Sektor konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap masalah K3 disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Hal ini dikarenakan kondisi proyek konstruksi yang lokasi kerjanya berbeda-beda, terbuka, dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis, menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih (Wirahadikusumah, 2007). Salah satu masalah K3 yang muncul di proyek konstruksi adalah dermatitis kontak (Australian Government,2006). Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja (PAK) (Kosasih,2004). Jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain, angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja di bidang konstruksi terbilang cukup tinggi. Menurut sebuah studi di Jerman (Diepgen,2003) angka kejadian dermatitis kontak iritan pada pekerja di bidang konstruksi menduduki peringkat ke 4 (dengan 8,1 kasus per 10.000 pekerja) dari 12 jenis pekerjaan yang diteliti, setelah pekerja salon di urutan pertama (46,9 kasus/10.000 orang) tukang roti di urutan kedua (23,5 kasus/10.000 orang) dan tukang masak /koki (16,9 kasus/10.000 orang). Dermatitis adalah peradangan pada kulit (epidermis dan dermis) yang bersifat akut, subakut, atau kronis, dan dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen. Salah satu jenis dari dermatitis adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak merupakan bentuk peradangan pada kulit dengan spongiosis atau edema interselular pada epidermis karena interaksi dari bahan iritan maupun alergen eksternal dengan kulit. Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis kontak iritan adalah suatu peradangan pada kulit yang disebabkan oleh kerusakan langsung ke kulit setelah terpapar agen berbahaya. Dermatitis kontak iritan dapat disebabkan oleh tanggapan phototoxic misalnya tar, paparan akut zat-zat (asam, basa) atau paparan kronis kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan pembersih lemah) (NIOSH, 2010) sedangkan dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergik. Dari hasil sebuah studi di Jerman yang dilakukan oleh M Bock, et all pada tahun 2003 mengenai insiden penyakit kulit akibat kerja di proyek konstruksi diperoleh 5,1 kasus per 10.000 pekerja. Insiden tertinggi dialami oleh tile setter and terazzo worker (pekerja pemasang lantai/terrazzo) yaitu 19,9 kasus per 10.000 pekerja, selanjutnya adalah painter (tukang cat) 7,8 kasus per 10.000 pekerja, dan construction and cement worker ( termasuk, tukang plester, pembantu tukang, dan pekerja pengaduk semen) 5,2 kasus per 10.000 pekerja. Sebagian besar penyakit kulit yang diderita adalah dermatitis kontak, hanya sebesar 26,6 % yang menderita penyakit kulit selain dermatitis kontak. Pada sebagian besar daerah industri di negara barat, dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu kejadian yang sering dilaporkan dan insidennya diperkirakan bervariasi diantara 50-190 kasus per 100.000 pekerja per tahun. Salah satu pekerjaan yang memiliki resiko tinggi terhadap penyakit ini adalah pekerja bangunan. Dermatitis kontak akibat kerja merupakan bagian terbesar, 90-95%, dari penyakit kulit akibat kerja. Walaupun penyakit ini jarang membahayakan jiwa namun dapat menyebabkan morbiditas yang tinggi dan penderitaan bagi pekerja, sehingga dapat mempengaruhi kebutuhan ekonomi dan kualitas hidup penderita. Banyak bahan iritan dan alergen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak pada pekerja bangunan, misalnya pada tukang tembok dan tukang semen yang mempunyai resiko tinggi terkena dermatitis kontak alergi akibat terpapar hexavalent chromate yang larut dalam air pada semen basah. Pada tukang cat, epoxy resin merupakan alergen yang paling sering menyebabkan DKA. Epoxy resin terdapat pada cat yang berisi materi perekat seperti resin/damar sintetik. Turpentin yang digunakan sebagai pelarut dalam cat juga merupakan alergen pada DKA. Tukang kayu sering terpapar oleh pengawet kayu yang mengandung potasium dichromate. Sedangkan pada tukang ledeng/pipa yang memotong, mengukur, dan memasang pipa plastik atau besi untuk mengalirkan cairan dan gas sering terpapar oleh bahan iritan seperti bahan pembersih, bahan perekat, dan soldering fluxes yang mengandung colophony. Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (Fregert (1998), Safeguard (2000), Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006) , Erliana (2008), Hogan (2009), Mausulli (2010), Suryani (2011) dan Adillah (2012), diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor utama yaitu dari faktor iritan (ukuran molekul, konsentrasi / jumlah, daya larut, vehikulum, suhu, lama kontak, terjadinya gesekan), faktor alergen adalah kalium dikromat ( semen, kulit sarung tangan dan sepatu bot, pengawet kayu ), bahan kimia ( sarung tangan karet, kabel listrik, sepatu bot ), cat dan perekat , antimicrobial, faktor lingkungan ( suhu dan kelembaban yang tinggi, suhu dan kelembaban yang rendah) dan faktor individu (ketebalan kulit di berbagai permukaan kulit, usia, ras, jenis kelamin, masa kerja, riwayat penyakit kulit yang sedang dialami frekuensi mencuci tangan ketika bekerja, dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)).
1.2 Rumusan Masalah
Sektor konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap masalah K3 disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Hal ini dikarenakan kondisi proyek konstruksi yang lokasi kerjanya berbeda-beda, terbuka, dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis, menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih (Wirahadikusumah, 2007). Salah satu masalah K3 yang muncul di proyek konstruksi adalah dermatitis kontak (Australian Government,2006). Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja (PAK) (Kosasih,2004). Jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain, angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja di bidang konstruksi terbilang cukup tinggi. Insiden tertinggi dialami oleh tile setter and terazzo worker (pekerja pemasang lantai/terrazzo) yaitu 19,9 kasus per 10.000 pekerja, selanjutnya adalah painter (tukang cat) 7,8 kasus per 10.000 pekerja, dan construction and cement worker ( termasuk, tukang plester, pembantu tukang, dan pekerja pengaduk semen) 5,2 kasus per 10.000 pekerja. Sebagian besar penyakit kulit yang diderita adalah dermatitis kontak, hanya sebesar 26,6 % yang menderita penyakit kulit selain dermatitis kontak. Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (Fregert (1998), Safeguard (2000), Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006) , Erliana (2008), Hogan (2009), Mausulli (2010), Suryani (2011) dan Adillah (2012), diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor utama yaitu dari faktor iritan (ukuran molekul, konsentrasi / jumlah, daya larut, vehikulum, suhu, lama kontak, terjadinya gesekan), faktor alergen adalah kalium dikromat ( semen, kulit sarung tangan dan sepatu bot, pengawet kayu ), bahan kimia ( sarung tangan karet, kabel listrik, sepatu bot ), cat dan perekat , antimicrobial, faktor lingkungan ( suhu dan kelembaban yang tinggi, suhu dan kelembaban yang rendah) dan faktor individu (ketebalan kulit di berbagai permukaan kulit, usia, ras, jenis kelamin, masa kerja, riwayat penyakit kulit yang sedang dialami frekuensi mencuci tangan ketika bekerja, dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)).
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum 1.3.2 Tujuan Khusus 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian