Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal dengan penyakit kencing
manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemi (peningkatan kadar gula
darah) yang terus menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes
mellitus merupakan keadaan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal yang dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi pada mata, ginjal dan pembuluh darah.
Jumlah penderita DM dilaporkan meningkat setiap tahun. Hal ini berkaitan
dengan peningkatan populasi dan prevalensi obesitas, serta penurunan aktivitas
fisik masyarakat. Kasus DM di Indonesia dilaporkan menempati peringkat 4
terbesar didunia dengan prevalensi 8,4 juta jiwa.
Penatalaksanaan penyakit DM dikenal dengan 4 pilar utama pengelolaan,
yaitu penyuluhan, perencanaan pola makan, latihan jasmanidan medikamentosa.
Komponen utama dalam keberhasilan penatalaksanaan DM adalah terapi gizi.
Namun masih banyak penderita yang melanggar pola makan yang sudah
dianjurkan. DEPKES RI menyatakan bahwa angka kesakitan dan kematian akibat
DM di Indonesia cendrung berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan
perubahan gaya hidup masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia yang mengatur
Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Penyakit Diabetes Mellitus masuk ke
kompetensi 4A yaitu dokter umum mampu melakukan diagnosis klinis dan
melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Oleh
karena itu kami memutuskan untuk menjadikan pasien DM tipe II tanpa
komplikasi yang berobat ke Puskesmas Nanggalo sebagai sampel untuk kegiatan
Mini Project. Diharapkan dengan kegiatan ini kami dapat membantu pasien dalam
pengelolaan penyakitnya berdasarkan 4 pilar utama pengelolaan yaitu penyuluhan
tentang etiologi, gejala, faktor resiko, komplikasi, pencegahan dan pengobatan,
perencanaan pola makan, latihan jasmani dan medikamentosa.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 1


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengetahuan pasien DM tipe II tentang penyakit serta kondisi
gula darahnya di Puskesmas Nanggalo Padang Tahun 2015

1.3 Tujuan Kegiatan


 Tujuan Umum
Diketahuinya tingkat pengetahuan pasien DM tipe II tentang penyakit
serta gula darahnya.
 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya tingkat pengetahuan pasien DM tipe II sebelum
diberikan konseling tentang etiologi, gejala, faktor resiko, komplikasi,
pencegahan, dan pengobatan.
2. Diketahuinya tingkat pengetahuan pasien DM tipe II sesudah
diberikan konseling tentang etiologi, gejala, faktor resiko, komplikasi,
pencegahan, dan pengobatan.
3. Diketahuinya gambaran gula darah pasein DM tipe II sebelum
diberikan konseling.
4. Diketahuinya gambaran gula darah pasein DM tipe II sesudah
diberikan konseling.

1.4 Manfaat Kegiatan


1. Sebagai masukan bagi Puskesmas Nanggalo tentang Gambaran apa
saja yang berhubungan dengan pengetahuan penyakit Diabetes
Mellitus untuk keberhasilan pengobatan.
2. Bagi dokter Internsip untuk menambah pengetahuan dan wawasan
tentang gambaran yang berhubungan dengan pengetahuan penyakit
diabetes mellitus untuk keberhasilan pengobatan yang akan datang.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 2


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi
melalui panca Indera (Notoatmodjo, 2007:139)

2.1.1 Tingkat Pengetahuan


Pengetahuan atau kognitif merupakan desain yang sangat penting
untuk terbentuk tindakan seseorang (Over Behavior). Pengetahuan dapat
mempengaruhi perilaku (Notoadmojo, 2007:140) kemudian ada enam
tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya kedalam tingkat pengetahuan ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.Oleh
sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah ukurannya antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefenisikan, menyatakan dan seagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh menyimpulkan, meramalkan
dan sebagaiknya terhadap objek yang dipelajari
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya), aplikasi dapat diartikan sebagai penggunaan

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 3


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya, dalam
konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu objek kedalam komponen-komponen,
tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih
ada kaitannya satu sama lain. Seperti dapat menggambarkan,
membedakan dan mengelompokkan
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis merupakan kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi-formulasi baru yang ada. Misalnya
dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan dan
menyesuaikan terhadap suatu teori yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui dan
diukur dapat disesuaikan dengan tingkat-tingkat pengetahuan
diatas (Notoatmodjo, 2007:141)

2.1.2 Sikap
1. Penegetahuan
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus. Sikap elum berupa tindakan, tetapi baru
bisa ditafsirkan (Notoatmodjo, 2007:142)
2. Komponen Sikap
Menurut Notoatmodjo, (2007:143) menjelaskan bahwa sikap
itu mempunyai komponen pokok yakni :

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 4


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu
objek.
b.Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c.Kecendrungan untuk bertindak
3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
a. Faktor Internal
Faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan
seperti selektifitas.
b.Faktor eksternal
Faktor yang merupakan berasal dari luar manusia yaitu
sifat objek yang dijadikan sasaran sikap adalah pandangan
atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak
sesuai dengan sikap yang objek tadi. Jadi sikap senantiasa
terarah terhadap suatu hal, suatu objek, tidak ada sikap yang
tanpa objek. Manusia dapat mempunyai sikap terhadap
bermacam-macam hal ( Heri Purwanto, 1999:62)
4. Tingkatan Sikap
Sikap terdiri dari 4 tingkatan :
a. Menerima (Recaifing)
Menerima artinya bawa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek)
b. Merespon (Responding)
Memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi dari sikap.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (Responsible)

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 5


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap
yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007:144)
5. Ciri-ciri Sikap
Ciri-ciri Sikap adalah sebagai berikut:
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau
dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam
berhubungan dengan objeknya.
b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat
dipelahari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada
orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-
syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
c. Sikap tidak dapat berdiri sendiri, tetapi senantiasa
mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek,
dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari atau
berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek
tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.
d. Obejk sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi
dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut
e. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan
sifat inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-
kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki
(Heri Purwanto, 1999:63)
6. Pembentukan Sikap
Sikap dapat dibentuk/berubah melaui 4 macam cara:
a. Adopsi
Kejadian-kejadian dan peristiwa yang terjadi berulang
dan terus-menerus.lama kelamaan serta bertahap diserap
kedalam diri individu dan mempengaruhi terbentunya
suatu sikap
b. Dengan berkembang intelegensi, bertambahnya
pengalaman, sejalan dengan bertambhanya usia, maka

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 6


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
ada hal-hal yang terjadinya dianggap sejenis sekarang
dipandang tersendiri lepas dari jenisnya, terdapat objek
tersebut terbentuk sikap tersendiri pula.
c. Integrasi
Pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimlai
dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan
satu hal tertentu
d. Trauma
Pengalaman yang tiba-tiba mengejutkan yang
meninggalkan kesan medalam pada jiwa orang yang
bersangkutan, pengalamn-pengalaman yang traumatis
dapat juga menyebabkan terbentuknya sikap (Heri
Purwanto,1999:65)
7. Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan
tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana
pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek
(Notoatmodjo, 2007:144)

2.2 Diabetes Mellitus


2.2.1 Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi
(hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja
insulin, atau kedua-duanya.

2.2.2 Epidemiologi
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara
penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa
mendatang. Perubahan pola penyakit ini diduga ada hubungannya dengan
cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 7


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat
sayur, ke pola makan barat yang mengandung banyak protein, lemak,
gula, garam dan sedikit serat. Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk
dibelakang meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk aktivitas
fisik dan rekreasi.
WHO (World Health Organitation) membuat perkiraan bahwa
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah
150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian jumlah itu akan
membengkak menjadi 300 juta orang. Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa
kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Penelitian
epidemiologi di Indonesia prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 1,5-
2,3% pada usia lebih dari 15 tahun. Dan terdapat jelas perbedaan
prevalensi didaerah urban dan di daerah rural yang menunjukkan
bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes.1,2,3,4

2.2.3 Klasifikasi Etiologi


A. Diabetes tipe 1 (destruksi sel-ß, biasanya akan menyebabkan
defisiensi insulin absolut)
a. Mediasi sistem imun
b. Idiopatik
B. Diabetes tipe 2 (dapat berupa keadaan dimana resistensi
insulin lebih predominan dengan defisiensi insulin relatif hingga
suatu keadaaan dimana defek sekresi yang predominan dengan
resistensi insulin)
C. Tipe diabetes lain yang spesifik
a. Defek genetik fungsi sel-ß yang dikarakterisasi oleh mutasi
pada
- Faktor transkripsi nuclear hepatosit (HNF) 4a (MODY
1)
- Glukokinase (MODY 2)
- HNF-1a (MODY 5)
- Faktor-1 promoter insulin (PF-1; MODY 4)

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 8


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
- HNF-1ß (MODY 5)
- Neuro D1 (MODY 6)
- DNA mitokrondrial
- Subunit channel kalium sensitif-ATP
- Proinsulin atau konversi insulin
b. Defek genetik kerja insulin
- Resistensi insulin tipe A
- Leprechaunisme
- Sindroma Rabson-Mendenhall
- Sindroma Lipodistrofi
c. Penyakit pankreas eksokrin– misalnya: pankreatitis,
pankreatektomi, neoplasia,fibrosis kistik, hemokromatosis,
pankreatopati fibrokalkulus, mutasi lipase karboksil ester
d. Endrokrinopati-misalnya:akromegali, sindroma cushing,
glukagonoma, feokromositoma, hipertiroidisme,
somatostatinoma, aldosteronoma
e. Reaksi yang diinduksi zat kimia atau obat- obatan –
misalnya: vakor, pentamidin, asam nikotinik,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoksid, agonist
adrenergik-ß, thiazid, fenitoin, interferon-a, inhibitor
protease, klozapin
f. Infeksi – misalnya: rubella kongenital, cytomegalovirus,
cocksakie
g. Diabetes yang dimediasi sistem imun yang tidak
umum– misalnya: sindroma ‘stiff person’, antibodi reseptor
anti-insulin
h. Sindroma genetik lain yang kadang-kadang berhubungan
dengan diabetes– misalnya: Sindrom Down, sindrom
Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram,ataksia
Friedreich, korea Huntington, sindroma Laurence-Moon-
Biedl, distrofi miotonik, sindroma Prader-Willi
D. Diabetes mellitus gestasional5

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 9


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
2.2.4 Patofisiologi
Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi 2 fase yaitu fase
dini (fase 1) atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama
setelah makan. Insulin yang disimpan yang disekresi pada fase ini adalah
insulin yang disimpan dalam sel beta: dan Fase lanjut (fase 2) adalah
sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa. Pada fase 1,
pemberian glukosa akan meningkatkan sekresi insulin untuk mencegah
kenaikan kadar glukosa darah, dan kenaikan glukosa darah selanjutnya
akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan produksi insulin. Makin
tinggi kadar glukosa darah sesudah makan makin banyak pula insulin
yang dibutuhkan, akan tetapi kemampuan ini hanya terbatas pada glukosa
darah dalam batas normal.
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan
glukosa darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin
lebih banyak. Tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin
sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta
menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam
darah turun menyebabkan produksi glukosa hati meningkat, sehingga
kadar glukosa meningkat. Secara berangsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe
2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemia
dan selanjutnya gangguan fase 2 tidak terjadi hiperinsulinemia akan tetapi
gangguan di sel beta.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga
merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain menurunnya massa
sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn
dalm sel beta dan efek toksik glukosa (glucose toxicity).
Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah
gangguan sekresi insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan
perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin).

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 10


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
Gangguan Sekresi insulin
Pada awal perjalanan penyakit diabetes tipe 2, sekresi insulin
tampak normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola
sekresi insulin berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi
insulin yang cepat yang dipicu oleh glukosa menurun. Secara kolektif, hal
ini adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal diabetes
tipe 2 dan bukan defisiensi insulin. Namun, pada perjalanan penyakit
selanjutnya, terjadi defisiensi insulin absolute yang ringan sampai
sedang, yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1.
Penelitian terakhir menunjukkan adanya suatu protein mitokondria yang
memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif. Protein ini
yang disebut uncoupling protein 2 (UPC2), diekspresikan pada sel beta.
Kadar UPC2 intrasel yang tinggi menumpulkan respon insulin, sedangkan
kadar yang rendah memperkuatnya. Mekanisme lain kegagalan sel beta
pada DM tipe 2 dilaporkan berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet.
Pada 90% pasien DM tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsy.
Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal
dihasilkan oleh sel beta pancreas dan disekresikan bersama dengan
insulin sebagai respon terhadap pemberian glukosa.
Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin pada fase
awal DM tipe2 menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang
kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi
sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima
sinyal glukosa. Amiloid bersifat toksik bagi sel beta yang ditemukan
pada DM tipe 2 tahap lanjut.

Pengertian Resistensi Insulin


Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan
respons metabolic terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa
plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak daripada
normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemi (euglikemi).
Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan pre reseptor, reseptor,

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 11


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
dan post reseptor.Gangguan pre reseptor dapat disebabkan oleh antibody
insulin dan gangguan pada insulin. Gangguan reseptor dapat
disebabkan oleh jumlah reseptor yang berkurang atau kepekaan reseptor
menurun. Sedangkan gangguan pada post reseptor disebakan oleh
gangguan pada proses fosforilasi dan pada signal transduksi di dalam sel
otot. Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan
konsentrasi glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di
jaringan otot dan lemak, dan menekan produksi glukosa oleh hati.
Resistensi insulin dalah keadaan sensitivitas insulin berkurang.
Resistensi insulin merupakan sindrom heterogen, dengan factor
genetic dan lingkungan berperan pada perkembangannya.Resistensi
insulin berkaitan dengan kegemukan, sindrom ini juga dapat terjadi pada
orang yang tidak gemuk. Factor lain seperti kurangnya aktifitas fisik,
makanan mengandung lemak, dinyatakan berkaitan dengan
perkembangan terjadinya kegemukan dan resisitensi insulin. Pembesaran
depot lemak visceral yang aktif secara lipolitik akan meningkatkan
keluaran asam lemak bebas portal dan menurunkan pengikatan dan
ekstraksi insulin di hati, sehingga menyebabkan terjadinya
hiperinsulinemia sistemik. Peningkatan asam lemak bebas portal akan
meningkatkan produksi glukosa di hati melalui peningkatan
glukoneogenesis, menyebabkan terjadinya hiperglikemia.

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa


poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan
Glukosa Darah Sewaktu (GDS) 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat
ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) 126 mg/dl
juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 12


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP 126 mg/dl,
GDS 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) 200 mg/dl. Alur penegakkan diagnosis DM dapat dilihat
pada skema berikut:

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan HbA1c
HbA1c adalah glukosa yang terikat dengan molekul hemoglobin
A. Dalam darah glukosa bisa terikat dengan molekul hemoglobin
dalam sel darah merah, dimana proses ini dikatakan glycosylation.
Ketika glukosa terikat, glukosa akan tetap berikat dengan sel darah
merah sampai sel darah merah dihancurkan yaitu sekitar 60- 90
hari. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah semakin banyak
glukosa berikatan dengan hemoglobin.
Tes HbA1c digunakan untuk mengukur kadar glukosa yang
berikat dengan hemoglobin di dalam sel darah merah dan persentase
glukosa yang terikat dengan hemoglobin dengan jumlah
konsentrasi hemoglobin. HbA1c dilakukan untuk mengetahui rata-
Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 13
Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
rata glukosa darah yang terkontrol dalam 60-90 hari sebelum
pemeriksaan glukosa puasa, sewaktu atau postprandial.6

Anjuran HbA1c (%)

Sangat sehat 7,0

Sedang, memerlukan perbaikan 7,0 – 8,0

Tinggi, memerlukan tindakan terapi 8,0 – 10,0

Sangat tinggi, memerlukan tindakan >10,0


terapi

2.2.7 Tatalaksana
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan Diabetes Mellitus terdiri
dari:
1. Terapi non farmakologis
Meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan
pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah
yang berkaitan denga diabetes yang dilakukan secara terus
menerus.
A. Terapi Gizi Medis
Merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini dilakukan
dengan melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan
pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual.18
Jenis bahan makanan antara lain:
 Karbohidrat : Diberikan tidak lebih dari 55-65 % dari
total kebutuhan energi sehari atau tidak boleh lebih dari

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 14


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
70 % jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak
tidak jenuh rantai tunggal ( MUFA ).
 Protein : Jumlah kebutuhan protein sekitar 10-15 %
dari total kalori/ hari.
 Lemak : Konsumsi makanan yang mengandung lemak
jenuh, jumlah maksimal10% dari total kebutuhan kalori
per hari.
B. Latihan Jasmani
Prinsip latihan jasmani,yaitu memenuhi hal seperti:
Frekuensi, intensitas, durasi dan jenis.
 Frekuensi: Jumlah olahraga perminggu sebaiknya
dilakukan dengan teratur 3-5 kali per minggu
 Intensitas : Ringan-sedang ( 60-70% Maximum Heart
Rate )
 Durasi : 30-60 menit
Jenis: latihan jasmani endurans, kemampuan
kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan
bersepeda.
2. Terapi farmakologis
Meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin.
Tetapi terapi farmakologis ini diberikan jika penerapan terapi non
famakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah sebagaiman yang diharapkan. Pemberian
terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi non
farmakologis.
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa
darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis
perlu diperhatikan titik kerja obat. Pada kegawatan tertentu
(ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stres) pengelolaan
farmakologi dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 15


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah
sakit.
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini (antara lain: Glikazid, Glibenclamid,
Talbumid) mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oeh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun
masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati,
kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang. Efek hipoglikemia
sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang
tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea
terikat pada reseptor channel tersebut maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan
permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi
membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan
meyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat
pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang
mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu
tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih
mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin.
Dosis permulaan sulfonilurea tergantung pada beratnya
hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dL,
sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi
secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa
darah puasa 90-130 mg/dL. Bila glukosa darah puasa >200
mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 16


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap
dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari,
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan
makanan porsi terbesar.
Kombinasi sulfonilurea dan insulin lebih baik daripada
insulin sendiri dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata
lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima
pasien daripada penggunaan insulin multipel.

Glinid
Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea dengan penekanan pada meningkatkan insulin pada
fase pertama. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu
Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini kedua-duanya diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan
dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan
glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang
singkat. Sedang Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih
singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga
keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan
glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal.
Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa puasa maka
kekuatannya untuk menurunkan A1C tidak begitu kuat.

b. Penambah sensitivitas terhadap insulin (Insulin


Sensitizing)
Biguanid
Obat golongan ini (misalnya: metformin) bekerja dengan cara
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 17
Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan
glukosa darah. Setelah diberikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan
diekskresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh
2-5 jam. Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak
dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat
antihiperglikemik. Pada pemakaian tunggal metfomin dapat
menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin
plasma pada keadaan basal juga turun. Karena kemampuannya
mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat
badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang
gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Bila tidak
bisa monoterapi maka kmobinasi dengan sulfonilurea atau obat
antidiabetik lain. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL)
dan hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia.

c. Penghambat Absorpsi Glukosa (Penghambat


Glukosidase Alfa)
Acarbose
Obat ini bekerja dengan secara kompetitif menghambat
kerja enzim alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga
dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di
lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tida
berpengaruh pada kadar insulin. Mekanisme kerja acarbose
merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang
terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian
proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan
pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan
memperpanjang peningkatan glukosa darah post-prandial, dan

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 18


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
mempengaruhi respon insulin plasma. Sebagai monoterapi
tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat
menyebabkan hipoglikemia. Acarbose hampir tidak diabsorbsi
dan bekerja lokal pada saluran cerna.
Efek samping berupa gejala gastrointestinal seperti
meteorismus, flatulens, dan diare. Untuk mendapatkan efek
maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan
utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif.
Obat ini dapat menurunkan rata-rata glukosa postprandial
sebesar 40-60 mg/dL dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dL,
dan A1C 0,5-1%.

d. Insulin
Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien
diabetes mellitus tipe 1. Namun demikian, pada pasien DM
tipe 2 karena prevalensinya yang jauh lebih banyak
dibandingkan DM tipe 1. Terapi insulin pada pasien DM tipe 2
dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi
oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1C >7,5% atau
kadar glukosa darah puasa >250 mg/dL), riwayat pankreaktomi,
atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah
yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin
lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.
Dan sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak
terkontrol dengan baik (A1C > 6,5%) dalam jangka waktu 3
bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai
terapi kombinasi obat antidiabetik dan insulin. Pada keadaan
tertentu dimana kendali glikemik amat buruk dan disertai kondisi
katabolisme, seperti kadar glukosa darah puasa >250 mg/dL,
kadar glukosa darah acak menetap > 300mg/dL A1C .10%,
atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai
diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu,

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 19


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang
memiliki gejala nyata (poliuria, polidipsia, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan).
Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat
ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan. Agar
terapi insulin dapat dilaksanakan dengan baik pada pasien
hiperglikemia yang dirawat di rumah sakit, harus dipahami
tentang pola sekresi insulin pada orang normal. Sekresi
insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa
atau sebelum makan) dan insulin prandial (setelah makan).
Insulin basal adalah jumlah insulin eksogen per unit waktu yang
diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa akibat
glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis yang tidak
terdeteksi. Insulin prandial adalah insulin yang dibutuhkan
untuk mengkonversi bahan makanan ke dalam bentuk energi
cadangan sehingga tidak terjadi hiperglikemia postprandial.
Secara umum, kebutuhann insulin dapat diperkirakan
sebagai berikut: insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin
per hari atau 0,02 U/kgBB; insulin prandial adalah 50% dari
kebutuhan total insulin per hari; dan insulin koreksi sekitar 10-
20% dari kebutuhan total insulin per hari.
Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human
insulin sampai insulin analog. Seperti telah diketahui, untuk
memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan insulin kerja
menengah (intermediate-acting insulin) atau kerja panjang
(long-acting insulin); sementara untuk memenuhi kebutuhan
insulin prandial (setelah makan) digunakan insulin kerja cepat
(sering disebut insulin regular/ short-acting insulin) atau insulin
kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin).

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 20


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
2.2.8 Komplikasi

Komplikasi diabetes terjadi akibat gangguan metabolik akut


(hipoglikemia atau hiperglikemia) atau pada tahap lanjut, akibat
kerusakan mikrovaskular atau makrovaskular, resikonya
tergantung pada kontrol kadar glukosa dan faktor resiko vaskular
konvensional.
1. Komplikasi mikrovaskular diabetes
a. Penyakit Mata ( Retinopati )
Retinopati terjadi akibat dari penebalan membran basal
kapiler, yang menyebabkan pembuluh darah mudah bocor (
perdarahan dan eksudat padat), pembuluh darah tertutup (
iskemia retina dan pembuluh darah baru) dan edem makula.
b. Nefropati
Keadaan ini terjadi 15-25 tahun setelah diagnosis pada
35-45% pasien dengan diabetes tipe 1 dan < 20 % pasien
dengan diabetes tipe 2. Lesi awal adalah hiperfiltrasi
glomerolus (peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang
menyebabkan penebalan difus pada membran basal
glomerulus. Gambaran klinis awalnya asimtomatik,
kemudian timbul hipertensi, edema, uremia.
c. Neuropati
Keadaan ini terjadi melalui beberapa mekanisme,
termasuk kerusakan pada pembuluh darah kecil yang
memberi nutrisi, pada saraf perifer, dan metabolism gula
yang abnormal.
2. Komplikasi makrovaskular pada diabetes mellitus
a. Penyakit kaki
Keadaan ini merupakan akibat penyakit pembuluh
darah perifer (kaki yang dingin dan nyeri), neuropati perifer
(kaki hangat, sering hanya dengan nyeri ringan), dan

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 21


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
peningkatan kecendrungan untuk terinfeksi, sehingga
terbentuk ulkus, Infeksi (selulitis dan osteomielitis),
Gangren, dan kaki Charcot (kaki hangat/panas dengan
kerusakan sendi).
b. Hipoglikemia
Merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita diabetes yang menjalani terapi dan terkadang
pada pada mereka yang menjalani terapi sulfonylurea.
Gejala timbul saat glukosa = 2,2 mmol/L, walaupun
banyak penderita diabetes yang terbiasa dengan kadar
glukosa darah yang tinggi baru menunjukkan gejala pada
kadar yang lebih tinggi lagi.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 22


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
BAB III

LAPORAN KEGIATAN

1. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan tingkat


pengetahuan pasien DM tipe II tentang penyakit DM di Puskesmas
Nanggalo tahun 2015-2016 dengan jadwal kegiatan 22 Desember 2015
sampai 23 Januari 2016.
2. Populasi diambil berdasarkan jumlah semua penderita DM tipe II di
Puskesmas Nanggalo tahun 2015 sebanyak 214 orang.
3. Sampel penderita DM tipe II yang berobat di Puskesmas Nanggalo yang
belum mengalami komplikasi sebanyak 15 orang, dan bersedia untuk
melakukan kegiatan konseling.
4. Teknik pengumpulan data dengan cara dibagikan kuisioner kepada pasien
DM tipe II yang telah dilakukan pengujian Alpha Cronbach sebesar 0,63%
(Penilaian Baik)
5. Teknik pengolahan data kuisioner diedit dan dilakukan tabulasi, diberikan
penilaian terhadap pengetahuan pasien DM tipe II, jika benar diberi nilai 1
dan jika salah diberi nilai 0.
6. Adanya keterbatasan dalam melakukan penelitian ini yaitu berupa waktu,
dana dan prasarana.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 23


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
BAB IV

HASIL PENILAIAN

4.1 Karakteristik Responden


4.1.1 Umur
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan umur
No Uraian Jumlah Persentase (%)
1. 20-40 tahun 2 13,3
2. >40-60 tahun 5 33,3
3. >60-80 tahun 8 53,4
Total 15 Orang 100

Pada tabel diatas dapat dilihat sebagian besar penderita DM tipe II berumur diatas
40 tahun yaitu sebesar 86,7% dan 13,3 % yang berumur dibawah 40 tahun

4.1.2 Jenis Kelamin


Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No Uraian Jumlah Persentase (%)
1. Laki – laki 4 26,6
2. Perempuan 11 73,4
Total 15 Orang 100

Pada tabel diatas dapat dilihat sebagian besar penderita DM tipe II berjenis
kelamin Perempuan yaitu sebesar 73,4% dan hanya 26,6% berjenis kelamin lai-
laki.

4.1.3 Pekerjaan
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
No Uraian Jumlah Persentase (%)
1. PNS 0 0
2. IRT 9 60

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 24


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
3. Swasta 2 13,3
4. Pensiunan 4 26,7
Total 15 Orang 100

Pada tabel diatas dapat dilihat sebagian pasien yang menderita DM tipe II adalah
IRT yaiutu sebesar 60% dan 26,7% pensiunan, serta 13,3% pekerja swasta.

4.1.4 Pendidikan
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
No. Uraian Jumlah Persentase (%)
1. Tidak tamat SD 3 20
2. Tamat SD 0 0
3. Tamat SMP 2 13,4
4. Tamat SMA 7 46,6
5. DIII 1 6,6
6. S1 2 13,4
Total 15 Orang 100

Dari tabel diatas dapat dilihat sebagian besar penderita DM tipe II pendidikannya
tamat SMA yaitu sebesar 46.6 % dan 20% berpendidikan D3-S1 serta 20% tidak
tamat SD.

4.1.5 IMT
Tabel 4.5 Indeks Massa Tubuh

No. Uraian Jumlah Persentase (%)


1. <18,5 (Kurus) 0 0
2. 18,5-22,9 (Normal) 6 40
3. 23-24,9 (Obesitas) 0 0
4. 25-29,9 (Obesitas I) 7 46,6
5. >30 (Obesitas II) 2 13,4
Total 15 100

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 25


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar penderita DM tipe II adalah
gemuk yaitu sebesar 60% dan 40% masih normal

4.1.6 Kadar Gula Darah Pertemuan Awal


Tabel 4.6 Kadar Gula Darah Pertemuan Awal

No. Uraian Jumlah Persentase (%) Keterangan


1. Gula Darah Puasa <120 1 6.7 Terkontrol
Gula Darah Puasa >120 1 6.7 Tidak Terkontrol
2. Gula Darah Sewaktu <250 2 12,3 Terkontrol
Gula Darah Sewaktu >250 11 74,3 Tidak Terkontrol
Total 15 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa gula darah pasien DM tipe II tidak terkontrol
yaitu sebesar 81% dan hanya 19% yang terkontrol.

4.1.7 Tingkat Pegetahuan Penderita DM Tipe II sebelum diberikan


konseling
Tabel 4.7 Tingkat Pengetahuan Penderita DM Tipe II sebelum diberikan
Konseling
No Uraian Jumlah Persentase (%)
1. 0-<40% (Kurang) 1 6,6
2. 40-<60% (Cukup) 1 6,6
3. 60-<80% (Baik) 6 40
4. 80-100% (Sangat Baik) 7 46,8
Total 15 100

Dari tabel diatas dapat dilihat sebagian besar pengetahuan pasien masih kurang
dan cukup sebesar 13,2% dan yang baik dan yang sangat baik adalah sebesar
86,8%.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 26


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
4.1.8 Kadar Gula Darah Pertemuan Akhir
Tabel 4.8 Kadar Gula Darah Pertemuan Akhir

No. Uraian Jumlah Persentase (%) Keterangan


1. Gula Darah Puasa <120 1 6,6 Terkontrol
Gula Darah Puasa >120 0 0 Tidak Terkontrol
2. Gula Darah Sewaktu <250 8 53,4 Terkontrol
Gula Darah Sewaktu >250 6 40 Tidak Terkontrol
Total 15 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa setelah diberikan konseling gula darah
terkontrol menjadi 60%

4.1.9 Tingkat Pengetahuan Penderita DM Tipe II setelah diberikan konseling

Tabel 4.9 Tingkat Pengetahuan Penderita DM Tipe II setelah diberikan


konseling

No Uraian Jumlah Persentase (%)


1. 0-<40% (Kurang) 0 0
2. 40-<60% (Cukup) 0 0
3. 60-<80% (Baik) 5 33,3
4. 80-100% (Sangat Baik) 10 66,7
Total 15 100
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan pasien DM tipe II
setelah konseling yang baik dan sangat baik sudah 100%

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 27


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
BAB V

PEMBAHASAN

Dari hasil kegiatan ini terlihat bahwa kejadian DM tipe 2 lebih banyak
terjadi pada wanita dibandingkan dengan Laki-laki hal ini sesuai dengan analisis
antara jenis kelamin dengan kejadian DM Tipe 2, prevalensi kejadian DM Tipe 2
pada wanita lebih tinggi dari pada pria. Wanita lebih beresiko mengidap DM
karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks massa tubuh yang
lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca menopouse
yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses
hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM Tipe 2 (Irawan, 2010).

Dari hasil kegiatan umur < 40 tahun kurang beresiko terhadap DM tipe 2
yaitu 13,3% hal ini sesuai dengan study yang dilakukan Sunjaya (2009)
menemukan bahwa kelompok umur yang paling banyak menderita DM umur 40 –
80 tahun. Peningkatan resiko DM seiring dengan umur, khususnya pada usia >40
tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi
glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel
beta pankreas dalam memproduksi insulin (Sunjaya,2009). Selain itu pada
individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktifitas mitokondria di sel-sel
otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot
sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin.

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap penyakit DM Tipe 2.


Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan memiliki banyak
pengetahuan tentang kesehatan. Dengan adanya pengetahuan tersebut orang akan
memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya (Irawan,2010). Berbeda dengan
hasil kegiatan ini yang respondennya sebagian besar tamat SMA. Hal ini mungkin
disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang kesehatan khususnya penyakit
Diabetes Mellitus belum sesuai dengan yang diharapkan.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 28


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
Dari hasil kegiatan yang dilakukan pekerjaan responden sebagian besar
adalah ibu rumah tangga. Sesuai dengan penelitian Irawan (2010) bahwa jenis
pekerjaan respondennya sebagian besar juga ibu rumah tangga. Berdasarkan
analisis hubungan antara pekerjaan dengan kejadian DM tipe 2 didapatkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian DM tipe 2
Walaupun aktifitas ibu rumah tangga banyak seperti meyapu, memasak,mencuci,
atau sebagainya namun IMT termasuk obesitas dan mungkin karena presentase
responden antara kelompok bekerja dan tidak bekerja tidak seimbang.

Indeks massa tubuh secara bersama sama dengan variabel lainnya


mempunyai hubungan yang signifikan dengan diabetes melitus. Hasil perhitungan
menunjukkan seorang yang obesitas mempunyai resiko untuk menderita diabetes
melitus. Kelompok dengan resiko diabetes melitus terbesar adalah kelompok
obesitas, dengan persentase 46,6% dibandingkan dengan kelompok indeks massa
tubuh normal yaitu 40%. Penilitian menurut Sunjaya (2009) menemukan bahwa
individu yang mengalami obesitas mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar untuk
terkena DM Tipe 2 dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami obesitas.

Adanya pengaruh indeks massa tubuh terhadap DM ini disebabkan oleh


kurangnya aktifitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak
yang merupakan faktor resiko obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya
asam lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan
menurunkan translokasi transporter glukosa ke membran plasma, dan
menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada jaringan otot dan adipose
(Teixeria-Lemos dkk,2011).

Dari hasil gula darah pasien DM Tipe 2 di Puskemas Nanggalo sebelum


dan sesudah dilakukan konseling mengalami perubahan, dari pemeriksaan awal
sebelum dilakukan konseling berjumlah 19% yang terkontrol dan 81% yang tidak
terkontrol. Setelah dilaksanakan penatalaksanaan berdasarkan 4 pilar maka
didapatkan hasil gula darah 60% yang terkontrol dan 40% tidak terkontrol. Kadar
gula darah yang tidak terkontrol ini mungkin disebabkan karena ketidakpatuhan
pasien dalam melakukan pengobatan, pengaturan pola makan berdasarkan
kebutuhan kalori yang sudah diatur, kurangnya aktifitas fisik dan stress.
Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 29
Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
Berdasarkan penelitian di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
seseorang yang mengalami stress memiliki resiko 1,67 kali untuk menderita DM
Tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami stress. Adanya
peningkatan resiko DM pada kondisi stress disebabkan oleh produksi hormon
kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stress. Produksi kortisol yang
berlebih ini akan mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah merosot yang
akan membuat individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih.
(Siagian,2012).

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 30


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Dari kegiatan penatalaksanaan DM tipe II dengan 4 pilar dapat


disimpulkan sebagai berikut:

1. Tingkat pengetahuan penderita DM tipe II sebelum dan sesudah


diberikan konseling meningkat yang mana sebelum diberikan
konseling tingkat pengetahuan baik dan sangat baik penderita
DM tipe II 86,8% dan 100% setelah diberikan konseling.
2. Diketahui gula darah penderita DM tipe II yang terkontrol sebelum
diberikan konseling hanya 12,5% dan yang tidak terkontrol
87.5% setelah diberikan konseling sebagian besar gula darah
terkontrol 60% dan yang tidak terkontrol 40%.
3. Karakteristik dari DM tie II sebagian besar alah berjenis kelamin
perempuan, umur mulai dari 40 tahun, perkerjaan ibu rumah
tangga, pendidikan tamat SMA dengan IMT obesitas >25-29,9%
4. Diketahui bahwa pentalaksanaan DM tipe 2 berdasarkan 4 pilar
sangat berpengaruh terhadap kesembuhan pasien DM tipe II.

6.2 Saran

1. Agar Puskesmas dapat memberikan penyuluhan tentang DM tipe II


dengan sistem 4 pilar yaitu dengan melakukan konseling terpadu
dengan Pozi.
2. Puskesmas meningkatkan penyuluhan tentang Diabetes Mellitus
tipe II terhadap sasaran yang beresiko terhadap DM tipe II yaitu
ibu rumah tangga, yang obesitas dengan usia 40 tahun keatas.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 31


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association, Diabetes Care : 30:S42-S47, 2007


2. Anna Jonsson, M.Sc., Valeriya., 2008. Clinical Risk Factors, DNA Variants,
and the Development og Type2 Diabetes, NEJM, 359: 21, 2008.
3. Guyton & Hall, 2007, Fisiologi Kedokteran, Edisi 11, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Price, S.A., Wilson, L.M., Gralnick., 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis, Proses-
Proses Penyakit, Buku 2, edisi 4, hal 1260-1270, EGC, Jakarta.
5. Robbins, SL, Kumar.V.,1987. Buku Ajar Patologi I edisi 4, Editor terjemahan
oleh Oswari, J., EGC, Jakarta.
6. Sudoyo, Aru W,.et al../editor. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 32


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
LAMPIRAN

Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 33


Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016
Dokter Internsip Puskesmas Nanggalo 34
Periode 08 Oktober 2015 – 07 Februari 2016

Anda mungkin juga menyukai