KOLABORASI TB-HIV
BAGI PETUGAS
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
MODUL 1
KEBIJAKAN KOLABORASI TB-HIV
Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan R.I.
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
I. DAFT AR ISI
i
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah
variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang
berpengaruh. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi
dengan kecenderungan menjadi epidemi meluas pada beberapa Provinsi.
Oleh karena itu, diperlukan kegiatan kolaborasi TB-HIV sebagai bagian dari upaya
pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan pengendalian HIV/AIDS
serta perlu didukung oleh petugas pelaksana yang memiliki pengetahuan, sikap dan
ketrampilan yang memadai. Kemampuan tersebut dapat diperoleh antara lain
melalui pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas di tingkat layanan yang bekerja di
unit TB maupun yang bekerja di sarana pelayanan Konseling dan tes HIV secara
sukarela (KTS) dan Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) HIV.
Setiap petugas di unit TB terlebih dahulu harus memahami secara jelas tentang
kebijakan kolaborasi TB-HIV.
Modul ini membahas tentang kebijakan kolaborasi TB-HIV meliputi epidemiologi HIV
dan TB, ko-infeksi TB-HIV, konsep perawatan berkesinambungan bagi ODHA,
strategi DOTS dan kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV.
1
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
2
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
A. METODE
Pembelajaran dalam kelompok (setiap kelompok 5-6 peserta) :
Tugas baca,
Diskusi,
Latihan soal.
2. MEDIA
Modul 1.
Petunjuk latihan soal.
3. ALAT BANTU
LCD,
Flipchart,
Whiteboard.
3
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
4
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
A. Epidemiologi HIV:
Sesudah virus HIV memasuki tubuh seseorang maka tubuh itu terinfeksi dan
virus mulai bereplikasi terutama dalam sel limfosit T CD4 dan makrofag.
Human Immunodeficiency Virus akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuk virus sampai
terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium
adalah selama 2-12 minggu. Masa ini disebut sebagai masa jendela (window
period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan
kepada orang lain, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium antibodi masih
negatif. Sekitar 30-50% pada masa infeksi akut akan mengalami demam,
pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala
dan batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala untuk jangka waktu yang
cukup lama bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang ini sangat mudah
menularkan infeksinya kepada orang lain dan hanya dapat dikenali dari
5
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
Progresivitas tergantung beberapa faktor seperti usia (sangat cepat pada usia
kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun), infeksi lainnya dan adanya faktor
genetik (herediter).
2. Cara penularan
Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual, darah, penularan dari ibu ke
anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI. Human
Immunodeficiency Virus tidak ditularkan dari orang ke orang lain melalui
bersalaman, berpelukan, bersentuhan atau berciuman. Tidak ada bukti bahwa
HIV dapat ditularkan melalui penggunaan toilet, kolam renang, alat makan
atau minum secara bersama atau gigitan serangga seperti nyamuk.
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak dilakukan
pemeriksaan antibodi HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan
atau penggunaan alat medis lainnya. Kejadian diatas dapat terjadi pada
semua pelayanan kesehatan.
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya selama dalam
kandungan, saat persalinan dan saat menyusui. Risiko penularan dari ibu ke
anak tanpa intervensi program sangat bervariasi diantara negara dan
umumnya diperkirakan antara 25-40% di negara berkembang dan < 2% di
Eropa dan Amerika Utara. Pada umumnya risiko terbesar terjadi pada saat
persalinan.
6
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
3. Kelompok berisiko
Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko pada kelompok
masyarakat. Berdasarkan perilaku dan potensi tertular HIV, masyarakat
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Sejak tahun 2000, prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa
sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan
Papua Barat), prevalensi HIV menunjukkan tingkat epidemi yang meluas
(generalized epidemic) yaitu lebih besar dari 1% pada masyarakat umum.
7
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
B. Epidemiologi Tuberkulosis
1. Besaran masalah Tuberkulosis
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien
TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian perempuan akibat TB lebih banyak
dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomi (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika
pasien tersebut meninggal akibat TB maka akan kehilangan pendapatannya
sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomi, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial seperti stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat.
8
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
Cara penularan
o Sumber penularan adalah pasien TB Basil Tahan Asam (BTA) positif.
o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.
o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
o Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
Risiko penularan
o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
o Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. Annual Risk of Tuberculosis Infection
sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
o Menurut WHO, ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
o Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila
Ventilasi dengan HIV:
Kepadatan • 5-10% setiap tahun
Dalam ruangan • >30% lifetime
Faktor Perilaku
HIV(+)
SEMBUH
PAJANAN INFEKSI
10%
TB MATI
Konsentrasi Kuman Keterlambatan diagnosis
Lama kontak dan pengobatan
Malnutrisi Tatalaksana tak memadai
Penyakit DM, Kondisi kesehatan
immuno-supresan
10
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-
infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO (2003), jumlah pasien ko-infeksi TB-
HIV di dunia diperkirakan 14 juta orang. Sekitar 3 juta dari pasien ko-infeksi TB-HIV
tersebut terdapat di Asia Tenggara.
Sampai saat ini, belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di
antara pasien TB. Studi pertama tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di
Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari RS Provinsi di Jayapura
menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 di antara 40 pasien TB ternyata HIV
positif. Data dari klinik Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
di Jakarta sejak tahun 2004 - 2007 menunjukkan prevalensi HIV pada suspek TB
dengan faktor risiko antara 3-5% dan prevalensi pada pasien TB antara 5-10%
dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya.
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada
meningkatnya kasus TB; jadi, penanggulangan TB tidak akan berhasil dengan baik
tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Itu berarti, upaya-upaya pencegahan HIV dan
perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi petugas program
penanggulangan TB.
11
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
Disamping itu, pengendalian infeksi TB harus juga menjadi prioritas bagi petugas
kesehatan.
12
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
13
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
Supaya petugas di kilinik KTS dan PDP dapat berperan secara maksimal dalam
program pengendalian TB dengan kolaborasinya bersama program pengendalian
HIV, dalam modul pelatihan ini perlu dijelaskan pengertian pengendalian TB dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse).
14
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
1. Tujuan kolaborasi
Tujuan umum
Memberikan arah dalam pelaksanaan kolaborasi TB-HIV untuk mengurangi
beban TB dan HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini.
2. Kegiatan kolaborasi
15
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
16
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
4. Model kolaborasi
Ada dua pilihan bentuk model layanan kolaborasi TB-HIV yang dapat
diterapkan, yaitu:
a. Model Layanan Paralel
Yaitu layanan TB dan layanan HIV yang berdiri sendiri-sendiri di
fasyankes yang sama atau berbeda. Masing-masing layanan
melaksanakan kolaborasi melalui sistem rujukan yang disepakati.
b. Model Layanan Terintegrasi
Yaitu layanan TB dan layanan HIV terpadu dalam satu unit di satu
fasyankes.
17
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
LATIHAN 1
18
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
10. Anda akan menjalakan kegiatan kolaborasi TB-HIV ditempat Anda, langkah apa
saja yang perlu dilakukan sebelum menjalankan kegiatan tersebut?
Jawab:
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
..................................................................................................................................
19
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
20
Modul 1- Kebijakan kolaborasi TB-HIV
VIII. REFERENSI
21