Anda di halaman 1dari 23

MODUL PELATIHAN

KOLABORASI TB-HIV
BAGI PETUGAS
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

MODUL 1
KEBIJAKAN KOLABORASI TB-HIV

Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan R.I.
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

I. DAFT AR ISI

I. DAFTAR ISI .......................................................................................................... I

II. DESKRIPSI SINGKAT ......................................................................................... 1

III. TUJUAN PEMBELAJARAN................................................................................. 1


1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM ................................................................. 2
2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS ............................................................. 2

IV. POKOK BAHASAN .............................................................................................. 2

V. METODE, MEDIA DAN ALAT BANTU ................................................................ 3


1. METODE ......................................................................................................... 3
2. MEDIA.. ........................................................................................................... 3
3. ALAT BANTU ................................................................................................... 3

VI. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN .......................................................... 3


SESI 1: PENGKONDISIAN PESERTA .................................................................. 3
SESI 2 EPIDEMIOLOGI HIV ................................................................................. 3
SESI 3:KO-INFEKSI TB-HIV DI INDONESIA ........................................................ 4
SESI 4:KONSEP PERAWATAN KOMPREHENSIF BERKESINAMBUNGAN ....... 4
SESI 5:STRATEGI DOTS ..................................................................................... 4
SESI 5:KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB-HIV ....................................... 4
SESI 5:PENUTUP, REFLEKSI , DAN RANGKUMAN ..................................................... 4
VII. URAIAN MATERI 5

POKOK BAHASAN 1: EPIDEMIOLOGI HIV .......................................................... 5


POKOK BAHASAN 2:KO-INFEKSI TB-HIV ......................................................... 11
POKOK BAHASAN 3:KONSEP PERAWATAN KOMPREHENSIF
BERKESINAMBUNGAN ..................................................................................... 12
POKOK BAHASAN 4 :STRATEGI DOTS ............................................................ 14
POKOK BAHASAN 4 :KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB-HIV .............. 15
VIII.REFERENSI ...................................................................................................... 21

i
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

II. DESKRIPSI SINGKAT

Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan pengaruhnya terhadap


peningkatan epidemi Tuberkulosis (TB) di seluruh dunia yang berakibat
meningkatnya jumlah pasien TB di tengah masyarakat. Pandemi ini merupakan
tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa
pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian
HIV. Sebaliknya TB merupakan penyebab utama kematian pada Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA). Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling
terbanyak (49%) dijumpai pada ODHA dibandingkan dengan penyakit oportunistik
lain.

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah
variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang
berpengaruh. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi
dengan kecenderungan menjadi epidemi meluas pada beberapa Provinsi.

Oleh karena itu, diperlukan kegiatan kolaborasi TB-HIV sebagai bagian dari upaya
pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan pengendalian HIV/AIDS
serta perlu didukung oleh petugas pelaksana yang memiliki pengetahuan, sikap dan
ketrampilan yang memadai. Kemampuan tersebut dapat diperoleh antara lain
melalui pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas di tingkat layanan yang bekerja di
unit TB maupun yang bekerja di sarana pelayanan Konseling dan tes HIV secara
sukarela (KTS) dan Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) HIV.

Setiap petugas di unit TB terlebih dahulu harus memahami secara jelas tentang
kebijakan kolaborasi TB-HIV.

Modul ini membahas tentang kebijakan kolaborasi TB-HIV meliputi epidemiologi HIV
dan TB, ko-infeksi TB-HIV, konsep perawatan berkesinambungan bagi ODHA,
strategi DOTS dan kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV.

1
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

III. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah mempelajari materi ini peserta mampu memahami kebijakan kolaborasi
TB-HIV.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


Setelah mempelajari materi ini peserta mampu:
a. Menjelaskan epidemiologi HIV dan TB.
b. Menjelaskan ko-infeksi TB-HIV.
c. Menjelaskan konsep perawatan berkesinambungan bagi ODHA.
d. Menjelaskan pengendalian TB dengan strategi DOTS.
e. Menjelaskan kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV.

IV. POKOK BAHASAN

Pokok Bahasan 1: Epidemiologi HIV dan TB


a. Sub Pokok Bahasan Epidemiologi HIV:
1) Perjalanan alamiah HIV.
2) Cara penularan.
3) Kelompok berisiko.
4) Epidemiologi HIV di Indonesia.

b. Sub Pokok Bahasan Epidemiologi TB:


1) Besaran masalah.
2) TB dan riwayat alamiah.
3) Cara penularan.

Pokok Bahasan 2:Ko-infeksi TB-HIV

Pokok Bahasan 3: Konsep perawatan berkesinambungan bagi ODHA


a. Sub pokok Bahasan: Definisi perawatan berkesinambungan.
b. Sub Pokok Bahasan: Komponen perawatan berkesinambungan.
c. Sub Pokok Bahasan: Tempat dan sarana perawatan berkesinambungan.
d. Sub Pokok Bahasan: Manfaat Perawatan berkesinambungan untuk
perawatan HIV/AIDS.

Pokok Bahasan 4: Strategi DOTS


Pokok bahasan 5:Kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV:
a. Sub Pokok Bahasan: Tujuan kolaborasi.
b. Sub Pokok Bahasan: Kegiatan kolaborasi.
c. Sub Pokok bahasan: Skala prioritas pelaksanaan kolaborasi.
d. Sub Pokok Bahasan: Model kolaborasi.

2
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

V. METODE, MEDIA & ALAT BANT U

A. METODE
 Pembelajaran dalam kelompok (setiap kelompok 5-6 peserta) :
 Tugas baca,
 Diskusi,
 Latihan soal.

2. MEDIA
 Modul 1.
 Petunjuk latihan soal.

3. ALAT BANTU
 LCD,
 Flipchart,
 Whiteboard.

VI. LANGKAH-L ANGKAH PEMBELAJARAN

SESI 1: PENGKONDISIAN PESERTA


Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:
 Fasilitator menyapa peserta dan memperkenalkan diri.
 Menyampaikan tujuan pembelajaran dengan menggunakan bahan tayangan.
 Melakukan apersepsi tentang materi yang akan dibahas dengan metoda
curah pendapat atau meminta beberapa peserta untuk menjawabnya.

SESI 2: EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DAN TB


Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:
 Peserta secara bergantian membaca pokok bahasan 1 modul pelatihan.
 Fasilitator mendorong peserta untuk menanyakan bagian yang tidak
dimengerti.
 Melakukan apersepsi tentang materi yang dibahas dengan metoda curah
pendapat, meminta beberapa peserta untuk menjawabnya atau penjelasan
dari narasumber.
 Peserta secara bergantian membaca pokok bahasan 1 modul pelatihan
hingga selesai.
 Fasilitator mendorong peserta untuk menanyakan bagian yang tidak
dimengerti.
 Melakukan apersepsi tentang materi yang dibahas dengan metoda curah
pendapat, meminta beberapa peserta untuk menjawabnya atau penjelasan
dari narasumber.

3
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

SESI 3: KO-INFEKSI TB-HIV


Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:
 Peserta secara bergantian membaca pokok bahasan 2 modul pelatihan.
 Fasilitator mendorong peserta untuk menanyakan bagian yang tidak
dimengerti.
 Melakukan apersepsi tentang materi yang dibahas dengan metoda curah
pendapat, meminta beberapa peserta untuk menjawabnya atau penjelasan
dari narasumber.

SESI 4: KONSEP PERAWAT AN BERKESINAMBUNGAN BAGI ODHA


Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:
 Peserta secara bergantian membaca pokok bahasan 3 modul pelatihan.
 Fasilitator mendorong peserta untuk menanyakan bagian yang tidak
dimengerti.
 Melakukan apersepsi tentang materi yang dibahas dengan metoda curah
pendapat, meminta beberapa peserta untuk menjawabnya atau penjelasan
dari narasumber.

SESI 5: STRATEGI DOTS


Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:
 Peserta secara bergantian membaca pokok bahasan 4 modul pelatihan.
 Fasilitator mendorong peserta untuk menanyakan bagian yang tidak
dimengerti.
 Melakukan apersepsi tentang materi yang dibahas dengan metoda curah
pendapat, meminta beberapa peserta untuk menjawabnya atau penjelasan
dari narasumber.

SESI 6: KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB-HIV


Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:
 Peserta secara bergantian membaca pokok bahasan 5 modul pelatihan.
 Fasilitator mendorong peserta untuk menanyakan bagian yang tidak
dimengerti.
 Melakukan apersepsi tentang materi yang dibahas dengan metoda curah
pendapat, meminta beberapa peserta untuk menjawabnya atau penjelasan
dari narasumber.

SESI 7: PENUTUP, UMPAN BALIK DAN RANGKUMAN


Langkah Proses Pembelajaran sebagai berikut:
 Fasilitator merangkum tentang pembahasan materi ini dengan mengajak
seluruh peserta untuk melakukan umpan balik. Kemudian dilanjutkan dengan
memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

4
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

VII. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN 1. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DAN TB

A. Epidemiologi HIV:

1. Perjalanan alamiah HIV


AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired
artinya tidak diturunkan tetapi ditularkan dari satu ke orang lainnya; Immune
adalah sistem daya tahan tubuh atau kekebalan tubuh terhadap penyakit;
Deficiency artinya tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah kumpulan
tanda dan gejala penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah
bentuk lanjut dari infeksi HIV. Human Immunodeficiency Virus adalah virus
yang termasuk kelompok keluarga retrovirus dan dapat menyebabkan
penyakit AIDS. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi
seumur hidup. Banyak ODHA tetap asimptomatik (tanpa tanda dan gejala dari
suatu penyakit) untuk jangka waktu panjang dan tidak mengetahui bahwa
dirinya terinfeksi. Meskipun demikian, mereka dapat menulari orang lain.

Secara umum tahapan perjalanan alamiah infeksi HIV sebagai berikut:


Setelah 2 – 3 minggu infeksi virus terjadi sindrom retroviral akut yang
berlangsung selama 2 – 3 minggu. Gejala ini akan menghilang (recovery) dan
terjadi serokonversi selama 2 – 4 minggu. Kemudian pasien akan mengalami
infeksi HIV kronik asimptomatik selama rata-rata 8 tahun sebelum akhirnya
menjadi simptomatik. Infeksi HIV simptomatik (AIDS) akan berlangsung
selama rata-rata 1,3 tahun, kemudian akan meninggal dunia.

HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh. Sebagian


besar orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun setelah
AIDS muncul, bila tidak diberi pengobatan dan perawatan yang memadai.

Sesudah virus HIV memasuki tubuh seseorang maka tubuh itu terinfeksi dan
virus mulai bereplikasi terutama dalam sel limfosit T CD4 dan makrofag.
Human Immunodeficiency Virus akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuk virus sampai
terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium
adalah selama 2-12 minggu. Masa ini disebut sebagai masa jendela (window
period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan
kepada orang lain, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium antibodi masih
negatif. Sekitar 30-50% pada masa infeksi akut akan mengalami demam,
pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala
dan batuk.

Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala untuk jangka waktu yang
cukup lama bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang ini sangat mudah
menularkan infeksinya kepada orang lain dan hanya dapat dikenali dari

5
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

pemeriksaan antibodi HIV. Kemudian virus memperbanyak diri secara cepat


(replikasi) dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan
lainnya sehingga terjadilah sindroma penurunan daya tahan tubuh yang
progresif (progressive immunodeficiency syndrome).

Progresivitas tergantung beberapa faktor seperti usia (sangat cepat pada usia
kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun), infeksi lainnya dan adanya faktor
genetik (herediter).

2. Cara penularan
Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual, darah, penularan dari ibu ke
anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI. Human
Immunodeficiency Virus tidak ditularkan dari orang ke orang lain melalui
bersalaman, berpelukan, bersentuhan atau berciuman. Tidak ada bukti bahwa
HIV dapat ditularkan melalui penggunaan toilet, kolam renang, alat makan
atau minum secara bersama atau gigitan serangga seperti nyamuk.

Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah cara yang paling dominan


dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat
terjadi selama kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, oral seksual
antara dua individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang
tidak menggunakan alat pelindung bagi yang terinfeksi HIV.

Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak dilakukan
pemeriksaan antibodi HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan
atau penggunaan alat medis lainnya. Kejadian diatas dapat terjadi pada
semua pelayanan kesehatan.

Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya selama dalam
kandungan, saat persalinan dan saat menyusui. Risiko penularan dari ibu ke
anak tanpa intervensi program sangat bervariasi diantara negara dan
umumnya diperkirakan antara 25-40% di negara berkembang dan < 2% di
Eropa dan Amerika Utara. Pada umumnya risiko terbesar terjadi pada saat
persalinan.

Infeksi Menular Seksual (IMS) diketahui mempermudah penularan HIV yang


selanjutnya dapat berkembang menjadi AIDS dengan tingkat kematian yang
tinggi. Infeksi menular seksual juga merupakan petunjuk tentang terdapatnya
perilaku seksual berisiko tinggi. Secara umum, IMS dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui hubungan seksual sebanyak 3 - 5 kali lebih besar.
Oleh karena itu, jika dijumpai pasien TB dengan gejala IMS harus segera
dirujuk ke layanan IMS. Infeksi Menular Seksual yang paling sering dijumpai
adalah herpes genitalis, HIV dan sifilis, gonore dan klamidia.

6
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

3. Kelompok berisiko
Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko pada kelompok
masyarakat. Berdasarkan perilaku dan potensi tertular HIV, masyarakat
dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kelompok tertular (infected people) adalah mereka yang sudah terinfeksi


HIV.
b. Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people) adalah
mereka yang berperilaku sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam
kelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan, laki-laki dan waria
serta pelanggannya, pengguna napza suntik (penasun). Narapidana
termasuk dalam kelompok ini.
c. Kelompok rentan (vulnerable people) adalah kelompok masyarakat yang
karena lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan
keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil sehingga rentan
terhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang
dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja,
anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan petugas
pelayanan kesehatan.
d. Masyarakat Umum (general population) adalah mereka yang tidak
termasuk dalam ketiga kelompok yang telah disebutkan di atas.
4. Epidemiologi HIV Di Indonesia

Saat ini perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di


Asia. Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated
epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi
berisiko tinggi yaitu pengguna napza suntik, hetero dan homoseksual (WPS,
waria).

Sejak tahun 2000, prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa
sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan
Papua Barat), prevalensi HIV menunjukkan tingkat epidemi yang meluas
(generalized epidemic) yaitu lebih besar dari 1% pada masyarakat umum.

Hasil estimasi jumlah ODHA di Indonesia tahun 2009 berkisar 142.187


ODHA (97,652 – 187,029). Penggunaan jarum suntik merupakan cara
transmisi HIV yang terbanyak (53%) diikuti dengan transmisi heteroseksual
(42%).

Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga desember


2011, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131
kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835
asus (49%).

7
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

B. Epidemiologi Tuberkulosis
1. Besaran masalah Tuberkulosis
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien
TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian perempuan akibat TB lebih banyak
dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomi (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika
pasien tersebut meninggal akibat TB maka akan kehilangan pendapatannya
sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomi, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial seperti stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat.

Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus


TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada
negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar
(high burden countries). Menyikapi hal tersebut maka pada tahun 1993, WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:


 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara
negara yang sedang berkembang.
 Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
o Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.
o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar dan sebagainya).
o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat
yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah
didiagnosis)
o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas Bacillus Calmette et
Guerin (BCG).
o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
 Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
 Dampak endemi HIV.

8
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

2. Tuberkulosis dan Riwayat alamiahnya


 Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

 Cara penularan
o Sumber penularan adalah pasien TB Basil Tahan Asam (BTA) positif.
o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.
o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
o Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.

 Risiko penularan
o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
o Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. Annual Risk of Tuberculosis Infection
sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
o Menurut WHO, ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
o Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif.

 Risiko menjadi sakit TB


o Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
o Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien
TB BTA positif.
o Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien
TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
o HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem
daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi
9
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

penyerta (oportunistic nfection) seperti TB. Bila jumlah orang terinfeksi


HIV meningkat maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila
Ventilasi dengan HIV:
Kepadatan • 5-10% setiap tahun
Dalam ruangan • >30% lifetime
Faktor Perilaku
HIV(+)
SEMBUH

PAJANAN INFEKSI
10%
TB MATI
Konsentrasi Kuman  Keterlambatan diagnosis
Lama kontak dan pengobatan
 Malnutrisi  Tatalaksana tak memadai
 Penyakit DM,  Kondisi kesehatan
immuno-supresan

Gambar 1.1. Faktor Risiko Kejadian TB

 Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati


Pasien yang tidak diobati setelah 5 tahun, akan:
o 50% meninggal.
o 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi.
o 25% menjadi kasus kronik yang tetap menular.

10
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

POKOK BAHASAN 2. KO-INFEKSI TB-HIV

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering (sekitar 50%)


dijumpai pada ODHA dibandingkan dengan penyakit oportunistik lain misalnya
Kandidiasis, Pneumocystis Jerovecii pneumonia, Toksoplasmosis dan
Kriptosporidiosis.

Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-
infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO (2003), jumlah pasien ko-infeksi TB-
HIV di dunia diperkirakan 14 juta orang. Sekitar 3 juta dari pasien ko-infeksi TB-HIV
tersebut terdapat di Asia Tenggara.

Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif.


Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena merupakan
infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada ODHA.

Tuberkulosis merupakan penyebab kematian utama pada ODHA. Angka kematian


ODHA dengan TB lebih tinggi dibandingkan dengan kematian ODHA tanpa TB.
Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstraparu
yang kemungkinan besar disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan terapi TB.

Sebagian besar orang yang terinfeksi dengan kuman TB (Mycobacterium


tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas
yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun
pada orang-orang dimana sistem imunitasnya menurun misalnya pada ODHA maka
infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB Aktif. Hanya
sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi dengan HIV akan berkembang menjadi TB
aktif selama hidupnya sedangkan pada orang dengan HIV, sekitar 60% akan
menjadi TB aktif. Dengan demikian, epidemi HIV akan meningkatkan jumlah kasus
TB di masyarakat.

Sampai saat ini, belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di
antara pasien TB. Studi pertama tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di
Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari RS Provinsi di Jayapura
menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 di antara 40 pasien TB ternyata HIV
positif. Data dari klinik Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
di Jakarta sejak tahun 2004 - 2007 menunjukkan prevalensi HIV pada suspek TB
dengan faktor risiko antara 3-5% dan prevalensi pada pasien TB antara 5-10%
dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya.

Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada
meningkatnya kasus TB; jadi, penanggulangan TB tidak akan berhasil dengan baik
tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Itu berarti, upaya-upaya pencegahan HIV dan
perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi petugas program
penanggulangan TB.
11
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

Disamping itu, pengendalian infeksi TB harus juga menjadi prioritas bagi petugas
kesehatan.

POKOK BAHASAN 3. KONSEP PERAWATAN BERKESINAMBUNGAN


BAGI ODHA

1. Definisi perawatan berkesinambungan


Perawatan komprehensif berkesinambungan adalah perawatan yang dilakukan
secara holistik dan terus menerus sejak dari rumah hingga ke rumah sakit (RS)
dan sebaliknya melalui sistem jejaring yang bertujuan memperbaiki dan
memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan komprehensif
meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya
seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan
penyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisis, psikologi, sosial
dan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif.

2. Komponen perawatan berkesinambungan


a. Konseling dan tes HIV secara sukarela untuk memudahkan pasien masuk ke
dalam keperawatan komprehensif berkesinambungan.
b. Manajemen gejala klinis melalui diagnosis secara dini dan pengobatan
secara tepat serta dukungan lainnya.
c. Asuhan keperawatan untuk menghilangkan ketidaknyamanan fisis yang sakit,
hygine, peningkatan pengendalian infeksi, perawatan paliatif dan terminal,
pelatihan untuk keluarga di rumah, pendidikan pencegahan dan promosi
kondom.
d. Perawatan di rumah dan masyarakat, meliputi pelatihan keluarga dan tenaga
sukarela dalam peningkatan kesehatan, pengobatan gejala umum dan
perawatan paliatif.
e. Promosi nutrisi yang baik, dukungan psikogis dan emosional, dukungan
spiritual dan konseling.
f. Membentuk kelompok pendukung di masyarakat untuk memberikan
dukungan emosi pada ODHA dan keluarganya.
g. Eliminasi stigma HIV/AIDS dan mengembangkan sikap positif dalam
masyarakat bagi ODHA dan keluarganya.
h. Pendidikan keperawatan dalam HIV/AIDS bagi pemberi asuhan HIV/AIDS,
anggota keluarga, tetangga dan tenaga sukarela/volunteer.
i. Membangun kemitraan diantara pemberi pelayanan (klinik, sosial, kelompok
pendukung) agar rujukan dapat dilakukan secara baik.

12
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

3. Tempat dan sarana perawatan berkesinambungan


 Rumah
Perawatan rumah adalah perawatan kepada orang sakit di rumah mereka
sendiri. Perawatan ini melibatkan orang mereka sendiri atau keluarga,
saudara, tetangga, perawat, bidan, pekerja kesehatan dan pekerja sosial lain.
Perawatan diberikan seperti perawatan fisis, psikososial, spiritual dan paliatif.
 Komunitas
Perawatan komunitas adalah perawatan yang diberikan oleh komunitas.
Perawatan ini dapat diberikan oleh perawat, bidan, petugas kesehatan
masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM dan lain lain.
 Puskesmas
Perawatan untuk ODHA di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dasar.
 Rumah Sakit
Pelayanan bagi ODHA yang diberikan di RS oleh dokter, perawat, konselor,
pekerja sosial dan pelayanan pendidikan.

4. Manfaat Perawatan berkesinambungan untuk perawatan HIV/AIDS


Bila perawatan komprehensif dan berkesinambungan berhasil dibangun akan
memberikan banyak keuntungan untuk ODHA antara lain:
 Mengurangi beban perawatan pada keluarga.
 Memperbaiki kualitas hidup ODHA.
 Mengurangi stigma dan diskriminasi.

13
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

POKOK BAHASAN 4. STRATEGI DOTS

Supaya petugas di kilinik KTS dan PDP dapat berperan secara maksimal dalam
program pengendalian TB dengan kolaborasinya bersama program pengendalian
HIV, dalam modul pelatihan ini perlu dijelaskan pengertian pengendalian TB dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse).

Strategi pengendalian TB dengan strategi DOTS merupakan satu-satunya strategi


pengendalian TB yang direkomendasikan oleh WHO. Dari berbagai uji coba
lapangan, strategi DOTS telah dibuktikan keberhasilannya dengan memberikan
angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan
strategi kesehatan yang paling cost effective. Satu studi cost benefit yang dilakukan
oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa setiap satu dolar yang digunakan
untuk membiayai program pengendalian TB akan menghemat sebesar 55 dolar
selama 20 tahun.

Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:


1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Kesinambungan persediaan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek
untuk pasien.
4. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program TB.

Untuk menjamin keberhasilan pengendalian TB, kelima komponen tersebut di atas


harus dilaksanakan secara bersamaan.

Di Indonesia, implementasi strategi DOTS dilaksanakan mulai pada tahun 1993 di


Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Kemudian secara bertahap strategi
DOTS ini diperluas ke seluruh Puskesmas di Indonesia dengan hasil angka
kesembuhan yang tinggi (lebih dari 85%). Angka kesembuhan yang tinggi ini penting
untuk memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya kekebalan obat ganda
atau multidrug resistance (MDR) TB yang merupakan ancaman besar bagi
masyarakat.

Sampai dengan tahun 2000, penerapan strategi DOTS lebih diprioritaskan di


Puskesmas dengan mengintegrasikan dalam pelayanan primernya.

Namun, pada kenyataannya, pasien TB bukan hanya datang ke Puskesmas tetapi


juga ke RS, BBKPM/BKPM, klinik, Dokter praktek swasta (DPS), dokter perusahaan
dan lain-lain. Oleh karena itu, strategi DOTS perlu di ekspansi ke semua unit
pelayanan kesehatan termasuk klinik KTS dan PDP.

14
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

POKOK BAHASAN 5. KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB-HIV

1. Tujuan kolaborasi
Tujuan umum
Memberikan arah dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV untuk mengurangi
beban TB dan HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini.

Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, adalah:


 Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS.
 Menurunkan beban TB pada ODHA.
 Menurunkan beban HIV pada pasien TB.

Kolaborasi TB-HIV di fasyankes merupakan pelaksanaan kegiatan kolaborasi.


TB-HIV dari tingkat Pusat. Kolaborasi TB-HIV di tingkat fasyankes bertujuan
untuk menjamin kesinambungan perawatan pasien yang berkualitas, yang pada
akhirnya akan mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat infeksi ganda
dan masalah resistensi obat.

2. Kegiatan kolaborasi

Kegiatan-kegiatan kolaborasi TB-HIV dilaksanakan dalam upaya untuk mencapai


tujuan kolaborasi tersebut diatas. Kegiatan-kegiatan kolaborasi tersebut terdiri
dari:

A MEMBENTUK MEKANISME KOLABORASI


A.1 Membentuk kelompok kerja (Pokja) TB-HIV di semua lini.
A.2 Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB.
A.3 Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV.
A.4 Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi.
B MENURUNKAN BEBAN TB PADA ODHA
B.1 Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya.
B.2 Menjamin pengendalian infeksi TB pada unit pelayanan kesehatan dan
tempat orang berkumpul (rutan/lapas, panti rehabilitasi napza).
C MENURUNKAN BEBAN HIV PADA PASIEN TB
C.1 Menyediakan konseling dan tes HIV.
C.2 Pencegahan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
C.3 Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) dan infeksi
oportunistik lainnya.
C.4 Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) antiretroviral (ARV) untuk
HIV/AIDS.

15
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

3. Skala prioritas pelaksanaan kolaborasi


Skala prioritas pelaksanaan kolaborasi TB-HIV didasarkan pada tingkat epidemi
HIV/AIDS di wilayah (Provinsi, Kabupaten/Kota) setempat, yaitu tingkat epidemi
meluas, terkonsentrasi atau rendah.

Adapun pengertian masing-masing tingkat epidemi HIV/AIDS di suatu wilayah


seperti dijelaskan pada tabel 2 di bawah ini:

Tabel 1: Tingkat Epidemi HIV-AIDS


1. Meluas Prevalensi HIV > 1% di populasi umum atau ibu
(Generalized) hamil
Prevalensi HIV secara konsisten > 5% di sub-
2. Terkonsentrasi populasi tertentu, dan
(Concentrated) Prevalensi HIV < 1% di populasi umum atau ibu
hamil
3. Rendah Prevalensi HIV dalam suatu sub-populasi
(Low) tertentu < 5%

Sesuai dengan tingkat epidemi di atas maka:


1. Provinsi dengan epidemi HIV yang meluas, kegiatan kolaborasi TB-HIV
dilaksanakan pada:
a. Semua Fasyankes yang telah tersedia Konseling dan Tes HIV.
b. Semua RS DOTS.
c. Semua Puskesmas.
d. Rutan dan Lapas dan panti rehabilitasi (penasun) yang memiliki
fasyankes.

2. Provinsi dengan epidemi HIV terkonsentrasi dan rendah, kegiatan kolaborasi


TB-HIV dilaksanakan pada:
a. Semua Fasyankes yang telah tersedia Konseling dan Tes HIV.
b. Rumah Sakit DOTS, kolaborasi dikembangkan secara bertahap.
c. Puskesmas dengan kriteria tertentu:
– Di Kabupaten/Kota yang memiliki layanan KT HIV.
– Besarnya masalah TB (misalnya Notification Rate > 100 per 100.000
penduduk).
d. Rutan/lapas dan panti rehabilitasi penasun yang memiliki unit pelayanan
kesehatan.

16
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

4. Model kolaborasi
Ada dua pilihan bentuk model layanan kolaborasi TB-HIV yang dapat
diterapkan, yaitu:
a. Model Layanan Paralel
Yaitu layanan TB dan layanan HIV yang berdiri sendiri-sendiri di
fasyankes yang sama atau berbeda. Masing-masing layanan
melaksanakan kolaborasi melalui sistem rujukan yang disepakati.
b. Model Layanan Terintegrasi
Yaitu layanan TB dan layanan HIV terpadu dalam satu unit di satu
fasyankes.

Kombinasi dari kedua model layanan diatas dapat diterapkan di satu


wilayah Kabupaten/Kota. Sebagai contoh: di sebuah Kabupaten memiliki
RS yang mempunyai layanan TB-HIV terintegrasi, di samping itu juga
terdapat sarana KT HIV mandiri yang berada dalam jejaring dengan
layanan TB di Puskesmas atau RS.

17
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

LATIHAN 1

1. Sebutkan 2 alasan utama perlunya kolaborasi kegiatan TB-HIV!


Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

2. Sebutkan penyebab utama meningkatnya beban masalah TB!


Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

3. Sebutkan cara penularan TB!


Jawab:
................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

4. Apa tujuan khusus dari kolaborasi kegiatan TB-HIV?


Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

5. Sebutkan kegiatan-kegiatan untuk menurunkan beban HIV pada pasien TB!


Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

6. Sebutkan kegiatan-kegiatan untuk menurunkan beban TB pada ODHA!


Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

7. Sebutkan 2 model kolaborasi TB-HIV di Indonesia!


Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

18
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

8. Sebutkan 5 komponen Strategi DOTS!


Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perawatan berkesinambungan, komponen


dan prinsipnya!
Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

10. Anda akan menjalakan kegiatan kolaborasi TB-HIV ditempat Anda, langkah apa
saja yang perlu dilakukan sebelum menjalankan kegiatan tersebut?
Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................

19
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

EVALUASI AKHIR MODUL

1. Kolaborasi kegiatan program pengendalian TB-HIV merupakan suatu keharusan


agar:
a. Antar program bisa saling merujuk.
b. Dapat menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien.
c. Kegiatan semakin banyak dan komprehensif.
d. Tidak membebani masing-masing program.

2. HIV dapat ditularkan melalui:


a. Air liur.
b. Keringat.
c. Gigitan nyamuk.
d. Transfusi darah.

3. Masa jendela adalah:


a. Masa antara virus masuk hingga menimbulkan gejala.
b. Masa antara virus masuk hingga terdeteksinya antibodi pada pemeriksaan
laboratorium.
c. Masa antara virus masuk hingga pasien meninggal.
d. Masa antara vurus masuk hingga pasien dirawat.

4. Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, adalah:


a. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program pengendalian TB,
HIV/AIDS dan program-program lain yang ada.
b. Menurunkan beban HIV dan TB pada ODHA.
c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB.
d. Mendukung program TB dan program HIV/AIDS

5. Sebutkan kegiatan-kegiatan untuk menurunkan beban TB pada ODHA:


a. Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya.
b. Pencegahan HIV dan IMS.
c. Menyediakan KTS.
d. Segera mengobati pasien yang didiagnose TB

6. Sebutkan kegiatan-kegiatan untuk menurunkan beban HIV pada pasien TB:


a. PPK.
b. Pengendalian infeksi TB di fasyankes.
c. Skrining suspek TB.
d. Edukasi mengenai TB.

20
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV

VIII. REFERENSI

1. Pedoman Perawatan, Dukungan dan Pengobatan ODHA, Departemen


Kesehatan RI, 2006.
2. Pedoman Nasional Kebijakan Kolaborasi TB-HIV, Departemen Kesehatan RI,
Edisi Pertama, 2007 (dalam proses pencetakan).
3. Pedoman Manajemen Kolaborasi TB-HIV, Departemen Kesehatan RI, Edisi
Pertama, 2008 (dalam proses pencetakan).
4. Interim policy in collaborative TB-HIV activities, World Health Organization, 2004.
5. Guidelines for Implementing Collaborative TB and HIV Programmes Activities
Stop TB Partnership Working Group on TB-HIV, World Health Organization,
2004.

21

Anda mungkin juga menyukai