Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hikayat

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra karya prosa lama yang
isinya berupa cerita, kisah, dongeng maupun sejarah. Umumnya
mengisahkan tentang kephalawanan seseorang, lengkap dengan
keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama.

Menurut KBBI hikayat didefinisikan sebagai karya sastra lama


Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan
silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan
sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang,
atau sekadar untuk meramaikan pesta, dll. Hikayat berasal dari Arab.
Arti kata hikayat dalam bahasa Indonesia sendiri dapat diartikan
sebagai cerita. Pengertian lain mendefinisikan hikayat sebagai karya
sastra yang panjang yang mngkin berisi tentang kenyataan tetapi sulit
untuk dibuktikan dan bersifat khayal.

Berdasarkan pengertian dan contoh-contoh yang ada, hikayat


memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

a. Ceritanya berbentuk prosa


Hikayat merupakan karya sastra yang pada umumnya berbentuk
prosa (cerita naratif). Selain hikayat, ada pula:
(a. Cerita rakyat, seperti Hikayat si Miskin dan Hikayat Malim
Dewa;
(b. Epos dari India, seperti Hikayat Sri Rama;
(c. Dongeng-dongeng dari Jawa, seperti Hikayat Pandawa Lima
dan Hikayat Panji Semirang;
(d. Cerita-cerita Islam, seperti Hikayat Nabi Bercukur dan
Hikayat Raja Khaibar;

7
(e. Sejarah dan biografi, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai dan
Hikayat Abdullah;
(f. Cerita berbingkai, misalanya Hikayat Bakhtiar dan Hikayat
Maharaja Ali;

b. Berupa cerita rekaan


Rekaan merupakan ciri hikayat yang sangat menonjol. Unsur
dan komposisi yang "direka-reka" dalam cerita hikayat sangat
dipengaruhi oleh kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya.
Dalam hikayat, banyak dipenuhi oleh cerita-cerita semacam mite,
legenda, dongeng, kepercayaan terhadap mahkluk gaib, mahkluk
raksasa, azimat, dan sejenisnya. Masuknya agama Hindu dan
Islam, membawa perubahan yang berarti bagi "perekaan" tema
hikayat. Pengaruh agama Hindu membuat cerita rekaan itu
berkisah sekitar kehidupan para dewa dan bidadari. Pengaruh
agama Islam menyebabkan timbulnya cerita rekaan yang
bernapaskan keislaman, yakni seperti cerita para nabi, cerita hari
kiamat, dan sejenisnya.

c. Berupa citra karya klasik


Rekaan ataupun khayalan merupakan unsur utama hikayat.
Akan tetapi, tidak berarti semua karya sastra yang mengandung
unsur rekaan itu dapat dikatakan sebagai hikayat. Karya-karya
prosa bergaya baru (modern), tidaklah layak jika disebut hikayat.
Istilah "hikayat" tidak dapat dilepaskan dari citra kemasalaluan.
Judul-judul karya yang berlabelkan "hikayat" hanya layak diberikan
kepada karya-karya yang lahir pada zaman Melayu klasik. Hikayat
tidak bisa dilepaskan dari keseluruahan unsur kebudayaan
masyarakat Melayu klasik.

8
d. Sebagai karya tulis
Pengertian bahwa hikayat itu adalah cerita memang masih
tidak jelas. Tidak setiap karya klasik yang berupa cerita (prosa)
dikatakan sebagai hikayat. Sastra klasik yang masih berupa sastra
lisan, yang dalam hal ini umumnya berupa cerita-cerita rakyat,
tidaklah dikatakan sebagai hikayat. Pengertian hikayat hanya
terbatas pada sastra-sastra tulis yang telah dibukukan. Umumnya,
cerita-cerita tulis tersebut adalah sastra yang tumbuh dan
berkembang di lingkungan-lingkungan kerajaan / istana. Temanya
pun sebagian besar berkisar tentang kehidupan kerajaan / istana.

2.2 Definisi Novel

Novel berasal dari bahasa Itali, juga dari bahasa Latin yakni
novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti baru.
Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra
lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul
kemudian (Tarigan, 1984:164).

Depdikbud, (1989:618) juga menjelaskan bahwa, novel adalah


karangan yang panjang dan berbentuk prosa dan mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang lain di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Sementara itu, Jassin dalam Zulfahnur (1996:67) mengatakan


bahwa novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari tokoh
cerita, dimana kejadian-kejadian itu menimbulkan pergolakan batin
yang mengubah perjalanan nasib tokohnya.

Selanjutnya, Sayuti (1996:6-7) mengatakan bahwa novel


cenderung expand (meluas) dan menitikberatkan complexity
(kompleksitas). Meluas dan kompleksitas yang dimaksudkannya

9
adalah dalam hal perwatakan, permasalahan yang dialami sang tokoh,
serta perluasan dari latar cerita tersebut.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan


bahwa novel adalah suatu cerita fiksi yang menggambarkan kisah
hidup tokoh melalui rangkaian peristiwa yang kompleks dan
mengubah nasib tokoh tersebut.

2.2.1 Jenis-jenis Novel

Novel dapat dibedakan berdasarkan isi cerita dan mutu novel.


Berdasarkan isinya Mohtar Lubis dalam Tarigan (1984:165)
mengatakan bahwa novel sama dengan roman. Oleh karena itu,
roman dibagi menjadi roman avontur, roman psikologis, roman
detektif, roman sosial, roman kolektif, dan roman politik.

Lukas dan Faruk (1994:18-19), menjelaskan bahwa novel terdiri


dari tiga jenis, yaitu novel idealis abstrak, novel romantisme
keputusan, dan novel pendidikan.

Berdasarkan pembagian Mohtar Lubis dalam Tarigan novel


dibagi atas:

a. Novel Avontur – memusatkan kisahnya pada seorang lakon atau


hero melalui garis cerita yang kronologis dari A sampai Z.
b. Novel Psikologis – ditujukan pada pemeriksaan seluruhnya dari
semua pikiran-pikiran para pelaku.
c. Novel Detektif – memusatkan penceritaannya pada usaha
pencarian tanda bukti, baik berupa seorang pelaku atau tanda-
tanda.
d. Novel Sosial Politik – Novel ini memberi gambaran antara dua
golongan yang bentrok pada suatu waktu.
e. Novel Kolektif – Novel ini novel yang paling sukar dan banyak
seluk beluknya. Individu sebagai pelaku tidak dipentingkan,

10
tetapi lebih mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu
totalitas (Tarigan, 1984:165-166).

Pembagian novel menurut Lukas dan Faruk (1994:18-19) sebagai


berikut:

a. Novel idealisme abstrak yaitu novel yang menampilkan tokoh


yang masih ingin bersatu dengan dunia, novel itu masih
memperlihatkan suatu idealisme. Akan tetapi karena persepsi
tokoh itu tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan pada
kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi abstrak.

b. Novel romantisme keputusan yaitu, menampilkan kesadaran


hero yang terlampau luas. Kesadaran lebih luas dari pada dunia
sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia. Itulah
sebabnya sang hero cenderung fasif dan cerita berkembang
menjadi analisis psikologis semata-mata.

c. Novel pendidikan yaitu yang berada di antara kedua jenis


tersebut. Dalam novel ini, sang hero di satu pihak mempunyai
interioritas, tetapi di lain pihak juga ingin bersatu dengan dunia,
karena ada interaksi antara dirinya dengan dunia, hero itu
mengalami kegagalan. Oleh karena mempunyai interioritas, ia
menyadari sebab kegagalan itu.

d. Pembagian novel berdasarkan mutunya menurut Zulfahnur


(1996:72) bahwa novel dapat dibagi menjadi novel populer dan
novel literer. Novel populer adalah novel yang menyuguhkan
problema kehidupan yang berkisar pada cinta asmara yang
simpel dan bertujuan menghibur. Sedangkan novel literer disebut
juga novel serius karena keseriusan atau kedalaman masalah-
masalah kehidupan kemanusiaan yang diungkapkan

11
pengarangnya. Dengan demikian, novel ini menyajikan
persoalan-persoalan kehidupan manusia secara serius, filsafat,
dan langgeng (abadi) yang bermanfaat bagi penyempurnaan dan
aripnya kehidupan manusia, disamping pesona hiburan dan
nikmatnya cerita.

e. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka novel dapat


dibagi berdasarnya isinya, yakni novel petualangan, novel
humor, novel sosial, dan novel psikologi, sedangkan
berdasarkan mutunya dapat dibagi menjadi novel literer dan
novel populer.

2.3 Unsur Intrinsik Hikayat dan Novel

2.3.1 Tema

Tema berasal dari bahasa Yunani “thithenai”, berarti sesuatu


yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan. Tema
merupakan amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui
karangannya. Dalam karang mengarang, tema adalah pokok
pikiran yang mendasari karangan yang akan disusun. Dalam tulis
menulis, tema adalah pokok bahasan yang akan disusun menjadi
tulisan. Tema ini yang akan menentukan arah tulisan atau tujuan
dari penulisan artikel itu.

Ciri – ciri tema yang baik

a. Tema menarik perhatian penulis.


Tema yang menarik perhatian penulis akan memungkinkan
penulis berusaha terus- menerus mencari data untuk
memecahakan masalah-masalah yang dihadapi, penulis akan
didorong terus-menerus agar dapat menyelesaikan tulisan itu
sebaik-baiknya.

12
b. Tema dikenal/diketahui dengan baik.
Maksudnya bahwa sekurang-kurangnya prinsip-prinsip
ilmiah diketahui oleh penulis. Berdasarkan prinsip ilmiah yang
diketahuinya, penulis akan berusaha sekuat tenaga mencari
data melalui penelitian, observasi, wawancara, dan sebagainya
sehingga pengetahuannya mengenai masalah itu bertambah
dalam. Dalam keadaan demikian, disertai pengetahuan teknis
ilmiah dan teori ilmiah yang dikuasainya sebagai latar belakang
masalah, maka ia sanggup menguraikan tema itu sebaik-
baiknya.

c. Bahan-bahannya dapat diperoleh.


Sebuh tema yang baik harus dapat dipikirkan apakah
bahannya cukup tersedia di sekitar kita atau tidak. Bila cukup
tersedia, hal ini memungkinkan penulis untuk dapat
memperolehnya kemudian mempelajari dan menguasai
sepenuhnya.
d. Tema dibatasi ruang lingkupnya.
Tema yang terlampau umum dan luas yang mungkin belum
cukup kemampuannya untuk menggarapnya akan lebih
bijaksana kalau dibatasi ruang lingkupnya.

2.3.2 Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan di daktis yang ingin


disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat
biasanya tersimpan rapi dan disembunyikan pengarang dalam
keseluruhan isi cerita. Oleh karena itu, untuk menemukannya, tidak
cukup dengan membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus
membaca sampai tuntas.

13
2.3.3 Penokohan

Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita,


baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya,
pandangan hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang
diangkat pengarang dalam karyanya adalah manusia dan
kehidupannya. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur
cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita menjadi
lebih nyata dalam angan pembaca. Ada tiga cara yang
digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh cerita, yaitu
dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual. Pada
pelukisan secara langsung, pengarang langsung melukiskan
keadaan dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik,
atau berkulit hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara
tidak langsung, pengarang secara tersamar memberitahukan
keadaan tokoh cerita. Watak tokoh dapat disimpulkan dari
pikiran, cakapan, dan tingkah laku tokoh, bahkan dari
penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan melalui
tokoh lain yang menceritakan secara tidak langsung. Pada
pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat disimpulkan dari
bahasa yang digunakan pengarang untuk mengacu kepada
tokoh. Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh tersebut,
pengarang dapat menggunakan teknik sebagai berikut.

a. Teknik analitik, karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh


pengarang.
b. Teknik dramatik, karakter tokoh dikemukakan melalui
(a. Penggambaran fisik dan perilaku tokoh,
(b. Penggambaran lingkungan kehidupan tokoh,
(c. Penggambaran tata kebahasan tokoh,
(d. Pengungkapan jalan pikiran tokoh,
(e. Penggambaran oleh tokoh lain.

14
2.3.4 Latar

Latar dibedakan menjadi tiga, yaitu latar waktu, latar tempat, dan
latar suasana. Latar waktu adalah waktu (masa) tertentu ketika
peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar tempat adalah lokasi atau
bangunan fisik lain yang menjadi tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
dalam cerita. Suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang berkaitan
dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya bersamaan
dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena berlangsung
dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana gembira, sedih, tegang,
penuh semangat, tenang, damai, dan sebagainya. Suasana dalam
cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh utama. Pembaca
mengikuti kejadian demi kejadian yang dialami tokoh utama dan
bersama dia pembaca dibawa larut dalam suasana cerita.

a. Latar tempat
Latar tempat adalah tempat yang menjadi latar peristiwa
lakon itu terjadi. Peristiwa dalam lakon adalah peristiwa fiktif
yang menjadi hasil rekaan penulis lakon. Menurut Aristoteles
peristiwa dalam lakon adalah mimesis atau tiruan dari
kehidupan manusia keseharian. Seperti diketahui bahwa sifat
dari naskah lakon bisa berdiri sendiri sebagai bahan bacaan
sastra, tetapi bisa sebagai bahan dasar dari pertunjukan.
Sebagai bahan bacaan sastra, interpretasi tempat kejadian
peristiwa ini terletak pada keterangan yang diberikan oleh
penulis naskah lakon dan dalam imajinasi pembaca.
Sedangkan sebagai bahan dasar pertunjukan, tempat peristiwa
ini harus dikomunikasikan atau diceritakan oleh para pemeran
sebagai komunikator kepada penonton.
Analisis ini perlu dilakukan guna memberi suatu gambaran
padapenonton tentang tempat peristiwa itu terjadi. Analisis ini
juga sangatpenting dilakukan karena berhubungan dengan tata

15
teknik pentas.Gambaran tempat peristiwa dalam lakon kadang
sudah diberikan olehpenulis lakon, tetapi kadang tidak
diberikan oleh penulis lakon. Analisis latar tempat dapat
dilakukan dengan mencermati dialog-dialog peranyang sedang
berlangsung dalam satu adegan, babak atau dalamkeseluruhan
lakon tersebut.

b. Latar waktu
Latar waktu adalah waktu yang menjadi latar belakang
peristiwa, adegan, dan babak itu terjadi. Latar waktu terkadang
sudah diberikan atau sudah diberi rambu-rambu oleh penulis
lakon, tetapi banyak latar waktu ini tidak diberikan oleh penulis
lakon. Tugas seorang sutradara danpemeran ketika
menghadapi sebuah naskah lakon adalah menginterprestasi
latar waktu dalam lakon tersebut. Denganmenggetahui latar
waktu yang terjadi pada maka semua pihak akan
bisamengerjakan lakon tersebut. Misalnya, penata artistik akan
menata perabot dan mendekorasi pementasan sesuai dengan
latar waktu.
Analisis latar waktu perlu dilakukan baik oleh seorang
sutradara maupun oleh pemeran. Analisis latar waktu yang
dilakukan oleh sutradara biasanya berhubungan dengan tata
teknik pentas, sedangkan yang dilakukan oleh pemeran
biasanya berhubungan dengan akting dan bisnis akting. Latar
waktu dalam naskah lakon bisa menunjukkan waktudalam arti
yang sebenarnya (siang, malam, pagi, sore), waktu yang
menunjukkan sebuah musim (musim hujan, musim kemarau,
musim dingin dan lain-lain), dan waktu yang menunjukkan
suatu zaman atauabad (Zaman Klasik, Zaman Romantik,
zaman perang dan lain-lain).Analisis latar waktu bisa dilakukan

16
dengan mencermati dialog-dialog yang disampaikan oleh tokoh
dalam adegan atau babak yang sedang berlangsung.

2.3.5 Alur

Alur ceritera adalah bagaimana kejadian-kejadian dirangkai


(biasanya berdasarkan sebab akibat) mulai dari titik awal menanjak
terus sampai titik klimaks untuk kemudian menurun dan mencapai
resolusi atau penyelesaian.

Peristiwa-peristiwa yang membuat alur ceritera menanjak adalah


persoalan-persoalan yang menimbulkan konflik. Konflik-konflik inilah
yang akan membawa ceritera menanjak menuju titik klimaks yaitu saat
karakter berada pada titik penentuan apa yang akan terjadi pada
dirinya (saat puncak penentuan nasibnya). Setelah titik klimaks alur
akan menurun dan mencapai resolusi atau penyelesaian masalah.

2.3.6 Sudut pandang

Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya


terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang
ceritanya. Berikut ini beberapa sudut pandang yang dapat digunakan
pengarang dalam bercerita.

a. Sudut pandang orang pertama, sudut pandang ini biasanya


menggunakan kata ganti aku atau saya. Dalam hal ini pengarang
seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh
cerita.
b. Sudut pandang orang ketiga, sudut pandang ini biasanya
menggunakan kata ganti orang ketiga seperti dia, ia atau nama
orang yang dijadikan sebagai titik berat cerita.
c. Sudut pandang pengamat serba tahu, Dalam hal ini pengarang
bertindak seolah-olah mengetahui segala peristiwa yang dialami
tokoh dan tingkah laku tokoh.

17
d. Sudut pandang campuran, (sudut pandang orang pertama dan
pengamat serba tahu). Pengarang mula-mula menggunakan
sudut pandang orang pertama. Selanjutnya serba tahu dan
bagian akhir kembali ke orang pertama.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/2043784-pengertian-
sudut-pandang/#ixzzB9S5JvQ2a

2.3.7 Gaya bahasa

Sudjiman (1998:13) menyatakan bahwa sesungguhnya gaya


bahasa dapat digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam
lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa adalah
cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu
untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa
selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat,
majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang
sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Jorgense dan Phillips (dalam Ratna, 2009: 84) mengatakan bahwa


gaya bahasa bukan sekedar saluran, tetapi alat yang menggerakkan
sekaligus menyusun kembali dunia sosial itu sendiri. Lebih jauh
menurut Simpson (dalam Ratna, 2009: 84) gaya bahasa baik bagi
penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi
kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Stilistika
dengan demikian memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan
cara perolehan terhadap substansi kultural pada umumnya.

Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek


estetis yang diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu
bagaimana seorang pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana
untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam
sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang yang dapat

18
digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk
itu, bentuk pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu
mendukung gagasan secara tepat yang memiliki segi estetis sebagai
sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-
bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreatifitas
pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat
menentukan keefektifan wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini
bisa dikatakan bahwa bahasa akan menentukan nilai kesastraan yang
akan diciptakan.

Karya sastra adalah sebuah wacana yang memiliki kekhasan


tersendiri. Seorang pengarang dengan kreativitasnya
mengekspresikan gagasannya dengan menggunakan bahasa dengan
memanfaatkan semua media yang ada dalam bahasa. Gaya
berbahasa dan cara pandang seorang pegarang dalam
memanfaatkan dan menggunakan bahasa tidak akan sama satu sama
lain dan tidak dapat ditiru oleh pengarang lain karena hal ini sudah
menjadi bagian dari pribadi seorang pengarang. Kalaupun ada yang
meniru pasti akan dapat ditelusuri sejauh mana persamaan atau
perbedaan antara karya yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat
diketahui mana karya yang hanya sebuah jiplakan atau imitasi.

Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan


berkaitan fungsi dan konteks pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam
sastra selalu dikaitkan dengan konteks yang melatar belakangi
pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua gaya bahasa itu berkaitan
langsung dengan latar sosial dan kehidupan di mana bahasa itu
digunakan.

Melalui gaya bahasa pembaca dapat menilai kepribadian dan


kemampuan pengarang, semakin baik gaya bahasa yang digunakan,
semakin baik pula penilaian terhadapnya. Sering dikatakan bahwa

19
bahasa adalah pengarang yang terekam dalam karya yang
dihaslkannya. Oleh sebab itu setiap pengarang mempunyai gayanya
masing-masing.

2.3.8 Pesan

Pesan adalah: “suatu komponen dalam proses komunikasi berupa


paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan menggunakan
lambang, bahasa/lambang-lambang lainnya disampaikan kepada
orang lain”. (Effendy, 1989:224)

Sedangkan Abdul Hanafi menjelaskan bahwa pesan itu


adalah “produk fiktif yang nyata yang di hasilkan oleh sumber–
encoder”. (Siahaan, 1991:62). Kalau berbicara maka“pembicara” itulah
pesan, ketika menulis surat maka “tulisan surat” itulah yang
dinamakan pesan.

Menurut A.W. Widjaja dan M. Arisyk Wahab terdapat tiga bentuk


pesan yaitu:

a. Informatif
Yaitu untuk memberikan keterangan fakta dan data
kemudian komunikan mengambil kesimpulan dan keputusan
sendiri, dalam situasi tertentu pesan informatif tentu lebih
berhasil dibandingkan persuasif.

b. Persuasif
Yaitu berisikan bujukan yakni membangkitkan pengertian
dan kesadaran manusia bahwa apa yang kita sampaikan akan
memberikan sikap berubah. Tetapi berubahnya atas kehendak
sendiri. Jadi perubahan seperti ini bukan terasa dipaksakan
akan tetapi diterima dengan keterbukaan dari penerima.

20
c. Koersif
Menyampaikan pesan yang bersifat memaksa dengan
menggunakan sanksi-sanksi bentuk yang terkenal dari
penyampaian secara inti adalah agitasi dengan penekanan
yang menumbuhkan tekanan batin dan ketakutan dikalangan
publik. Koersif berbentuk perintah-perintah, instruksi untuk
penyampaian suatu target. (Widjaja & Wahab,1987:61)

2.4 Unsur Ekstrinsik Hikayat dan Novel

Unsur-unsur Ekstrinsik dalam novel adalah unsur-unsur yang


berada di luar novel. tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
system organisme karya sastra. Secara lebih spesifik, unsur ekstrinsik
sebuah novel bisa dibilang sebagai unsur yang membangun sebuah
novel. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik novel tetap harus diperhatikan
sebagai sesuatu yang penting.
Beberapa unsur ekstrinsik novel diantaranya adalah:

a. Sejarah pengarang, biasanya sejarah pengarang berpengaruh


pada cerita yang dibuatnya
b. Situasi dan Kondisi, secara langsung atau tidak langsung
berpengaruh pada hasil karya
c. Nilai-nilai dalam ceritaDalam sebuah karya sastra terkandung
nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara
lain :
(a. Nilai Moral, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan baik dan
buruk
(b. Nilai Budaya, yaitu konsep masalah dasar yang sangat
penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (misalnya
adat istiadat ,kesenian, kepercayaan, upacara adat)

21
(c. Nilai Sosial, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma –
norma dalam kehidupan masyarakat (misalnya, saling
memberi, menolong, dan tenggang rasa)
(d. Nilai Estetika, yaitu nilai yang berkaitan dengan seni,
keindahan dalam karya sastra (tentang bahasa, alur, tema)

22

Anda mungkin juga menyukai