Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap
masalah K3 disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan,
perkayuan, dan pertambangan. Hal ini dikarenakan kondisi proyek
konstruksi yang lokasi kerjanya berbeda-beda, terbuka, dipengaruhi cuaca,
waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis, menuntut ketahanan fisik yang
tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih
(Wirahadikusumah, 2007).
Salah satu masalah K3 yang muncul di proyek konstruksi adalah
dermatitis kontak (Australian Government,2006). Dermatitis kontak
merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja (PAK) (Kosasih,2004).
Jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain, angka kejadian dermatitis
kontak pada pekerja di bidang konstruksi terbilang cukup tinggi. Menurut
sebuah studi di Jerman (Diepgen,2003) angka kejadian dermatitis kontak
iritan pada pekerja di bidang konstruksi menduduki peringkat ke 4 (dengan
8,1 kasus per 10.000 pekerja) dari 12 jenis pekerjaan yang diteliti, setelah
pekerja salon di urutan pertama (46,9 kasus/10.000 orang) tukang roti di
urutan kedua (23,5 kasus/10.000 orang) dan tukang masak /koki (16,9
kasus/10.000 orang).
Dermatitis adalah peradangan pada kulit (epidermis dan dermis) yang
bersifat akut, subakut, atau kronis, dan dipengaruhi oleh faktor eksogen dan
endogen. Salah satu jenis dari dermatitis adalah dermatitis kontak.
Dermatitis kontak merupakan bentuk peradangan pada kulit dengan
spongiosis atau edema interselular pada epidermis karena interaksi dari
bahan iritan maupun alergen eksternal dengan kulit. Terdapat dua jenis
dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak
alergik. Dermatitis kontak iritan adalah suatu peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh kerusakan langsung ke kulit setelah terpapar agen
berbahaya. Dermatitis kontak iritan dapat disebabkan oleh tanggapan
phototoxic misalnya tar, paparan akut zat-zat (asam, basa) atau paparan
kronis kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan pembersih lemah)
(NIOSH, 2010) sedangkan dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan
kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergik.
Dari hasil sebuah studi di Jerman yang dilakukan oleh M Bock, et all
pada tahun 2003 mengenai insiden penyakit kulit akibat kerja di proyek
konstruksi diperoleh 5,1 kasus per 10.000 pekerja. Insiden tertinggi dialami
oleh tile setter and terazzo worker (pekerja pemasang lantai/terrazzo) yaitu
19,9 kasus per 10.000 pekerja, selanjutnya adalah painter (tukang cat) 7,8
kasus per 10.000 pekerja, dan construction and cement worker ( termasuk,
tukang plester, pembantu tukang, dan pekerja pengaduk semen) 5,2 kasus
per 10.000 pekerja. Sebagian besar penyakit kulit yang diderita adalah
dermatitis kontak, hanya sebesar 26,6 % yang menderita penyakit kulit
selain dermatitis kontak.
Pada sebagian besar daerah industri di negara barat, dermatitis kontak
akibat kerja merupakan salah satu kejadian yang sering dilaporkan dan
insidennya diperkirakan bervariasi diantara 50-190 kasus per 100.000
pekerja per tahun. Salah satu pekerjaan yang memiliki resiko tinggi terhadap
penyakit ini adalah pekerja bangunan. Dermatitis kontak akibat kerja
merupakan bagian terbesar, 90-95%, dari penyakit kulit akibat kerja.
Walaupun penyakit ini jarang membahayakan jiwa namun dapat
menyebabkan morbiditas yang tinggi dan penderitaan bagi pekerja, sehingga
dapat mempengaruhi kebutuhan ekonomi dan kualitas hidup penderita.
Banyak bahan iritan dan alergen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak
pada pekerja bangunan, misalnya pada tukang tembok dan tukang semen
yang mempunyai resiko tinggi terkena dermatitis kontak alergi akibat
terpapar hexavalent chromate yang larut dalam air pada semen basah.
Pada tukang cat, epoxy resin merupakan alergen yang paling sering
menyebabkan DKA. Epoxy resin terdapat pada cat yang berisi materi
perekat seperti resin/damar sintetik. Turpentin yang digunakan sebagai
pelarut dalam cat juga merupakan alergen pada DKA. Tukang kayu sering
terpapar oleh pengawet kayu yang mengandung potasium dichromate.
Sedangkan pada tukang ledeng/pipa yang memotong, mengukur, dan
memasang pipa plastik atau besi untuk mengalirkan cairan dan gas sering
terpapar oleh bahan iritan seperti bahan pembersih, bahan perekat, dan
soldering fluxes yang mengandung colophony.
Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (Fregert (1998), Safeguard
(2000), Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006) , Erliana
(2008), Hogan (2009), Mausulli (2010), Suryani (2011) dan Adillah (2012),
diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak
secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor utama yaitu dari faktor
iritan (ukuran molekul, konsentrasi / jumlah, daya larut, vehikulum, suhu,
lama kontak, terjadinya gesekan), faktor alergen adalah kalium dikromat (
semen, kulit sarung tangan dan sepatu bot, pengawet kayu ), bahan kimia (
sarung tangan karet, kabel listrik, sepatu bot ), cat dan perekat ,
antimicrobial, faktor lingkungan ( suhu dan kelembaban yang tinggi, suhu
dan kelembaban yang rendah) dan faktor individu (ketebalan kulit di
berbagai permukaan kulit, usia, ras, jenis kelamin, masa kerja, riwayat
penyakit kulit yang sedang dialami frekuensi mencuci tangan ketika bekerja,
dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)).

1.2 Rumusan Masalah


Sektor konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap
masalah K3 disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan,
perkayuan, dan pertambangan. Hal ini dikarenakan kondisi proyek
konstruksi yang lokasi kerjanya berbeda-beda, terbuka, dipengaruhi cuaca,
waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis, menuntut ketahanan fisik yang
tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih
(Wirahadikusumah, 2007).
Salah satu masalah K3 yang muncul di proyek konstruksi adalah
dermatitis kontak (Australian Government,2006). Dermatitis kontak
merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja (PAK) (Kosasih,2004).
Jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain, angka kejadian dermatitis
kontak pada pekerja di bidang konstruksi terbilang cukup tinggi.
Insiden tertinggi dialami oleh tile setter and terazzo worker (pekerja
pemasang lantai/terrazzo) yaitu 19,9 kasus per 10.000 pekerja, selanjutnya
adalah painter (tukang cat) 7,8 kasus per 10.000 pekerja, dan construction
and cement worker ( termasuk, tukang plester, pembantu tukang, dan
pekerja pengaduk semen) 5,2 kasus per 10.000 pekerja. Sebagian besar
penyakit kulit yang diderita adalah dermatitis kontak, hanya sebesar 26,6 %
yang menderita penyakit kulit selain dermatitis kontak.
Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya (Fregert (1998), Safeguard
(2000), Streit (2001), Djuanda (2003), Beltrani et all (2006) , Erliana
(2008), Hogan (2009), Mausulli (2010), Suryani (2011) dan Adillah (2012),
diketahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak
secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor utama yaitu dari faktor
iritan (ukuran molekul, konsentrasi / jumlah, daya larut, vehikulum, suhu,
lama kontak, terjadinya gesekan), faktor alergen adalah kalium dikromat (
semen, kulit sarung tangan dan sepatu bot, pengawet kayu ), bahan kimia (
sarung tangan karet, kabel listrik, sepatu bot ), cat dan perekat ,
antimicrobial, faktor lingkungan ( suhu dan kelembaban yang tinggi, suhu
dan kelembaban yang rendah) dan faktor individu (ketebalan kulit di
berbagai permukaan kulit, usia, ras, jenis kelamin, masa kerja, riwayat
penyakit kulit yang sedang dialami frekuensi mencuci tangan ketika bekerja,
dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)).

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Anda mungkin juga menyukai