“ KERAJAAN PAJANG”
Disusun Oleh :
Harvey Pratama Putra (22)
Kelas :
XI RPL 3
2018 / 2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya. Adapun judul makalah yang
penulis ajukan adalah “KERAJAAN PAJANG”
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah
Indonesia. Dalam mempersiapkan, menyusun, dan menyelesaikan makalah ini, penulis tidak lepas dari
berbagai kesulitan dan hambatan yang dihadapi.
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan saran, kritik, serta masukannya yang bersifat membangun
tentunya demi perbaikan dan pengembangan di dalam menyusun makalah di masa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 13
3.2 Saran........................................................................................... 13
DAFTAR PUSAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Setelah agama Islam datang di Jawa kerajaan Majapahit semakin lama semakin merosot
pengaruhnya di kalangan masyarakat. Sehingga terjadilah pergeseran di bidang politik. Menurut
Sartono, Islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi sangat cepat, yang merupakan hasil
dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan
rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang memegang
pemerintahan.
Politik yang paling menonjol yang di perankan oleh para wali adalah perpindahannya
kerajaan Demak yang semula berkedudukan di kota-kota pantai, ternyata tidak dapat di
pertahankan oleh penerusnya. Akhirnya, pusat aktivitas politiknya pindah kepedalaman yang
semula kuat kehinduannya. Dan dari sinilah proses islamisasi bermula di pedalaman kerajaan
Islam Pajang yang di pandang sebagai pewaris dari kerajaan Islam Demak. Demikianlah
perjuangan para wali sanga dan penguasa kerajaan Islam dalam menyebarkan agama Islam di
Jawa, sehingga tidak mungkin membicarakan penyebaran Islam tanpa membicarakan keduanya
pula.
PEMBAHASAN
Setelah Majapahit mengalami kemunduran atau lebih tepatnya pada akhir abad ke 17 dan awal
abad ke 18 para penulis kertasura menuliskan asal-usul kerajaan pajang. Kerajaan Pajang adalah
kerajaan islam di Jawa yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Kerajaan pajang terletak di pengging yang
dulunya dipimpin oleh Ki Ageng Pengging selaku Bupati. Yang kemudian dihukum mati oleh raja
Demak karena dugaan ingin berontak terhadap kerajaan Demak. Setelah dewasa Jaka Tingkir
mengabdikan diri ke Demak, karena kepandaiannya ia diangkat menjadi menantu oleh Sultan
Trenggono.
Kerajaan Pajang dipuncak masa keemasan pada masa kepemimpinan Hadiwijaya, dimana beliau
dapat membuat para Raja penting di Jawa timur mengakui kekuasaanya. Beliau berhasil memperluas
daerahnya. Selain memperluas dearahnya Pajang mempunyai lumbung padi yang besar karena
irigasinya berjalan lancar. Dalam aspek sosial budaya dan ekonomi Pajang mengalami kemajuan.
Dibidang sosial Budaya, kebudayaan yang semula sudah berkembang di Demak dan Jepara menyebar
kepedalaman begitupun dengan agama islam yang perlahan menyebar di pedalaman dan pesisir pantai
utara dan masyarakat Pajang menjalankan syariat islam dengan sungguh-sungguh. Dalam aspek
ekonomi pertanian maju dengan pesat, memiliki lumbung padi yang besar bahkan Pajang sudah
melakukan eksport beras melalui perniagaan bengawan solo.
Untuk aspek politik sendiri banyak sekali perselisihan karena perebutan kekuasaan, wali sanga
yang dulunya berperan penting pada masa kerajaan Demak bahkan ikut menentukan keputusan politik
kerajaan Demak tetapi pada masa kerajaan pajang wali sanga juga masih berperan tapi tidak begitu
kental ditambah Sunan Kalijaga meminta kepada sunan kudus agar para wali tidak ikut campur
karena sebagai orang tua dan penyebar agama tidak sepantasnya ikut berkelahi merebutkan
kekuasaan. Banyak sekali pihak luar yang ikut campur dengan perselisihan perebutan kekuasaan.
Pajang dulunya adalah daerah Pengging, Jaka Tingkir adalah anak dari Kebo Kenanga atau Ki Ageng
Pengging yang menjadi bupati di pengging (Hendra 2012). Jadi sebenarnya Pajang dulunya adalah
daerah pengging yang bupatinya adalah Ki Ageng Pengging. Ki Ageng pengging yang akhirnya
dihukum mati oleh raja demak karena dianggap akan memberontak kerajaan Demak dan untuk
menklukkan pengging maka dihukum matilah ki Ageng pengging.
Jaka Tingkir yang dulunya menjadi seorang tamtam di jerajaan Demak di bawah pemerintah
Pangeran trenggana, karena keahlianya ia dijadikan meenanntu oleh Sultan Demak(Marwati Djoened
Poesponegoro 2010:55). Sepeninggal Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi
perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya
menjadi raja dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto kemudian
dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen.
Namun, Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono
yang menjadi Adipati di Pajang (Aprilia Kirana, 2012). Jaka Tingkir menyuruh Ki Ageng Panjawi, Ki
Ageng Pemanahan, Ngabei Loring Pasar, dan Juru Martani untuk menyerang Arya Penangsang.
Dengan kemenangan tersebut lalu berpindahlah kekuasaan Demak ke Pajang yang dipimpin oleh Jaka
Tingkir atau Hadiwijaya (Hendra, 2012). Keberhasilan jaka tingkir mengalahkan Arya Penangsang
membawa kemujuran dalam hidupnya. Setelah ia mengalahkan Arya penangsang ia dinobatkan
menjadi raja demak yang kemudian pusat pemerintahanya di pindahkan ke Pajang hingga akhirnya
menjadi kerajaan Pajang.
3.2 Aspek Kehidupan Kerajaan Pajang
Aspek Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang
semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi lumbung beras pada abad ke-16
sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga
masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada
kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa
itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan
Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam
abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya
sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan
bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk
mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan
mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai
negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu
Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara
ideal agraris maritim.
Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan
dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di
saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama
Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak
kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi
dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim
pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan
terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali
sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan
“rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan
persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka
berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa
menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-
masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah
belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat
para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-
pentolan kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of
minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut
pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih
hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila
kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun
kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan
kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda
betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede
Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang
bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian
Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi
diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya
adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum
putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri
Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar
Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah,
tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman
Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang
dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa
pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan
Kedu (lembah Progo atas). Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578
seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-
pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya
Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi
wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara Pajang
dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga
pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur.
Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di
Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri,
Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh
Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya
(Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan
Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya
Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang.
Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah
dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan
dijadikan sebagai bupati Demak. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi
permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan
Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran
Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri
sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya
Penangsang). Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi,
karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung
Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin
Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan
Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada
menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya
tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang
bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan
orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang
juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang
berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke
Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-
1587, bergelar Sultan Prabuwijaya. Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias
Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak
angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram. Pangeran Benawa memiliki putri
bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati
bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak
menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya
untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat
bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama
Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad
mengajak rombongan pulang. Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan
Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa
melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan
kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan
oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak. Benawa kemudian menjadi adipati
Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya
Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram.
Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih.
Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian,
dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang
berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan
takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta
beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta
menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
Kerajaan Islam Pajang sendiri mengalami masa keemasan atau masa kejayaan kerajaan Pajang
adalah pada masa Sultan Hadiwijaya. Ada banyak pencapaian yang berhasil diraih pada masa Sultan
Hadiwijaya. Perpindahan kekuasaan Islam Demak ke Pajang sendiri seakan menjadi sebuah simbol
dari kemenangan Islam kejawen atas Islam ortodok pada masa itu.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia
dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang
ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi
bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan
Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati Kalingga atau
Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di
Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada
di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah
kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi
kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-
16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh.
Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber
Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang
siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesultanan kerajaan Pajang adalah pelajut atau pewaris tahta dari kerajaan Islam di
Demak. Kesultanan Pajang yang di pimpin oleh Jaka Tingkir dari pengging ini. Ia adalah seorang
raja pertama kali, semenjak ia memimpin kerajaan Pajang kerajaan ini terkenal serta di akui
kedaulatannya oleh kerajaan lain yang dulunya berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak.
Sebelum kerajaan ini berdiri, Demak adalah kerajaan yang kuat dari beberpa kerajaan yang ada di
tanah nusantara. Namun pada masa pemerintahan Prawoto ia di bunuh oleh orang bayaran Arya
Penangsang, sedangkan Arya Penangsang juga terbunuh oleh Jaka Tingkir.
Setelah itu, Jaka Tingkir memerintahkan agar semua benda pusaka Demak di pindahkan
ke Pajang. Setelah menjadi raja yang paling berpengaruh di tanah Jawa, ia bergelar Sultan
Adiwijaya. Pada masanya sejarah Islam di Jawa mulai dalam bentuk baru, titik politik pesisir
(Demak) menuju ke pedalaman. Peralihan politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam
perkembangan peradaban Islam di Jawa. Hal ini berdampak kecemburuan putra mahkota yaitu
Pangeran Benawa. Lalu ia memberontak pada kerajaan Pajang dan akhirnya di menangkan
Pangeran Benawa atas bantuanSenopati dari Mataram. Pangeran Benawa menjabat pemerintahan
selama satu tahun dan kerajaan ini di jadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
3.2 Saran
Dari keberadaanya Kerajaan Pajang di nusantara pada masa yang lalu. Maka kita wajib
mensyukurinya. Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati
yang tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan memelihara
budaya nenek moyang kita. Jika kita ikut berpartisipasi dalam menjamin kelestariannya berarti
kita ikut mengangkat derajat dan jati diri bangsa. Oleh karena itu marilah kita bersama – sama
menjaga dan memelihara peninggalan budaya bangsa yang menjadi kebanggaan kita semua
DAFTAR PUSTAKA
https://dhanyraka7.blogspot.co.id/
http://dickysalju.blogspot.co.id/2016/06/makalah-kerajaan-pajang.html
http://saifulbari23.blogspot.co.id/2016/05/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_13.html
https://kangary1996.blogspot.com/2017/09/makalah-kerajaan-pajang.html
http://okebosshendra.blogspot.com/2012/03/14-sejarah-kerajaan-pajang.html
http://sejarah-andychand.blogspot.com/2012/05/sejarah-kerajaan-pajang.html