutan air, Cu2+ akan berada pada jumlah banyak (sebab konsentrasinya harus sekitar dua
juta dikalikan pangkat dua dari Cu+. Disproporsionasi akan menajdi sempurna. Di lain pihak
jika Cu+ dijaga sangat rendah (seperti pada zat yang sedikit larut atau ion kompleks mantap),
Cu2+ sangat kecil dan tembaga (I) menjadi mantap (Petrucci, Ralph H, 1987).

Tembaga (I) seperti terdapat dalam CuI dan Cu(CN) memiliki bentuk stereokimia
tetrahedral, sedangkan CuII memiliki bentuk yang lebih beragam. Segi empat untuk CuO(s),
CuCO atau CuCldan oktahedral terdistorsi dalam ikatan trans yang lebih panjang sebagai
contoh Cu(H2O) dan CuCl2(s) . Secara umum garam tembaga (I) tidak larut dalam air (Cotton
and Wikinson. 1989).

Senyawa-senyawa tembaga (II), yang dapat diturunkan dari tembaga (II) oksida, CuO
hitam. Garam-garam tembaga (II) umumnya berwarna biru, baik dalam bentuk hidrat, padat,
muapun dalam larutan-air. Warna ini benar-benar khas hanya untuk ion tetraakuokuprat (II)
[Cu (H2O)4]2+ saja. Garam-garam tembaga (II) anhidrat, seperti tembaga (II) sulfat anhidrat
CuSO4, berwarna putih (atau sedikit kuning). Senyawa-senyawa Cu (I) berwarna putih
kecuali oksidasinya merah. Sedangkan senyawa Cu (II) hidratnya biru dan anhidratnya abu-
abu. Senyawa-senyawa Cu (II) lebih stabil dalam larutan. Mereka beracun dan mengion yang
berwarna gelap (biru gelap) yang terbentuk dengan larutan amonia berlebihan. Cu digunakan
buat kabel/kawat/peralatan listrik; dalam logam-logam paduan; monel, perunggu kuningan,
perak jerman, perak nikel untuk ketel dan lain-lain. Umumnya bijih tembaga hanya
mengandung 0,5% Cu. Pemekatan bijih ini sangat diperlukan. Hal ini biasanyanya dilakukan
dengan pengembangan menghasilkan bijih pekat dengan kandungan sekitar 20-40%. Untuk
mendapatkan tembaga yang lebih murni, Cu2O direduksi dengan karbon (C) (Cotton and
Wikinson, 1989).

Tembaga dalam jumlah yang kecil esensial bagi kehidupan, tetapi akan bersifat racun
dalam jumlah yang besar, terutama bagi bakteri, alga, dan fungi. Diantara banyak senyawa
tembaga yang digunakan sebagai pestisida adalah asetat basa, karbonat, klorida, hidroksida,
dan sulfat. Secara komersil senyawa tembaga yang terpenting adalah CuSO4.5H2O. Selain
dalam bidang pertanian, CuSO4 juga digunakan untuk baterai dan penyepuhan, pembuatan
garam tembaga yang lain, perminyakan, keret, dan industri baja ((Petrucci, Ralph H, 1987).

Tembaga adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa dan liat. Melebur pada
10380C. Karena potensial elektrode standarnya positif, tidak larut dalam asam klorida dan
asam sulfat encer, meskipun dengan adanya oksigen bisa larut sedikit. Tembaga yang
terdapat di bumi ini tidak melimpah (55 ppm) namun terdistribusi secara luas sebagai logam
dalam sulfida, arsenida, klorida dan karbonat. Mineral yang paling umum adalah chalcopyrite
CuFeS2. Tembaga diekstraksi dengan pemanggangan dan peleburan oksidatif atau dengan
pencucian dengan bantuan mikroba, yang diikuti oleh elektrodeposisi dari larutan sulfat
kimiawi tembaga ditemukan sebagai Cu+ dan Cu2+ (Syabatini, 2009)

Senyawa Kompleks

Senyawa ion logam yang berkoordinasi dengan ligan disebut dengan senyawa
kompleks. Sebagian besar ligam zat netral atau anionik tetapi kation, seperti kation tropilium
juga dikenal. Ligan netral, seperti amoniak, NH3, atau karbon monoksida, CO, dalam
keadaan bebas pun merupakan molekul yang stabil, sementara ligan anionik, seperti Clatau
C5H5, distabilkan hanya jika dikoordinasikan ke atom logam pusat. Ligan repsentatif di
daftarkan di tabel menurut unsur yang mengikatnya. Logam umum atau yang dengan rumus
kimia rumit diungkapkan dengan singkatannya. Logam dengan satu atom pengikat disebut
ligan monodentat, dan yang memiliki lebih dari satu atom pengikat disebut ligan polidentat,
yang juga disebut ligan khelat. Jumlah atom yang diikat pada atom pusat disebut dengan
bilangan koordinasi (Saito, 1996).

Salah satu keistimewaan dari reaksi kompleks adalah reaksi pergantian ligan melalui
efek trans. Reaksi pergantian ligan ini terjadi dalam kompleks octahedral dan segi empat.
Ligan-ligan yang menyebabkan gugus yang letaknya trans terhadapnya bersifat labil,
dikatakan mempunyai efek trans yang kuat. Beberapa ligan dapat dideretkan dalam suatu
deret spektrokimia berdasarkan kekuatan medannya, yang tersusun sebagai berikut : I- < Br-2
< S2- < SCN- < Cl- < NO3- < H2O < NCS- < NH3 < en < bipi < fen < NO2- < CN- < F- <
OH- < Ox < CO, dengan Ox = oksalat, en = etilendiamin, bipi = 2,2’-bipiridin dan fen =
fenantrolin ( Rilyanti et al, 2008).

Muatan senyawa ion akan mempengaruhi arah pergerakan senyawa ion itu. Semakin
tinggi valensi, pergerakan akan semakin cepat, begitu juga pengaruh konsentrasi larutan
elektrolit atau penyangga. Semakin lama waktu elektroforesis, kation dan anion akan semakin
mendekati elektroda atau lintasan yang ditempuh semakin jauh. Muatan senyawa ion akan
mempengaruhi arah pergerakan senyawa ion itu. Semakin inggi valensi, pergerakan akan
semakin cepat, begitu juga pengaruh konsentrasi larutan elektrolit atau penyangga. Semakin
lama waktu elektroforesis, kation dan anion akan semakin mendekati elektroda atau lintasan
yang ditempuh semakin jauh (Sulaiman et al, 2007).

Ligan dapat dengan baik diklassifikasikan atas dasar banyaknya titik-lekat kepada ion
logam. Begitulah, ligan-ligan sederhana, seperti ion-ion halida atau molekul-molekul H2O
atau NH3, adalah monodentat, yaitu ligan itu terikat pada ion logam hanya pada satu titik
oleh penyumbangan satu pasanagan-elektronmenyendiri kepada logam. Namun, bila molekul
atau ion ligan itu mempunyai dua atom, yang masing-masing mempunyai satu pasangan
elektron menyendiri, maka molekul itu mempunyai dua atom-penyumbang, dan adalah
mungkin untuk membentuk dua ikatan-koordinasi dengan ion logam yang sama; ligan seperti
ini disebut bidentat dan sebagai contohnya dapatlah diperhatikan kompleks
tris(etilenadiamina) kobalt(III), [Co(en)3] 3+. Dalam kompleks oktahedral berkoordinat-6
(dari) kobalt(III), setiap molekul etilenadiamina bidentat terikat pada ion logam itu melalui
pasangan elktron menyendiri dari kedua ataom nitrogennya. Ini menghasilkan terbentuknya
tiga cincin beranggota-5, yang masing-masing meliputi ion logam itu; proses pembentukan
cincin ini disebut penyepitan (pembentukan sepit atau kelat) (Firdaus, 2009).

Ekstraksi cair – cair

Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan
tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzene, kloroform.
Batasannya adalah zat terlarut yang dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua
fasa pelarut. Teknik ini digunakan untuk preparative, pemurnian, pemisahan serta analisis.
Hukum yang mendasari ekstraksi cair – cair adalah hokum fase Gibb’s yang menyatakan P +
V = C + 2.Menurut hokum distribusi Nerst, jika [X1] adalaj konsentrasi zat terlarut dalam
fase 1 dan [X2] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 2, maka pada kesetimbangan X1 dan
X2 didapat KD = [X1] / [X2]. Dimana KD adalah koefisien partisi. Koefisien partisi tidak
tergantung pada konsentrasi total zat terlarut pada kedua fase tersebut (Khopkar.S.M,1990)

Teori Orbital Molekul

Dua orbital atom bersatu menjadi satu awan yang lebih besar yang disebut orbital
molekul, dan didalamnya ternyata elektron sangat kuat tertarik pada kedua inti. Jika gaya
tolak menolak antara kedua inti yang bermuatan positif telah menyebabkan kedua inti berada
pada jarak terdekat yang mungkin, maka usaha pendekatan akan berhenti. Pad titik ini, sistem
dengan dua inti dan dua elektron telah mencapai kemantapan yang ternyata jauh lebih besar
dibandingkan kemantapan dua atom yang terpisah.Hanya tiga jenis orbital molekul yang
perlu diperhatikan yaitu OMσ biasanya dikaitkan dengan ikatan kuat, dan OM yang lebih
lemah yang berturut – turut OMπ dan OMδ. Hanya orbital OMσ,π, dan δ masing – masing
memiliki 0, 1, dan 2 bidang simpul yang berisi sumbu ikatan. Hanya OMσ yang dapat dibuat
di orbital s, hanya OMσdan π yang dapat dibuat di orbital p dan OMσ, π, dan δ dapat dibuat
dari orbital d (Companion.Audrey L,1991)
Titrasi Asidi alkalimetri

Titrasi asidi-alkalimetri biasa disebut titrasi asam basa. Yang termasuk dalam titrasi
ini adalah titrasi basa bebas atau dapat terbentuk dari garam asam lemah dengan hidrolisis,
dengan standar asam (aside) dan titrasi asam bebas, atau dapat terbentuk dengan hidrolisis
garam basa lemah dengan standar basa (alkalimetri). Reaksi yang terlibat adalah kombinsai
hydrogen dan ion hidroksida ke bentuk air (Basset.J dkk,1989)

Tujuan :

1. Menentukan [NaOH] baku


2. Menentukan [HCl] baku
3. Menentukan [NH3] baku
4. Menentukan [NH3] kloroform, [NH3] air , dan KD
5. Menentukan [NH3] kloroform, [NH3] air , [Cu-NH3] , dan rumus senyawa

Alat, Bahan, dan Metode :

a. Alat
 Gelas beker  Pipet ukur
 Erlenmeyer  Pilius
 Kaca arloji  Gunting
 Neraca  Buret 50 ml
 Corong  Corong pemisah 250 ml
 Spatula

b. Bahan
 Larutan standar H2C2O4 0.1 M
o Dibuat dengan melarutkan 0,63 gr H2C2O4 H2Odalam air sedemikian sehingga
volume mencapai 50 ml.
 Larutan ammonia 1M
o Dibuat dengan melarutkan 18,7 ml larutan NH3 25% , massa jenis 0,91 kg/L
dalam air hingga volume menjadi 250 ml
 Larutan ion Cu2+ 0,1 M
o Dibuat dengan melarutkan 6,242 gr CuSO45H2O dalam air sehingga volume
menjadi 250 ml.
 Larutan HCl 0,055 M
 Larutan NaOH 0,1 M
 Kloroform
 Indikator phenolptalin (PP)
 Indicator metyl orange (MO)
C. Metode

1. Standarisasi beberapa larutan

a. Larutan NaOH

 Disiapkan buret 50 ml dan diisi larutuan NaOH yang akan distandarisasi


 Siapkan 3 buah Erlenmeyer dan diisi masing masing dengan 10 ml larutan standart
H2C2O4
 Ditambah masing masing 2 tetes indicator pp kemudian dititrasi dengan larutan
NaOH

b. Larutan HCl

 Disiapkan buret 50ml dan diisi larutan HCl yang akan distandarisasi
 Disiapkan 3 buah Erlenmeyer dan diisi masing masing dengan 10 ml larutan standart
NaOH

 Ditambah masing masing 2 tetes indicator PP kemudian dititrasi dengan larutan HCl
 Dihitung volume HCl yang digunakan
 Dihitung konsentrasi HCl

c. Larutan NH3

 Disiapkan buret 50ml dan diisi larutan NH3 yang akan distandarisasi
 Disiapkan 3 buah Erlenmeyer dan diisi masing masing dengan 10 ml larutan standart
HCl
 Ditambah masing masing 2 tetes indicator PP kemudian dititrasi dengan larutan NH3
 Dihitung volume NH3 yang digunakan
 Dihitung konsentrasi NH3

2. Penentuan koefisien distribusi ammonia antara air dan kloroform

 Ditambahkan 10 ml larutan NH3 1 M (hasil standarisasi) dan 10 ml larutan air ke


dalam corong pemisah.
 Dikocok agar homogen
 Ditambahkan 25 ml kloroform ke dalam corong pemisah dan dikocok selama 5-10
menit .
 Diamkan sebentar sehingga tampak jelas ada dua lapisan. Kemudian dipisahkan
kedua lapisan tersebut.
 Disiapkan erlenmeyer dan diisi 10 ml kloroform yang berisi 10ml air dan ditambah
indicator metyl orange
 Dititrasi dengan larutan standar HCl 0,055 M menggunakan buret mikro 5 ml. Titik
ekivalen ditandai dengan terjadinya perubahan warna.
 Diulangi titrasi secara duplo
 Dihitung koefisien distribusi ammonia dengan menggunakan persamaan :
[𝑎𝑚𝑚𝑜𝑛𝑖𝑎]𝑘𝑙𝑜𝑟𝑜𝑓𝑜𝑟𝑚
Kd = [𝑎𝑚𝑚𝑜𝑛𝑖𝑎]𝑎𝑖𝑟

3. Penentuan rumus kompleks Cu-ammin

 Dilakukan serupa dengan langkah penentuan koefisien distribusi ammonia , hanya 10


ml air yang ditambahkan ke dalam corong pemisah diganti dengan 10 ml larutan ion
Cu2+ 0.1 M.
 Dihitung jumlah ammonia yang dalam air dan kloroform dengan menggunakan harga
koefisien distribusi
 dihitung anyakny aamonia yang terkompleksikandengan mengurangkan jumlah
ammonia dalam kloroformdan air pada jumlah total ammonia awal. Dengan
membandingkan jumlah mol ion Cu2+ dengan ammonia terkompleks dapat ditentukan
rumus kompleksnya.

Hasil Pengamatan

Standarisasi Larutan NaOH

I II III
Vol. H2C2O4 ( ml ) 10 10 10
Vol. NaOH awal ( ml ) 0 22,1 0
Vol. NaOH akhir ( ml ) 22,1 44,2 22,1
Vol. NaOH terpakai ( ml ) 22,1 22,1 22,1
Rata – rata ( ml ) 22,1

Standarisasi Larutan HCl

I II III
Vol. NaOH ( ml ) 10 10 10
Vol. HCl awal ( ml ) 1,9 20,2 6
Vol. HCl akhir ( ml ) 20,2 38,6 24,3
Vol. HCl terpakai ( ml ) 18,3 18,4 18,3
Rata – rata ( ml ) 18,3333
Standarisasi Larutan NH3

I II III
Vol. HCl ( ml ) 10 10 10
Vol. NH3 awal ( ml ) 2 2,7 3,5
Vol. NH3 akhir ( ml ) 2,7 3,5 4,3
Vol. NH3 terpakai ( ml ) 0,7 0,8 0,8
Rata – rata ( ml ) 0,7667

Penentuan koefisien distribusi amonia anatara air dan kloroform


I II
Vol. NH3 dlm CH2Cl2 10 10
( ml )
Vol. HCl awal ( ml ) 0 2,2
Vol. HCl akhir ( ml ) 2,2 4,4
Vol. HCl terpakai ( ml ) 2,2 2,2
Rata – rata ( ml ) 2,2

Penentuan rumus kompleks Cu - amin

I II
Vol. CH2Cl2 ( ml ) 10 10
Vol. HCl awal ( ml ) 0 3,4
Vol. HCl akhir ( ml ) 3,4 6,8
Vol. HCl terpakai ( ml ) 3,4 3,4
Rata – rata ( ml ) 3,4

Perhitungan

Konsentrasi standar NaOH

n . V 𝑁𝑎𝑂𝐻. M 𝑁𝑎𝑂𝐻 = n . V 𝐻2𝐶2𝑂4 . M 𝐻2𝐶2𝑂4

1 . 22,1 ml . M 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 2 . 10 ml . 0,1 M

M 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 0,0904 M

Konsentrasi standar HCl

n . VHCl . MHCl = n . V 𝑁𝑎𝑂𝐻 . M 𝑁𝑎𝑂𝐻

1 . 18,333 ml . MHCl = 1 . 10 ml . 0,0904 M

MHCl = 0,0493 M
Konsentrasi standar NH3

n . V 𝑁𝐻3 . M 𝑁𝐻3 = n . V HCl . M HCl

1 . 0,7667 ml . M 𝑁𝐻3 = 1 . 10 ml . 0,0493 M

M 𝑁𝐻3 = 0,6430 M

Penentuan koefisien distribusi ammonia dalam air

Volume HCl yang dipakai = 2,2 ml

[HCl]baku = 0,0493M

Volume NH3 dalam CHCl3 terpakai = 10 ml

[NH3]kloroform = 0,0108 M

[NH3]air = [NH3]awal - [NH3]kloroform = (0,6430 – 0,0108) M = 0,6322 M

[NH3]Kloroform
𝐾𝐷 =
[NH3]air

0,0108
𝐾𝐷 = = 0,01708
0,6332

Penentuan rumus kompleks Cu2+ ammin

 Volume HCl yang dipakai = 3,4 ml


 [HCl]baku = 0,0493 M
 Volume NH3 dalam CHCl3 terpakai = 10 ml
 [NH3]kloroform = 0,01672 M
 [NH3]air bebas = 0,6322 M
 [Cu-NH3] = [NH3]air - [NH3]kloroform = (0,6322 M – 0,01672 M) = 0,6154 M
 Mol Cu : mol Cu-NH3 = mol [NH3]awal – mol [NH3]kloroform + mol [NH3]air
bebas

= 0,643 mmol – 0,01672 mmol + 0,6322 mmol =1,2585 mmol

 Mol Cu = 1,2585 mmol x mol Cu-NH3

= 1,2585 mmol x 0,6154 mmol = 0,7744 mmol

x=1

Jadi rumus senyawa kompleksnya = [Cu(NH3)1] 2+


Pembahasan

Pada percobaan ini dilakukan stoikiometri kompleks ammin-tembaga (II). Pada


dasarnaya stoikiometri kompleks ammin-tembaga (II) menggunakan prinsip proses ekstraksi
pelarut, dimana dalam prinsip ini berlaku hukum distribusi yang menyatakan apabila suatu
system yang terdiri dari dua lapisan campuran (solvent) yang tidak saling bercampur satu
sama lain, ditambahkan senyawa ketiga (zat terlarut), maka senyawa itu akan terdistribusi
(terpartisi) kedalam dua lapisan tersebut, dengan syarat Nerst bila zat terlarut nya tidak
menghasilkan perubahan pada kedua pelarut (solvent) atau zat yang terlarut yang terbagi
(terpartisi) dalam dua pelarut tidak mengalami asosiasi, disosiasi atau reaksi dengan pelarut.

Pada percobaan stoikiometri kompleks ammin-tembaga (II) bertujuan untuk


menentukan rumus molekul kompleks amin-tembaga(II) yang terbentuk, dimana dilakukan 3
tahapan. Yang pertama yaitu standarisasi beberapa larutan, dalam hal ini larutan NaOH, HCl
dan NH3. Standarisasi ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi larutan yang sebenarnya.
Yang kedua adalah pe nentuan koefisien distribusi amoniak antara air dan Kloroform, dan
yang ketiga yaitu penentuan rumus kompleks tembaga ammin.

Standarisasi NaOH

Pada percobaan standarisasi digunakan larutan NaOH 0,1 M sebagai titran yang diisi
dalam buret 50 ml sebagai larutan sekunder , karena larutan NaOH mudah menguap dan
mudah bereaksi dengan senyawa lain di udara. Dengan kata lain larutan tersebut bersifat
higrokopis, menyerap uap air, dan menyerap CO2 pada waktu proses penimbangannya,
sehingga konsentrasinya dapat berubah degan cepat. Oleh karena itu, larutan tersebut
merupakan larutan standar sekunder karena tidak dapat dibuat dan ditentukan konsentrasinya
hanya dengan melarutkan padatannya dalam sebuah pelarut dikarenakan sifatnya yang mudah
bereaksi dengan senyawa lain di udara, sehingga setiap kali ingin digunakan dalam proses
titrasi maka harus distandarisasi terlebih dahulu. Digunakan larutan primer asam oksalat
H2C2O4 sebagai titer yang konsentrasinya 0,1 M, karena larutan standar yang digunakan
bersifat asam, sehingga jenis titrasi pada percobaan ini adalah asidimetri yaitu analisis
volumetrik yang menggunakan larutan baku asam untuk menentukan jumlah basa yang ada.
Diambil 10ml larutan asam oksalat dan dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambah
indikator PP. Digunakan indikator PP (Fenoflaein), karena pada proses titrasi terjadi antara
basa dan asam. Indikator PP merupakan indikator dengan rentang pH antara 8,3 sampai 10,0.
Artinya, indikator ini dapat mengidentifikasi perubahan larutan. Saat larutan ditambahkan
indikator PP larutan akan berwarna bening. Kemudian larutan primer dititrasi dengan NaOH,
dilakukan titrasi secara teliti . Hentikan titrasi saat perubahan warna menjadi merah pertama
kali . Perubahan warna menanadakan bahwa larutan sudah mencapai titik ekivalen. Setelah
penambahan asam menyebabkan terjadi perubahan pH dalam larutan yang kemudian
mengubah warna indikator menjadi merah muda. Reaksi yang terjadi :

2𝑁𝑎𝑂𝐻 + 𝐻2𝐶2𝑂4 → 𝑁𝑎2𝐶2𝑂4 + 𝐻2𝑂


Percobaan dilakukan secara triplo. Volume rata-rata NaOH yang dipakai 18,333 ml. Setelah
diperoleh volume NaOH yang dipakai dalam titrasi, maka dapat ditentukan molaritas NaOH
dalam larutan standar

n . V 𝑁𝑎𝑂𝐻. M 𝑁𝑎𝑂𝐻 = n . V 𝐻2𝐶2𝑂4 . M 𝐻2𝐶2𝑂4

1 . 22,1 ml . M 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 2 . 10 ml . 0,1 M

M 𝑁𝑎𝑂𝐻 = 0,0904 M

Konsentrasi NaOH setelah standarisasi diperoleh yaitu 0,0904 M, hasil standarisasi ini tidak
sesuai dengan konsentrasi awal NaOH sebelum distandarisasi yaitu 0,1 M.

Standarisasi HCl

Pada standarisasi larutan HCl, larutan standar yang digunakan adalah larutan standar
NaOH 0,04524 M yang telah distandarisasi sebelumnya oleh asam oksalat. Dimasukkan
larutan NaOH yang sudah distandarisasi didalam buret . Larutan HCl sebagai larutan
sekunder, karena larutan HCl bersifat sama seperti larutan NaOH yang sifatnya higrokopis,
menyerap uap air, dan menyerap CO2 pada waktu proses penimbangannya, sehingga
konsentrasinya dapat berubah degan cepat. Sehingga jenis titrasi pada percobaan ini adalah
alkalimtri yaitu analisis volumetrik yang menggunakan larutan baku basa untuk menentukan
jumlah asam yang ada. Diambil 10ml larutan HCl 0,055 M dan dimasukkan dalam beaker
glass kemudian ditambah PP, kemudian larutan berubah menjadi merah muda, karena larutan
NaOH yang bersifat basa sehingga setelah ditetesi dengan indikator PP larutan akan
menunjukan warna merah muda sesuai dengan trayek pH indikator pp yaitu 8,3 – 10,0.
Kemudian dititrasi sampai berubah warna menjadi bening yang menandakan larutan suadah
berada di ekivalen. Perubahan warna menjadi bening, karena adanya penambahan basa .
percobaan dilakukan secara triplo , volume HCl rata-rata yang digunakan 18,333

Reaksi saat titrasi larutan HCl dengan larutan NaOH adalah sebagai berikut.

𝐻𝐶𝑙 + 𝑁𝑎𝑂𝐻 → 𝑁𝑎𝐶𝑙 + 𝐻2𝑂

n . VHCl . MHCl = n . V 𝑁𝑎𝑂𝐻 . M 𝑁𝑎𝑂𝐻

1 . 18,333 ml . MHCl = 1 . 10 ml . 0,0904 M

MHCl = 0,0493 M

Konsentrasi HCl setelah standarisasi diperoleh yaitu 0,0493 M, hasil standarisasi ini
tidak sesuai dengan konsentrasi awal HCl sebelum distandarisasi yaitu 0,055 M.

Reaksi saat titrasi larutan HCl dengan larutan NH3 adalah sebagai berikut. 𝑁𝐻3 + 𝐻𝐶𝑙
→ 𝑁𝐻4𝐶l
Standarisasi NH3

Pada percobaan standarisasi NH3, digunkan larutan primer HCl yang sudah diketahui
konsentrasinya 0,0493 M. Digunakan larutan NH3 sebagai larutan sekunder, karena sifatnya
yang higroskopis sehingga harus distandarisasi terlebih dahulu untuk mengetahui konsentrasi
bakunya. Disiapkan 10ml HCl dan dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambah indikator PP,
karena larutan akan menunjukan warna merah muda sesuai dengan trayek pH indikator pp
yaitu 8,3 – 10,0. Kemudian dititrasi sampai berubah warna menjadi bening yang menandakan
larutan suadah berada di ekivalen.

Reaksi saat titrasi larutan HCl dengan larutan NH3 adalah sebagai berikut.

𝑁𝐻3 + 𝐻𝐶𝑙 → 𝑁𝐻4𝐶l

n . V 𝑁𝐻3 . M 𝑁𝐻3 = n . V HCl . M HCl

1 . 0,7667 ml . M 𝑁𝐻3 = 1 . 10 ml . 0,0493 M

M 𝑁𝐻3 = 0,6430 M

Konsentrasi 𝑁𝐻3 setelah standarisasi diperoleh yaitu 0,6430 M, hasil standarisasi ini
tidak sesuai dengan konsentrasi awal 𝑁𝐻3 sebelum distandarisasi yaitu 0,055 M.

Dihitung koefisien distribusi ammonia dengan menggunakan persamaan

Pada proses penentuan koefisien distribusi ammonia antara air dan kloroform
dilakukan dengan menggunakan prinsip proses ekstraksi pelarut. Ekstraksi cairan-cairan
merupakan suatu teknik di mana dalam suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan
dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada hakekatnya tak tercampurkan
dengan yang pertama, dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut ke dalam
pelarut yang kedua (Basset, 1991).

Pada percobaan ini awalnya larutan 10ml NH3 1M dicampurkan dengan 10ml akuades
di dalam corong pisah dan dikocok. Pada proses pengocokan berlangsung saat ekstraksi,
keran corong pisah perlu dibuka untuk melepaskan tekanan uap yang berlebihan dalam
corong yang berasal dari kloroform yang mudah menguap. Hal ini perlu, karena kelebihan
tekanan gas pada corong dapat menyebabkan terjadinya ledakan pada corong pisah.
Pelepasan tekanan gas pada corong dilakukan sampai tidak ada gas yang dikeluarkan dari
corong. Corong pisah perlu didiamkan beberapa saat agar pemisahan antara dua fasa
berlangsung sempurna. Ditambahakan 25ml kloroform karena Prinsip dasar dari ekstraksi
pelarut adalah distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang
tidak saling campur. Saat tercapai kesetimbangan, larutan dalam corong pisah akan
membentuk dua lapisan. Kedua lapisan tersebut merupakan dua fasa yang tidak saling
bercampur. Lapisan atas merupakan lapisan air, sedangkan lapisan bawah merupakan
kloroform. Kloroform berada di lapisan bawah karena berat jenisnya yang lebih besar
daripada air yakni 1,48 g/cm3.
Larutan NH3 setelah mengalami proses ekstraksi akan terdistribusi ke dalam dua fasa.
Sehingga, larutan pada kloroform (lapisan bawah) yang diperoleh dari proses ekstraksi
tentunya juga mengandung NH3. Diambil 10ml kloroform dan dimasukkan dalam erlenmeyer
yang telah berisi aquades. Penambahan aquades,karena larutan yang dititrasi merupakan
larutan yang mengandung kloroform, sedangkan indikator yang digunakan MO merupakan
indikator yang tidak dapat larut dalam kloroform. Oleh sebab itu dibutuhkan air (dapat
melarutkan MO) untuk membantu mengidentifikasi perubahan warna yang terjadi saat
mencapai titik ekivalen titrasi.

Konsentrasi NH3 pada fasa air ini dapat diketahui dengan menitrasi larutan dengan
larutan standar HCl 0,0204 M menggunakan indicator MO. Reaksi saat titrasi larutan NH3
dengan larutan HCl adalah sebagai berikut.

𝑁𝐻3 + 𝐻𝐶𝑙 → 𝑁𝐻4𝐶l

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh volume rata-rata larutan HCl yakni 2,2 ml.
Dengan mengetahui konsentrasi NH3 dalam kloroform, sehingga dapat diketahui pula
konsentrasi NH3 dalam air melalui perhitungan. Dengan demikian dapat diketahui
[NH3]kloroform , [NH3]air , dan konstanta distribusi (kd) NH3 antara air dan kloroform, dengan
rumus

Volume HCl yang dipakai = 2,2 ml

[HCl]baku = 0,0493M

Volume NH3 dalam CHCl3 terpakai = 10 ml

[NH3]kloroform = 0,0108 M

[NH3]air = [NH3]awal - [NH3]kloroform = (0,6430 – 0,0108) M = 0,6322 M

[NH3]Kloroform
𝐾𝐷 =
[NH3]air

0,0108
𝐾𝐷 = = 0,01708
0,6332

Penentuan Rumus Kompleks Cu-Ammin

Pada percobaan ini sama halnya dengan penentuan koefisien distribusi ammonia
antara air dan kloroform. Perbedaannya pada penggunaan larutan dalam proses ekstraksi.
Pada percobaan ini digunakan kloroform dan larutan ion Cu2+, sedangkan solutnya tetap NH3.
Prinsipnya yakni pada pembentukan kompleks antara NH3 dan Cu2+ menjadi kompleks Cu-
ammin

Saat tercapai kesetimbangan, larutan dalam corong pisah akan membentuk dua
lapisan. Kedua lapisan tersebut merupakan dua fasa yang tidak saling bercampur. Lapisan
atas merupakan lapisan yang mengandung larutan ion Cu2+ sedangkan lapisan bawah
merupakan kloroform. Kloroform berada di lapisan bawah karena berat jenisnya yang lebih
besar yakni 1,48 g/cm3.

Larutan ion Cu2+ awalnya berwarna biru muda. Pada saat larutan NH3 ditambahkan
dengan larutan ion Cu2+, terjadi pembentukan kompleks ammin-tembaga(II) yang berwarna
biru tua. Reaksinya adalah sebagai berikut.

𝐶𝑢 2+ + 𝑥𝑁𝐻3 ↔ [𝐶𝑢 (𝑁𝐻3) 𝑥] 2+

Sisa NH3 kemudian diekstraksi dengan pelarut kloroform. Banyaknya NH3 bebas
dalam pelarut air dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan di atas, sehingga jumlah
NH3 yang terkompleksikan juga dapat ditentukan dengan mengurangkan jumlah NH3 dalam
kloroform dan air pada jumlah total NH3 awal. Oleh sebab itu, pada lapisan bawah larutan
yang mengandung NH3 dan pelarut kloroform ditentukan konsentrasinya dengan menitrasi
menggunakan larutan HCl 0,0493 M dengan indikator MO. Setelah diketahui volume HCl
yang digunakan , maka dapat menentukan [NH3]kloroform , [NH3]air , [Cu-NH3], dan rumus
senyawa sengan rumus :

 [NH3]kloroform = 0,01672 M

 [NH3]air bebas = 0,6322 M

 [Cu-NH3] = [NH3]air - [NH3]kloroform = (0,6322 M – 0,01672 M) = 0,6154 M

 Mol Cu : mol Cu-NH3 = mol [NH3]awal – mol [NH3]kloroform + mol [NH3]air


bebas

= 0,643 mmol – 0,0108 mmol + 0,6322 mmol =1,2585 mmol

 Mol Cu = 1,2585 mmol x mol Cu-NH3

= 1,2585 mmol x 0,6154 mmol = 0,7745 mmol

x=1

Jadi rumus senyawa kompleksnya = [Cu(NH3)1] 2+

Rumus senyawa yang diperoleh dari perhitungan tidak sesuai dengan literatur , karena
sesuai literatur yaitu Cu(H2O)4 2+ + 3 NH3 [Cu(NH3)3] 2+ + 4H2O

KESIMPULAN

1. [NaOH] baku = 0,0904 M


2. [HCl] baku = 0,0493 M
3. [NH3] baku =0,6430 M
4. [NH3] kloroform = 0,0493 M , [NH3] air = 0,108 M , dan KD = 0,01708
5. Menentukan [NH3] kloroform = 0,0493 M, [NH3] air = 0,01672 M, [Cu-NH3] = 0,6154 M,
dan rumus senyawa [Cu(NH3)1] 2+
DAFTAR PUSTAKA

1. Basset.J,M Sc, C Chem, F R S C, dkk,1989, VOGEL’s Textbook of Quantitative


Chemical Analysis, John Willey & Sons,Inc, New York.
2. Companion.Audrey ., 1991, Ikatan Kimia, ITB, Bandung.
3. Cotton and Wikinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. UI- Press, Jakarta.
4. Khopkar.S.M, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI-Press, Jakarta.
5. Petrucci, Ralph H, 1987, alih bahasa Suminar Ahmadi, Kimia Dasar Prinsip dan
Terapan Modern, Jilid 3, Penerbit Erlangga : Jakarta.
6. Rilyanti Mila et al. 2008. Sintesis Senyawa Kompleks Cis-[Co(Bipi)2(CN)2] dan Uji
Interaksinya dengan Gas NO2 Menggunakan Metoda Spektrofotometri UVVis Dan
IR. Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung. Lampung.
7. Saito, Tairo. 1996. Kimia Anorganik. Permission of Iwanami Shoten. Tokyo.
8. Shevla, G. 1990. Analisis Organik Kualitatif Makro Dan Semimakro. PT. Kalman
Media Pustaka. Jakarta.
9. Sulaiman, Hardi Adang, Anis Kundari Noor. 2007. Pemisahan dan Karakterisasi
Spesi Senyawa Kompleks Yttrium-90 dan Stronsium-90 dengan Elektroforesis
Kertas. JFN 1(2).

Anda mungkin juga menyukai