Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Artritis Reumatoid


2.1.1 Definisi Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun sistemik
(1)
yang dipengaruhi oleh factor genetic dan lingkungan . RA merupakan salah satu
kelainan multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan dikarateristikkan
dengan destruksi sinovitis. Peradangan yang terjadi pada kedua sendi yang simetris
merupakan salah satu gejala khas dari penyakit ini (2). Penyakit RA ini merupakan kelainan
autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik yang menyebabkan
kerusakan pada sendi (2).
2.1.2 Epidemiologi Artritis Reumatoid
Penyakit RA mempengaruhi sekitar 0,5-1% penduduk di seluruh dunia namun terdapat
perbedaan prevalensi antar Negara di dunia misalnya, masyarakat asli Ameika, Yakima,
Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi
dari berbagai studi sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia.
Berbeda dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan prevalensi
lebih rendah sekitar 0,2%-0,4% (3). Prevalensi RA di India dan di negara barat kurang lebih
(4)
sama yaitu sekitar 0,75% . RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang paling sering
dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa. Insidensinya meningkat
seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per 100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per
(5)
100.000 wanita dewasa . Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika menunjukkan
predominansi angka kejadian pada wanita lebih besar dari pada laki-laki, dengan rasio 6-
8:1 (3).
Gambar 3. Prevalensi global penyakit artritis reumatoid (3)

Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah urban
ataupun rural. Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia, pada
wanita di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi
pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para ahli dari universitas Alabama, AS,
wanita yang memderita RA mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk meninggal
dibanding yang tidak menderita penyakit tersebut (6).

Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2010), pada tahun 2010 jumlah lansia di Bali
sekitar 360.300 jiwa (9,25%) dari total penduduk Bali. Jumlah tersebut terus meningkat
menjadi 371.000 jiwa pada akhir tahun 2011 dan hampir 400.000 jiwa pada akhir tahun
2013. Jumlah lansia yang meningkat mengakibatkan peningkatan resiko timbulnya
penyakit RA. Jumlah penderita RA di dunia pada tahun 2010 mencapai angka 355.000.000
jiwa. Jumlah penderita RA di Indonesia pada tahun 2012 adalah lebih dari 360.000 jiwa.
Menurut Riskesdas (2013), prevalensi penyakit RA tertinggi terjadi di Bali (19,3%),
diikuti Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%) (7).

2.1.3 Etiologi Artitis Reumatoid

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan


interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (4).
a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (4).

b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan
substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron
pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA
respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (4).

c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (4).

d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap
stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan
sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (4).

e. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (3).

2.1.4 Faktor Resiko Artritis Reumatoid

Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok.
Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khusunya
kopi decaffeinated (4).

2.1.5 Patofisiologi Artritis Reumatoid

RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi autoimun


terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag
dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi
sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat
terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi
melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2009).
Gambar 4. Patofisiologi artritis reumatoid (4)

Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari sistem
immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin
dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM, IgE,
IgD (Baratwidjaja, 2012).

Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitop dari
major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptida pada antigen-presenting
cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologis RA belum
diketahi secara pasti (4).

2.1.6 Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan.
RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi,
sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi
tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).
Gambar 5. Destruksi sendi akibat pannus (4)

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution, 2011):

a. Stadium sinovitis.

Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada membran
sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal
bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi
deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir
selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (4).

b. Stadium destruksi

Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial (Nasution,
2011).

c. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan


manifestasi ekstraartikular (4).

Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung
tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan
(Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan
teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan
dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi
besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi
ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (3).

Gambar 6. Sendi Metacarpopalangeal dan proksimal interfalangeal yang bengkak pada


penderita artritis reumatoid (3).

Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi proporsinya
sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi sendi
kecil pada tangan (4).

Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA (Syamsyuhidajat, 2010). Secara


umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular
pada RA, meliputi (3):

a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya
berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi
dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat
inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (3).

b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi aktivitas
penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat periosteum,
tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan
peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi
dan gangren (3).

c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s syndrome.
Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau
xerostomia (3).

d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan penyakit
paru interstitial (3).

e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri
koreoner atau disfungsi diastol (3).

f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA yang
sudah kronis (3).

g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan


keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering disebut
dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir (3).

h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar dibanding
populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas (3).

Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas pada pasien RA
adalah penyakti kardiovaskuler, osteoporosis dan hipoandrogenisme (3).
Gambar 7. Manifestasi ekstraartikular (3)

2.1.7 Diagnosa Artritis Reumatoid

Untuk menegakkan diagnosa RA ada beberapa kriteria yang digunakan, yaitu kriteria
diagnosis RA menurut American College of Rheumatology (ACR) tahun 1987 dan kriteria
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism
(ACR/EULAR) tahun 2010 (Pradana, 2012).

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain, pemeriksaan


serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF, analisis cairan sinovial, foto polos
sendi, MRI, dan ultrasound (3).

2.2 Kualitas hidup

Kualitas hidup (Quality of Life) merupakan sebuah konsep yang biasanya kurang di
explore sebelum tahun 1970an. Isu dari biaya efektifitas dan perbaikan perawatan medis
mendorong explorasi ke dalam sejumlah substansi dari pengeluaran uang untuk
mempertahankan seseorang tetap hidup untuk beberapa tahun dengan alat pernafasan dan
peralatan pendukung hidup lainnya. (Wallace, 2008). Kualitas hidup atau Quality of Life
telah dipelajari selama 20 tahun terakhir pada orang dengan gangguan kronis, salah
satunya seperti osteoartritis yang merupakan penyakit degeneratif dan penyebab utama
nyeri. Masalah ini mempengaruhi kira-kira 46,4 juta orang Amerika, dengan 8,8% dari
mereka merupakan penderita artritis dengan keterbatasan dan menyebutkan bahwa
artritisnya merupakan faktor genetik. (Black and Hawks, 2014)

Masalah utama yang sering dialami lansia dengan osteoarthritis adalah nyeri sendi. Nyeri
bertambah ketika melakukan aktivitas, gangguan fungsi dan struktur tubuh ini membuat
aktivitas seseorang menjadi terbatas. Lansia pada umumnya bisa melakukan aktivitas
sehari-hari secara mandiri kini harus tergantung dengan orang lain, yang biasa masih
bekerja, mereka harus kehilangan pekerjaannya. Hilangnya pekerjaan adalah faktor resiko
yang dapat berkembang kuat menjadi gejala depresi, yang dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup dan berakibat pada berkurangnya angka harapan hidup (Kwok, 2013).

Kualitas Hidup Lansia

WHO (World Health Organization) membagi lanjut usia menurut tingkatan usia lansia
yakni usia pertengahan (45-59 tahun), usia lanjut (60-74 tahun), usia lanjut tua (75-84
tahun), usia sangat tua (>84 tahun) (Notoatmodjo, 2007).

Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL), kualitas hidup adalah
kondisi fungsional lansia yang meliputi kesehatan fisik yaitu aktivitas sehari – hari,
ketergantungan pada bantuan medis, kebutuhan istirahat, kegelisahan tidur, penyakit,
energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari, kapasitas pekerjaan, kesehatan
psikologis yaitu perasaan positif, penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif,
berfikir, belajar, konsentrasi, mengingat, self esteem dan kepercayaan individu, hubungan
sosial lansia yaitu dukungan sosial, hubungan pribadi, serta aktivitas seksual, dan kondisi
lingkungan yaitu lingkungan rumah, kebebasan, keselamatan fisik, aktivitas di lingkungan,
kendaraan, keamanan, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial. Kualitas hidup
dipengaruhi oleh tingkat kemandirian, kondisi fisik dan psikologis, aktifitas sosial,
interaksi sosial dan fungsi keluarga. Pada umumnya lanjut usia mengalami keterbatasan,
sehingga kualitas hidup pada lanjut usia menjadi mengalami penurunan. Keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat sehingga memiliki peran yang sangat penting
dalam perawatan lanjut usia untuk meningkatkan kualitas hidup lanjut usia (Yuliati dkk,
2014).

Agar kualitas hidup lansia meningkat, maka dalam penyesuaian diri dan penerimaan
segala perubahan yang dialami, lansia harus mampu melakukan hal tersebut. Selain itu,
lingkungan yang memahami kebutuhan dan kondisi psikologis lansia membuat lansia
merasa dihargai. Tersedianya media atau sarana bagi lansia membuat lansia dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki (Sutikno, 2007).

Berdasarkan penelitian tentang kualitas hidup, kualitas hidup penduduk Indonesia dengan
kriteria kurang, lebih banyak dijumpai pada golongan umur lanjut, perempuan, tingkat
pendidikan rendah, tidak bekerja, tinggal di daerah pedesaan, serta sosial ekonomi
tergolong miskin. Penduduk yang menderita penyakit tidak menular, cedera, menderita
gangguan mental emosional, menyandang faktor risiko antara, dan tinggal di rumah
dengan lingkungan terpapar memiliki kualitas hidup kurang. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup penduduk adalah golongan umur, kemudian adanya
gangguan mental emosional, tinggal di rumah dengan lingkungan terpapar dan jenis
kelamin (Pradono dkk, 2007).

2.2 Penurunan Pada Lansia

2.2.1 Perubahan Kondisi Fisik Pada Lansia

Perubahan kondisi fisik pada lansia antara lain :

a. Penurunan jumlah sel, cairan tubuh serta cairan intraselular. Protein dalam otak, ginjal,
otot, hati serta dan darah akan berkurang, mekanisme perbaikan sel menjadi terganggu,
terjadi atrofi pada otak, berat otak berkurang 5 – 10 %.

b. Pada sistem persarafan lansia, lansia menjadi lambat dalam merespon sesuatu, saraf
pancaindra mengecil.

c. Sistem pendengaran pada lansia menurun ditandai dengan hilangnya daya pendengaran
pada telinga dalam.

d. Terjadi sklerosis pupil dan hilangnya respon sinar bisa menyebabkan penglihatan lansia
menjadi berkurang.

e. Pada sistem kardiovaskuler, jantung sudah tidak bisa memompa darah secara optimal.

f. Pada sistem pengaturan temperatur tubuh, tubuh seorang lansia sudah tidak bisa
memproduksi panas yang maksimal. Ha ini menyebabkan aktifitas otot menjadi berkurang.

g. Sistem pernafasan yang menurun ditandai dengan hilangnya elastisitas paru – paru.

h. Pada sistem gastrointestinal, lansia akan kehilangan gigi, indra pengecap menurun,
fungsi absorpsi akan mengalami penurunan.
i. Sekresi lendir vagina pada lansia perempuan akan berkurang. Produksi testis pada lansia
laki – laki semakin menurun. Produksi hormon pada lansia akan menurun.

j. Hilangnya jaringan lemak pada lansia menyebabkan kulit keriput pada lansia. Rambut
pada lansia akan semakin tipis serta terjadi perubahan warna yaitu menjadi lebih kelabu.

2.2.2 Perubahan Psikologis Pada Lansia

Perubahan psikologis pada lansia dipengaruhi oleh keadaan fisik lansia yang mengalami
penurunan, kondisi kesehatan pada lansia, tingkat pendidikan pada lansia, keturunan
(hereditas), serta kondisi lingkungan dimana lansia berada. Perubahan psikologis pada
lansia adalah kenangan (memory) serta IQ (Intellgentia Quantion) yakni kemampuan
verbal lansia, penampilan lansia, persepsi lansia serta ketrampilan psikomotor lansia
menjadi berkurang.

2.2.3 Perubahan Psikososial

Lansia akan mengalami penurunan tingkat kemandirian dan psikomotor. Tingkat


kemandirian yakni kemampuan lansia untuk melakukan sesuatu. Fungsi psikomotor yakni
meliputi gerakan, tindakan, serta koordinasi. Adanya penurunan fungsi pada tingkat
kemandirian serta psikomotor menyebabkan lansia mengalami suatu perubahan dari sisi
aspek psikososial. Hal ini tentunya dikaitkan dengan kepribadian lansia (Hardywinoto dan
T., 2005)

2.3 Alat Ukur Kualitas Hidup Lansia

Bagian kesehatan mental WHO mempunyai proyek organisasi kualitas kehidupan dunia
(WHOQOL). Proyek ini bertujuan mengembangkan suatu instrumen penilaian kualitas
hidup. Instrumen WHOQOL – BREF ini telah dikembangkan secara kolaborasi di
berbagai belahan dunia. Instrumen ini terdiri dari 26 item pertanyaan dimana 2 pertanyaan
tentang kualitas hidup lansia secara umum dan 24 pertanyaan lainnya mencakup 4 domain.
4 domain tersebut adalah :

a. Kesehatan Fisik yaitu pada pertanyaan nomer 3, 4, 10, 15, 16, 17 dan 18

b. Psikologis yaitu pada pertanyaan nomer 5, 6, 7, 11, 19 dan 26

c. Hubungan sosial yaitu pada pertanyaan nomer 20, 21, dan 22

d. Lingkungan yaitu pada pertanyaan nomer 8, 9, 12, 13, 14, 23, 24 dan 25 (WHO, 2004).

World Health Organization (WHO) telah mengembangkan sebuah instrumen untuk


mengukur kualitas hidup seseorang yaitu WHO Quality of Life - BREF (WHOQOL-
BREF). Distribusi ke-26 pertanyaan dari WHOQOL-BREF adalah simetris dan hasil
penelitian menunjukkan instrumen WHOQOL-BREF valid dan reliable untuk mengukur
kualitas hidup pada lansia. Kemampuan crosscultural dari instrumen WHOQOL-BREF
merupakan suatu keunggulan dan mendukung premis yang menyatakan instrumen ini
dapat digunakan sebagai alat screening. WHOQOL-BREF merupakan suatu instrumen
yang valid dan reliable untuk digunakan baik pada populasi lansia maupun populasi
dengan penyakit tertentu. Instrumen ini telah banyak digunakan di berbagai negara industri
maupun berkembang pada populasi penderita hati dan paru-paru yang kronik sebagai alat
screening (Salim dkk, 2007).

Instrumen WHOQOL-BREF merupakan instrumen yang sesuai untuk mengukur kualitas


hidup dari segi kesehatan terhadap lansia dengan jumlah responden yang kecil, mendekati
distribusi normal, dan mudah untuk digunakan (Hwang dkk, 2003).

2.4 Faktor – Faktor Yang Berkaitan Dengan Kualitas Hidup Lansia

2.4.1 Kondisi Fisik

2.4.1.1 Tingkat Kemandirian

Untuk mengukur tingkat kemandirian lansia digunakan Indeks Barthel yang meliputi :

a. Kemampuan makan dengan penilaian sebagai berikut : dengan bantuan diberi nilai 5
dan mandiri diberi nilai 10

b. Kemampuan berpindah dari atau ke tempat tidur dan sebaliknya, dengan penilaian
sebagai berikut : dengan bantuan diberi nilai 5-10 dan mandiri diberi nilai 15

c. Kemampuan menjaga kebersihan diri, mencuci muka, menyisir, mencukur, dan


menggosok gigi dengan penilaian sebagai berikut : dengan bantuan diberinilai 0 dan
mandiri diberi nilai 5

d. Kemampuan untuk mandi dengan penilaian sebagai berikut : dengan bantuan diberi nilai
0 dan mandiri diberi nilai 5

e. Kemampuan berjalan dijalan yang datar dengan penilaian sebagai berikut bantuan 10
dan mandiri 15

f. Kemampuan naik turun tangga dengan penilaian sebagai berikut : dengan bantuan diberi
nilai 5 dan mandiri diberi nilai 10

g. Aktivitas di toilet (menyemprot, mengelap) dengan penilaian sebagai berikut : dengan


bantuan diberi nilai 5 dan mandiri diberi nilai 10
h. Kemampuan berpakaian dengan penilaian sebagai berikut : dengan bantuan diberi nilai
5 dan mandiri diberi nilai 10

i. Kemampuan mengontrol defekasi dengan penilaian sebagai berikut : dengan bantuan


diberi nilai 5 dan mandiri diberi nilai 10

j. Kemampuan berkemih dengan penilaian sebagai berikut : dengan bantuan diberi nilai 5
dan mandiri diberi nilai 10 (Mahoney, F.L dan Barthel, 1965)

2.4.1.2 Keadaan Umum

Pemeriksaan fisik secara umum pada lansia yakni meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
tekanan darah, tanda-tanda vital atau TTV, berat badan, tinggi badan serta postur tulang
belakang pada lansia. Lansia yang sehat akan berada pada tingkat kesadaran penuh
(composmentis), tekanan darah 140/90mmHg sampai dengan 160/90mmHg, tanda – tanda
vital (nadi 60-70x/menit, pernafasan 14-16x/menit, suhu) (Noorkasiani, 2009).

Menurut WHO pada tahun (2002) adanya kifosis atau pembengkokan pada tulang
belakang lansia dapat menyebabkan pengukuran tinggi badan pada lansia sulit untuk
dilakukan. Lansia tidak dapat berdiri tegak sehingga diperlukan pengukuran tinggi lutut
untuk mengukur tinggi badan pada lansia. Rumus untuk pengukuran tinggi badan lansia
melalui pengukuran tinggi lutut adalah sebagai

berikut :

Tinggi Badan (Laki-Laki) = 59,01 + (2,08 x TL)

Tinggi Badan (Perempuan) = 75,00 + (1,91 x TL)

Catatan :

TL = Tinggi Lutut (dalam satuan centimeter)

Gizi lebih atau kegemukan merupakan masalah yang sering terjadi pada lanjut usia.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kegemukan pada lanjut usia. Pada
lansia terjadi penurunan kegiatan sel-sel dalam tubuh, sehingga kebutuhan akan zat-zat
gizi juga ikut menurun. Asupan makanan yang tetap namun kegiatan yang dilakukan
sehari-hari oleh lansia mengalami penurunan menyebabkan penumpukan makanan dalam
tubuh sehingga dapat menyebabkan kegemukan bahkan menjadi penyakit. Kencing manis,
penyakit jantung, tekanan darah tinggi adalah beberapa penyakit yang berkaitan dengan
gizi lebih pada lansia. Untuk itu diperlukan adanya pengaturan diet bagi lansia (Irianto,
2014)
Masalah gizi yang kurang pada lansia dapat disebabkan oleh anoreksia yang
berkepanjangan. Hal tersebut menyebabkan penurunan berat badan pada lansia. Gizi
kurang juga sering diakibatkan oleh penyakit infeksi kronis, penyakit jantung kongestif,
masalah sosial dan ekonomi atau sebab lain. Kehilangan berat badan terjadi amat
berlebihan sehingga asupan makanan tak dapat mengimbangi kehilangan yang cepat itu.
Keadaan kurang gizi pada lansia ini juga perlu mendapat penanganan diet khusus (Irianto,
2014).

IMT (Indeks Massa Tubuh) adalah suatu alat untuk pemantauan status gizi orang dewasa
yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. IMT dihitung dengan cara :

IMT =

2.4.1.2 Kondisi Psikologis Lansia

Penuaan pada lanjut usia sangat dikaitkan dengan perubahan anatomi, perubahan fisiologi,
terjadi kesakitan atau hal – hal yang bersifat patologi dan perubahan psikososial. Depresi
adalah gangguan psikologis yang kita ketahui sering dialami lanjut usia. Interaksi faktor
biologi, fisik, psikologis, serta social pada lanjut usia bisa mengakibatkan depresi pada
lanjut usia (Soejono dkk, 2009).

Depresi adalah suatu masa terganggunya fungsi dalam diri manusia yangberkaitan dengan
alam perasaan yang sedih serta gejala yang menyertainya, termasuk perubahan pada pola
tidur, perubahan nafsu makan, perubahan psikomotor, sulit berkonsentrasi, merasa tidak
bahagia, sering merasa kelelahan, sering timbul rasa putus asa, merasa tidak berdaya, serta
keinginan bunuh diri (Kaplan dan Saddock, 2007).

Depresi pada usia lanjut lebih sulit diseteksi karena :

1. Kecemasan serta histeria yang merupakan suatu gejala dari depresi justru sering
menutupi depresinya

2. Masalah sosial sering membuat depresi menjadi rumit

3. Usia lanjut sering menutupi kesepian serta rasa sedih dengan justru lebih aktif dalam
kegiatan di masyarakat (Soejono dkk, 2009).

Diagnosis awal dan terapi segera terhadap depresi pada pasien geriatric dapat memperbaiki
kualitas hidup, status fungsional, dan mencegah kematian dini. Tanda dan gejala depresi
yakni:

1. Hilangnya minat atau rasa senang, hampir setiap hari


2. Berat badan menurun atau bertambah yang bermakna

3. Insomnia atau hipersomnia, hampir setiap hari

4. Agitasi atau retardasi psikomotor, hampir tiap hari

5. Kelelahan (rasa lelah atau hilangnya energi), hampir tiap hari

6. Rasa bersalah atau tidak berharga, hampir tiap hari

7. Sulit konsentrasi

8. Pikiran berulang tentang kematian atau gagasan bunuh diri (Soejono dkk, 2009)

Geriatric Depression Scale (GDS) merupakan salah satu instrumen yang paling sering
digunakan untuk mendiagnosis depresi pada usia lanjut. Pertanyaan yang panjang dan
banyak pada GDS-30 pertanyaan membuat peneliti mengembangkan versi yang lebih
pendek, bervariasi antara 15 pertanyaan dan 1 pertanyaan. Di antara versi-versi tersebut,
GDS 15 pertanyaan paling sering digunakan untuk mendeteksi depresi pada lanjut usia dan
dapat berfungsi sebaik GDS 30 pertanyaan (Wongpakaran N, 2013).

2.4.3. Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah kemampuan berfikir rasional yang terdiri dari beberapa aspek.
Fungsi kognitif diukur dengan Mini Mental State Examination (MMSE). Hasil skornya
yaitu kognitif normal (skor : 16–30) dan gangguan kognitif (skor : 0-15). Aspek yang
dinilai pada MMSE adalah status orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, memori, bahasa
dan kemampuan menulis serta menggambar spontan (Folstein dkk, 1975).

Fungsi kognitif yang menurun dapat menyebabkan terjadinya ketidakmampuan lansia


dalam melakukan aktifitas normal sehari-hari. Hal ini dapat mengakibatkan para lansia
sering bergantung pada orang lain untuk merawat diri sendiri (care dependence) pada
lansia (Reuser dkk , 2010). Olahraga atau latihan fisik merupakan kegiatan yang dapat
menghambat kemunduran kognitif akibat dari penuaan. Peningkatan kebugaran fisik serta
senam otak (Senam Vitalisasi Otak) dapat meningkatkan potensi kerja otak (Markam dkk,
2006).

Faktor usia dapat berhubungan dengan fungsi kognitif. Perubahan yang terjadi pada otak
akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan informasi (storage) hanya
mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yangmengalami penurunan yang terus
menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan
beraksi terhadap rangsangan sederhana ataukompleks, penurunan ini berbeda antar
individu (Lumbantobing, 2006).

2.4.2 Aktivitas Sosial

Aktivitas sosial merupakan salah satu dari aktivitas sehari – hari yang dilakukan oleh
lansia. Lansia yang sukses adalah lansia yang mempunyai aktivitas sosial di
lingkungannya. Contoh aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas sosial yang
dikemukan oleh Marthuranath pada tahun (2004) dalam Activities of Daily Living Scale
for Elderly People adalah lansia mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
bersama lansia lainnya atau orang orang terdekat, menjalankan hobi serta aktif dalam
aktivitas kelompok. Aktivitas sosial merupakan kegiatan yang dilakukan bersama dengan
masyarakat di lingkungan sekitar (Napitupulu, 2010). Menurut Yuli pada tahun (2014)
Teori aktivitas atau kegiatan (activity theory) menyatakan bahwa lansia yang selalu aktif
dan mengikuti banyak kegiatan sosial adalah lansia yang sukses.

2.4.3 Interaksi Sosial

Sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, makhluk
yang mampu berpikir sebelum melakukan sesuatu. Dari proses berpikir muncul perilaku
atau tindakan sosial. Ketika seseorang bertemu dengan orang lainnya, dimulailah suatu
interaksi sosial. Seseorang dengan orang lainnya melakukan komunikasi baik secara lisan
maupun isyarat, aktivitas-aktivitas itu merupakan suatu bentuk interaksi sosial. Terdapat
beberapa macam interaksi sosial. Dari sudut subjek, ada 3 macam interaksi sosial yaitu
interaksi antar perorangan, interaksi antar orang dengan kelompoknya atau sebaliknya,
interaksi antar kelompok. Dari segi cara, ada 2 macam interaksi sosial yaitu interaksi
langsung yaitu interaksi fisik, seperti berkelahi, hubungan seks dan sebagainya, interaksi
simbolik yaitu interaksi dengan menggunakan isyarat (Subadi, 2009).

Interaksi sosial merupakan suatu hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara
individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Interaksi sosialmerupakan suatu proses di
mana manusia melakukan komunikasi dan salingmempengaruhi dalam tindakan maupun
pemikiran. Penurunan derajat kesehatandan kemampuan fisik menyebabkan lansia secara
perlahan akan menghindar dari hubungan dengan orang lain. Hal ini akan mengakibatkan
interaksi social menurun (Hardywinoto dan T., 2005).

Teori pembebasan (disengagement theory) menyatakan bahwa seseorang secara perlahan


mulai menarik diri dari kehidupan sosialnya dengan semakin bertambahnya umur. Sering
terjadi kehilangan (triple loss) yakni kehilangan peran, hambatan kontak sosial, dan
berkurangnya kontak komitmen yang disebabkan karena interaksi sosial lansia menurun
baik secara kualitas maupun kuantitas (Yuli, 2014).

Penelitian Rantepadang pada tahun (2012) menyebutkan bahwa ada hubungan yang kuat
antara interaksi sosial dengan kualitas hidup pada lansia. Semakin baik interaksi sosial
lansia, semakin tinggi pula kualitas hidupnya. Penelitian oleh Sanjaya dan Rusdi pada
tahun (2012) menyatakan bahwa responden yang memiliki interaksi sosial yang baik tidak
akan merasa kesepian dalam hidupnya dan hal ini tentu dapat meningkatkan kualitas
hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan sosial mempunyai efek yang positif
pada kesejahteraan emosional lansia dan kesehatan fisik serta diprediksi dapat
menurunkan resiko kematian. Lansia sering kehilangan kesempatan partisipasi dan
hubungan sosial. Interaksi sosial cenderung menurun disebabkan oleh kerusakan kognitif,
kematian teman, fasilitas hidup atau home care (Estelle dkk, 2006). Menurut (Santrock,
2003) interaksi sosial berperan penting dalam kehidupan lansia. Hal ini dapat mentoleransi
kondisi kesepian yang ada dalam kehidupan sosial lansia.

2.4.4 Fungsi Keluarga

Menurut Yuli pada tahun (2014) fungsi keluarga adalah sebagai tempat saling bertukar
antar anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional setiap individu.
Kuisioner APGAR digunakan untuk mengukur level kepuasan hubungan di dalam suatu
keluarga, yakni penilaian terhadap lima fungsi pokok keluarga, yaitu :

1) Adaptasi (Adaptation)

Penilaian adaptasi yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam
menerima bantuan yang dibutuhkannya dari anggota keluarga yang lain.

2) Kemitraan (Partnership)

Penilaian kemitraan yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
komunikasi dan musyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah.

3) Pertumbuhan (Growth)

Penilaian pertumbuhan yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
kebebasan yang diberikan keluarga dalam mematangkan kedewasaan setiap anggota
keluarga.

4) Kasih Sayang (Affection)


Penilaian kasih sayang yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
kasih sayang yang terjadi dalam keluarga.

5) Kebersamaan (Resolve)

Penilaian kebersamaan yaitu dengan menilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
kebersamaan dalam membagi banyak hal dalam keluarga.

2.5 Hubungan Antara Aktivitas Sosial, Interaksi Sosial, dan Fungsi Keluarga

Dengan Kualitas Hidup Lansia Penelitian oleh Sutikno pada tahun (2007) memenukan
bahwa faktor umur lansia mempunyai hubungan dengan kualitas hidup pada lansia.
Menurut Nugroho, pada tahun (2000) kualitas hidup lansia akan semakin buruk dengan
bertambahnya usia. Dengan pertambahan usia maka akan ada perubahan dalam cara hidup
seperti merasa kesepian dan sadar akan kematian, hidup sendiri, perubahan dalam hal
ekonomi, penyakit kronis, kekuatan fisik semakin lemah, terjadi perubahan mental,
ketrampilan psikomotor berkurang, perubahan psikososial yaitu pensiun, akan kehilangan
sumber pendapatan, kehilangan pasangan dan teman, serta kehilangan pekerjaan dan
berkurangnya kegiatan. Semakin bertambahnya umur membuat kualitas hidup lansia terus
menurun. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci
mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuannya bersosialisasi. Interaksi
sosial yang menjadi syarat utama terjadinya aktivitasaktivitas sosial ini merupakan
hubungan sosial yang dinamis. Hasil penelitian oleh Rosmalina,dkk pada tahun (2003)
menunjukkan bahwa aktivitas social mempunyai hubungan yang bermakna dengan tingkat
kesegaran jasmani lansia yang tentunya dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia.
Dengan interaksi sosial, lansia dapat berpikir positif dan optimis tentang kehidupan
melalui keanggotaan dalam sebuah perkumpulan (Noorkasiani, 2009).

Menurut Nugroho pada tahun (2009) bahwa lansia juga perlu diberi kesempatan untuk
bersosialisasi atau berkumpul dengan orang lain sehingga dapat mempertahankan
keterampilan berkomunikasi, juga untuk menunda kepikunan. Menurut Abdullah pada
tahun (2006) hubungan antara satu manusia atau lebih dengan manusia lainnya melalui
komunikasi mempunyai tujuan dalam kehidupan di masyarakat dimana terjadi kontak
sosial antar-perorangan, antar-kelompok, atau antara kelompok dengan perorangan yang
dapat bersifat primer atau langsung dan sekunder atau tidak langsung. Lanjut usia yang
memiliki penyesuaian diri yang baik seperti dapat berinteraksi dengan tetangga dan
masyarakat sekitar dan mengikuti kegiatan kegiatan yang ada di daerah lanjut usia berada,
maka timbal balik dari dukungan sosial itu sendiri juga akan baik dan apabila penyesuaian
diri lanjut usia itu tidak baik dengan kurang berinteraksi dengan tetangga dan masyarakat
sekitar maka dukungan sosial yang di dapatkan lanjut usia tidak baik juga. Penyesuaian
diri sangat berhubungan erat terhadap dukungan sosial sehingga berpengaruh terhadap
kehidupan lanjut usia baik kehidupan sekarang ataupun yang akan datang (Kaplan dan
Saddock, 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rantepadang pada tahun (2012) interaksi sosial
juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis lansia. Semakin baik interaksi sosial, maka
semakin baik pula kondisi psikologis lansia dan tentunya hal ini akan mempengaruhi
kualitas hidup pada lansia tersebut. Menurut (Pradono dkk, 2007) menurunnya kondisi
kesehatan akan menimbulkan limitasi aktivitas sehingga akan menirnbulkan keluhan
kualitas hidup yang buruk. Krause pada tahun (2009) menyatakan bahwa adanya aktivitas
social lansia yang berupa kehadiran pelayanan keagamaan dan adanya dukungan
emosional kepada lansia dapat membantu lansia mencari kesejahteraan dan tujuan dalam
hidup. Sebuah penelitian di Cina mengenai kualitas hidup pada lanjut usia menyatakan
interaksi lansia serta ikatan dalam keluarga sangat mempengaruhi kualitas hidup
(Gillespie, 2011).

Keluarga merupakan kelompok dimana kelompok ini memiliki peranan yang sangat
penting untuk menyelesaikan masalah yang terjadi pada anggota keluarga. Kualitas hidup
dipengaruhi oleh status ekonomi. Kualitas hidup akan buruk jika status ekonomi rendah
karena menyebabkan hambatan untuk memperoleh makanan sehat serta bergizi,
pendidikan yang memadai, tempat tinggal yang layak, serta pelayanan dalam mengatasi
masalah kesehatan yang optimal akan terganggu. Tingkat pendidikan juga dapat
mempengaruhi kualitas hidup, jika tingkat pendidikan rendah maka kualitas hidup akan
buruk karena pengetahuan lansia tentang kualitas hidup menjadi rendah (Sutikno, 2007).

Hasil penelitian oleh Dewianti dkk pada tahun (2013) menunjukkan bahwa fungsi keluarga
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup lansia (p<0,05), dengan
peran sebesar 2,3 kali terhadap peningkatan kualitas hidup lanjut usia. Sebagian besar
responden berumur 60-74 tahun serta memiliki riwayat pendidikan SD. Lanjut usia akan
mengalami penurunan fungsi tubuh, sehingga akan berakibat pada penurunan fungsi jalan,
penurunan keseimbangan, serta penurunan pada kemampuan fungsional. Tingkat
kemandirian pada lanjut usia akan menurun sehingga kualitas hidupnya juga akan
mengalami penurunan (Utomo, 2010). Suatu penelitian di Makassar mendapatkan hasil
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kemandirian dengan kualitas
hidup lanjut usia (Aziz, 2015).
Depresi dapat menjadi suatu permasalahan baik pada lanjut usia maupun keluarganya,
menyebabkan parahnya penyakit, mengakibatkan adanya kecacatan, dan membutuhkan
sistem pendukung yang luas. Hal ini akan berdampak pada kesehatan jiwa dan kualitas
hidup lansia (Carito, 2009). Hasil penelitian sebelumnya di Jakarta menunjukkan
menunjukan ada hubungan yang signifikan antara tingkat depresi dan kualitas hidup lansia
dengan p value sebesar 0,000 (Kasuma, 2015).

Di kalangan para lansia penurunan fungsi kognitif merupakan penyebab terbesar


terjadinya ketidakmampuan dalam melakukan aktifitas normal seharihari, dan juga
merupakan alasan tersering yang menyebabkan terjadinya ketergantungan terhadap orang
lain untuk merawat diri sendiri (care dependence) pada lansia (Reuser dkk , 2010).
Penurunan fungsi kognitif dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia, namun seringkali
fungsi kognitif sering dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar
terjadi pada lansia (Firdaus, 2010). Sebuah penelitian di Depok menyatakan bahwa fungsi
kognitif berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup lansia (Lidwina, 2011).

COI
2.3 Cost of Illnes
Analisis cost of illness merupakan bentukevaluasi dan analisis ekonomi dari sector
pelayanan kesehatan 1. Adapun tujuan dari analisis COI adalah untuk mengevaluasi beban
ekonomi yang disebabkan oleh jenis penyakit tertentu pada masyarakat. Dimana COI ini
sangat bermanfaat untuk mengetahui penyakit mana yang membutuhkan peningkatan
alokasi sumber daya untuk pencegahan ataupun terapinya.. Studi COI yang komprehensif
haruslah meliputi biaya langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung digunakan untuk
mengukur opportunity cost dari semua sumber daya yang dipakai untuk mengatasi
penyakit tertentu. Sedangkan biaya tidak langsung mengukur segala sumber daya yang
hilang akibat penyakit tertentu. Biaya medic langsung meliputi pengeluaran untuk
pelayanan kesehatan diagnosis, terapi, dan rehabilitasi. Sedangkan biaya non medic
langsug adalah sumber daya yang tidak terkait langsung dengan pelayanan kesehatan
meliputi transportasi ke fasilitas kesehatan,dan waktu dari anggota keluarga untuk
merawat pasien. Biaya tidak langsung dipakai untuk menilai produktivitas yang hilang
akibat suatu penyakit.1

Studi COI mengukur beban ekonomi dari suatu penyakit dan memperkirakan nilai
maksimum yang dapat dihemat atau diperoleh jika penyakit dapat disembuhkan.
Pengetahuan COI dapat membantu pembuat kebijakan untuk memutuskan penyakit apa
yang diprioritaskan untuk ditentukan kebijakan pelayanan kesehatan dan pencegahannya.
Selain itu, studi ini dapat menjelaskan regimen terapi mana pada suatu penyakit yang
dapat menurunkan beban penyakit tersebut.2 Bagi pemegang kebijakan, studi COI dapat
menggambarkan pengaruh finansial dari suatu penyakit pada program kesehatan di
masyarakat. Bagi manajer, dapat diketahui penyakit apa yang mempunyai pengaruh besar
pada biaya. Studi COI menyediakan informasi yang penting untuk cost-effectiveness
analysis dan cost benefit analysis, memberikan kerangka kerja untuk perkiraan biayanya.

1. BELLUCCI E, TERENZI R, LA PAGLIA GM et al.: One year in review 2016:


pathogenesis of rheumatoid arthritis. Clin Exp Rheumatol 2016; 34: 793-801.
2. PICERNO V, FERRO F, ADINOLFI A et al.: One year in review: the
pathogenesis of rheumatoid arthritis. Clin Exp Rheumatol 2015; 33: 551-8.
3. Longo U, Petrillo S, Denaro V. Current Concepts in the Management of
Rheumatoid Hand. 2017.
4. Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Diagnosis of Rheumatoid
Arthritis [Internet]. AJMC. 2017 [cited 29 October 2017]. Available from:
http://www.ajmc.com/journals/supplement/2012/ace006_12dec_ra/ace006_12dec_
gibofsky_s295to302/
5. Cross M, Smith E, Hoy D, Carmona L, Wolfe F, Vos T, Williams B, Gabriel S,
Lassere M, Johns N, Buchbinder R. The global burden of rheumatoid arthritis:
estimates from the global burden of disease 2010 study. Annals of the rheumatic
diseases. 2014 Feb 18.
6. Dougados M, Soubrier M, Antunez A, Balint P, Balsa A, Buch MH, Casado G,
Detert J, El-Zorkany B, Emery P, Hajjaj-Hassouni N. Prevalence of comorbidities
in rheumatoid arthritis and evaluation of their monitoring: results of an
international, cross-sectional study (COMORA). Annals of the rheumatic diseases.
2014 Jan 1;73(1):62-8.
7. Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI. Dermawan D dan Rusdi. 2013

1.Davis K., Sara R. Collins, Michelle M. Doty, Alice Ho, and Alyssa L. Holmgren.
2005. Health and Productivity Among U.S. Workers.

2.Krol M., Brouwer, W., Rutten F. 2013. Productivity Costs in Economic


Evaluations: Past, Present, Future. PharmacoEconomics, Volume 31, Issue 7, pp 537-
549.

Anda mungkin juga menyukai