Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Apotek dan Fungsi Apoteker Pengelola Apotek

II.1.1 Definisi Apotek


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun
2016, dijelaskan bahwa apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (PerMenKes No.35, 2016).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sediaan
farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (PerMenKes, No. 35,
2014).
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien (PerMenkes, No.51, 2009).

II.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek

Tugas dan fungsi apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun


2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah:
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker.
b. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

4
5

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi


antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional dan kosmetika.
d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional.

II.1.3 Peran dan Fungsi Apoteker Pengelola Apotek

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh


seorang apoteker yang profesional. Apoteker tersebut adalah sarjana farmasi yang
telah lulus pendidikan profesi dan mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku sehingga berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di
Indonesia sebagai apoteker (PerMekes, No.35 2014).
Fungsi apoteker dalam melaksanakan profesi di apotek yaitu melakukan
pekerjaan kefarmasian di apotek sesuai dengan fungsi apotek sebagai sarana
pelayanan kesehatan masyarakat dalam menyediakan dan penyaluran perbekalan
farmasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 922/Menkes/Per/X/1993,
Tugas Apoteker dalam melaksanakan profesi di apotek yaitu :
a. Menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotek berdasarkan keahlian dan
kompetensi yang dilandasi oleh sumpah jabatan dan kode etik. Pada
pelaksanaan pekerjaan kefarmasian, apoteker bertugas melakukan pekerjaan
kefarmasian tertentu sesuai dengan keahlian dan kewenangannya dengan
dibantu oleh karyawan lainnya dan mengarahkan karyawan yang bertugas
sebagai pendukung pekerjaan kefarmasian menjadi tim terpadu untuk
tercapainya keserasian proses pekerjaan sehingga menghasilkan penyelesaian
pekerjaan yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan.
b. Melakukan pekerjaan pemantauan sediaan farmasi yang meliputi : mutu,
ketersediaan, keabsahan dan kemanfaatan sediaan farmasi serta melakukan
pendidikan, konsultasi dan informasi kepada klien atau masyarakat sehingga
6

obat yang dikonsumsi masyarakat akan dipergunakan secara benar dan


memberi manfaat terapi yang optimal. Disamping itu melakukan pemantauan
lingkungan dalam rangka membantu ketertiban distribusi obat masyarakat.
c. Melakukan komunikasi yang intens dengan sejawat profesi kesehatan lain
sehingga tercapai kesamaan persepsi sehingga akan mengurangi kesalah-
pahaman dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi
kesehatan.
Fungsi dan tugas apoteker sesuai dengan kompetensi WHO yakni nine stars
pharmacist (WHO, 2006) :
a. Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien,
memberi informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga keseha-
tan lainnya.
b. Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya
mampu mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu
mengambil keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada pasien,
sebagai contoh ketika pasien tidak mampu membeli obat yang ada dalam
resep maka apoteker dapat berkonsultasi dengan dokter atau pasien untuk
pemilihan obat dengan zat aktif yang sama namun harganya lebih terjangkau.
c. Communicator, artinya seorang apoteker mampu berkomunikasi dengan baik
dengan pihak ekstern (pasien atau customer) dan pihak intern (tenaga profe-
sional kesehatan lainnya).
d. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di apotek.
Sebagai seorang pemimpin, apoteker merupakan orang yang terdepan
di apotek, bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari manajemen
pengadaan, pelayanan, administrasi, manajemen SDM serta bertanggung-
jawab penuh dalam kelangsungan hidup apotek.
e. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam
hal pelayanan, pengelolaan manajemen apotek, pengelolaan tenaga kerja dan
administrasi keuangan. Untuk itu apoteker harus mempunyai kemampuan
manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu
manajemen.
7

f. Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus menggali ilmu


pengetahuan, senantiasa belajar, menambah pengetahuan dan keterampilannya
serta mampu mengembangkan kualitas diri.
g. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing bagi
stafnya, harus mau meningkatkan kompetensinya, harus mau menekuni
profesinya, tidak hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, tapi harus
dapat melaksanakan profesinya tersebut dengan baik.
h. Researcher, artinya apoteker berperan serta dalam berbagai penelitian guna
mengembangkan ilmu kefarmasiannya
i. Entrepreneur, artinya apoteker harus juga dapat menjadi seorang pengusaha.
Berbagai macam keahlian yang dimiliki seorang apoteker akan mendukung
kemampuannya untuk menjadi seorang pengusaha, baik dalam kesehatan
maupun non kesehatan. Pendidikan yang diajarkan kepada apoteker haruslah
mendukung dan mendorong seorang apoteker menjadi entrepreneur.

II.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai


pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, diperlukan suatu standar yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian di apotek. Standar
pelayanan kefarmasian di apotek meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik
(PerMenKes No.35, 2014).
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek wajib mengikuti standar
pelayanan kefarmasian sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri. Pengaturan
standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan untuk meningkatkan mutu
pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
8

Penyelenggaraan standar pelayanan kefarmasian di apotek harus didukung


oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan
pasien. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan
mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait obat (drug related
problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (socio-
pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, apoteker harus menjalankan
praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi
dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung
penggunaan obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, apoteker juga
dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya.
Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. kegiatan tersebut harus
didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Pelayanan farmasi
klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi,
yaitu (PerMenKes No.35, 2014).

II.2.1 Pelayanan Farmasi Klinik

1. Pengkajian resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik
dan pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi nama pasien, umur,
jenis kelamin dan berat badan, nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP),
alamat, nomor telepon dan paraf; dan tanggal penulisan resep. Kajian
kesesuaian farmasetik meliputi bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas, dan
kompatibilitas (ketercampuran obat). Pertimbangan klinis meliputi ketepatan
indikasi dan dosis obat, aturan, cara dan lama penggunaan obat, duplikasi
9

dan/atau polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping
obat, manifestasi klinis lain), kontra indikasi dan interaksi.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat
bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.
informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan
lain-lain.
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran
dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat
dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat
kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health
Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan.
10

5. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care)


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.

II.2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan (PerMenKes No. 35, 2014).
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi,
budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan
farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
11

c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang
jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat,
nomor batch dan tanggal kedaluwarsa.
2. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan
kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
4. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First expire first out) dan FIFO
(First in first out).
e. Pemusnahan
1. Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kedaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota.
2. Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat
izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan.
3. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
12

f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesananatau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.Hal ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kedaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal
kedaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan)
dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari
pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan
yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan,
barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang
dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan
pelaporan lainnya.

II.3 Penggolongan Obat

1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual di pasaran dan boleh digunakan tanpa
resep dokter (Wijoyo dan Yosef. 2011).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 2380/A/SK/VI/1983 bahwa ukuran lingkaran tanda khusus obat bebas
disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar yang
bersangkutan dengan ukuran diameter lingkaran luar dan tebal garis tepi yang
proporsional, berturut-turut minimal satu cm dan satu mm. Tanda khusus untuk
13

obat bebas yaitu lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam,
seperti terlihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Penandaan obat bebas (KepMenKes, 1983)


Contoh : Nosib®, Mylanta®, Sanmol®, Pyrex®, Oralit.

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai
dengan tanda peringatan (DitBinFar, 2007).
Penandaannya diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
2380/A/SK/VI/1983 tentang Tanda Khusus untuk Obat Bebas dan Obat Bebas
Terbatas berupa lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam,
seperti terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Penandaan obat bebas terbatas (KepMenKes, 1983)


Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas
berupa persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm,
dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut :

Gambar 3. Tanda peringatan obat bebas terbatas (KepMenKes, 1983)


14

Beberapa contoh obat bebas terbatas :


P. No.1 : Etaflusin®, Benadryl® Syr, Neozep®, Decolgen®, dan Refagen®
P. No.2 : Betadine® Gargle, Listerin®, dan Forinfec® Gargle
P. No.3 : Kalpanax® cream, Neo Ultrasilin cream
P. No.4 : Skopolamin (obat asma)
P. No.5 : Rivanol®, Molexdine®
P. No.6 : Anusol® suppositoria

3. Obat Keras

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = geverlijk = berbahaya) yaitu obat
berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter,
memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K
didalamnya. Obat - obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik
(tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), obat-obatan yang mengandung hormon
obat diabetes, obat penenang, dan lain-lain. Obat-obat ini berkhasiat keras dan
bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh,
memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan (Wijoyo dan Yosef.
2011).
Penandaan obat keras mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus obat
keras daftar G adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi
berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi”. Tanda khusus
obat keras daftar G harus diletakkan pada sisi utama kemasan agar jelas terlihat
dan mudah dikenali seperti yang terlihat pada gambar berikut (KepMenKes RI,
No. 2396, 1986) :

Gambar 4: Penandaan obat keras (KepMenKes, 1986)


15

Contoh obat keras antara lain:


a. Golongan antibiotik, seperti Tetrasiklin, Amoxilin, Ampicilin,
Kloramfenikol, Cefadroxil.
b. Obat-obat antidiabetes, seperti Glucofor®(Metformin), Prodiabet®
(Glibenklamid).
c. Obat-obat topikal seperti, Matovir®Krim (Asiklovir), Mycoral®Krim
(Ketokonazol), Bioplacenton Gel (Neomisin Sulfat dan Placenta Extract).
Sediaan parenteral juga temasuk dalam golongan obat keras, harus
diberikan oleh tenaga yang profesional karena obat yang diberikan langsung
masuk ke dalam pembuluh darah sehingga apabila terjadi kesalahan dapat
membahayakan.
Obat keras juga meliputi Obat Wajib Apotek (OWA) dan Obat Keras
Tertentu (OKT):
a. Obat Wajib Apotek
OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan APA kepada
pasien. Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk
masyarakat. Obat-obat yang digolongkan dalam OWA merupakan obat
yang diperlukan bagi penyakit yang sering diderita pasien, antara lain obat
antiinflamasi, antialergi (Wijoyo dan Yosef. 2011).
Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada persyaratan
yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA ini, diantaranya:
a) Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data
pasien (nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
b) Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh
diberikan kepada pasien. Misalnya, hanya jenis oksitetrasiklin salep
saja yang termasuk OWA dan hanya boleh diberikan 1 tube.
c) Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar, yang
mencakup indikasi, kontraindikasi, cara pemakaian, cara
penyimpanan, efek samping obat yang mungkin timbul, serta tindakan
yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul (Wijoyo
dan Yosef. 2011)
16

Berdasarkan Permenkes Nomor 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria


obat yang dapat diserahkan adalah sebagai berikut:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak
di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko
pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi
di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
b. Psikotropika
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku (PerMenKes No.3, 2015).
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
pasal 2 ayat (2), psikotropika digolongkan menjadi:
1. Psikotropika golongan I adalah psikotopika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan, contohnya : lisergida (LSD/extasy), MDMA
(Metilen Dioksi Meth Amfetamin), meskalina, psilosibina, katinona.
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan, contohnya : amfetamin, metamfetamin (sabu -
sabu), metakualon, sekobarbital, fenmetrazin.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
17

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan


sindroma ketergantungan, contohnya : penthobarbital, amobarbital,
siklobarbital.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantunagan, contohnya : diazepam
(Valium®), allobarbital, barbital, bromazepam, klobazam,
klordiazepoksida, meprobamat, nitrazepam, triazolam, alprazolam.
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 153
dinyatakan bahwa lampiran mengenai jenis psikotropika golongan I dan
golongan II sebagaimana tercantum dalam lampiran UU No. 5 tahun 1997
tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi narkotika golongan I.
Kegiatan-kegiatan pengelolaan psikotropika berdasarkan PerMenKes
Nomor 3 Tahun 2015 meliputi:
1) Pemesanan psikotropika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015, pemesanan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan :
a) Surat pesanan psikotropika dapat digunakan untuk satu atau beberapa
jenis psikotropika, sekurang-kurangnya 3 rangkap.
b) Surat pesanan sebagaimana dimaksud harus terpisah dari pesanan
barang lain.
c) Pemesanan dilakukan dengan menggunakan surat pesanan (SP) yang
ditanda tangani oleh Apoteker Pengelola Apotek dengan dilengkapi
nama jelas, nomor SIK, SIA, dan stempel apotek.
2) Penyerahan Psikotropika
a) Penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh apotek,
Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
dan dokter.
18

b) Apotek hanya dapat menyerahkan psikotropika kepada apotek


lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, dokter, dan pasien.
c) Penyerahan kepada apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Rumah sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan jumlah psikotropika berdasarkan resep
yang diterima.
d) Penyerahan sebagaimana dimaksud di atas harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangai oleh apoteker penanggung
jawab.
e) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah sakit, dan Instalasi
Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan psikotropika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
f) Penyerahan psikotropika oleh apotek kepada dokter hanya dapat
dilakukan dalam hal:
1. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
psikotropika melalui suntikan, dan atau;
2. Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang
tidak ada apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
g) Penyerahan psikotropika oleh dokter kepada pasien hanya dapat
dilakukan dalam hal:
1. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
psikotropika melalui suntikan.
2. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan psikotropika.
3. Dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
apotek berdasarkan surat penugasan dari pejabat berwenang.
3) Penyimpanan Psikotropika
Adapun penyimpanan psikotropika diatur berdasarkan PerMenKes
RI No. 3 tahun 2015 Pasal 24 disebutkan bahwa tempat penyimpanan
19

psikotropika harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu


psikotropika.
Pada pasal 25 PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 disebutkan bahwa :
1. Tempat penyimpanan psikotropika dapat berupa gudang, ruangan,
atau lemari khusus.
2. Tempat penyimpanan psikotropika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain psikotropika.
Lemari khusus penyimpanan psikotropika harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Terbuat dari bahan yang kuat
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci
c. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
4) Pelaporan Psikotropika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal 45 ayat 6 dan 7
menyatakan bahwa:
1. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/
penggunaan psikotropika setiap bulan kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dengan tembusan Kepala Balai setempat dan
disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Pelaporan penyerahan/penggunaan psikotropika terdiri atas :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c. Jumlah yang diterima
d. Jumlah yang diserahkan
5) Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan psikotropika hanya dilakukan dalam hal, diproduksi
tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/ atau tidak
dapat diolah kembali; telah kedaluwarsa; tidak memenuhi syarat untuk
digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu
20

pengetahuan, termasuk sisa penggunaan; dibatalkan izin edarnya; atau


berhubungan dengan tindak pidana.
Adapun untuk prosedur pemusnahan psikotropika di apotek diatur dalam
PerMenKes No 3 Tahun 2015 sebagai berikut:
a. Apoteker Pengelola Apotek (APA) menyampaikan surat permohonan
saksi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat.
b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat menetapkan petugas di lingkungannya menjadi
saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
d. APA membuat berita acara pemusnahan, dibuat dalam rangkap 3
(tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Kepala Balai setempat.

4. Obat Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semi sintesis dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan (PerMenKes No.3, 2015).
Penandaan obat narkotika berdasarkan peraturan yang terdapat dalam
Ordonansi Obat Bius Stbl.1927 No.278 yaitu “Palang Medali Merah” yang
berupa lingkaran bulat berwarna putih dengan garis tepi berwarna merah
dengan lambang palang merah.
Penandaan untuk obat golongan narkotik adalah “Palang Medali Merah”:

Gambar 5: Penandaan obat narkotika (KepMenKes, 1927)


Obat narkotika digolongkan ke dalam 3 golongan berdasarkan undang-
undang nomor 35 tahun 2009, yaitu :
21

1. Narkotika golongan I
Golongan obat narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Berdasarkan Permenkes No. 13 tahun 2014 tentang Perubahan
Penggolongan Narkotika, daftar narkotika golongan I bertambah menjadi 82
macam, di antaranya yaitu:
a) Tanaman Papaver somniferum L. dan semua bagian - bagiannya
termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
b) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari
buah tanaman Papaver somniferum L. yang hanya mengalami
pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa
memperhatikan kadar morfinnya.
c) Opium masak terdiri atas :
1) Candu yaitu hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan, dan
peragian dengan atau tanpa penambahan bahan - bahan lain,
dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok
untuk pemadatan.
2) Jicing yaitu sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan
apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
3) Jicingko yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
d) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
e) Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam
bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau
melalui perubahan kimia.
f) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang
dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
g) Kokaina
22

h) Tanaman ganja, semua tanaman genus - genus Cannabis dan semua


bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman
ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
2. Narkotika golongan II
Golongan obat narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Daftar narkotika golongan
II ada 86 macam, di antaranya: allilprodina, benzetidine, betameprodina,
bezitromida, drotebanol, difenoksin, etokseridina, fenomorfan,
fenoperidina, klonitazena, kodoksima, metopon, morferidina.
3. Narkotika golongan III
Golongan obat narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Daftar narkotika golongan III ada 14 macam, di
antaranya: asetildihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokodeina,
etilmorfina, kodeina, nikodikodina, nikokodina, norkodeina, polkodina,
propiram, buprenorfina.
Kegiatan-kegiatan pengelolaan narkotika berdasarkan PerMenKes
No. 3 Tahun 2015, yaitu:
1) Pemesanan Narkotika
Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan
(KepMenKes No.3, 2015) :
1. Surat pemesanan (SP) khusus narkotika
2. Surat pemesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk satu jenis
narkotika dan harus terpisah dari pesanan barang lain.
Apotek dapat memperoleh obat narkotika dari PBF yang memiliki
izin khusus dari menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Izin khusus sebagaimana dimaksud berupa Izin Khusus
23

Produksi Narkotika; Izin Khusus Impor Narkotika; atau Izin Khusus


Penyaluran Narkotika (PerMenKes, No. 3, 2015).
Pemesanan dilakukan dengan menggunakan surat pesanan (SP)
yang ditanda tangani oleh Apoteker Pengelola Apotek dengan dilengkapi
nama jelas, nomor SIK, SIA, dan stempel apotek. Surat pesanan dibuat
sekurang- kurangnya rangkap 3. Setiap satu surat pesanan hanya berisi
satu macam narkotika. SP ini wajib disimpan paling singkat 3 tahun
(PerMenKes, No. 3, 2015).
Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada apotek lainnya,
puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, dokter
dan pasien. Penyerahan narkotik dari apotek ke apotek lain tersebut
hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah narkotika
berdasarkan resep yang diterima berdasarkan SP tertulis yang
ditandatangani oleh apoteker penanggung jawab apotek. Penyerahan
narkotika kepada pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter
(PerMenKes, No. 3, 2015).
2) Penyerahan Narkotika
1. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Rumah sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan dokter.
2. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada apotek lainnya,
Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
dokter, dan pasien.
3. Penyerahan kepada apotek lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Rumah sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat dilakukan
untuk memenuhi kekurangan jumlah narkotika berdasarkan resep
yang diterima.
4. Penyerahan sebagaimana dimaksud di atas harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangai oleh apoteker penanggung
jawab.
24

5. Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah sakit, dan Instalasi


Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
6. Penyerahan narkotika oleh apotek kepada dokter hanya dapat
dilakukan dalam hal:
a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
narkotika melalui suntikan, dan atau;
b. Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang
tidak ada apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
7. Penyerahan narkotika oleh dokter kepada pasien hanya dapat
dilakukan dalam hal:
a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
narkotika melalui suntikan.
b. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan narkotika melalui suntikan.
c. Dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
apotek berdasarkan surat penugasan dari pejabat berwenang.
3) Penyimpanan Narkotika
Penyimpanan narkotika dalam lemari khusus harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Terbuat dari bahan yang kuat.
2. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang
berbeda.
3. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum untuk
apotek.
4. Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker Penanggung Jawab atau
Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
4) Pelaporan Narkotika
Berdasarkan KepMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal 45 ayat 6 dan
7 menyatakan bahwa :
25

1. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan


atau penggunaan narkotika setiap bulan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat
dan disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Pelaporan penyerahan atau penggunaan narkotika terdiri atas :
a. Nama, bentuk sediaan dan kekuatan narkotika
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c. Jumlah yang diterima
d. Jumlah yang diserahkan
5) Pemusnahan Narkotika
Pemusnahan narkotika hanya dilakukan dalam hal, diproduksi tanpa
memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat
diolah kembali; telah kedaluwarsa; tidak memenuhi syarat untuk
digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, termasuk sisa penggunaan; dibatalkan izin edarnya; atau
berhubungan dengan tindak pidana.

II.4 Prekursor Farmasi

Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri
farmasi atau produk antara, produk ruahan dan produk jadi (PerMenKes No.3,
2015).
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 40 tahun 2013 pasal 4, prekursor
digolongkan dalam 2 golongan yakni:
1. Golongan I yaitu, Anhidrida Asetat, Asam N- Asetil Antranilat, Efedrin,
Ergometrin, Ergotamin, Isosafrol, Asam Lisergat, 3, 4-Metilendioksifenil-2-
Propanon, Norefedrin, 1-Fenil-2-Propanon, Piperonal, Kalium Permanganat,
Pseudoefedrin, Safrol.
2. Golongan II yaitu, Aseton, Asam Antranilat, Etil Eter, Asam Klorida, Metil
Etil Keton, Asam Fenil Asetat, Piperidin, Asam Sulfat, Toluen.
26

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang


Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi dicantumkan mengenai pengelolaan prekursor farmasi
sebagai berikut :
a. Pemesanan Prekursor Farmasi
Berdasarkan KepMenKes RI No. 3 tahun 2015, pemesanan prekursor
farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
1. Surat pemesanan (SP) khusus prekursor farmasi.
2. Surat pemesanan prekursor farmasi hanya dapat digunakan untuk satu atau
beberapa jenis psikotropika dan harus terpisah dari pesanan barang lain.
b. Penyimpanan Prekursor Farmasi
Berdasarkan KepMenKes RI No. 3 tahun 2015, lemari khusus
penyimpanan prekursor farmasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Terbuat dari bahan yang kuat
b. Tidak mudah dipindahkan
c. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
c. Pelaporan Prekursor Farmasi
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal 45 ayat 6 dan 7
menyatakan bahwa :
1. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan prekursor farmasi setiap bulan kepada kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala balai setempat dan
disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Pelaporan penyerahan/penggunaan prekursor farmasi terdiri atas:
a. Nama, bentuk sediaan dan kekuatan prekursor farmasi.
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c. Jumlah yang diterima.
d. Jumlah yang diserahkan.

Anda mungkin juga menyukai