Anda di halaman 1dari 43

RESPONSI

Retensi Urine

Pembimbing

dr. Samsul Islam, Sp. U

Disusun oleh:

Hikmah Tri Wahyuni

201720401011150

SMF ILMU PENYAKIT BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

R RESPONSI

RETENSI URINE

Responsi dengan judul “Retensi Urine” telah diperiksa dan

disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi

kepaniteraan Dokter Muda di bagian Bedah

Surabaya, juli 2018

Pembimbing

dr. Samsul Islam, Sp. U

2 i
KATA PENGANTAR

ّ ‫الرحْ َم ِن‬
‫َللاِ بِس ِْم‬ ّ ‫الر ِحيم‬
ّ

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya yang telah

dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas responsi

dengan judul ”Retensi Urine”.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak, rekan sejawat, dan dr. Samsul Islam, Sp. U yang telah meluangkan

waktunya untuk membimbing sehingga tugas makalah ini dapat selesai dengan

baik.

Penulis menyadari bahwa responsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan guna

menyempurnakan tugas makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

rekan dokter muda dan masyarakat.

Surabaya, juli 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................ iv

DAFTAR ISI .............................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN KEMIH ..................... 2

BAB III RETENSI URINE ......................................................................... 13

Definisi .......................................................................................... 13

Etiologi .......................................................................................... 13

Klasifikasi ..................................................................................... 15

Epidemiologi ................................................................................. 15

Manifestasi klinis .......................................................................... 16

Patofisiologi ................................................................................... 16

Diagnosis ...................................................................................... 18

Pemeriksaan penunjang ................................................................ 19

Penatalaksanaan ............................................................................. 23

BAB III LAPORAN KASUS ..................................................................... 34

BAB IV KESIMPULAN............................................................................. 38

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 39

iii

4
BAB 1

PENDAHULUAN

Fungsi kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi

antara sistim saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai

refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis

bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing

dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat. Traktus urinarius bagian bawah

memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai tempat untuk menampung produksi

urine dan sebagai fungsi ekskresi. Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli buli

dan uretra yang keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan

fungsinya dalam menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding) urine. Adanya

penyumbatan pada uretra, kontraksi buli buli yang tidak adekuat atau tidak adanya

koordinasi antara buli buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya retensi urin. 1,9

Retensi Urin merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering

ditemukan dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Retensi Urin adalah

ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di dalam

buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.1,7

Salah satu penyebab retensi urine adalah BPH. Benign Prostat Hyperplasia

merupakan penyakit yang sering diderita pada pria. Hasil penelitian di Amerika

20% penderita Benigna Prostat Hiperplasia terjadi pada usia 41-50 tahun, 50%

terjadi pada usia 51-60 tahun dan 90% terjadi pada usia 80 tahun. Pada wanita

Salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah proses persalinan, baik

persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah retensi urin postpartum.2,10

5
BAB 2

ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN KEMIH

2.1 ANATOMI

Saluran kemih terdiri dari: ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-buli

(vesika urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai lapisan

otot yang mampu menghasilkan gerakan peristaltik.

1. GINJAL

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di

retroperitoneal diantara vertebra Thoracalis 12 dan Lumbal 13. Bentuknya

menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini

terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem

limfatik, sistem saraf dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal.1

Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini bergantung pada jenis

kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada outopsi klinis

didapatkan bahwa ukuran ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11,5 cm (panjang)

6
x 6 cm (lebar) x 3,5 cm(tebal). Beratnya bervariasi antara 120-170 gram, atau

kurang lebih 0,4% dari berat badan.2

Struktur Ginjal

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian1:

a. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus

renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus

proksimal dan tubulus kontortus distalis.

b. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus

rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).

c. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal

d. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah

korteks

7
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medula

ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di dalam medula

banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal

yang terdiri atas tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus distalis, dan

duktus kolengentes.2

Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi

(disaring) di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih

diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme

mengalami sekresi bersama air membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180

liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter. Urine

yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises

ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter.2

Sistem pelvikalises ginjal terdiri dari kaliks minor, infundibulum, kaliks

major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel

transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu berkontraksi untuk

mengalirkan urine sampai ke ureter.2

Vaskularisasi Ginjal

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan

cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui

vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal

adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan

cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu

cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang

dilayaninya.2

8
Fungsi Ginjal

Selain membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui urine, ginjal

berfungsi juga dalam (1) mengontrol sekresi hormon-hormon aldosteron dan

ADH (anti diuretic hormone) dalam mengatur jumlah cairan tubuh, (2) mengatur

metabolisme ion kalsium dan vitamin D, (3) menghasilkan beberapa hormone,

antara lain : eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah,

rennin yang berperan dalam mengatur tekanan darah, serta hormon

prostaglandin.2

2. URETER

Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi

mengalirkan urine dari pielum ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa

panjangnya kurang lebih 20 cm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh

sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat

melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke buli-

buli.2

Jika karena sesuatu sebab terjadi sumbatan pada aliran urine, terjadi

kontraksi otot polos yang berlebihan yang bertujuan untuk mendorong /

mengeluarkan sumbatan itu dari saluran kemih. Kontraksi itu dirasakan sebagai

nyeri kolik yang datang secara berkala, sesuai dengan irama peristaltik ureter.2

9
Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju buli – buli, secara

anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relative lebih sempit

daripada ditempat lain,sehingga batu atau benda – benda lain yang berasal dari

ginjal seringkali tersangkut di tempat itu.

Tempat - tempat penyempitan itu antara lain :

1. Pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvi ureter-

junction.

2. Tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis.

3. Pada saat ureter masuk ke buli-buli.

Ureter masuk ke buli-buli dalam posisi miring dan berada di dalam otot

buli-buli (intramural); keadaan ini dapat mencegah terjadinya aliran balik urine

dari buli-buli ke ureter atau refluks vesiko-ureter pada saat buli-buli berkontraksi.

Untuk kepentingan radiologi dan kepentingan pembedahan, ureter dibagi

menjadi dua bagian yaitu: ureter pars abdominalis, yaitu yang berada dari pelvis

renalis sampai menyilang vasa iliaka, dan ureter pars pelvika, yaitu mulai dari

persilangan dengan vasa iliaka sampai masuk ke buli-buli.

Di samping itu secara radiologis ureter dibagi dalam tiga bagian, yaitu

1. Ureter 1/3 proksimal mulai dari pelvis renalis sampai batas atas sakrum

2. Ureter 1/3 medial mulai dari batas atas sakrum sampai pada batas bawah

sakrum

3. Ureter 1/3 distal mulai batas bawah sakrum sampai masuk ke buli –buli.

10
3. BULI-BULI / VESIKA URINARIA

Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor

yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah

merupakan otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa

buli-buli terdiri atas sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa

pada pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara

ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut

trigonum buli-buli.1,2

Secara anatomik bentuk buli-buli terdiri atas 3 permukaan, yaitu

1. Permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum

2. Dua permukaan inferiolateral

3. Permukaan posterior

Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding

buli – buli. Buli–buli berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian

mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam

11
menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya

untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300 -450 ml; sedangkan kapasitas buli-

buli pada anak menurut formula dari Koff adalah:

Kapasitas buli-buli = {Umur (tahun) + 2} x 30 ml

Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada

saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi. Buli-

buli yang terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan

menyebabkan aktivasi pusat miksi di medula spinalis segmen sacral S2-4. Hal ini

akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli dan

relaksasi sfingter uretra sehingga terjadilah proses miksi.

4. URETRA

Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan

uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan

mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada

perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada

perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot

12
polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh,

sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi

oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang.

Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan

kencing.2,3

Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa

kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan

hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria.2

Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian

uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Di

bagian posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum,

dan disebelah proksimal dan distal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis.

Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir

kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di

dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.2

Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus

spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis,

(3) pars navikularis, dan (4) meatus uretra eksterna. Di dalam lumen uretra

anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses

reporoduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis dan

bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar Parauretralis

yang bermuara di uretra pars pendularis.2

Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di

bawah simfisis pubis dan bermuara disebelah anterior vagina. Di dalam uretra

13
bermuara kelenjar periuretra, di antaranya adalah kelenjar Skene. Kurang lebih

sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot

bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi

mempertahankan agar urine tetap berada dalam buli – buli pada saat perasaan

ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra

akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.2

5. PROSTAT

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-

buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah

kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. 2

Prostat terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi

dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona

transisional, zona preprostatik sfingter, dan zona anterior (McNeal 1970). Secara

histopatologik, prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen

stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan

penyanggah yang lain. 2

14
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen

dari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara

di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain

pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan ± 25% dari seluruh volume

ejakulat. 2

Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari

pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan

serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus

hipogastrikus (T10-L2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada

epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan

prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik

memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli.

Di tempat-tempat itu, banyak terdapat reseptor adrenergik-α. Rangsangan

simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Jika prostat

mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi ganas, dapat menyumbat uretra

posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih. 2

15
2.2 FISIOLOGI

1. Pengisian urine

Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan

adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung

kencing normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab

terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung

kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh

antara pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active

compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan

inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks S2-S4.

Selain akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan

fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih

tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar.5,6

2. Pengaliran urine

Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari

distensi kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat

sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui

dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai

pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis

pada leher kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal

diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung

kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter

dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.5

16
2.3 RETENSIO URIN

2.3.1 DEFINISI

Retensi Urin adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan urin

yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli

terlampaui.9

2.3.2 ETIOLOGI

Penyebab dari penyakit retensio urine dapat dibagi menurut letaknya yang

adalah sebagai berikut:

1. Supravesikal

a. Kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis S2 - S4.

b. Kerusakan saraf simpatis, parasimpatis baik sebagian ataupun seluruhnya.

c. Kelainan medulla spinalis, misalnya meningokel, tabes dorsalis, atau

spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.

2. Vesikal

a. Kelemahan otot detrusor karena lama teregang.

b. Divertikel yang besar.

3. Infravesikal

a. Pembesaran prostate.

b. Kekakuan leher vesika.

c. Striktur urethra

d. Batu urethra

e. Tumor.

f. Fimosis.

17
Selain itu penyebab dari penyakit retensi urine juga dapat dibagi menurut

organ yang terkenanya. Pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Vesika urinaria

a. Neuropati diabetes

b. Atoni otot detrusor karena pembesaran kronis yang berlebihan.

2. Uretra

a. Pada bayi dan anak-anak

i. Katup uretra posterior

ii. Stenosis meatal

iii. Fimosis dan parafimosis

b. Pada pria dewasa

i. Batu

ii. Striktura

c. Pada wanita dewasa

i. Obstruksi uretra ( sangat jarang )

d. Pada pria tua

i. Benign Prostat Hiperplasia

ii. Batu

iii. Kanker prostat

iv. Striktur urethra

e. Pada wanita tua

i. Karunkula uretra

ii. Polip uretra

18
2.3.3 KLASIFIKASI

Retensi urin akut

Retensi urin yang akut adalah ketidak mampuan berkemih yang tiba-tiba

dan disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Kondisi yang terkait

adalah tidak dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba,

disertai rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau

tidak dapat berkemih sama sekali segera dipasang kateter.5

Retensi urin kronik

Retensi urin kronik adalah retensi urin tanpa rasa nyeri yang disebabkan

oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Misalnya lama-lama tidak

bisa kencing. pada pembesaran prostat, pembesaran sedikit-sedikit, bisa kencing

sedikit tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan

lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah masih dapat

berkemih, namun tidak lancar , sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak dapat

mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak lampias). Retensi urin

kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan medis

yang serius di kemudian hari.

2.3.4 EPIDEMIOLOGI

Hasil penelitian di Amerika 20% penderita Benigna Prostat Hiperplasia

terjadi pada usia 41-50 tahun, 50% terjadi pada usia 51-60 tahun dan 90% terjadi

pada usia 80 tahun. Pasien biasanya datang ke rumah sakit setelah keadaan

Benigna Prostat Hiperplasia semakin berat, pasien yang mengalami hambatan

pada saluran air seni atau uretra didekat pintu masuk kandung kemih seolah-olah

tercekik.

19
2.3.5 MANIFESTASI KLINIS

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk

diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan

terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau

memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih.

Suatu penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling bermakna dalam

memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran kencing yang

lemah, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna, mengedan saat

berkemih, dan nokturia.

2.3.6 PATOFISIOLOGI

Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan

penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan

dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal

penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan

somatik.

Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung

kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih.

Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas

kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher

kandung kemih dan proksimal uretra.

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang

simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh

sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu

asetilkholin, suatu agen kolinergik.

20
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris

pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang

otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat

kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada

aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot

uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk

merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya

urine dengan resistensi saluran yang minimal.

Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai

rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat

disertai mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan

factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain

sebagainya.

Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan

pusat miksi di medulla spinalis menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis

sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang

mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,

vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa

hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil

menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi

bladder kemudian distensi abdomen.

Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian

terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien.Selanjutnya

21
terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan,

salah satunya berupa kateterisasi urethra.

2.3.7 DIAGNOSIS

Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis

dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan

neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan

urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu urine, sangat dibutuhkan.

Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan

uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding

cystourethrography.

1. Anamnesis

- Tidak bisa kencing atau kencing menetes /sedikit-sedikit

- Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah

- Riwayat trauma: "straddle", perut bagian bawah/panggul, ruas tulang

belakang.

- Pada kasus kronis, keluhan uremia

2. Pemeriksaan Fisik

- Inspeksi:

 Penderita gelisah

 Benjolan/massa perut bagian bawah

 Tergantung penyebab : batu dimeatus eksternum, pembengkakan

dengan/tanpa fistulae didaerah penis dan skrotum akibat striktura

uretra, perdarahan per uretra pada kerobekan akibat trauma.

22
- Palpasi dan perkusi:

 Teraba benjolan/massa kistik-kenyal (undulasi) pada perut bagian

bawah.

 Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis atau

menimbulkan perasaan ingin kencing yang sangat mengganggu.

 Terdapat keredupan pada perkusi.

Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas atas buli-buli yang

penuh, dikaitkan dengan jarak antara simfisis-umbilikus. Tergantung

penyebab:

 Teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum.

 Teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang

panjang

 Teraba pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan colok dubur.

 Teraba kelenjar prostat letaknya tinggi bila terdapat ruptur total

uretra posterior.

2.3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan urin lengkap.

Kelainan urin secara laboratorik yang ditemukan apabila terdapat

infeksi pada saluran kemih ialah :

1. Urinalisis

 Leukosituria.

Leukosituria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting

terhadap dugaan adanya infeksi saluran kemih. Leukosuria

dinyatakan positif bilamana terdapat 5 leukosit / lapang pandang

23
besar ( LPB ) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada

sedimen air kemih menunjukkan adanya keterlibatan ginjal.

 Hematuria.

Hematuria dipakai sebagai petunjuk adanya infeksi saluran kemih

bilamana dijumpai 5 – 10 eritrosit / lapang pandang besar ( LPB )

sedimen air kemih.

2. Bakteriologis.

 Mikroskopis

Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan air kemih segar

tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram. Bakteri dinyatakan

positif bilamana ditemukan satu bakteri lapang pandang minyak

emersi.

 Biakan bakteri

Selain untuk mengetahui adanya infeksi pemeriksaan

laboratorium lain yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan gula

darah sewaktu untuk mengetahui kadar glukosa pasien tersebut

karena apabila pasien mempunyai penyakit diabetes maka

diabetes dapat menyebabkan retensi urin.

B. Uroflowmetri.

Uroflowmetri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses

miksi secara elektronik non-invasif ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi

saluran kemih infra vesika. Dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi

pancaran maksimum, pancaran rata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

pancaran maksimum dan lamanya pancaran.

24
C. Foto polos abdomen.

Pada pasien dengan retensi urin, pada pemeriksaan foto polos abdomen

dapat memperlihatkan bayangan buli – buli penuh dan mungkin terlihat bayangan

batu opak pada uretra atau pada buli – buli apabila karena batu pada saluran

kemih.

D. Urethrografi

Urethrografi adalah pencitraan urethra dengan memakai bahan kontras.

Bahan kontras dimasukkan langsung melalui klem Broadny yang dijepitkan pada

glans penis. Gambaran yang mungkin terjadi adalah :

 Jika terdapat striktura uretra akan tampak adanya penyempitan atau

hambatan kontras pada uretra.

 Trauma uretra tampak sebagai ekstravasasi kontras keluar dinding uretra.

 Tumor uretra atau batu non opak pada uretra tampak sebagai filling defect

pada uretra.

E. Uretrosistoskopi.

Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika

dan buli-buli. Terlihat adanya pembesaran, obstruksi uretra dan leher buli-buli,

batu buli-buli, selule dan divertikel buli-buli. Uretrosistoskopi dikerjakan pada

saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan

TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka.

F. Ultrasonografi.

Pemeriksaan ini tidak invasif dan tidak menimbulkan efek radiasi. USG

dapat membedakan antara massa padat ( hiperekoik ) dengan massa kistus (

hipoekoik ). Pada kelenjar prostat, melalui pendekatan transrektal ( TRUS )

25
dipakai untuk mencari nodul pada keganasan prostat dan menentukan volume /

besarnya prostat. Jika didapatkan adanya dugaan keganasan prostat, TRUS dapat

dipakai sebagai penuntun dalam melakukan biopsy kelenjar prostat.

G. Urodinamik

Pada kandung kemih normal, perbedaan tekanan saat kandung kemih

kosong dan terisi penuh sekitar 10–15 cm H2 O. Pada saat hendak berkemih,

tekanan di dalam kandung kemih dapat meningkat hingga 50 – 80 cm H2 O pada

laki-laki dan 40 – 65 cm H2 O pada perempuan. Untuk menilai fungsi kandung

kemih dapat dilakukan pemeriksaan urodinamik. Fungsi kandung kemih dibagi

menjadi dua yaitu fungsi pengisian dan pengosongan. Ada empat parameter yang

dinilai pada fungsi pengisian yaitu:

1. volume atau kapasitas kandung kemih maksimal yang menimbulkan

keinginan untuk berkemih atau saat terjadi rembesan urin,

2. elastisitas kandung kemih yang dinyatakan dalam ratio volume

berbanding tekanan (V/P),

3. sensasi pertama saat kandung kemih terasa penuh dan timbul keinginan

untuk berkemih, dan

4. fungsi sfingter yang diukur berdasarkan kemampuan leher kandung

kemih dan uretra proksimal untuk tetap menutup selama proses pengisian

berlangsung, umumnya dilakukan bersama dengan fluoroskopi atau dapat

dilakukan dengan pengamatan. Fungsi pengosongan terdiri atas dua

parameter yakni: 1. kemampuan kontraksi otot detrusor meningkatkan

tekanan di dalam kandung kemih sehingga terjadi aliran urin dan 2.

kemampuan otot sfingter untuk relaksasi selama proses pengosongan

26
berlangsung yang diukur dengan bantuan elektromiografi (EMG) yang

diletakkan pada otot dasar panggul.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memasukkan kateter khusus tripel

lumen ke dalam kandung kemih untuk mengukur tekanan intra vesika, dan kateter

lain dimasukkan ke rektum untuk mengukur tekanan intra-abdomen dan beberapa

elektroda permukaan diletakkan di daerah perineum untuk mengukur kontraksi

otot dasar panggul.2,3

Ada empat pola urodinamik yang dapat ditemukan pada kandung kemih

neurogenik yaitu: hiperefleksia otot detrusor bersamaan dengan hiperefleksia

(spastisitas) sfingter, arefleksia otot detrusor bersamaan dengan arefleksia

sfingter, arefleksia otot detrusor bersamaan dengan hiperefleksia atau spastisitas

sfingter, dan hiperefleksia otot detrusor bersamaan dengan arefleksia sfingter.

2.3.8 PENATALAKSANAAN

Urine yang tertahan lama di buli buli secepatnya harus dikeluarkan karena

jika dibiarkan, akan menimbulkan beberapa masalah. Penanganan pada retensi

urin akut berupa : kateterisasi – bila gagal – dilakukan Sistostomi. Tindakan

penyakit primer dikerjakan setelah keadaan pasien stabil. 9

Kateterisasi

Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter kedalam buli melalui uretra.

Tujuan Kateterisasi

Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi.

Tindakan diagnosis antara lain adalah :

1. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna

pemeriksaan kultur urin.

27
2. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai

miksi.

3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain :

Sistografi atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui

pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG).

4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.

5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.

Indikasi kateterisasi :

1. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik

yang disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan

darah) yang menyumbat uretra.

2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.

3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu

pada operasi prostatektomi, vesikolitektomi.

4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi

uretra.

5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik

untuk buli-buli.

Kontraindikasi kateterisasi :

Ruptur uretra, ruptur buli-buli, bekuan darah pada buli-buli.

Macam-macam Kateter

Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat, pemakaian,

sistem retaining (pengunci), dan jumlah percabangan. Ukuran Kateter

28
Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini

merupakan ukuran diameter luar kateter.

1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 milimeter atau

1 milimeter = 3 Fr

Jadi, kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter itu adalah 6

mm. Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai

diameter lumen yang sama karena adanya perbedaan bahan dan jumlah

lumen pada kateter itu.

Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks),

lateks dengan lapisan silikon (siliconized) dan silikon.

Bentuk Kateter

Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks),

bentuknya lurus dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah

kateter Robinson dan kateter Nelaton.

29
Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping.

Kateter ini dipakai jika usaha kateterisasi dengan memakai kateter berujung

lurus mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke uretra pars

bulbosa yang berbentuk huruf “S”, adanya hiperplasia prostat yang sangat

besar, atau hambatan akibat sklerosis leher buli-buli. Tindakan

Kateterisasi

Pada wanita

Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra

karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh

tumor uretra / tumor vaginalis / serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan

dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.

Pada pria

Teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :

1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah

genitalia dipersempit dengan kain steril.

2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin / jelly dimasukkan ke dalam

orifisium uretra eksterna.

3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah daerah

sfingter uretra eksterna akan terasa tahanan; pasien diperintahkan untuk

30
mengambil nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih

relaks. Kateter terus didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai

dengan keluarnya urin dari lubang kateter.

4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter

menyentuh meatus uretra eksterna.

5. Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril.

6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa

penampung (urinbag).

7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian

proksimal.

Kateterisasi Suprapubik

Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat

lubang pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan

mengeluarkan urin.

Kateterisasi suprapubik ini biasanya dikerjakan pada :

1. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.

2. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada

ruptur uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.

3. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.

4. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR

Prostat.

Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi

terbuka atau dengan perkutan (trokar) sistostomi.

31
Sistostomi Trokar

Kontraindikasi Sistostomi Trokar : tumor buli-buli, hematuria yang belum

jelas penyebabnya, riwayat pernah menjalani operasi daerah abdomen /

pelvis, buli-buli yang ukurannya kecil (contracted bladder), atau pasien

yang mempergunakan alat prostesis pada abdomen sebelah bawah.

Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan mempergunakan alat

trokar.

Alat-alat dan bahan yang digunakan :

1. Kain kasa steril.

2. Alat dan obat untuk desinfeksi (yodium povidon).

3. Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi.

4. Semprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang telah

diisi dengan aquadest steril untuk fiksasi balon kateter.

5. Obat anestesi lokal.

6. Alat pembedahan minor, antara lain : pisau, jarum jahit kulit, benang sutra

(zeyde).

32
7. Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional.

8. Kateter Foley (ukuran tergantung alat trokar yang digunakan). Jika

mempergunakan alat trokar konvensional, harus disediakan kateter Naso-

gastrik(NG tube) no. 12.

9. Kantong penampung urine (urinebag).

Langkah-langkah Sistostomi Trokar :

1. Desinfeksi lapangan operasi.

2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.

3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan Lidokain 2% mulai dari kulit,

subkutis hingga ke fasia.

4. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling cembung + 1

cm, kemudian diperdalam sampai ke fasia.

5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10 cc

untuk memastikan tempat kedudukan buli-buli.

6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya tahanan

dari fasia dan otot-otot detrusor.

7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli akan

keluar urine memancar melalui sheath trokar.

8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk)

dan sheath dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan bagian slot kateter

setengah lingkaran tetap ditinggalkan.

9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah lingkaran,

kemudian balon dikembangkan dengan memakai aquadest 10 cc. Setelah

33
balon dipastikan berada di buli-buli, slot kateter setengah lingkaran

dikeluarkan dari buli-buli dan kateter dihubungkan dengan kantong

penampung urin (urinbag).

10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi ditutup

dengan kain kasa steril.

Menusukkan alat trokar ke dalam buli-buli

34
Setelah yakin trokar masuk ke buli-buli, obturator dilepas dan hanya slot

kateter setengah lingkaran ditinggalkan

Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula digunakan alat

trokar konvensional. Kateter ini setelah dimasukkan ke dalam buli-buli

pangkalnya harus dipotong untuk mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.

Penyulit

Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun setelah

pemasangan kateter sistotomi adalah :

1. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.

2. Mencederai rongga / organ peritoneum.

3. Menimbulkan perdarahan.

4. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik akan

menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu saluran kemih,

degenerasi maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks vesiko-ureter.

Sistostomi Terbuka

Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontraindikasi pada

tindakan sistostomi trokar atau bila tidak tersedia alat trokar. Dianjurkan untuk

melakukan sistostomi terbuka jika terdapat jaringan sikatriks / bekas operasi di

daerah suprasimfisis, setelah mengalami trauma di daerah panggul yang

mencederai uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli yang

tidak mungkin dilakukan tindakan per uretra.

Tindakan

1. Desinfeksi seluruh lapangan operasi.

2. Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.

35
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.

4. Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan simfisis

dan umbilicus.

5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba yang

merupakan pertemuan fasia yang membungkus muskulus rektus kiri dan

kanan. Muskulus rektus kiri dan kanan dipisahkan sehingga terlihat

jaringan lemak, buli-buli dan peritoneum. Buli-buli dapat dikenali

karena warnanya putih dan banyak terdapat pembuluh darah.

6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk memudahkan

memegang buli-buli.

7. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.

8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat yang telah

difiksasi.

9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau

tajam hingga keluar urin, yang kemudian (jika perlu) diperlebar dengan

klem. Urin yang keluar dihisap dengan mesin penghisap.

10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu, adanya

perdarahan, muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.

11. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda dengan

luka operasi.

12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan sero-muskularis.

13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi lapis.

Balon kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan difiksasikan ke

kulit dengan benang sutra.

36
3.3. Prognosis

Prognosis pada penderita dengan retensi urin akut akan bonam jika

ditangani secara baik dab cepat.

37
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita

• Nama : Tn.sutadi

• Umur :65 tahun

• Jenis Kelamin : Laki-laki

• Agama : Islam

• Alamat : surabaya

• No.reg : 616701

• Jam datang : 27/05/2018 09.00

• Jam pemeriksaan: 28/05/2018 06.35

III. Anamnesis

• Keluhan utama: Sulit buang air kecil (BAK)

• RPS : Pasien datang ke IGD RS Haji dengan keluhan sulit BAK sejak 1

bulan yang lalu. BAK masih keluar tetapi pancarannya kecil dan terputus

putus, serta pasien harus mengedan agar air kencing keluar. Pasien juga

merasa masih ada sisa air kencing tertahan setelah BAK. 6 bulan yang lalu

pasien sempat periksa ke poli uologi dn diberi terapi harnal ocas, keluhan

menghilang dan keadaan pasien membaik membuat pasien tidak control

lagi sehinga 1 bulan ini keluhan muncul kembalu. Kencing darah (-), batu

(-) nanah (-), trauma (-), demam (-), penurunan BB drastis (-)

• RPD : Alergi (-) Hipertensi (-) DM (-)

• RPK : -

• Rsos : Pasien sudah tidak bekerja

38
B. Pemeriksaan Fisik

a. Status Present

Kesadaran : Compos mentis (GCS 4-5-6)

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 80 kali/menit, reguler

Respirasi : 20 kali/menit, reguler

Suhu aksila : 36.50 C

b. Status General

Mata : Kesan anemis -/-, ikterus -/-, sianosis -/-, dyspnea -/-

Leher : benjolan (-), trakea letak tengah, pembesaran tiroid (-).

THT : Telinga : daun telinga terangkat (-), sekret -/-, hiperemis -/-

Hidung : Sekret (-), mukosa nasalis intak/intak

Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)

Lidah : Papil atrofi (-)

Thorax : Simetris (+), retraksi (-)

Cor :

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis

Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas kanan jantung ICS V PSL kanan

Batas kiri jantung ICS V MCL kiri

Auskultasi : S1S2 reguler

Pulmo :

Inspeksi : Simetris, normochest

Palpasi : Vocal fremitus raba simetris

39
Perkusi : Sonor/Sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonki +/-, Wheezing -/-

Abdomen :

Inspeksi :Distensi (-), Pelebaran pembuluh darah (-

), Penonjolan massa (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar/Lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani

Ekstremitas :

Hangat + +

+ +

Edema - -

- -

CRT<2 detik

St. Urologi :

* Regio flank

• Flank pain -/-

• Flank mass -/-

• Nyeri tekan -/-

• Nyeri ketok -/-

* VU: kosong

* GE

• Penis dbn

• Testis dbn

• Scrotum dbn

40
* RT

• Massa tidak teraba

• Teraba prostat gr II

C. Planing Diagnosis

USG urologi, DL.Urine lengkap

D. Assesment

• Diagnosis kerja : Retensi Urine

• Diagnosis primer : susp BPH

• Diagnosis sekunder: -

• Diagnosis komplikasi : -

E. Penatalaksanaan

• Pemasangan Kateter Foley no. 18 dan Urine bag menetap

• Konsul spesialis urologi

• MRS

F. Prognosis

Dubia ad bonam

41
BAB IV

KESIMPULAN

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu:

sebagai tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi

ekskresi. Sistem urinaria bagian bawah terdiri atas buli buli dan uretra yang

keduanya harus bekerja secara sinergis untuk dapat menjalankan fungsinya dalam

menyimpan (storage) dan mengeluarkan (voiding) urine. Adanya penyumbatan

pada uretra, kontraksi buli buli yang tidak adekuat atau tidak adanya koordinasi

antara buli buli dan uretra dapat menimbulkan terjadinya retensi urin.

Retensi urin bisa dibagi menjadi 2 keadaan yaitu akut dan kronik.

Retensi urin yang akut adalah ketidak mampuan berkemih yang tiba-tiba

dan disertai rasa sakit meskipun kandung kemih terisi penuh, berlangsung

kurang dari 24 jam. Sedangkan retensio urin kronis, tidak ada rasa sakit

karena sedikit demi sedikit menimbunnya, dan berlangsung lebih dari 24

jam. Normalnya manusia memproduksi urin dalam waktu 24 jam

adalah sebanyak 1000-1500cc. sedangkan kapasitas buli-buli secara

umum adalah sebanyak 300cc saja dan dalam sehari manusia dapat

berkemih 4-5kali

Retensio Urine dapat dibagi menjadi 3 lokasi yaitu Supravesikal,

Vesikal, Infravesikal. Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih,

termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah,

lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk

mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih.

Diperlukan perhatian dan kewaspadaan dari dokter yang memeriksa.

42
DAFTAR PUSTAKA

1.Ganong. Review of medical Phisiologi. USA. McGraw-Hill

companies. 2003

2.Guyton & Hall. Textbook of medical Phisiologi. 2003.

3.Price, Sylvia dkk. Patofisiologi konsep klinis proses penyakit volume

I1 2006.

4.Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah

bagian 2, Jakarta : EGC, 2008.

5.Schwartz, Seymour I. 2009. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Ed 6.

EGC Jakarta.

6.Suyono S, 2007, Buku Ajar Ilmur Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi

Ketiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

7.Widjoseno Gardjito. Retensi Urine permasalahan dan

penatalaksanaan, Lab/UPF Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo

Surabaya

8.Iskandar Japardi, Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi. Fakultas

Kedokteran Bagian Bedah. Universiitas Sumutra Utara.

9. Purnomo, basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. SMF ilmu

bedah FKUB.

10. Mary, et al.. Benign Prostat Hiperplasia Journal of the year. 2014

43

Anda mungkin juga menyukai