Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS

I. KONSEP DASAR APENDISITIS

A. Anatomi Fisiologi

Gambar: Apendiks (Indonesian Children, 2009)

Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil yang panjangnya kira – kira 10 cm (4 inchi),
melekat pada sektum tepat di bawah katup ileosektal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan
diri secara teratur ke dalam sektum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil,
apendiks cenderung menjadi tersumbat dan infeksi (Smeltzer, 2001).
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15),
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia
itu (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar
limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar
yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangren (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya
berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di
sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

B. Definisi
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis. Karena struktur yang terpuntir,
apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk brkumpul dan multiplikasi. Apendisitis dapat
terjadi pada segala usia (Chang, Daly, dan Elliott, 2006).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis
dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer,2001).
Dari bebrapa definisi di atas dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi
infeksi di umbai cacing dan penyabab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen.

C. Epidemiologi
Apendisitis merupakan radang pada apendiks vertmiformis yang merupakan proyeksi dari
apeks serum. Apendisitis akut merupakan suatu emergensi bedah abdomen yang umumnya terjadi
dan mengenai tujuh sampai dua belas persen dari populasi. Kelompok usia yang umumnya
mengalami apendisitis yaitu pada usia antara 10-30 tahun, namun penyakit ini juga dapat terjadi
pada segala usia (Smeltzer, 2001).
Apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006.
Jumlah pasien rawat inap karena penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien,
berada di urutan keempat setelah dispepsia (34.029 pasien rawat inap), gastritis dan duodenitis
(33.035 pasien rawat ianp), dan penyakit sistem cerna lainnya (31.450 pasien rawat inap). Pada
rawat jalan, kasus penyakit apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat jalan),
dispepsia (136.296 pasien rawat jalan), gastritis, dan duodenitis (127.918 pasien rawat jalan), serta
karies gigi (86.006 pasien rawat jalan).
Satu orang dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insidens
tertingginya terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun, dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-
laki lebih banyak menderita apendisitis daripada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun.
Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak di bawah 2 tahun.

D. Etiologi
Kebanyakan kasus dari apendisitis akut merupakan akibat dari obstruksi. Berbagai hal
tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada apendiks antara lain:
1. Batu (fecalith)
2. Makanan
3. Mukus (paling sering terjadi pada krisik fibrosis)
4. Apendiks yang terangulasi
5. Parasit
6. Tumor pada apendiks atau sekum
7. Endometriosis
8. Benda asing
9. Hiperplasia limfois (khusus terjadi sekunder akibat infeksi virus)

E. Patofisiologi dan Pathway

Mukus ataupun feses mengeras, menjadi seperti batu (fecalith) dan menutup lubang
apendiks dan sekum tersebut. Jaringan limfa pada apendiks membengkak dan menutup apendiks.
Hiperplasia limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi saluran pernafasan atas,
mononucleosis, gastroenteritis, penyakit chohn, ataupun infeksi parasit seperti cacing oxyuris
vermikularis, schistosoma, strongyloides. Terjadinya obstruksi ini juga dapat terjadi karena benda
asing seperti permen karet, kayu, dental amalgam, batu, sisa makanan, barium, metastis tumor.
Penyebab tersering dari obstruksi adalah fecalith.

Obstruksi tersebut kemudian menyebabkan gangguan resistensi mukosa apendiks terhadap


invasi mikroorganisme. Obstruksi ini meningkatkan tekanan di dalam lumen. Ketika tekanan
mural apendiks meningkat, tekanan luminal mulai meningkatkan tekanan perfusi kapiler. Drainase
limfa dan vena terganggu dan terjadi iskemi. Sebagai hasilnya, terjadi pemecahan pertahanan
mukosa epitel. Sekarang, bakteri liminal dapat menginvasi dinding apendiks menyebabkan
inflamasi transmural. Inflamasi ini dapat meluas ke serosa, peritoneum pariental, dan organ lain
yang berdekatan.

Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan adanya kontinuitas aliran sekresi cairan dan
mukus dari mukosa dan stagnasi dari meterial tersebut. Konsekuensinya, terjadi iskemia dinding
apendiks, yang menyebabkan hilangnya keutuhan epitel dan invasi baktero ke dinding apendiks.
Bakteri intestinal yang ada di dalam apendiks bermultiplikasi, hal ini menyebabkan rektruitmen
dari leukosit, pembentukan pus dan tekanan intraluminal yang tinggi. Dalam 24-36 jam, kondisi
ini dapat semakin parah karena trombosis dari arteri maupun vena apendiks menyebabkan
perforasi dan gangren apendiks. Jika inflamasi dan infeksi menyebar ke dinding apendiks,
apendiks dapat ruptur. Setelah ruptur terjadi, infeksi akan menyebar ke abdomen, tetapi biasanya
hanya terbatas pada area sekeliling dari apendiks (membentuk abses periapendiks) dapat juga
menginfeksi periteoneum sehingga mengakibatkan peritonitis.
F. Manifestasi Klinis

Secara klinis, apendisitis memberikan manifestasi klinis seperti:


1. Nyeri kuadran bawah terasa dan nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
Nyeri tekan lepas mungkin dijumpai. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan
nyeri tekan dapat terasa didaerah lumbar. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks
berada dekat rectum. Biasanya pasien berbaring, melakukan fleksi pada pinggang, serta
mengangkat lututnya untuk mengurangi pergerakan dan menghindari nyeri yang semakin
parah.
2. Anoreksia sering terjadi. Mual dan muntah terjadi pada 50-60% kasus, tetapi muntah biasanya
self-limited.
3. Tanda Rovling dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah.
4. Demam ringan, dimana temperatur tubuh berkisar antara 37.2-380C.
5. Peningkatan jumlah leukosit primer. Leukosit > 20.000 sel/µL menandakan adanya perforasi.

G. Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya
adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Adanya
obstruksi mengakibatkan mucin/cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks,
hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa
juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga
terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus/nanah pada dinding apendiks. Selain
obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang
kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri
dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

3. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.

4. Apendisitis rekurens

Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
apendisitis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko
untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.

5. Mukokel Apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril,
musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu kista
denoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa
rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan.
Suatu saat bila terjadi infeksi akan timbul tanda apendisitis akut.
6. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks

Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi
kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.

7. Karsinoid Apendiks

Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena
spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut.
Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan
sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga
diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal
tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.

H. Gejala klinis
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari:
1. Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah.
2. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul
mual dan muntah.
3. Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin dijumpai.
4. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung
pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum,
nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda
ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa
ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian
bawah otot rektum kanan dapat terjadi.
5. Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks
telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik
dan kondisi kilen memburuk.
6. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah.
7. Demam ringan bisa mencapai 37,8-38,8°C.
8. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua
dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu
terasa.
9. Bila apendiks pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat.
10. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.

I. Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan


dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya,
sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke
rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi
rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi
oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis
yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, suhu lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan
seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oliguria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis.

J. Pemeriksaan Penunjang/ Diagnostik


1. Laboratorium: terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis)
dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2. Radiologi: terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi dapat menunjukkan densitas kuadran kanan bawah atau kadar aliran udara
terlokalisasi. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.
3. Analisa urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan
ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan
Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu
ureter kanan.
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan apendiksitis menurut Mansjoer (2007):
1. Sebelum operasi
a. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi.
b. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin.
c. Rehidrasi.
d. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
e. Obat-obatan penurun panas. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
2. Operasi
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Jenis operasinya bias
dengan apendiktomi atau laparaskopi. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi
bebas, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika. Abses apendiks diobati
dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase
dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif
sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
3. Pasca operasi
a. Observasi tanda – tanda vital.
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuasakan.
e. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai fungsi
usus kembali normal.
f. Berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan
harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
g. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2×30
menit.
h. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
i. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai dengan
keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi, pemeriksaan lokal pada
abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis, laboratorium masih
terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah klien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan
peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit
infeksi luka lebih tiggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan
keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi,
pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan
jelas dan nyeri tekan ringan, laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal tindakan yang
dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur.
Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan
segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau tanpa peritonitis umum.

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal
masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis
keperawatan (Lismidar, 1990).

1. Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status pekerjaan.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah, nyeri sekitar umbilicus.
b. Keluhan utama saat pengkajian
Biasanya pasien mengatakan nyeri pada abdomen kanan bawah.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang menembus kebelakang
sampai pada punggung dan mengalami demam tinggi.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon.
e. Riwayat alergi
f. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang sama.
3. Pola fungsi kesehatan
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga (lama
frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
b. Nutrisi dan metabolik
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan intake
makanan atau minuman sampai peristaltik usus kembali normal. Anoreksia, mual dan muntah
dapat terjadi.
c. Aktivitas dan latihan
Aktivitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri, aktifitas biasanya
terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
d. Tidur istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola
tidur klien.
e. Eliminasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa nyeri atau
karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi
alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga
terjadi penurunan fungsi.
f. Pola persepsi kesehatan (konsep diri)
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus
dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami
emosi yang tidak stabil.
g. Peran dan hubungan sosial
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam
keluarganya dan dalam masyarakat. Penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
h. Seksual dan reproduksi
Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama beberapa waktu.
i. Manajemen koping
Sebelum MRS: klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.
Sesudah MRS: klien kalau stress murung sendiri, menutup diri
j. Kognitif perseptual
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan berfikir,
mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
k. Nilai dan kepercayaan
Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.
Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah.
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : adanya distensi pada abdomen
b. Auskultasi : jika terjadi peritonitis maka akan terjadi penurunan peristaltik
c. Perkusi : akan terasa nyeri jika sudah terjadi peritonitis
d. Palpasi : Nyeri kuadran bawah terasa dan nyeri tekan local pada titik McBurney bila
dilakukan tekanan. Tanda Rovling dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran
bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan
bawah.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi, prosedur bedah.
2. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (peradangan apendiks).
3. Risiko kekurangan volume cairan.
4. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan.
5. Risiko infeksi.
6. Risiko kerusakan integritas kulit.
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan, kurang asupan makanan.
.
C. Intervensi Keperawatan
Tujuan Dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi Rasional
Hasil
1. Nyeri akut NOC: Kontrol nyeri NIC: Managemen
berhubungan dengan Tujuan: Setelah diberikan nyeri
infeksi, prosedur asuhan keperawatan Intervensi
bedah. selama …x 24 jam 1. Lakukan 1.Digunakan untuk
diharapkan tidak ada pengkajian pengawasan dan
masalah dalam nyeri nyeri keefesienan obat,
dengan skala 4 sehingga kompehensif kemajuan
nyeri dapat hilang atau yang meliputi penyembuhan,
berkurang. P,Q, R, S, T. perubahan dan
Kriteria hasil: karakteristik nyeri.
1. Mengenali faktor 2. Dukung 2.Menghilangkan
penyebab. istirahat tidur tegangan abdomen
2. Mengenali kapan nyeri yang adekuat. yang bertambah
terjadi. dengan posisi
3. Menggunakan terlentang.
tindakan pengurangan 3. Bantu keluarga 3.Lingkungan
non analgetik. dalam mencari berpengaruh
4. Melaporkan kontrol dan terhadap keadaan
nyeri menyediakan nyeri pasien.
Skala: dukungan.
1. Tidak pernah 4. Ajarkan 4.Pasien dapat
menunjukkan penggunaan memanajemen
2. Jarang menunjukkan teknik non nyeri.
3. Kadang – kadang farmakologi.
menunjukkan 5. Kolaborasi 5.Untuk mengurangi
4. Sering menunjukkan pemberian nyeri.
5. Secara konsisten analgetik.
menunjukkan 6. Observasi tanda 6.Memantau tingkat
– tanda vital. kenyamanan

2. Hipertermia NOC: Termoregulasi NIC: Perawatan


berhubungan dengan Tujuan: Setelah diberikan deman.
penyakit (peradangan tindakan keperawatan Intervensi:
apendiks). fever treatment selama ... x 1. Pantau tanda – 1. Mengetahui
24 jam diharapkan tidak tanda vital. perkembangan
ada masalah dalam suhu suhu tubuh pasien
tubuh dengan skala 4
sehingga suhu tubuh dan keadaan
kembali normal atau turun. umum.
Kriteria hasil : 2. Monitor asupan 2. Mempertahankan
1. Suhu tubuh dalam dan keluaran. keseimbangan
rentang normal. cairan.
2. Suhu kulit dalam batas 3. Anjurkan 3. Merangsang
normal. pasien vasodilatasi dan
3. Nadi dan pernafasan mengenakan evaporasi panas
dalam batas normal. pakaian yang tubuh
Skala: menyerap
1. Sangat terganggu keringat dan
2. Banyak terganggu tutup pasien
3. Cukup terganggu dengan selimut.
4. Sedikit terganggu 4. Dorong 4. Mencegah
5. Tidak terganggu konsumsi terjadinya
cairan. dehidrasi karena
demam.
5. Kolaborasi 5. Mengurangi dan
pemberian obat membantu dalam
dan cairan IV menurunkan suhu
tubuh.

3. Risiko kekurangan NOC: Keseimbangan NIC: managemen


volume cairan. cairan. cairan.
Tujuan: Setelah diberikan Intervensi:
asuhan keperawatan 1. Kaji tanda- 1. Untuk melihat
managemen cairan selama tanda dehidrasi apakah pasien
…x 24 jam diharapkan pasien. mengalami tanda-
tidak ada masalah dalam tanda dehidrasi
volume cairan dengan agar dapat
skala 4 sehingga mengetahui
keseimbangan cairan tindakan yang
dapat dipertahankan harus dilakukan.
dengan kriteria hasil : 2. Awasi cairan 2. Untuk menjaga
1. Keseimbangan intake masuk dan keseimbangan
dan output dalam 24 cairan keluar. volume cairan
jam. tubuh.
2. Haluan urine > 3. Awasi vital 3. Indikator hidrasi
5mL/Kg/jam. sign, turgor volume cairan
kulit dan sirkulasi dan
3. Kelembaban membran kebutuhan
membrane mukosa. mukosa. intervensi.
4. Membran mukosa
lembab. 4. Tingkatkan 4. Untuk
5. Tanda – tanda vital. asupan oral. meminimalkan
Skala: hilangnya cairan.
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu 5. Monitor status 5. Memantau
3. Cukup terganggu gizi. kebutuhan nutrisi.
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu 6. Kolaborasi 6. Menjaga
pemberian keseimbangan
cairan IV. cairan.

4. Ansietas berhubungan NOC: Kontrol kecemasan NIC: Pengurangan


dengan status diri. kecemasan.
kesehatan. Tujuan: Setelah diberikan Intervensi:
asuhan keperawatan 1. Kaji tingkat 1. Ketakutan dapat
pengurangan kecemasan ansietas, catat terjadi karena nyeri
selama … x 24 jam verbal dan non hebat, penting pada
diharapkan peningkatan verbal pasien. prosedur diagnostik
kenyamanan dengan skala dan pembedahan.
4 sehingga kecemasan 2. Jelaskan dan 2. Dapat meringankan
berkurang atau tidak persiapkan untuk ansietas terutama
terjadi. tindakan ketika pemeriksaan
Kriteria hasil : prosedur. tersebut melibatkan
1. Ansietas berkurang. pembedahan.
2. Monitor intensitas 3. Singkirkan 3. Meningkatkan
kecemasan. stimulus yang kenyamanan dan
3. Mencari informasi berlebihan. ketenteraman hati
untuk menurunkan 4. Ajarkan 4. Mengurangi
kecemasan. penghenti kecemasan klien.
4. Memanifestasi ansietas yang
perilaku akibat dapat diterapkan.
kecemasan tidak ada. 5. Anjurkan 5. Mengurangi
Skala: keluarga untuk kecemasan klien.
1. Berat menemani
2. Cukup berat disamping klien.
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada

5. Risiko infeksi. NOC: Kontrol infeksi. NIC: Kontrol


Tujuan: Setelah diberikan infeksi
asuhan keperawatan
kontrol infeksi selama ...x 1. Kaji tanda-tanda 1. Untuk melihat
24 jam diharapkan tidak infeksi pada apakah ada
ada infeksi dengan skala 4 pasien. tanda-tanda
sehingga resiko infeksi infeksi (kalor,
tidak terjadi dengan dolor, lubor,
kriteria hasil : tumor, dan
1. Dapat memonitor perubahan
faktor resiko. fungsi), pus,
2. Dapat memonitor jaringan nekrotik.
2. Ukur tanda- 2. Untuk
perilaku individu
tanda vital. mendeteksi
yang menjadi faktor
resiko. secara dini gejala
awal terjadinya
3. Mengembangkan
infeksi.
keefektifan strategi
3. Lakukan 3. Menurunkan
untuk mengendalikan
perawatan luka terjadinya resiko
infeksi. dengan infeksi dan
4. Perawatan luka menggunakan penyebaran
berjalan baik. teknik septik dan bakteri.
aseptik.
Skala:
4. Jaga luka agar 4. Untuk
1. Tidak pernah tetap steril. menghindari
menunjukkan. perkembangan
2. Jarang menunjukkan. bakteri pada luka.
3. Kadang menunjukkan.
4. Sering menunjukkan. 5. Observasi luka 5. Memberikan
5. Selalu menunjukkan insisi. deteksi dini
terhadap infeksi
dan
perkembangan
luka.

6. Informasikan 6. Luka yang


kepada keluagra lembab
pasien untuk menyebabkan
tidak membuka infeksi karena
balutan luka, bakteri dapat
menjaga luka berkembang.
agar tetap kering
dan ajarkan
teknik cuci
tangan yang
benar.

6. Risiko kerusakan NOC : Keseimbangan NIC :Pengecekan


integritas kulit. cairan kulit.
Tujuan : Setelah diberikan Intervensi :
asuhan keperawatan 1. Kaji atau catat 1. Memberikan
manajemen cairan dan ukuran, warna, informasi dasar
pengecekan kulit selama keadaan luka / tentang
…x 24 jam diharapkan kondisi sekitar penanganan kulit.
tidak ada masalah dalam luka.
integritas kulit dengan 2. Lakukan 2. Merupakan
skala 4 sehingga risiko kompres basah tindakan protektif
kerusakan integritas kulit dan sejuk atau yang dapat
tidak terjadi. terapi mengurangi
Kriteria hasil: rendaman. nyeri.
1. Keseimbangan intake 3. Lakukan 3. Memungkinkan
dan output dalam 24 perawatan luka pasien lebih
jam. dan hygiene bebas bergerak
2. Haluan urine > sesudah itu dan
5mL/Kg/jam. keringkan kulit meningkatkan
3. Kelembaban dengan hati- kenyamanan
membrane mukosa. hati. pasien.
4. Membran mukosa 4. Berikan 4. Mempercepat
lembab. prioritas untuk proses
5. Tanda – tanda vital. meningkatkan rehabilitasi
Skala: kenyamanan. pasien.
1. Sangat terganggu 5. Gosokkan krim 5. Untuk
2. Banyak terganggu pelembab atau menghilangkan
3. Cukup terganggu minyak secara debriment.
4. Sedikit terganggu lembut.
5. Tidak terganggu
7. Ketidakseimbangan NOC : Status nutrisi NIC: Managemen
nutrisi kurang dari Tujuan : Setelah diberikan nutrisi
asuhan keperawatan Intervensi:
kebutuhan tubuh
manajemen nutrisi selama 1. Observasi 1. Penurunan atau
berhubungan dengan …x 24 jam diharapkan kebiasaan diet, hipoaktif bising
ketidakmampuan tidak ada masalah dalam masukan usus
kebutuhan nutrisi harian makanan saat menunjukkan
makan, kurang asupan
dengan skala 4 sehingga ini. Catat penurunan
makanan sesuai dengan tingkat derajat motilitas gaster
aktivitas dan kebutuhan kesulitan yang
metabolik. makan. berhubungan
Kriteria hasil: Evaluasi berat dengan
1. Asupan gizi badan dan pembatasan
2. Asupan makanan ukuran tubuh. pemasukan
3. Asupan cairan cairan.
4. Energy 2. Berikan 2. Rasa tak enak,
Skala: perawatan oral bau dan
1. Sangat menyimpang sering, buang penampilan
dari rentang normal sekret, berikan adalah pencegah
2. Banyak menyimpang wadah khusus utama terhadap
dari rentang normal untuk sekali nafsu makan dan
3. Cukup menyimpang pakai dan dapat membuat
dari rentang normal tissue. mual, muntah.
4. Sedikit menyimpang
dari rentang normal 3. Berikan 3. Membantu
5. Tidak menyimpang makanan porsi menurunkan
dari rentang normal kecil tapi sering kelemahan
selama waktu
makan dan
memberikan
kesempatan
untuk
meningkatkan
masukan kalori
total.
4. Hindari 4. Dapat
makanan menghasilkan
penghasil gas distensi
dan minuman abdomen yang
karbonat. mengganggu
nafas abdomen
dan gerakan
diafragma, dan
dapat
meningkatkan
dipsnea.
5. Hindari 5. Suhu ekstrem
makanan yang dapat
sangat panas mencetuskan /
atau sangat meningkatkan
dingin. spasme batuk.
6. Timbang berat 6. Berguna untuk
badan sesuai menentukan
indikasi kebutuhan
kalori,
menyusun tujuan
berat badan dan
evaluasi
keadekuatan
rencana nutrisi.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan intervensi keperawatan yang telah dibuat.

E. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya berhasil
dicapai. Evaluasi bisa bersifat formatif yaitu dilakukan terus-menerus untuk menilai setiap hasil
yang telah di capai. Dan bersifat sumatif yaitu dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan
keparawatan yang telah dilakukan. Melalui SOAP kita dapat mengevaluasi kembali.
Keterangan:
S : Subjektif adalah informasi yang didapat dari pasien.
O : Objektif adalah informasi yang didapatkan berdasarkan pengamatan.
A : Asesment adalah analisa dari masalah pasien.
P : Planing of action adalah rencana tindakan yang akan diambil.
DAFTAR PUSTAKA

Butcher, H., ett all, 2016, Nursing Interventions Classification (NIC) 6th Indonesian Edition,
IOWA intervention Project, Mosby
Engram, Barbara, 1991, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Suharyati
Samba, Volume I, Jakarta: EGC.
Elizabeth, J., Corwin, 2009, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Johnson, M., ett all, 2016, Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Indonesian Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2013, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis, Yogyakarta: Med
Action.
NANDA, 2015, Diagnosis Keperawatan NANDA Definisi dan Klasifikasi 2015-2017, Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & suddart Edisi 8 Volume
2, Jakarta: EGC.
Swearingen, 1996, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 2, Jakarta: EGC.
Reeves, J. C. dkk, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Penerjemah Joko Setyono, Jakarta:
Salemba Medika.
Price, SA, Wilson, L.M., 1994, Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama, Edisi 4,
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai