Anda di halaman 1dari 18

11

3. GAMBARAN PASOKAN SAYUR DI JENEPONTO DAN


ENREKANG

3.1. Potensi Sayuran Utama

Dari kedua lokasi kajian yang dilakukan Kabupaten Enrekang


maupun Kabupaten Jeneponto, diperoleh hasil tanaman utama untuk
tanaman horti adalah bawang merah, tomat, cabai, kubis, seledri (daun)
yang dominan ditanam oleh petani setempat. Tanaman-tanaman tersebut
umumnya menyebar pada daerah dengan ketinggian 1.000 – 1.900 meter
diatas permukaan laut (dpl). Pada wilayah ketinggian diusahakan tanaman
kentang, wortel serta memiliki potensi dalam pengembangan benih
bawang merah dan wortel. Meskipun di Jeneponto, pertanaman cabai
varietas lokal banyak ditanam di dataran rendah, namun penyebaran
cabai merah masih banyak dijumpai pada daerah ketinggian. Dengan
ketinggian lebih dari 1.200 m dpl tanaman bawang merah dan wortel
dapat menghasilkan biji, sehingga umumnya tanaman wortel
dibudidayakan petani setempat dengan biji lokal (biji dari hasil tanaman
petani).
Pertanaman di daerah Enrekang berada pada 5 kecamatan, yaitu
Kecamatan Anggeraja, Baraka, Alla, Baroko dan Masalle sebagai area
sentral pertanian horti di daerah tersebut. Tanaman horti yang umum
dibudidayakan sebagai tanaman utama di daerah Anggeraja, Baraka dan
Alla adalah bawang merah, tomat dan cabai. Untuk sentral tanaman
kentang, kubis, seledri dan wortel terdapat di Kecamatan Baroko dan
Masalle dengan ketinggian ± 2.000 m dpl.
Bawang merah merupakan tanaman primadona petani di Kabupaten
Enrekang yang lebih dikenal sebagai emas gantung. Karena hanya
bawang merah yang memiliki dampak penting dalam peningkatan
ekonomi petani, namun disisi lain dibutuhkan biaya dan perawatan yang
cukup besar. Meskipun demikian, usahatani bawang merah bagi petani
12

Enrekang dengan resiko tersebut tetap dapat memberi keuntungan, hal


tersebut dikarenakan bawang merah enrekang lebih disenangi oleh
konsumen. Ciri bawang merah enrekang terdapat pada karakter warna
merah cerah, tekstur dan aroma yang menyengat dengan ukuran relatif
kecil-kecil.
Kecamatan Baroko dan Masalle memiliki potensi tersendiri yang
didukung oleh ketinggian tempat untuk usahatani kentang. Kabupaten
Enrekang telah memiliki varietas lokal, yaitu Kentang Kalosi dengan
potensi produksi per hektar sekitar 20 – 35 ton/Ha. Suplai bibit
dikembangkan oleh Instalasi Kebun Bibit Kentang di Baroko yang masih
mampu memasok wilayah lokal. Pengembangan budidaya kentang kalosi
hingga kini baru mencapai 60 Ha wilayah Kecamatan Baroko dan Masalle.
Kabupaten Jeneponto memiliki sentral horti berada pada dua
kecamatan, yaitu wilayah dataran rendah seperti Kecamatan Arungkeke
yang memiliki potensi untuk tanaman cabai rawit, dan wilayah dataran
tinggi seperti Kecamatan Rumbia dengan potensi cabai besar/keriting,
tomat, seledri (daun), bawang merah, kentang dan wortel. Kecamatan
lainnya lebih dominan melakukan usahataninya pada tanaman pangan
seperti ubi kayu dan padi. Namun secara umum tanaman cabai rawit
dapat dilakukan pembudidayaan di setiap area Kabupaten Jeneponto.
Cabai rawit yang berasal dari Jeneponto memiliki karakter yang
diminati konsumen sehingga memiliki potensi pasar yang baik. kualitas
yang dimiliki adalah berkulit tebal dan berwarna merah segar. Kualitas ini
yang membuat harga cabai rawit Jeneponto bernilai jual yang tinggi
dibandingkan dengan daerah lainnya.

3.2. Sistem Budidaya Hortikultura

Sistem budidaya tanaman horti pada umumnya sama setiap daerah


kecuali musim tanam dan varietas yang digunakan oleh petani di dua
kabupaten tersebut. Penggunaan varietas tersebut dikarenakan kondisi
13

topografi dan iklim yang hampir sama. Namun penggunaan varietas juga
dapat dipengaruhi oleh faktor profit bagi petani sebagai pelaku usaha tani,
maka terdapat varietas lokal yang dikembangkan petani seperti bibit
bawang merah, tomat, kentang, wortel dan cabai rawit.

a) Bawang Merah
Umumnya varietas yang digunakan petani Jeneponto di Kecamatan
Rumbia (Gambar 3) adalah varietas Filiphina. Penggunaan varietas ini
telah digunakan petani sejak tahun 2005 dan mulai berkembang di tahun
2011. Alasan pemilihan varietas ini dikarenakan umbi yang dihasilkan
lebih besar sehingga produksi juga lebih tinggi dibanding dengan varietas
Bima. Untuk luasan areal 1 Ha, bibit yang digunakan sebanyak 1,5 - 2 ton
dengan rata-rata produksi saat panen adalah 6 – 7 ton, umbi yang
dihasilkan berukuran besar dan berwarna merah cerah. Penggunaan
varietas ini juga dianggap petani lebih baik karena kesesuaian topografi
dan lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit.
Bibit yang digunakan adalah bibit yang bersumber dari pertanaman
petani sendiri yang telah disiapkan sebagai calon bibit (G2) jadi
merupakan bibit sudah tidak bersertifikasi. Selain hasil tanaman sendiri
yang telah disisihkan sebagian hasil panen, bibit juga berasal dari
Kabupaten Gowa (Malino), Kabupaten Bantaeng dan Kota Makassar yang
dibawa oleh pedagang ataupun petani itu sendiri. Pembelian atau
penggantian bibit dilakukan jika telah sampai turunan ke empat. Harga beli
bibit yang diperoleh selisih sekitar Rp 1.000 – Rp 2.000 dari harga jual
bawang merah konsumsi.
Perlakuan bibit yang sudah siap ditanam dilakukan secara
sederhana. Umbi bawang merah dipotong ± ½ bagian, selanjutnya
disimpan selama 2 – 3 hari di tempat penyimpanan bibit agar lebih mudah
tumbuh. Pemotongan dilakukan agar bibit dapat tumbuh lebih cepat dan
menghasilkan umbi lebih banyak dan besar. Sisa pemotongan pada
bagian atas tidak dimanfaatkan sama sekali.
14

Gambar 3. Bibit bawang merah varietas Filiphina yang digunakan di


Kec. Rumbia Kab. Jeneponto yang bersumber dari hasil
pertanaman sendiri.

Pola penanaman bawang tidak memiliki periode bulan tanam seperti


daerah lain. Penggunaan sistem budidaya adalah tumpangsari – tumpang
gilir, dan sistem strip crop (Gambar 4). Setelah lahan dipetak-petakkan,
lahan ditanami lebih dari 1 komoditi baik antar petak maupun antar baris
dalam petakan. Sebagai tanaman sela umumnya ditanami seledri daun
dan kubis. Sistem ini dianggap petani tidak memberi kerugian terlalu besar
jika terjadi penurunan harga untuk salah satu komoditi, selain itu juga
untuk menghindari terjadinya over stok/produksi melimpah (bulk).

Gambar 4. Sistem budidaya yang diterapkan adalah tumpangsari –


tumpang gilir, dan strip crop.

Perawatan dilakukan secara intensif akibat pengaruh iklim utamanya


bagi petani adalah saat terjadi pengembunan, sehingga tanaman bawang
harus disemprot dengan air biasa agar tidak timbul bercak pada daun
(jamur). Petani masih bergantung pada penggunaan pupuk kimia,
sedangkan pupuk kandang digunakan sebagai pupuk dasar, banyak
15

didatangkan dari luar wilayah. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan


dengan menyemprotkan pestisida 4 – 5 kali per minggu.
Petani yang berada di Kabupaten Enrekang lebih memiliki banyak
pilihan untuk varietas bawang merah, yaitu varietas Bima, Maja Cipanas,
Filiphina dan Trisula. Berdasarkan hasil survey, terdapat dua varietas
yang lebih disenangi petani yaitu varietas Bima dan Trisula. Penggunaan
varietas ini karena diminati konsumen dan bernilai jual tinggi, karakteristik
warna merah cerah, berumbi kecil, keras dan aroma menyengat adalah
alasannya.
Berbeda dengan Jeneponto, pembelian bibit lebih sering dilakukan
oleh petani karena umumnya petani Enrekang menjual semua hasil
panennya. Penyimpanan bawang merah untuk bibit dilakukan hanya jika
harga jual turun di bawah harga Rp 8.000. Benih lokal yang disiapkan oleh
petani sendiri disimpan dan digantung di bawah rumah (Gambar 5) tanpa
harus dibersihkan jeraminya terlebih dahulu. Sedangkan untuk trisula
telah dilakukan pengembangan benih melalui Instalasi Kebun Benih (IKB)
Baraka yang merupakan generasi kedua melalui benih (G2). Benih dari
IKB Baraka hanya mampu memasok beberapa petani bimbingan IKB di
sekitar Baraka dan Anggeraja.

Gambar 5. Bibit yang disimpan umumnya digantung di bawah rumah


oleh petani sebelum ditanam.
16

Daerah pertanaman bawang merah pada wilayah Enrekang dikenal


menjadi 2 zona budidaya, yaitu zona hijau dan zona merah.
- Zona hijau adalah zona yang memiliki tanah lebih subur dengan
tingkat serangan hama dan penyakit lebih rendah. Pada zona ini
membutuhkan biaya lebih rendah dibandingkan dengan zona
merah. Harga jual pada Rp 5.000 – Rp 6.000 masih dianggap
memberi keuntungan oleh petani. Produksi dapat mencapai 18
ton/Ha.
- Zona merah merupakan zona yang membutuhkan input lebih tinggi
seperti pupuk dan pestisida. Tingkat serangan hama dan penyakit
sangat tinggi. Produksi puncak pada zona inisekitar 10 – 12 ton/Ha.
Dengan harga jual Rp 11.000 – Rp 15.000 masih dianggap
merugikan petani.
Pola tanam bawang merah di Enrekang adalah bulan Oktober –
Nopember dan masa panen di bulan April – Mei, namun pola ini sudah
tidak dapat diterapkan mengingat harga jual fluktuatif dan keinginan petani
untuk melakukan penanaman 2 - 3 kali setahun. Menjelang hari raya dan
tahun baru permintaan sangat tinggi dibanding bulan – bulan lainnya.
Selain faktor tersebut, masa panen untuk keperluan konsumsi dan bibit
berbeda. Untuk keperluan konsumsi umur panen <60 hari sedangkan
untuk bibit >60 hari dengan masa dormansi peruntukan bibit sekitar 2
bulan. Musim penanaman sangat dipengaruhi oleh tuntutan ekonomi
petani untuk mengembalikan modal, sehingga cenderung petani
melakukan penananam bawang merah 2 – 3 kali berturut – turut.
Dampak dari penanaman yang kontinyu mengakibatkan serangan
hama dan penyakit meningkat terutama di zona merah. Perawatan
dilakukan lebih insentif dibanding dengan Jeneponto. Penggunaan
pestisida di Enrekang sudah mencapai batas ambang penggunaan (over
dosis) sehingga resistensi hama cukup tinggi. Hal ini ditinjau dari
penggunaan pestisida yang dilakukan penyemprotan hingga 10 kali setiap
periode tanam. Untuk zona hijau penyemprotan dilakukan selang 4 hari
17

dalam seminggu, sedangkan di zona merah dapat terjadi kurang dari 4


hari tergantung tingkat serangan. Tanaman bawang merah terkadang
ditumpangsarikan dengan tanaman cabai, khususnya pada saat harga
cabai di pasar mulai naik.
Selain tumpangsari, dilakukan rotasi tanam setelah penanaman
bawang yang ketiga kalinya. Jagung merupakan tanaman alternatif yang
banyak digunakan petani di Enrekang. Tanaman tersebut tidak
memerlukan pemupukan karena adanya residu hara yang dimanfaatkan
dari pertanaman bawang merah sebelumnya.
Input teknologi lebih berkembang dan maju untuk petani Enrekang.
Penggunaan pompanisasi digunakan agar dapat menyuplai air bersumber
dari sungai. Penyiraman menggunakan instalasi sprinkler (Gambar 7)
sehingga dalam kondisi bulan kemarau, penanaman tetap berlangsung.
Penggunaan instalasi pipa dianggap memberi keuntungan karena
penanaman dan panen berlangsung hingga 2 – 3 kali setahun. Pipanisasi
juga mampu bertahan lebih lama dibandingkan dengan penggunaan
selang hanya mampu bertahan 1 – 2 tahun yang sebelumnya digunakan
oleh petani. Selain pompanisasi, penggunaan embung-embung (kolam
penampungan, seperti dapat dilihat pada Gambar 6) juga diterapkan untuk
menyuplai air. Embung-embung berguna untuk menampung air hujan
ataupun air yang diambil dari sungai, baik diambil menggunakan pompa
maupun diangkut menggunakan mobil truck seperti di Anggeraja.

Embung-embung

Gambar 6. Penggunaan embung-embung untuk menyuplai kebutuhan


air pertanaman bawang merah di Kabupaten Enrekang.
18

Gambar 7. Sistem instalasi pompanisasi dan pipanisasi sprinkler yang


sumber airnya diambil dari sungai.

b) Tomat
Tomat merupakan komoditi unggulan di Desa Tompobulu
Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto, Berbeda dengan petani yang
berada di desa lain dalam kecamatan yang sama. Perbedaan pilihan
komoditi ini dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan keinginan petani
dalam perolehan ekonomi. Petani di Tompobulu merasa lebih
menguntungkan membudidayakan tomat dibanding dengan bawang
merah. Penanaman dilakukan berdasarkan prioritas keuntungan petani
dan pertimbangan permintaan.
Budidaya tomat yang dilakukan di Tompobulu lebih membutuhkan
modal besar dalam perawatannya. Penggunaan pestisida dan pupuk lebih
tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya karena tingkat serangan
hama dan penyakit lebih dominan dibanding daerah lainnya.
Pemangkasan tunas air atau cabang tidak produktif dilakukan untuk
meningkatkan produksi tanaman. Pola penanaman lebih mengandalkan
pengalaman petani dalam menentukan waktu tanam. Pola tersebut
menerapkan sistem tumpangsari – tumpang gilir dan strip crop. Tanaman
sela menggunakan seledri daun, bawang daun dan wortel.
19

Berbeda halnya di Kabupaten Enrekang, tomat merupakan tanaman


pengganti setelah bawang merah. Sistem budidaya yang diterapkan
adalah rotasi penanaman setelah bawang merah. Tomat juga terkadang
ditanam jika modal petani untuk menanam bawang merah tidak
mencukupi. Umumnya petani menanam di bulan Mei atau Juni untuk
dapat memperoleh harga menjelang ramadhan atau hari raya dan tahun
baru.
Terdapat 2 jenis tomat yang dibudidayakan petani Enrekang, yaitu
tomat spirit dan tomat keriting. Benih tomat yang diperoleh tanpa label
dengan kemasan bungkus plastik. Petani lebih mempercayai benih
tersebut dibanding dengan benih berlabel dengan kemasan aluminium foil,
hal ini dikarenakan umumnya benih kemasan aluminium foil cenderung
tidak dapat tumbuh. Selain itu, kemasan bungkus plastik dianggap sudah
beradaptasi dan dinggap sebagai benih lokal karena tidak berlabel.
Perawatan tanaman tomat tidak seefektif seperti yang dilakukan
petani di Jeneponto ataupun pada tanaman bawang merah. Namun
pemupukan dan penyemprotan fungisida tetap dilakukan untuk
pengendalian penyakit. Penyakit yang sering menyerang adalah layu
bakteri atau fusarium. Sedang pemangkasan hampir tidak dilakukan oleh
petani di Enrekang.

c) Cabai
Cabai menjadi komoditi andalan di Jeneponto, utamanya cabai rawit
yang dapat ditanam pada semua wilayah Jeneponto. Sedang sentra
penanamannya adalah Kecamatan Arungkeke. Cabai rawit asal
Jeneponto disenangi konsumen karena karakteristik berkulit tebal dan
lebih tahan lama untuk disimpan dan dikirim ke luar daerah.
Penanaman cabai rawit di Arungkeke dimulai pada bulan Januari
dan masa panen mulai bulan April hingga September. Hal ini disebabkan
masa produksi cabai sudah habis akibat ketersediaan air yang sudah tidak
ada. Sehingga produksi cabai rawit hanya dapat dipenuhi disaat musim
20

hujan hingga bulan September selama kebutuhan air masih tersedia.


Diluar musim hujan, pasokan cabai rawit dipasok pada daerah yang dekat
dengan aliran sungai. Sedang daerah yang jauh dari sungai
menggunakan embung-embung atau penampungan dengan memompa
air sumur. Hal ini berarti diperlukan pengadaan dan pemenuhan
kebutuhan akan air, apabila ingin menjadikan cabai sebagai komoditas
yang potensil dan bersifat kontinyu.
Benih yang digunakan merupakan benih dari hasil panen dengan
mempertimbangkan kualitas seperti besar buah, warna merah cerah,
sehat dan produksi tinggi untuk tanaman induk (seperti pada Gambar 8).
Proses penyediaan benih dilakukan secara sederhana, yaitu dilakukan
penjemuran di bawah matahari terik dan selanjutnya dianginkan untuk
persediaan benih pada musim tanam tahun selanjutnya. Kebutuhan benih
cabai dalam per hektarnya mencapai 2 liter benih. Fase pembibitan
dilakukan selama 2 – 2,5 bulan setelah penyemaian menggunakan
bedengan dengan sederhana.

Gambar 8. (a) buah segar yang dijemur dibawah matahari untuk


keperluan benih, (b) buah sebagai bakal benih yang sudah
dijemur dan sedang dikering-anginkan di teras rumah petani.

Perawatan dilakukan secara intensif untuk menekan hama dan


penyakit. Pemberian pupuk dilakukan dengan menggunakan pupuk daun
pada fase vegetatif. Pupuk bunga dan buah pada fase generatif untuk
mempertahankan bunga dan buah agar tidak rontok atau gugur serta lebih
tahan dengan kondisi lingkungan yang panas. Sedang penyemprotan
21

pestisida dilakukan jika terdapat serangan hama dan penyakit diatas


ambang ekonomi. Penyemprotan dilakukan lebih insentif di musim hujan
untuk mencegah terjadinya keriting daun.
Produksi cabai rawit sekali panen mampu mencapai antara 135 –
150 Kg. Panen dilakukan 1 – 3 hari setiap minggunya tergantung luas
lahan yang digunakan. Cabai dapat berproduksi lebih lama jika
ketersediaan air tetap terpenuhi.
Sentra penanaman cabai besar/keriting di Jeneponto terdapat di
Desa Tompobulu Kecamatan Rumbia. Cabai besar/keriting lebih dominan
di desa tersebut dan sudah menjadi komoditi utama bagi petani. Sistem
budidaya sama dengan sistem budidaya bawang merah di Jeneponto
dengan melakukan tumpangsari dan tumpang gilir. Tanaman sela yang
digunakan adalah bawang merah, seledri daun, sawi cina/kubis dan
wortel. Periode penanaman dilakukan berdasarkan prioritas keuntungan
bagi petani setempat. Berbeda dengan Arungkeke, perawatan cabai
besar/keriting di Tompobulu lebih insentif dengan menggunakan pestisida
utamanya saat turun hujan. Penyemprotan fungisida dilakukan untuk
mencegah terjadinya serangan penyakit keriting daun yang dapat
menurunkan produksi.
Petani di Kabupaten Enrekang melakukan penanaman cabai sebagai
tanaman pengganti setelah bawang merah seperti halnya dengan tomat.
Rotasi tanaman dilakukan seperti penanaman tomat, sehingga sistem
budidaya cabai di Enrekang seperti dengan sistem pembudidayaan tomat
di kabupaten tersebut. Perolehan benih untuk cabai berbeda dengan
tomat, benih yang diperoleh adalah benih berlabel biru dengan kemasan
aluminium foil dengan berbagai varietas.

d) Tanaman Hortikultura Lainnya


Sentra penanaman horti di Kabupaten Jeneponto seperti kubis,
wortel, sawi cina, kentang dan seledri daun adalah area penunjang
komoditi bawang merah, tomat dan cabai besar/keriting yaitu Kecamatan
22

Rumbia. Namun tanaman horti tersebut ditanam sebagai tanaman


alternatif untuk tumpangsari dan tumpang gilir. Tanaman ini bertujuan
agar dapat menekan kerugian jika sewaktu-waktu terjadi penurunan harga
bawang, tomat atau cabai. Hal tersebut dapat megurangi kerugian bagi
petani.
Tanaman kentang dibudidayakan di Desa Ujung Bulu Kecamatan
Rumbia. Sistem budidaya yang diterapkan adalah strip crop bersama
dengan tanaman lainnya. Sumber bibit diperoleh dari luar daerah, yaitu
dari Malino Kabupaten Gowa. Modal yang dibutuhkan dalam
pemeliharaannya cukup besar seperti budidaya bawang merah, begitu
pula dengan perawatan yang cukup intensif. Untuk budidaya kentang tidak
menggunakan pupuk kandang karena dianggap dapat membawa
penyakit.
Sedang di Kabupaten Enrekang sentra penyokong tanaman horti
lainnya seperti kubis, wortel, kentang, seledri daun dan bawang daun
berada di Kecamatan Baroko dan Masalle. Meskipun di kecamatan
lainnya tanaman ini tetap ditanam namun fungsi tanaman tersebut
digunakan sebagai pengganti dalam sistem rotasi tanam setelah bawang
merah. Sehingga di dua kecamatan tersebut, penanamannya selalu
tersedia sepanjang waktu. Petani yang cenderung menanam tanaman ini
adalah petani dengan modal kecil atau memiliki luas lahan sempit.
Berbeda dengan tanaman kentang. Sistem budidaya kentang di
Enrekang yang lebih dikembangkan adalah bibit lokal dengan varietas
Kentang Kalosi. Bibit kalosi dari IKB Baroko belum mampu memenuhi
kebutuhan petani di sekitar wilayah IKB, sehingga pasokan bibit
bersumber dari luar daerah dan tidak bersertifikasi. Kentang produksi IKB
memliki umbi lebih besar dan resisten terhadap penyakit, serta daya
adaptasi lebih baik dibanding bibit dari luar.
23

Tabel 4. Perbedaan sistem budidaya antara Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Enrekang
Aspek Daerah
No pendukung Keterangan
Kab. Enrekang Kab. Jeneponto
hortikultura
1. Daerah sentral Terdapat 5 kecamatan: Terdapat 2 kecamatan: Sentra pendukung tanaman cabai
budidaya 1) Anggeraja (bwg merah, cabai, tomat) 1) Arungkeke (cabai rawit) rawit dapat disokong diseluruh
2) Baraka (bwg merah) 2) Rumbia (bwg merah, cabai besar/ wilayah Jeneponto
3) Alla (bwg merah, cabai, tomat, kubis, seledri daun) keriting, tomat, kubis, seledri daun,
4) Baroko (bwg merah, cabai, tomat, kubis, seledri daun, kentang) kentang)
5) Masalle (bwg merah, cabai, tomat, kubis, seledri daun, kentang)
2. Periode - Bwg merah (oktober-nopember dan panen april-mei) - Bwg merah (sepanjang waktu dengan - Tanaman horti lainnya tidak
tanam/panen sistem tumpangsari-gilir/strip crop) memiliki periode tanam
- Cabai rawit (Januari) - Cabai rawit dipanen mulai bulan
april hingga september
3. 1) Varietas bibit - Bwg merah (Bima, Maja Cipanas, Trisula, Filiphina); - Bwg merah (Filiphina); - Var. Lokal hasil pertana man
- kubis (provit); - tomat (lokalan) - cabai rawit (lokalan) sendiri dengan memilih kriteria
- cabai (label biru) - kentang (kalosi) buah unggul
2) Sumber bibit - Bwg merah (Makassar, Bima, lokal); - Bwg merah (Makassar, Bantaeng, Bibit tidak bersertifikasi, tidak
- Kentang (IKB Baroko, luar daerah) Gowa/Malino, lokal); melalui karantina
- Bibit tanaman lainnya diperoleh di toko tani setempat - cabai rawit (perbanyakan petani setempat)
3) kebutuhan - bwg merah (masih dibutuhkan data) - cabai (2 ltr/Ha atau 200 Kg/0,2 Ha) Benih sudah dalam kemasan jual
bibit/benih - kubis (6 bungkus) - tomat (2 bungkus) - bwg merah (2 ton/Ha)
4) Perlakuan - Bwg merah (dilakukan pemotongan ±1/2 bagian umbi dan disimpan 1-2 - Bwg merah (dilakukan pemotongan ±1/2
bibit/benih hari) bagian umbi dan disimpan 1-2 hari)
- Benih horti lainnya disemai (bedengan, petak sederhana) - Cabai (disemai 2-2,5 bulan)
5) Produksi yang - Bwg merah (zona merah 10-12 ton/Ha, dan zona hijau ±18 ton/Ha) - Bwg merah (6-7 ton/Ha) - 1 peti setara dengan 40 Kg
dihasilkan - Kubis ( 6 bungkus = 10 ton) - Cabai (sekali panen rerata 135 Kg)
- Sekali panen menghasilkan 10 basket/keranjang/peti atau 400 Kg)
4. Sistem budidaya Rotasi (bawang – bawang – jagung/cabai/tomat) Tumpangsari – gilir dan strip crop Enrekang (Baroko / Masalle)
Monokultur (kubis) cenderung monokultur (kubis)
5. Teknologi Pompanisasi; sprinkler; embung-embung - Arungkeke (sawah tadah hujan)
- Rumbia (bendungan; cekdam; sprinkler
grafitasi; irigasi alur)
24

3.3. Ekonomi Usahatani Hortikultura

Penerapan budidaya sering dilatarbelakangi oleh kebutuhan profit


petani untuk menyokong ekonomi rumahtangga mereka. Hal tersebut
menuntut perubahan pola pikir petani untuk menentukan komoditi yang
akan ditanam. Pemilihan komoditi tentu saja bertujuan memperoleh
keuntungan sehingga petani dapat mempraktikkan dan sekaligus
mempelajari kondisi lingkungan mereka.
Keuntungan dari perolehan komoditi tersebut, diharapkan mampu
menopang ekonomi rumahtangga mereka. Untuk itu, modal usahatani
tetap menjadi tolok ukur utama dalam menentukan usahatani mereka.
Produksi dari usahatani petani disetiap wilayah akan berbeda berdasarkan
pengeluaran dan perolehan biaya setiap wilayah tersebut. Sebagai selisih
dari modal kerja dan hasil penjualan produksi menjadikan penentu apakah
akan tetap melakukan penanaman komoditi tersebut, ataukah akan
mengganti dengan komoditi yang lebih mudah baik dari penggunaan biaya
maupun perawatannya serta nilai jual komoditi tersebut.
Biaya-biaya usahatani yang paling dibutuhkan diantaranya biaya
penyediaan benih/bibit, perawatan, upah tenaga kerja dan saprodi lainnya.
Nilai ekonomi yang dibutuhkan dan dikeluarkan oleh petani di kedua
wilayah kajian yaitu Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Enrekang
dalam melakukan usahatani dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai ekonomi yang dibutuhkan untuk komoditi bawang merah di
kedua wilayah kajian (Enrekang dan Jeneponto).
N Kebutuhan sarana Daerah
Keterangan
o produksi Kab. Enrekang Kab. Jeneponto
1. Bibit ± Rp 14.000 – 16.000/Kg ± Rp 15.000 –
16.000/Kg
2. Tenaga kerja Perubahan nilai dapat
- Penanaman - Rp 40.000 – - Rp 30.000 – berubah berdasar
100.000/HOK 35.000/HOK ketersediaan tenaga
- Perawatan - Rp 800.000 – kerja, waktu dan
15.000.000/musim - Rp ketersediaan produk yg
- Panen - Rp 40.000 – dibutuhkan
100.000/HOK - Rp 35.000/HOK
3. - Pupuk dan - ± Rp 10.000.000 – ± Rp 10.000.000 – Penggunaan pupuk dan
Pestisida 20.000.000/musim 20.000.000/musim pestisida di zona merah
lebih tinggi
25

3.4. Sistem Kerjasama Kemitraan

Salah satu faktor pendukung pemilihan komoditi juga disebabkan


adanya kemitraan. Bentuk kemitraan yang dilakukan di wilayah kajian
adalah bentuk kemitraan antara pedagang dan petani. Pedagang
berperan sebagai mitra untuk dapat memasok benih/bibit. Kemitraan
tersebut terjadi pada komoditi bawang yang memerlukan modal cukup
besar bagi petani. Terdapat dua mitra dalam melakukan kerjasama yaitu
kerjasama antara petani sebagai pemilik lahan dengan pedagang, dan
antara petani bukan pemilik lahan dengan pemilik lahan. Petani bukan
pemilik lahan disebut sebagai petani penggarap dengan menggarap lahan
pemilik setempat. Umumnya petani seperti ini adalah pendatang dari luar
daerah.
Bentuk kerja sama yang dilakukan antara petani sebagai pemilik
lahan dengan pedagang, sebagai berikut:

a. Pedagang sebagai mitra memberi bantuan berupa bibit untuk


petani.
b. Petani memiliki peran dalam penanaman dan pemeliharaannya
hingga panen.
c. Petani sekaligus merupakan pemilik lahan.
d. Modal berupa biaya pupuk dan pestisida ditanggung oleh
pedagang atau dapat juga ditanggung oleh petani sendiri. Begitu
pula dengan biaya tenaga kerja baik berupa biaya penanaman,
pemeliharaan, penyemprotan dan panen.
e. Setelah bawang merah dijual, maka biaya pengeluaran selama
produksi terlebih dahulu dikembalikan ke pihak penanggung modal,
seperti biaya pembelian bibit, upah tenaga kerja penanaman –
panen dan biaya transportasi dari lahan ke tempat penjualan jika
ada.
f. Pedagang pemasok bibit berperan untuk membeli hasil produksi
komoditi.
26

g. Pembagian hasil dibagi merata (50:50)

Bentuk kerja sama yang dilakukan antara petani dengan pemilik


lahan, sebagai berikut:

a. Pemilik lahan menyediakan sarana produksi seperti lahan, bibit,


pupuk, pestisida dan biaya tenaga kerja yang digunakan.
b. Petani penggarap bertugas untuk melakukan pekerjaan usahatani
seperti menhyediakan tenaga kerja untuk penanaman, melakukan
pemeliharaan dan panen.
c. Pembagian hasil dibagi secara merata (50:50) antara pemilik lahan
dengan petani setelah semua biaya produksi telah dikeluarkan.

3.5. Kendala Budidaya

Kendala dalam melakukan budidaya tanaman horti di wilayah kajian


yang ditemukan terdapat beberapa permasalahan yang sama, utamanya
permasalahan harga jual dan pemasaran. Kendala tersebut menjadi
permasalahan utama bagi petani. Namun untuk wilayah Jeneponto
khususnya sentra cabai rawit, permasalahan utama adalah ketersediaan
air. Faktor ini disebabkan kondisi iklim daerah Jeneponto memiliki bulan
kering selama 6 bulan, sedang bulan basah terjadi hanya 3 - 4 bulan.
Kondisi saat ini yang dihadapi petani di wilayah kajian dapat dilihat
pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Kondisi umum usahatani di kedua wilayah kajian (Enrekang dan
Jeneponto) dalam berusahatani hortikultura.
- Sistem tumpangsari-gilir/strip crop (Gambar 9) bertujuan untuk menekan penurunan
harga jika sewaktu-waktu terjadi yang dilakukan di Jeneponto
- Rotasi tanam bertujuan untuk menutupi kerugian dari usahatani bawang merah berupa
tanaman jagung, cabai, tomat dan tanaman lainnya di Enrekang
- Kebutuhan air di Jeneponto hanya dapat bertahan selama musim hujan, setelah musim
kemarau maka petani cabai beralih matapencaharian di daerah lainnya
- Harga cabai rawit pernah mencapai harga tertinggi Rp 60.000 – 80.000 ditahun 2010
- Harga bwg merah tertinggi berkisar antara Rp 20.000 – 40.000,-, untuk zona merah
dengan harga <Rp 16.000 sudah mengalami kerugian di Enrekang
- Upah tenaga kerja berfluktuatif dengan meninjau beberapa aspek, yaitu jumlah tenaga
kerja tersedia, lama waktu yang dibutuhkan dan waktu panen yang bersamaan
27

Tabel 7. Kondisi Usahatani yang ada di kedua wilayah kajian (Enrekang


dan Jeneponto) dalam berusahatani horti.
N Kondisi Daerah
o khusus Kab. Enrekang Kab. Jeneponto
1. Pemasaran - Petani-pdg. besar - Petani-pasar
- Petani-pdg. kcl-pdg. Besar - Petani-pdg. besar
- Petani-pdg. kcl-pdg. Besar
2. Penyediaan - Bibit tidak - Bibit tidak berlabel/sertifikat
bibit berlabel/sertifikat - Bibit tidak dikarantina
- Bibit tidak dikarantina
3. Pola tanam - Tidak berpola tetap - Tidak berpola tetap
4. Kebutuhan Pompanisasi sprinkler Dibutuhkan penampungan air
air (sudah diterapkan) (cekdam/embung-embung),
pompanisasi, sumur bor dengan
kedalaman min 80 m
5. Harga jual Berfluktuatif Berfluktuatif
- Bwg merah (terendah Rp - Bwg merah (terendah Rp 2.000 –
2.000 – 8.000; tertinggi Rp 8.000; tertinggi Rp 12.000 - )
12.000 – 20.000) - Cabai rawit (terendah Rp 2.000;
- Tomat (Rp 2.000 – tertinggi Rp 5.000)
20.000/keranjang (± 20
Kg)
- Kubis (Rp 500 – 2.500/Kg)

Gambar 9. Pertanaman sistem strip crop dan tumpangsari jagung (strip


bagian atas ditanami kentang dan strip bagian bawah
ditanami bawang merah, strip selanjutnya dengan wortel,
seledri daun) di Kabupaten Jeneponto.
TUGAS FINAL
MANAJEMEN PERTANAMAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 tentang sistem
budidaya untuk pasokan sayur di Jeneponto dan Enrekang. Berdasarkan
laporan tersebut, maka buatlah gambaran pola manajemen penggunaan
lahan yang digunakan oleh petani di kedua daerah tersebut:

1. Jenis tanaman (lengkap dengan nama biologis/latinnya) yang


dibudidayakan kedua daerah tersebut!
2. Sebutkan pola manajemen lahan dan sistem budidaya yang digunakan
petani setempat serta manfaat dan kelebihan dari setiap sistem tersebut!
3. Perbedaan provit berdasarkan gambaran ekonomi usahatani tersebut
pada kedua daerah kajian!
4. Kendala dari manajemen pengelolaannya dari semua sistem budidaya
yang dikembangkan!
5. Berikan beberapa alasan penting mengapa petani di kedua daerah
tersebut lebih menyenangi penggunaan tanaman sela yang dianggap
memberi keuntungan?
6. Buat grapik berdasarkan jenis/golongan tanaman (lengkap dengan nama
biologis/latinnya) yang dikembangkan dari masing-masing komoditi
berdasarkan sistem manajemen pertanaman campuran dari kedua
daerah tersebut! dan
7. Berikan tanggapan Anda berdasarkan laporan tersebut maksimal 2
halaman dengan margin 2 cm (all), dan ditulis dengan jarak spasi 1!

Tugas dikumpul paling lambat tanggal 8 Juni 2015 pukul 15.00 wita.

***

Anda mungkin juga menyukai