Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

CRONIK KIDNEY DEASES (CKD)+ HEMODIALISA + KOMPLIKASI NYERI


DADA DI RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR

Di Susun Oleh:

Di Susun Oleh Mahasiswa Stikes Matara

Nama: Linda Widiawati


NPM: 017.02.0746

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XIII B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

(STIKES) MATARAM

2018
LAPORAN PENDAHULUAN
CRONIK KIDNEY DEASES (CKD)+ HEMODIALISA + KOMPLIKASI NYERI
DADA

A. KONSEP CRONIC KIDNEY DEASES (CKD)


1. Pengertian
Cronik Kidney Deases (CKD) adalah penurunan faal/fungsi ginjal yang
menahun yang umumnya irreversible dan cukup lanjut (Suparman, 1990).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812).
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease
(CKD), pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure
(CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk
membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5
grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal yaitu
1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan
terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5.
sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan
klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila
menggunakan istilah CRF.
2. Klasifikasi
Klasifikasi CKD berdasarkan tingkat LFG, yaitu :
a. Stadium I
Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminuria persisten dan LFG nya
yang masih normal yaitu > 90 ml/menit/1,72 m3
b. Stadium II
Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG antara 60-89
ml/menit/1,73 m3
c. Stadium III
Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit/1,73 m3
d. Stadium IV
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit/1,73 m3
e. Stadium V
Kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m3
3. Etiologi
Salah satu penyebab daripenyakit cronic kidney deases adalah penyakit
metabolik yaitu hipertensi. Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan
sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama
atau lebih besar 95 mmHg
4. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron
utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan
haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah
itu. (Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah
dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
5. Tanda Dan Gejala
a. Hematologic
Anemia, gangguan fungsi trombosit, trombositopnia, gangguan leukosit.
b. Gastrointestina
Anoreksia, nausea, vomiting, gastritis erosive
c. Syaraf dan otot
Miopati, ensefalopati metabolic, kelemahan otot.
d. Kulit
Berwarna pucat, gatal-gatal dengan ekssoriasi, echymosis, urea frost, bekas
garukan karena gatal.
e. Kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
f. Endokrin
Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolism lemak, fertilisasi dan
ereksi menurun pada laki-laki, gangguan metabolisme vitamin D.
6. Komplikasi
a. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
f. Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,
Hiperuremia.
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal
atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai
lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -
angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat
cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh
toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema.
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning
feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki),
tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan
metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya
produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum
tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit
dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi
trombosis dan trombositopeni.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi (foto polos abdomen) : besar ginjal; apakah ada batu ginjal
atau obstruksi.
b. Pielografi intravena (PIV) : menilai sitem pelviokalises
c. Ultrasonografi (USG) : menilai besar, bentuk ginjal, kandung kemih,
serta prostat.
d. Renogram : menilai fungsi ginjal kiri dan kanan.
e. Pemeriksaan radiologi jantung : mencari apakah ada kardiomegali, efusi
pericardial.
f. Pemeriksaan radiologi tulang : mencari oesteodistrofi, metastasik
g. Pemeriksaan radiologi paru : mencari uremik lung
h. Pemeriksaan pielografi retergrad : bila dicurigai obstruksi yang reversible
i. Elektrokardiograf : untuk melihat hipertrofi ventrikel kiri
j. Biopsy ginjal
k. Pemeriksaan lab, LED, anemia, ureum dan kreatinin meningkat, hemoglobin,
hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, peningkatan gula
darah, asidosis metabolok, HCo2 menurun, BE menurun, dan PaCo2
menurun.
9. PENATALAKSANAAN MEDIS & KEPERAWATAN

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan


homeostasis selama mungkin.

Intervensi diit. Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik
merupakan hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam
darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus
bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat
mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan
diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan
dari KH dan lemak. Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis
mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.
Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume
intravaskule. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan
cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.

Anemia pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia


rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik
seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas. Abnormalitas
neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium atau aktivitas
kejang. Pasien dilindungi dari kejang.
Pada prinsipnya penatalaksanaan Terdiri dari tiga tahap :
 Penatalaksanaan konservatif : Pengaturan diet protein, kalium, natrium,
cairan
 Terapi simptomatik : Suplemen alkali, transfusi, obat-obat local & sistemik,
anti hipertensi
 Terapi pengganti : HD, CAPD, transplantasi
a. Penatalaksanaan Medis
Dilakukan tindakan CAPD dengan insersi catheter dengan
peritoneuscope yaitu;
1) Persiapan: dipuasakan 4 jam, H-1 operasi pasien harus defekasi dan bila
obstipasi diberi dulcolax, pagi hari sebelum operasi dipasang iv, pasien di
cukur rambutnya di kulit abdomen, dan sebelum berangkat ke ruangan
tindakan pasien harus mengosongkan kandung kemih atau dipasang
folley catheter.
2) Prosedur operasi
Posisi trendelenberg
 Buat marker di abdomen, desinfeksi dinding abdomen, anetesi daerah
insisi dengan lidocaine 1%, kemudian insisi kulit sepanjang 3 cm.
 Jaringan lemak dibuka tumpul sampai terlihat fascia external, sambil
pasien menahan nafas masukan quill guide assembly posisi 30
derajat kearah coccyx sampai menembus peritoneum
 Tarik trocar, masukan air menggunakan syrine, cek meniscus dan
pergerakan air sesuai nafas
 Hubungkan dengan selang insuflaor, masukan udara sebanyak 1000-
1500 ke dalam abdomen
 Setelah insuflator dilepas masukan scope lewat canula, arahkan ke
rongga pelvic pastikan ada space dan tidak ada adhesi pada pelvic,
pertahankan posisi quill dengan clem artei.
 Canula dilepas dengan gerakan pelan berputar, masukan dilator kecil
dan besar setelah sebelumnya dilubrikasi dengan lignocain gel. Buat
gerakan maju mundur, dilator besar dipertahankan sambil
mempersiapkan teckoff catheter dimasukan lewat stylet
 Catheter dilepas, pasang cuff implanter. Pasien menahan adinding
abdomen dan implanter di dorong sampai cuff menembus fascia.
Stylet dan quill ditarik.
 Kateter di test. Dibuat marker tempat exite site, dilakukan anestesi
sepanjang daerah tunnel, tunneler dimasukan dan exite site menuju
daerah insisi lalu kateter disambungkan menuju tunneler. Kateter dan
tunneler ditarik melewati exite site dan disambung dengan extension
catheter, posisi exite site 2 cm dari kulit
 Luka insisi di jahit
 Operasi selesai
b. Penatalaksanaan keperawatan
1) Tentukan tatalaksana terhadap penyebab CKD
2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
3) Diet tinggi kalori rendah protein
4) Kendalikan hipertensi
5) Jaga keseimbangan elektrolit
6) Mencega dan tatalaksana penyakit tulang akibat CKD
7) Deteksi dini terhadap komplikasi
8) Kolaborasi dalam tindakan CAPD
B. KONSEP HEMODIALISA
1. Pengertian
Hemodialisis adalah bentuk dialysis yang menggunakan mesin (alat dialysis
ginjal) untuk membuang kelebihan cairan, bahan kimia dan produk sisa dari
darah. (Litin, 2009). Hemodialysis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalui mesin.
Hemodialysis termasuk jenis membran dialysis selain cangkok ginjal. Kelebihan
dengan hemodialysis adalah pasien hanya datang ke rumah sakit minimal 2 kali
perminggu sedangkan cangkok ginjal hanya dapat digantikan dengan ginjal asli
yang diberikan oleh donor ginjal. (Rizal, 2011).
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tingkat tinggi sebagai
terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu
dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permeable sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi,
osmosis dan ultra filtrasi. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwa hemodialisa adalah suatu terapi pengganti ginjal yang menggunakan
mesin ginjal buatan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dalam tubuh.
2. Tujuan Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan :
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.
3. Proses Hemodialisa
Mekanisme proses pada mesin hemodialisa, darah dipompa dari tubuh
masuk ke dalam mesin dialysis lalu dibersihkan pada dialyzer (ginjal buatan),
lalu darah pasien yang sudah bersih dipompakan kembali ke tubuh pasien.
Mesin dialysis yang paling baru telah dilengkapi oleh sistem
komputerisasi dan secara terus menerus memonitor array safty-critical
parameter, mencangkup laju alir darah dan dialysate, tekanan darah, tingkat
detak jantung, daya konduksi, pH dan lain-lain. Bila ada yang tidak normal,
alarm akan berbunyi. Dalam hemodialysis memerlukan akses vascular (pembuluh
darah) hemodialysis (AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah
yang cukup besar, yaitu diperlukan kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit
secara kontinu selama hemodialysis 4 – 5 jam.
AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh darah vena di
leher atau paha yang bersifat temporer. Untuk yang permanen dibuat hubungan
antara arteri dan vena, biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula,
lebih populer bila disebut (brescia) cimino fistula. Kemudian darah dari tubuh
pasien masuk ke dalam sirkulasi darah mesin hemodialysis yang terdiri dari
selang inlet/arterial (ke mesin) dan selang outlet/venous (dari mesin ke tubuh),
kedua ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk ke pembuluh darah
pasien. Darah setelah melalui selang inlet masuk ke dialisar. Jumlah darah yang
menempati sirkulasi darah di mesin berkisar 200 ml. Dalam dialiser darah
dibersihkan, sampah-sampah secara kontinu menembus membran dan
menyeberang ke kompartemen dialisat, di pihak lain cairan dialisat mengalir
dalam mesin hemodialysis dengan kecepatan 500 ml/menit masuk ke dalam
dialiser pada kompartemen dialisat. Cairan dialisat merupakan cairan yang pekat
dengan bahan utama elektrolit dan glukosa, cairan ini dipompa masuk ke mesin
sambil dicampur dengan air bersih yang telah mengalami proses pembersihan
yang rumit (water treatment). Selama proses hemodialysis, darah pasien diberi
heparin agar tidak membeku bila berada di luar tubuh yaitu dalam sirkulasi darah
mesin.
Prinsip hemodialysis sama seperti metode dialysis. Melibatkan difusi
zat terlarut ke sembarang suatu selaput semi permeable. Prinsip pemisahan
menggunakan membran ini terjadi pada dialyzer. Darah yang mengandung sisa-
sisa metabolisme dengan konsentrasi yang tinggi dilewatkan pada membran semi
permeabel yang terdapat dalam dialyzer, dimana dalam dialyzer tersebut
dialirkan dialysate dengan arah yang berlawanan (counter current).
Driving force yang digunakan adalah perbedaan konsentrasi zat yang
terlarut berupa racun seperti partikel-parttikel kecil, seperti urea, kalium, asam
urea, fosfat dan kelebihan khlorida pada darah dan dialysate. Semakin besar
konsentrasi racun tersebut di dalam darah dan dialisat maka proses difusi semakin
cepat. Berlawanan dengan peritoneal dialysis, dimana pengangkutan adalah antar
kompartemen cairan yang statis, hemodialysis bersandar pada pengangkutan
konvektif dan menggunakan konter mengalir, dimana bila dialysate mengalir ke
dalam berlawanan arah dengan mengalir axtracorporeal sirkuit. Metode ini dapat
meningkatkan efektivitas dialysis.
Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang sudah
disterilkan, urea dan sisa metabolisme lainnya, seperti kalium dan fosfat,
berdifusi ke dalam dialysate. Selain itu untuk memisahkan yang terlarut dalam
darah digunakan prinsip ultrafiltrasi. Driving force yang digunakan pada
ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dan dialyzer.
Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialyzer memaksa air melewati membran.
Jika tekanan dari dialyzer diturunkan maka kecepatan ultrafiltrasi air dan darah
akan meningkat.
Jika kedua proses ini digabungkan, maka akan didapatkan darah yang
bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah yang digunakan pada
mesin hemodialysis modern, sehingga keefektifannya dalam menggantikan peran
ginjal sangat tinggi. (Rizal, 2011).
4. Alasan dilakukan Hemodialisa
Hemodialisa dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan:
a. Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)
b. Perikarditis (peradangan kantong jantung)
c. Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan
d. Gagal jantung
e. Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah)
5. Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi
sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/Minggu.
Program dialisa dikatakan berhasil jika :
a. Penderita kembali menjalani hidup normal
b. Penderita kembali menjalani diet yang normal
c. Jumlah sel darah merah sulit di toleransi
d. Tekanan darah normal
e. Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif
Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal
ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani
pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama
beberapa hari atau beberapa Minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.
6. Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain
:
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot
seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan
volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat
asetat, rendahnya dialysate natrium, penyakit jantung aterosklerotik,
neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan cairan.

c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium dan bikarbonat serum yang cepat
berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang
cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradient osmotic
diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradient osmotic ini menyebabkan
perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan edema serebri. Sindrom
ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa
pertama dengan azotemia berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit
dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin
selama hemodialisa juga merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan.
g. Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah
yang disebabkan karena hipoglikemi. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses
vaskuler.
h. Pembekuan darah
Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin
yang tidak sesuai ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
C. KOMPLIKASI NYERI DADA AKIBAT HEMODIALISA PADA PASIEN
DENGAN CKD
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatinin. Akibt dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan
menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan
meningkat. Gangguan klirens renal adalah masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens (substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Ginjal
kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal yang mengakibatkan terjadinya retensi cairan dan natrium. Ginjal tidak
mampu membuang limbah sehingga hasil metabolisme dan zat toksik kembali ke
peredaran darah dan produksi substansi tertimbun dalam darah dan mengakibatkan
sindrom uremik. Terjadi penahanan cairan dan natrium dapat meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Dilakukan dialysis untuk menggantikan fungsi ginjal dalam menetralisir
elektrolit dan cairan dalam tubuh. Penggunaan larutan dialisat asetat sebagai dialisat
standart untuk mengoreksi asidosis uremikum yang dan untuk mengimbangi
kehilangan bikarbonat secara difusi selama HD. Salah satu komplikasi yang
ditimbulkan dar proses hemodialisa adalah munculnya nyeri dada akibat adanya
ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat menyebabkan penarikan cairan yang
berlebihan dan cepat ke dalam dialiser sehingga menyebabkan penurunan volume
cairan, penurunan PCO2, elektrolit dalam tubuh yang bersama dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh dapat mengakibatkan hipovolemik dan dapat terjadi nyeri
dada pada psien dengan CKD.
D. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th),
usia muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi.
3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
e. Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa
sputum, kental dan banyak.
Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan /
tanpa sputum.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction
rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan
perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai
koma.
4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala:
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400
cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria,
anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda:
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria
atau anuria.
5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis
erosiva dan Diare
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk
saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada
kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak,
sendi keterbatasan gerak sendi.
f. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan
tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut,
intake minum yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat
mempengaruhi status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat
(oedema) penurunan berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati,
mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status
mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning
tua dan pekat, tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria,
anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi,
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.
4) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
5) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan
klien tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami
neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya
trauma. Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien
mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri.
Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada
keluarga (self esteem).
9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan
kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi
serta orgasme. Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,
faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat
menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan,
tak ada kekuatan. Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan
ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan
yang muncul pada pasien CKD adalah:
a. Penurunan curah jantung
b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
c. Perubahan nutrisi
d. Perubahan pola nafas
e. Gangguan perfusi jaringan
f. Intoleransi aktivitas
g. Kurang pengetahuan tentang tindakan medis
3. Intervensi Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
1) Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan
waktu pengisian kapiler
2) Intervensi:
 Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
 Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-
renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
 Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala
0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
 Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
b. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema
sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
1) Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan
output
2) Intervensi:
 Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital. Batasi masukan
cairan
 R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi
 Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
 R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
 Anjurkan pasien/ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran.
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output.
c. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah
1) Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria
hasil: menunjukkan BB stabil.
2) Intervensi:
 Awasi konsumsi makanan/cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
 Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
 Berikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan.
 Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan.
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial.
 Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai
dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

d. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:


kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
1) Tujuan: Pola nafas kembali normal/stabil
2) Intervensi:
 Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan secret
 Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
 Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
 Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau
hipoksia
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis.
1) Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
 Mempertahankan kulit utuh
 Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit
2) Intervensi:
 Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus/infeksi.
 Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
 Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak/robek
 Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk
untuk menurunkan iskemia
 Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
 Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
 Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
 Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan
1) Tujuan : dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL dgn baik dengan
criteria Kriteria Hasil:
 Berpartisipasi dalam aktivitas fisik dgn TD, HR, RR yang sesuai
 Warna kulit normal,hangat & kering
 Memverbalisasikan pentingnya aktivitas secara bertahap
 Mengekspresikan pengertian pentingnya keseimbangan latihan &
istirahat
 Meningkatkan toleransi aktivitas
2) Intervensi
 Tentukan penyebab intoleransi aktivitas & tentukan apakah penyebab
dari fisik, psikis/motivasi
 Kaji kesesuaian aktivitas & istirahat klien sehari-hari
 Tingkatkan aktivitas secara bertahap, biarkan klien berpartisipasi
dapat perubahan posisi, berpindah & perawatan diri
 Pastikan klien mengubah posisi secara bertahap. Monitor gejala
intoleransi aktivitas
 Ketika membantu klien berdiri, observasi gejala intoleransi seperti
mual, pucat, pusing, gangguan kesadaran & tanda vital
 Lakukan latihan ROM jika klien tidak dapat menoleransi aktivitas
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis
(hemodialisa) berhubungan salah interpretasi informasi.
1) Pengetahuan klien/keluarga meningkat dengan kriteria hasil : Pasien
mampu:
 Menjelaskan kembali penjelasan yang diberikan
 Mengenal kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas
 Klien / keluarga kooperatif saat dilakukan tindakan
2) Intervensi
 Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya
 Jelaskan tentang proses penyakit (tanda dan gejala), identifikasi
kemungkinan penyebab.
 Jelaskan kondisi klien
 Jelaskan tentang program pengobatan dan alternatif pengobantan
 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin digunakan
untuk mencegah komplikasi
 Diskusikan tentang terapi dan pilihannya
 Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa digunakan/ mendukung
 Instruksikan kapan harus ke pelayanan
 Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit, prosedur
perawatan dan pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall.1999.Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2.


EGC: Jakarta.

Price , S.A.S. Wilson, L. M. 1995. Patofisiologi Konsep klinis dan Proses-proses


Penyakit. EGC; Jakarta.

Suparman, 1990. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI.

SMF UPF Bedah. 1994. Pedoman Diagnosa & Terapi. Surabaya.

Gyton, A,C. & Hall, J.E.1997. Buku Ajar: Patofisiologi Kedokteran, Edisi 9. EGC:
Jakarta.
PATOFISIOLOGI NURSING PATHWAY

Anda mungkin juga menyukai