APENDISITIS
A. Anatomi Fisiologi
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil yang panjangnya kira – kira 10 cm (4 inchi),
melekat pada sektum tepat di bawah katup ileosektal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan
diri secara teratur ke dalam sektum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil,
apendiks cenderung menjadi tersumbat dan infeksi (Smeltzer, 2001).
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15),
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia
itu (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar
limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar
yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangren (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya
berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di
sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
B. Definisi
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis. Karena struktur yang terpuntir,
apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk brkumpul dan multiplikasi. Apendisitis dapat
terjadi pada segala usia (Chang, Daly, dan Elliott, 2006).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat
sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai
cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis
dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer,2001).
Dari bebrapa definisi di atas dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi
infeksi di umbai cacing dan penyabab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen.
C. Epidemiologi
Apendisitis merupakan radang pada apendiks vertmiformis yang merupakan proyeksi dari
apeks serum. Apendisitis akut merupakan suatu emergensi bedah abdomen yang umumnya terjadi
dan mengenai tujuh sampai dua belas persen dari populasi. Kelompok usia yang umumnya
mengalami apendisitis yaitu pada usia antara 10-30 tahun, namun penyakit ini juga dapat terjadi
pada segala usia (Smeltzer, 2001).
Apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006.
Jumlah pasien rawat inap karena penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien,
berada di urutan keempat setelah dispepsia (34.029 pasien rawat inap), gastritis dan duodenitis
(33.035 pasien rawat ianp), dan penyakit sistem cerna lainnya (31.450 pasien rawat inap). Pada
rawat jalan, kasus penyakit apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat jalan),
dispepsia (136.296 pasien rawat jalan), gastritis, dan duodenitis (127.918 pasien rawat jalan), serta
karies gigi (86.006 pasien rawat jalan).
Satu orang dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insidens
tertingginya terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun, dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-
laki lebih banyak menderita apendisitis daripada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun.
Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak di bawah 2 tahun.
D. Etiologi
Kebanyakan kasus dari apendisitis akut merupakan akibat dari obstruksi. Berbagai hal
tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada apendiks antara lain:
1. Batu (fecalith)
2. Makanan
3. Mukus (paling sering terjadi pada krisik fibrosis)
4. Apendiks yang terangulasi
5. Parasit
6. Tumor pada apendiks atau sekum
7. Endometriosis
8. Benda asing
9. Hiperplasia limfois (khusus terjadi sekunder akibat infeksi virus)
Mukus ataupun feses mengeras, menjadi seperti batu (fecalith) dan menutup lubang
apendiks dan sekum tersebut. Jaringan limfa pada apendiks membengkak dan menutup apendiks.
Hiperplasia limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi saluran pernafasan atas,
mononucleosis, gastroenteritis, penyakit chohn, ataupun infeksi parasit seperti cacing oxyuris
vermikularis, schistosoma, strongyloides. Terjadinya obstruksi ini juga dapat terjadi karena benda
asing seperti permen karet, kayu, dental amalgam, batu, sisa makanan, barium, metastis tumor.
Penyebab tersering dari obstruksi adalah fecalith.
Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan adanya kontinuitas aliran sekresi cairan dan
mukus dari mukosa dan stagnasi dari meterial tersebut. Konsekuensinya, terjadi iskemia dinding
apendiks, yang menyebabkan hilangnya keutuhan epitel dan invasi baktero ke dinding apendiks.
Bakteri intestinal yang ada di dalam apendiks bermultiplikasi, hal ini menyebabkan rektruitmen
dari leukosit, pembentukan pus dan tekanan intraluminal yang tinggi. Dalam 24-36 jam, kondisi
ini dapat semakin parah karena trombosis dari arteri maupun vena apendiks menyebabkan
perforasi dan gangren apendiks. Jika inflamasi dan infeksi menyebar ke dinding apendiks,
apendiks dapat ruptur. Setelah ruptur terjadi, infeksi akan menyebar ke abdomen, tetapi biasanya
hanya terbatas pada area sekeliling dari apendiks (membentuk abses periapendiks) dapat juga
menginfeksi periteoneum sehingga mengakibatkan peritonitis.
F. Manifestasi Klinis
G. Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya
adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Adanya
obstruksi mengakibatkan mucin/cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks,
hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa
juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga
terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus/nanah pada dinding apendiks. Selain
obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang
kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri
dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.
4. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
apendisitis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko
untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril,
musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu kista
denoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa
rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan.
Suatu saat bila terjadi infeksi akan timbul tanda apendisitis akut.
6. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi
kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena
spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut.
Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan
sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga
diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal
tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.
H. Gejala klinis
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari:
1. Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah.
2. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul
mual dan muntah.
3. Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin dijumpai.
4. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung
pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum,
nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda
ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa
ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian
bawah otot rektum kanan dapat terjadi.
5. Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks
telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik
dan kondisi kilen memburuk.
6. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah.
7. Demam ringan bisa mencapai 37,8-38,8°C.
8. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua
dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu
terasa.
9. Bila apendiks pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat.
10. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
I. Komplikasi
1. Identitas pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status pekerjaan.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah, nyeri sekitar umbilicus.
b. Keluhan utama saat pengkajian
Biasanya pasien mengatakan nyeri pada abdomen kanan bawah.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang menembus kebelakang
sampai pada punggung dan mengalami demam tinggi.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon.
e. Riwayat alergi
f. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang sama.
3. Pola fungsi kesehatan
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga (lama
frekwensinya), karena dapat mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
b. Nutrisi dan metabolik
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat pembatasan intake
makanan atau minuman sampai peristaltik usus kembali normal. Anoreksia, mual dan muntah
dapat terjadi.
c. Aktivitas dan latihan
Aktivitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri, aktifitas biasanya
terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
d. Tidur istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri sehingga dapat mengganggu kenyamanan pola
tidur klien.
e. Eliminasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih, rasa nyeri atau
karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi
alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh anastesi sehingga
terjadi penurunan fungsi.
f. Pola persepsi kesehatan (konsep diri)
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus
dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami
emosi yang tidak stabil.
g. Peran dan hubungan sosial
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam
keluarganya dan dalam masyarakat. Penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
h. Seksual dan reproduksi
Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan selama beberapa waktu.
i. Manajemen koping
Sebelum MRS: klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.
Sesudah MRS: klien kalau stress murung sendiri, menutup diri
j. Kognitif perseptual
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan berfikir,
mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
k. Nilai dan kepercayaan
Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.
Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah.
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : adanya distensi pada abdomen
b. Auskultasi : jika terjadi peritonitis maka akan terjadi penurunan peristaltik
c. Perkusi : akan terasa nyeri jika sudah terjadi peritonitis
d. Palpasi : Nyeri kuadran bawah terasa dan nyeri tekan local pada titik McBurney bila
dilakukan tekanan. Tanda Rovling dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran
bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan
bawah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan infeksi, prosedur bedah.
2. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (peradangan apendiks).
3. Risiko kekurangan volume cairan.
4. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan.
5. Risiko infeksi.
6. Risiko kerusakan integritas kulit.
7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan makan, kurang asupan makanan.
.
C. Intervensi Keperawatan
Tujuan Dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi Rasional
Hasil
1. Nyeri akut NOC: Kontrol nyeri NIC: Managemen
berhubungan dengan Tujuan: Setelah diberikan nyeri
infeksi, prosedur asuhan keperawatan Intervensi
bedah. selama …x 24 jam 1. Lakukan 1.Digunakan untuk
diharapkan tidak ada pengkajian pengawasan dan
masalah dalam nyeri nyeri keefesienan obat,
dengan skala 4 sehingga kompehensif kemajuan
nyeri dapat hilang atau yang meliputi penyembuhan,
berkurang. P,Q, R, S, T. perubahan dan
Kriteria hasil: karakteristik nyeri.
1. Mengenali faktor 2. Dukung 2.Menghilangkan
penyebab. istirahat tidur tegangan abdomen
2. Mengenali kapan nyeri yang adekuat. yang bertambah
terjadi. dengan posisi
3. Menggunakan terlentang.
tindakan pengurangan 3. Bantu keluarga 3.Lingkungan
non analgetik. dalam mencari berpengaruh
4. Melaporkan kontrol dan terhadap keadaan
nyeri menyediakan nyeri pasien.
Skala: dukungan.
1. Tidak pernah 4. Ajarkan 4.Pasien dapat
menunjukkan penggunaan memanajemen
2. Jarang menunjukkan teknik non nyeri.
3. Kadang – kadang farmakologi.
menunjukkan 5. Kolaborasi 5.Untuk mengurangi
4. Sering menunjukkan pemberian nyeri.
5. Secara konsisten analgetik.
menunjukkan 6. Observasi tanda 6.Memantau tingkat
– tanda vital. kenyamanan
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan intervensi keperawatan yang telah dibuat.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya berhasil
dicapai. Evaluasi bisa bersifat formatif yaitu dilakukan terus-menerus untuk menilai setiap hasil
yang telah di capai. Dan bersifat sumatif yaitu dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan
keparawatan yang telah dilakukan. Melalui SOAP kita dapat mengevaluasi kembali.
Keterangan:
S : Subjektif adalah informasi yang didapat dari pasien.
O : Objektif adalah informasi yang didapatkan berdasarkan pengamatan.
A : Asesment adalah analisa dari masalah pasien.
P : Planing of action adalah rencana tindakan yang akan diambil.
DAFTAR PUSTAKA
Butcher, H., ett all, 2016, Nursing Interventions Classification (NIC) 6th Indonesian Edition,
IOWA intervention Project, Mosby
Engram, Barbara, 1991, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Suharyati
Samba, Volume I, Jakarta: EGC.
Elizabeth, J., Corwin, 2009, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC.
Johnson, M., ett all, 2016, Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Indonesian Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2013, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis, Yogyakarta: Med
Action.
NANDA, 2015, Diagnosis Keperawatan NANDA Definisi dan Klasifikasi 2015-2017, Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & suddart Edisi 8 Volume
2, Jakarta: EGC.
Swearingen, 1996, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 2, Jakarta: EGC.
Reeves, J. C. dkk, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Penerjemah Joko Setyono, Jakarta:
Salemba Medika.
Price, SA, Wilson, L.M., 1994, Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama, Edisi 4,
Jakarta: EGC.