Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Lala Aisyana
170070301111022
Kelompok 5B
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN CONTINUOUS AMBULATORY
PERITONEAL DIALISYS (CAPD)
Oleh :
Lala Aisyana
NIM. 170070301111022
( ) ( )
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN CONTINUOUS AMBULATORY
PERITONEAL DIALISYS (CAPD)
Volume Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
darah, HB, mioglobin.
Berat Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
Jens
Osmolitas Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum
sering 1:1
Clerance Mungkin agak menurun
Creatinin
Natrium Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium
Protein Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus
bila SDM dan fragmen juga ada.
2) Darah
3) Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
massa.
4) Sistouretrogram Berkemih
Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
5) Ultrasono Ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas.
6) Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histoligis.
7) Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif.
8) EKG
Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
1.7 Penatalaksanaan Chonic Kidney Disease (CKD)
a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan
memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja
ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
(uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.4)Mencegah atau
mengurangi progresifitas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju filtrasi
glomerulus (Almatsier, 2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan
untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Protein
rendah, yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai biologik tinggi.Lemak
cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi, diutamakan lemak tidak jenuh
ganda. Karbohidrat cukup, yaitu : kebutuhan energi total dikurangi yang berasal
dari protein dan lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites,
oliguria, atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium dibatasi
(60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau
anuria.
Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama,
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi. Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB.
Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan dibatasi yaitu
sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan pengeluaran cairan melalui
keringat dan pernapasan (±500 ml).
Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat, vitamin C,
vitamin D.
b. Terapi Simtomatik
Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan
keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal .
1. Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara
bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan membantu
penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara
pasif melalui suatu membran berpori dari suatu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Terdapat dua teknik yang digunakan dalam dialisis,
yaitu :
Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
atau produk limbah karena dalam tubuh penderita gagal ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin
(2000), hemodialisis adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama
hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk
kedalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan
darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi
difusi. Setelah darah dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan
ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Tindakan terapi
dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama
4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang
peritoneum untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk
pengeluaran. Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36
jam atau lebih lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan
yang mengalir ke dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam.
Suatu kateter “Tenchoff” yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara
permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali
sehari), 7 hari dalam seminggu.
2.6 Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan
kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada
CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan
cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya,
pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur
pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau
lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh
dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan
cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu
rentensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.
2.7 Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian
2.7.1 Efektifitas
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa
dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah
selaput/membran.
Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut
melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan
selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis
berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air
akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh
pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang
tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas
atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).
2.7.2 Keuntungan CAPD dibandingkan HD
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis pada
tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai usia
juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu :
a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.
2.7.3 Kelemahan CAPD
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat
terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
2.8 Komplikasi CAPD
1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul
seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis
merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini
terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian
besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis
yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya
baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan
angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan
berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus,
khususnya bila terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan
peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang
difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus
merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase
dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur
untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.
2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran
cairan dialisat tersebut
5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-sentra
dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter
dapat segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut
berhenti spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk
menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-
faktor yang dapat memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen
yang tidak semestinya atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran
melalui tempat pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi
spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
3. Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering
dijumpai selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat
prosedur tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus
penyebab terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis
kadang-kadang disertai dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan
cairan drainase dialisat yang berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema
atau mengalami trauma ringan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua
hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih
sering dilakukan selama waktu ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi
kateter oleh bekuan darah.
4. Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang
terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal,
diafragmatik dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat
juga akan memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
5. Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis
6. Nyeri punggung bawah dan anoreksia
Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam rongga
abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta
berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD
7. Gangguan citra rubuh dan seksualitas
Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk mengontrol
sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun bentuk
terapi ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan citra tubuh
dengan adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang dibadannya
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology: Clinical
concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of Medical
Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;