Anda di halaman 1dari 26

KASUS:

Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah
terminal. Pasien masih cukup sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaanya saja. Oleh karena itu, ia meminta kepada dokter apabila dia
mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja ( tanpa antibiotika, tanpa peralatan
ICU dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima
obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.

BAB I :PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa penderitaan, sedang
tanathos = mati.Dengan demikian euthanasia dapat diartikan : mati dengan baik tanpa
penderitaan. Ada yang menterjemahkan : mati cepat tanpa derita.

Belanda, salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan
mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari
KNMG (Ikatan Dokter Belanda)."Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk
kepentingan pasien sendiri." Terdapat 4 kemungkinan euthanasia yaitu:1

 sukarela-aktif
 sukarela-pasif
 tidak sukarela aktif
 tidak sukarela pasif

Sukarela (voluntary) berarti si pasien ybs secara bebas telah memberikan persetujuannya atau
atas permintaannya, sedangkan tidak sukarela (involuntary) berarti tidak secara bebas

1
memberikan persetujuan atau tidak dapat memberikan persetujuan tetapi diduga
telah menginginkan kematiannya. Aktif berarti melakukan tindakan positif untuk mengakibatkan
kematian (killing), sedangkan pasif berarti tidak ada perbuatan yang menuju kematian – dan
kematian terjadi karena penyakitnya sendiri. Ke-empat jenis euthanasia tersebut tetap meliputi
tindakan perawatan nyang memberi kenyamanan (comfort care) dan pengelolaan rasa nyeri (pain
control).1

Euthanasia aktif

Yang dimaksud dengan euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.

Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai
pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa
sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan
yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan
sakitnya yang memang sudah parah.1

Euthanasia pasif

Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan
pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan
yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana
yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah pada isu “rule of double effect (RDE)”, yaitu
apabila suatu tindakan untuk memberikan kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence ternyata
sekaligus memiliki risiko terjadinya perburukan nyata sehingga berlawanan dengan prinsip
nonmaleficence. Misalnya pemberian morfin untuk mengendalikan rasa nyeri hebat yang terjadi
pda pasien penderita cancer stadium akhir yang juga berrisiko akan memberikan juga efek
depresan, yang dapat menekan pusat nafas pasien.1

2
Dalam keadaan RDE biasanya dikenal 4 elemen yang harus terpenuhi, yaitu:

a. Sifat tindakan haruslah baik, atau setidaknya netral.


b. Niat tindakan adalah untuk tujuan baik. Dampak buruk boleh saja telah dapat
dibayangkan (foreseen, tolerated, permitted), tetapi harus bukan diniatkan / ditujukan
untuk dampak buruk tsb.

c. Dampak buruk haruslah bukan cara untuk mencapai tujuan baik.

d. Dampak baik harus melebihi dampak buruk.

BAB II : ISI PEMBAHASAN

2.1 Prinsip Prinsip Etika Kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salah suatu sikap dan atau
perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari sudut pandang moralitas. Sebagian besar
orang menganut dua teori etika, yaitu:

1. Teori Deontologi
Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dariperbuatannya
itu sendiri (I Kant). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya.

2. Teori Teleologi.
Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnyaatau
akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Teleologi lebih ke arah penalaran(reasoning) dan
pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik
diperlukan empat kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules di bawahnya.
Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
1. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yangditujukan ke
kebaikan pasien. Dalambeneficence tidak hanya dikenal perbuatanuntuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebihbesar daripada sisi buruknya
(mudharat);.

3
 General beneficence :
o melindungi & mempertahankan hak yang lain
o mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
o menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,
 Specific beneficence :
o menolong orang cacat,
o menyelamatkan orang dari bahaya.
•Mengutamakan kepentingan pasien
•Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah
sakit/pihak lain
•Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)
•Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik
terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).
2. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere"atau "above all do no
harm".
3. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent; Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan
sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan
kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan
perlindungan.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya(distributive
justice)

Berdasarkan kasus, pasien meminta untuk diberikan terapi minimal saja dan dia ingin mati
dengan tenang dan wajar. Prinsip etika yang diperlihatkan disini adalah otonomi pasien. Keadaan
pasien cukup sadar dan seharusnya bisa diberikan terapi yang tepat untuk meminimalisasikan
penderitaannnya. Namun hak pasien untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan
medis terhadapnya.

4
2.2 Pandangan Etik Dan Medikolegal

Etik kedokteran umumnya membolehkan euthanasia pasif dalam arti bahwa pasien dibiarkan
menjalani kematian-alami-nya (letting dia naturally) tanpa memberikan tindakan yang
extraordinary atau menghentikan tindakan yang extraordinary yang memperpanjang kehidupan,
dengan tetap memberikan tindakan / perawatan untuk mengendalikan nyeri dan memberikan
kenyamanan pasien.

Tindakan yang memperpanjang kehidupan (life-sustaining treatments) sendiri diartikan sebagai


setiap tindakan yang ditujukan untuk memperpanjang kehidupan tanpa mengubah keadaan medis
latarnya

The World Medical Association dalam statementnya pada tahun 1997 menyatakan bahwa
euthanasia aktif adalah tindakan tidak etis, tetapi tidak melarang dokter menghormati permintaan
pasien yang menginginkan menjalani proses kematian yang alami pada saat ia menghadapi
sakitnya yang berada pada fase terminal

IDI pernah membuat fatwa dengan nomor 231/PB/.4/07 pada tahun 1990 yang menyatakan
bahwa pada pasien yang belum meninggal, namun tindakan terapetik atau paliatif tidak ada
gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan ilmu kedokteran, maka tindakan-tindakan tersebut
dapat dihentikan. Penghentian ini sebaiknya dikonsultasikan dengan minimal satu dokter lain.

Dalam resolusi no 5 Pertemuan ke-3 Dewan Akademi Fikih (1407 H / 1986 M),disebutkan
bahwa kaidah hukum Islam “la dharar wa la dhirar” membenarkan pembiaran kematian secara
alamiah. Walaupun petugas medis wajib menyediakan pelayanan medis sepanjang waktu, tetapi
tindakan medis dapat dihentikan jika menurut pendapatnya tipis atau nihil harapan bagi pasien
untuk sembuh.

Dr. Abdulaziz Sachedina (University of Virginia, tanpa tahun) juga mengatakan bahwa hokum
Islam tidak melarang penghentian tindakan yang sia-sia dan disproporsional dengan persetujuan
anggota keluarga terdekat dan dengan pertimbangan professional medis.

5
Pengobatan itu hukumnya mustahab atau wajib apabila pasien dapat diharapkan sembuh.
Sedangkan apabila tidak dapat diharapkan sembuh, apalagi setelah memperoleh pengobatan lama
dan penyakitnya tetap tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatan menjadi tidak wajib.

Kasus Terri Schiavo beberapa waktu yang lalu menimbulkan debat dari segi etik dan
medikolegal, yaitu karena apabila artificial nutrition and hydration itu dianggap bersifat
“extraordinary” sehingga penghentiannya dianggap sebagai tindakan pasif, namun keinginan
matinya disangsikan telah dinyatakan oleh si pasien sendiri – karena ia berada dalam persistent
vegetative state – sedangkan keluarganya berbeda pendapat (suami berbeda dengan orang tua).

Keputusan untuk menghentikan suatu peralatan atau tindakan memperpanjang hidup yang telah
diterapkan pada seseorang pasien memang tetap merupakan masalah, dibandingkan apabila
peralatan atau tindakan tersebut belum pernah dilakukan pada pasien. Pertimbangan yang ketat
harus dilakukan, khususnya pada pengambilan keputusan penghentian artificial nutrition and
hydration sebagaimana pada kasus Schiavo, oleh karena tindakan tersebut harus ditentukan
terlebih dahulu, apakah sebagai bagian dari “care” ataukah “cure”. Apabila merupakan bagian
dari “cure” dan dianggap sebagai tindakan medis yang sia-sia maka dapat dihentikan, tetapi
apabila dianggap sebagai bagian dari “care” maka oleh alasan apapun tidak etis bila dihentikan

Sementara itu, euthanasia aktif umumnya tidak dapat diterima secara etik. Demikian pula pada
umumnya hukum negara-negara di dunia tidak menyetujui tindakan euthanasia aktif karena
dianggap sebagai pembunuhan, kecuali beberapa negara seperti Belanda, Belgia, Swis dan satu
negara bagian di AS.

2.3 Kode Etik Kedokteran Indonesia

KODEKI : Hubungan Dokter Dengan Pasien

Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk
kepentingan pasien.Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan,maka atas persetujuan pasien,ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai
keahlian dalam penyakit tersebut.

6
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang Seorang pasien,bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,kecuali bila
ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu.

2.4 Informed Consent

Informed consent sangat penting di lakukan sebelum pemeriksaan dilanjutkan. Ini bagi
mendapat persetujuan pasien untuk di periksa agar diagnosis dapat ditegakkan. Peranan informed
consent dalam tuntutan tanggung jawab dengan adanya persetujuan yang ditanda tangani oleh
pasien atau keluarganya dalam formulir informed consent ini merupakan bukti yang kuat bahwa
pasien dan keluarganya telah memahami dan menyetujui untuk menerima tindakan medik dari
dokter, dan dapat dijadikan bukti atau pembelaan oleh dokter apabila terjadi tuntutan ganti rugi
dari pihak pasien yang tidak merasa puas atas hasil dari tindakan medis yang dilakukan, bahwa
dokter telah melakukan tindakan medis sesuai dengan yang disepaketi didalam informed
consent.4

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain.1 Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang
berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi
secukupnya.4 Tiga elemen Informed consent

7
1. Threshold elements

Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang
reasonable). Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar
dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai
usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang
dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.4

2. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :

o Standar Praktik Profesi

Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan


bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis Dalam standar ini ada
kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial
setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan,
padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

o Standar Subyektif

Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat

8
keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional
medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien

o Standar pada reasonable person

Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang
awam.

3. Consent elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

Consent dapat diberikan :4

a. Dinyatakan (expressed)

o Dinyatakan secara lisan

o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di


kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi
kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis
menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

b. Tidak dinyatakan (implied)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak
memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-
hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya
ketika akan diambil darahnya.4

PROXY CONSENT

9
Adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa
pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati
apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya
urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara
kandung, dst. Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan
ketat.

Konteks dan Informed Consent4

Doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :

1. Keadaan darurat medis

2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien
yang melepaskan haknya memberikan consent.

5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

Contoh Inform Consent:


SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Alamat :
Telp :

Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang


tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :

10
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir

Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis


berupa…………………………………………………………………………….
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan
penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan
yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.
Jakarta,………………….20……
Dokter/Pelaksana, Yang membuat pernyataan,

Ttd ttd

(……………………) (…………………………..)
*Coret yang tidak perlu

2.5 Aspek dan Dampak Hukum

 Euthanasia dan Bunuh Diri


Pasal 344 KUHP

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.2

Pasal 345 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam pidana penjara paling lama 4
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.2

 Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Jiwa Manusia

11
Pasal 338 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan,
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.2

Pasal 340 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima tahun 2

Dampak Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu
pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien
itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.3

Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar
bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang
sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan
359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal
1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata[11]. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia
belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan
hukum terhadap euthanasia yang dilakukan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah
cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan
perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia
tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak
sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak
melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan
pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter

12
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan
baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter &
rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.3

Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung
makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal
pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang
disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1)
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana
yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu
peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.3

2.6 Rekam Medis

Definisi Rekam Medis

Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud rekam medis adalah


berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan,
pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada
pasien. Catatan merupakan tulisan-tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi mengenai
tindakan-tindakan yang dilakukan kepada pasien dalam rangka palayanan kesehatan.7

Bentuk Rekam Medis dalam berupa manual yaitu tertulis lengkap dan jelas dan dalam bentuk
elektronik sesuai ketentuan.

Rekam medis terdiri dari catatan-catatan data pasien yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan.
Catatan-catatan tersebut sangat penting untuk pelayanan bagi pasien karena dengan data yang
lengkap dapat memberikan informasi dalam menentukan keputusan baik pengobatan,

13
penanganan, tindakan medis dan lainnya. Dokter atau dokter gigi diwajibkan membuat rekam
medis sesuai aturan yang berlaku.7

Isi Rekam Medis

Menurut PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 data-data yang harus dimasukkan


dalam Medical Record dibedakan untuk pasien yang diperiksa di unit rawat jalan dan rawat inap
dan gawat darurat. Setiap pelayanan baik di rawat jalan, rawat inap dan gawat darurat dapat
membuat rekam medis dengan data-data sebagai berikut:7

Pasien Rawat Jalan


Data pasien rawat jalan yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit).
d. Hasil Pemeriksaan fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis
f. Rencana penatalaksanaan
g. Pengobatan dan atau tindakan
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
i. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik dan
j. Persetujuan tindakan bila perlu.

2. Pasien Rawat Inap


Data pasien rawat inap yang dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya antara lain:
a. Identitas Pasien
b. Tanggal dan waktu.
c. Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
d. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
e. Diagnosis
f. Rencana penatalaksanaan
g. Pengobatan dan atau tindakan
h. Persetujuan tindakan bila perlu

14
i. Catatan obsservasi klinis dan hasil pengobatan
j. Ringkasan pulang (discharge summary)
k. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan ksehatan.
l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.
m. Untuk kasus gigi dan dilengkapi dengan odontogram klinik

3. Ruang Gawat Darurat


Data pasien rawat inap yang harus dimasukkan dalam medical record sekurang-kurangnya antara
lain:
a. Identitas Pasien
b. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan
c. Identitas pengantar pasien
d. Tanggal dan waktu.
e. Hasil Anamnesis (sekurang-kurangnya keluhan, riwayat penyakit.
f. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang medis.
g. Diagnosis
h. Pengobatan dan/atau tindakan
i. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan
rencana tindak lanjut.
j. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang
memberikan pelayanan kesehatan.
k. Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana
pelayanan kesehatan lain dan
l. Pelayanan lain yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan tertentu.

Contoh Data-data Identitas Pasien antara lain:

- Nama :
- Jenis Kelamin :
- Tempat Tanggal lahir :
- Umur :

15
- Alamat :
- Pekerjaan :
- Pendidikan :
- Golongan Darah :
- Status pernikahan :
- Nama orang tua :
- Pekerjaan Orang tua :
- Nama suami/istri :

Data-data rekam medis diatas dapat ditambahkan dan dilengkapi sesuai kebutuhan yang ada
dalam palayanan kesehatan.7

2.7 Prosedur Tindakan medis

Anamnesis

Beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada pasien yang menyangkut tanda- tanda kemungkinan
adanya kanker kolon adalah:

1) Perubahan pola defekasi sama ada mengalami konstipasi atau diare.


2) Penurunan berat badan.

3) Hilangnya nafsu makan

4) Terdapat perdarahan lewat anus ( hematochezia atau melena)

5) Teraba benjolan pada perut

6) Sering merasa lelah

7) Faktor- faktor predisposisi seperti:

- Riwayat kanker dalam keluarga

- Riwayat polip usus

16
- Riwayat colitis ulserosa.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di mana dokter memeriksa keadaan
dinding rektum sejauh mungkin dengan jari. Pemeriksaan ini tidak selalu menemukan adanya
kelainan, khususnya kanker yang terjadi di kolon saja dan belum menyebar hingga rektum. Pada
pemeriksaan ini teraba tumor berbenjol, rapuh, tukak, dan mudah berdarah.

Pemeriksaan Laboratorium

Nilai hemaglobin dan Hematocrit biasanya turun dengan indikasi anemia. Hasil tes Gualac
positif untuk accult blood pada feces memperkuat perdarahan pada Gastrointestinal Tract. Pasien
harus menghindari daging, makanan yang mengandung peroksidase (tanaman lobak dan gula
bit), aspirin, vitamin C, obat anti radang ( kortikosteroid) untuk 48 jam sebelum diberikan feces
spesimen.. Makanan-makanan dan obat-obatan tersebut dapat menyebabkan perdarahan dan
memberikan hasil positif palsu pada pemeriksaan. Tes ini dapat ditingkatkan spesifik dan
sensitivitasnya dengan menggunakan immunochemical. Hasil positif pada tes ini sebaiknya
dilanjutkan dengan pemeriksaan colonoskopi.

Dua contoh sampel feses yang terpisah dites selama 3 hari berturut-turut, hasil yang negatif sama
sekali tidak menyampingkan kemungkinan terhadap Ca Colon. Carsinoma Embrionik Antigen
(CEA) mungkin dihubungkan dengan Ca Colon. CEA adalah suatu unsur yang dihasilkan oleh
beberapa sel-sel kanker. Ia adakalanya ditemukan dalam tingkat-tingkat yang tinggi pada pasien-
pasien dengan kanker kolorektal, terutama ketika penyakitnya telah menyebar.

Bagaimanapun ini juga tidak spesifik dengan penyakit dan mungkin berhubungan dengan jinak
atau ganasnya penyakit. CEA sering digunakan sebagai monitor untuk pengobatan yang efektif
dan mengidentifikasi kekambuhan penyakit.

Pemeriksaan fungsi hepar seperti alkali fosfatase, SGPT, SGOT, SGGT, dan LDH dapat
memprediksi kemungkinan metastasis ke hepar.

17
Biopsi juga dapat dilakukan melalui endoskopi. Hasil patologi dari biopsi dapat mendeskripsikan
tipe sel dan gradasi tumor. Tipe sel yang paling sering didapat pada carcinoma colon adalah
adenocarcinoma (95%).

Pemeriksaan Radiografi

1.X-rays dengan Enema Barium

Pemeriksaan dengan enema barium mungkin dapat memperjelas keadaan tumor dan
mengidentifikasikan letaknya. Tes ini mungkin menggambarkan adanya kebuntuan pada isi
perut, dimana terjadi pengurangan ukuran tumor pada lumen. Luka yang kecil kemungkinan
tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium secara umum dilakukan setelah
sigmoidoscopy dan colonoscopy.

Suatu barium enema melibatkan pengambilan x-rays dari usus besar dan rektum setelah pasien
diberikan suatu enema dengan suatu cairan yang putih seperti kapur yang mengandung barium.
Barium memperlihatkan usus-usus besar pada x-rays. Tumor-tumor dan kelainan-kelainan
lainnya tampak sebagai bayangan-bayangan gelap pada x-rays.

2.Colonoscopy

Colonoscopy adalah suatu prosedur di mana dokter memasukkan suatu tabung panjang penglihat
yang lentur kedalam rektum dengan tujuan memeriksa bagian dalam dari seluruh usus besar.
Colonoscopy pada umumnya dipertimbangkan lebih akurat daripada barium enema x-rays,
terutama dalam mendeteksi polip-polip kecil. Jika polip-polip usus besar ditemukan, mereka
biasanya diangkat melalui colonoscope dan dikirim ke ahli patologi. Ahli patologi memeriksa
polip-polip dibawah mikroskop untuk memeriksa kanker. Ketika mayoritas (kebanyakan) dari
polip-polip yang diangkat melalui colonoscopes adalah jinak (ramah), banyak adalah yang belum
bersifat kanker (precancerous). Pengangkatan dari polip-polip sebelum bersifat kanker mencegah
pengembangan dari kanker usus besar dimasa depan dari polip-polip ini.

Jika pertumbuhan-pertumbuhan yang bersifat kanker ditemukan sewaktu colonoscopy, contoh-


contoh jaringan yang kecil (biopsies) dapat diperoleh dan diperiksa dibawah mikoroskop untuk
mengkonfirmasikan diagnosis.

18
3.CT Scan

Computer Tomografi (CT) Scan digunakan untuk membantu dalam memperjelas adanya massa
di kolon dan luas dari penyakit.

4.Pemeriksaan Lain

Chest X-rays dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang jauh yang sudah metastasis.
Jika kanker usus besar dikonfirmasikan oleh suatu biopsy, pemeriksaan-pemeriksaan pementasan
dilakukan untuk menentukan apakah kanker telah menyebar pada organ-organ lain. Karena
kanker kolorektal cenderung untuk menyebar ke paru-paru dan hati, tes-tes pementasan biasanya
memasukkan x-rays dada, ultrasonography, atau suatu scan CAT dari paru-paru, hati, dan perut.

Evaluasi Diagnostik

Bersamaan dengan pemeriksaan abdomen dan rektal, prosedur diagnostik paling penting untuk
kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium, proktosigmoidoskopi,dan
kolonoskopi. Sebanyak 60% dari kasus kanker kolorektal dapat diidentifikasi dengan
sigmoidoskopi dengan biopsi atau apusan sitologi.5

2.8 Penatalaksanaan Medis

Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati dengan cairan IV dan pengisapan nasogastrik.
Apabila terdapat perdarahan yang cukup bermakna, terapi komponen darah dapat diberikan.
Pengobatan tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang berhubungan. Endoskopi,
ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil dalam pentahapan kanker kolorektal pada
periode praoperatif. Metode pentahapan yang dapat digunakan secara luas adalah klasifikasi
Duke:5
a.Kelas A – tumor dibatasi pada mukosa dan sub mukosa
b.Kelas B – penetrasi melalui dinding usus

19
c.Kelas C – Invasi ke dalam sistem limfe yang mengalir regional
d.Kelas D – metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas

Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam bentuk pendukung atau terapi
adjuvan. Terapi adjuvan biasanya diberikan selain pengobatan bedah. Pilihan mencakup
kemoterapi, terapi radiasi atau imunoterapi.

Bedah tetap utama perawatan sementara kemoterapi dan / atau radioterapi mungkin disarankan
tergantung pada pementasan setiap pasien dan faktor-faktor medis lainnya.6

Karena kanker usus terutama mempengaruhi orang-orang tua, dapat menjadi tantangan untuk
menentukan seberapa agresif untuk mengobati pasien tertentu, terutama setelah operasi. Uji
klinis menunjukkan bahwa "dinyatakan fit" pasien tua tarif baik jika mereka memiliki
kemoterapi adjuvan setelah operasi, sehingga usia kronologis sendiri seharusnya tidak menjadi
kontraindikasi untuk manajemen agresif. 6

Penatalaksanaan Bedah

Pembedahan adalah tindakan primer untuk kebanyakan kanker kolon dan rektal. Pembedahan
dapat bersifat kuratif atau paliatif. Kanker yang terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan
kolonoskopi. Kolostomi laparoskopik dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru
dikembangkan untuk meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskopi
digunakan sebagai pedoman dalam membuat keputusan dikolon; massa tumor kemudian di
eksisi. Laser Nd: YAG telah terbukti efektif pada beberapa lesi. Reseksi usus diindikasikan ntuk
kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk
mengatasi kanker kolon kelas D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif. Apabila
tumor telah menyebar dan mencakup struktur vital sekitar, operasi tidak dapat dilakukan.5

Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur pembedahan pilihan adalah
sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993) :

a. Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada sisis
pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)

20
b. Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen (pengangkatan tumor
dan porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter anal)
c. Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anostomosis serta
reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan dekompresi usus awal dan persiapan
usus sebelum reseksi)
d. Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang tidak
dapat direseksi)

I.Diversi Fekal Untuk Kanker Kolon Dan Rektum

Berkenaan dengan teknik perbaikan melalui pembedahan, kolostomi dilakukan pada kurang
dari sepertiga pasien kanker kolorektal. Kolostomi adalah pembuatan lubang(stoma) pada kolon
secara bedah. Stoma ini dapat berfungsi sebagai diversi sementara atau permanen. Ini
memungkinkan drainase atau evakuasi isi kolon keluar tubuh. Konsistensi drainase dihubungkan
dengan penempatan kolostomi, yang ditentukan olehlokasi tumor dan luasnya invasi pada
jaringan sekitar.

Terapi adjuvan

Kemoterapi

Kemoterapi digunakan untuk mengurangi kemungkinan metastasis berkembang, mengecilkan


ukuran tumor, atau pertumbuhan tumor lambat. Kemoterapi seringkali digunakan setelah operasi
(ajuvan), sebelum operasi (neo-adjuvant), atau sebagai terapi utama (paliatif). Perlakuan yang
tercantum di sini telah ditunjukkan dalam uji klinis untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
/ atau mengurangi tingkat kematian dan telah disetujui untuk digunakan oleh US Food and Drug
Administration. Pada kanker usus besar, kemoterapi setelah operasi biasanya hanya diberikan
jika kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening (Tahap III).6

21
Terapi adjuvan standar yang diberikan untuk pasien dengan kanker kolon kelas C adalah program
5-FU/ Levamesole. Pasien dengan kanker rektal Kelas B dan C diberikan 5-FU dan metil CCNU
dan dosis tinggi radiasi pelvis.5

Radiasi

Radioterapi tidak digunakan secara rutin dalam kanker usus besar, karena dapat menyebabkan
enteritis radiasi, dan sulit untuk menargetkan bagian tertentu dari usus besar. Hal ini lebih umum
untuk radiasi yang akan digunakan pada kanker dubur, karena dubur tidak bergerak sebanyak
usus besar dan dengan demikian mudah untuk target. Indikasi meliputi:

 Kanker usus
o rasa sakit dan paliatif - ditargetkan pada deposito tumor metastasis jika mereka
kompres struktur vital dan / atau menimbulkan rasa sakit

o Kanker dubur

 neoadjuvant - diberikan sebelum operasi pada pasien dengan tumor yang


memperpanjang di luar dubur atau telah menyebar ke kelenjar getah
bening regional, dalam rangka mengurangi risiko kekambuhan setelah
operasi atau membiarkan selama kurang pendekatan bedah invasif (seperti
reseksi anterior rendah daripada suatu abdomino-perineal resection)

 ajuvan - mana tumor perforates rektum atau melibatkan kelenjar getah


bening regional (AJCC T3 atau T4 tumor atau Duke B atau tumor C)

 paliatif - untuk mengurangi beban tumor dalam rangka untuk meringankan


atau mencegah gejala-gejala

Kadang-kadang agen kemoterapi digunakan untuk meningkatkan efektivitas radiasi oleh


sensitasi sel tumor jika ada.6 Terapi radiasi sekarang digunakan pada periode praoperatif,
intraoperatif dan pascaoperatif untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari
pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor yang tidak dioperasi atau
tidak dapat disekresi, radiasi digunakan untuk menghilangkan gejala secara bermakna. Alat
radiasi intrakavitas yang dapat diimplantasikan dapat digunakan.5

22
Operasi kolorektal dapat mengakibatkan komplikasi termasuk:

 luka infeksi, Dehiscence (ledakan luka) atau hernia


 anastomosis gangguan, yang menyebabkan pembentukan abses atau fistula, dan / atau
peritonitis

 perdarahan dengan atau tanpa pembentukan hematoma

 perlekatan mengakibatkan obstruksi usus. Sebuah studi 5 tahun pasien yang telah
dioperasi pada tahun 1997 menemukan risiko diterima kembali rumah sakit untuk
menjadi 15% setelah panproctocolectomy, 9% setelah kolektomi total, dan 11% setelah
ileostomy

 organ yang berdekatan cedera; paling sering ke usus kecil, ureter, limpa, atau kandung
kemih

 Kardiorespirasi komplikasi seperti infark miokard, pneumonia, aritmia, pulmonary


embolism dll

Aspirin

Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2009 menemukan bahwa Aspirin mengurangi risiko
neoplasia kolorektal dalam percobaan acak dan menghambat pertumbuhan tumor dan metastasis
pada hewan model. Pengaruh aspirin terhadap kelangsungan hidup setelah diagnosis kanker
kolorektal tidak diketahui. Beberapa laporan termasuk kohort prospektif 1.279 orang didiagnosis
dengan tahap I-III (non-metastasis) kanker kolorektal telah menyarankan perbaikan yang
signifikan pada kelangsungan hidup kanker tertentu dalam subset dari pasien yang menggunakan
aspirin.6

Dukungan terapi

Diagnosis Kanker sangat sering mengakibatkan perubahan besar dalam kesejahteraan psikologis
pasien. Berbagai sumber daya dukungan yang tersedia dari rumah sakit dan lembaga lain yang
memberikan konseling, dukungan pelayanan sosial, kelompok kanker dukungan, dan layanan
lainnya. Layanan ini membantu untuk mengurangi kesulitan-kesulitan untuk mengintegrasikan
komplikasi medis pasien ke bagian lain dari kehidupan mereka.

23
Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada pasien dengan penyakit terminal
atau penyakit dalam kondisi paliatif, seperti kanker, HIV AIDS, dan penyakit kronis lainnya.
Depresi pada pasien dengan penyakit terminal sering terlambat dikenali dan diobati secara tidak
adekuat. Komorbiditas depresi dengan penyakit fisik kronis akan memperburuk perjalanan
penyakit sehingga memperpanjang lama perawatan di rumah sakit dan meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas. Jika dibiarkan dan tidak ditangani dengan baik, depresi akan
menurunkan kualitas hidup pasien dengan penyakit terminal. Pengelolaan depresi akan lebih
optimal jika dibentuk kerjasama terapeutik yang baik antara terapis, pasien dan keluarga.
Pendekatan terapi ada berbagai macam tergantung berat ringannya depresi yang dialami pasien,
yaitu berupa pendekatan farmakoterapi yaitu dengan pemberian obat anti-depresan, dan
pendekatan psikososial.

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan kasus, pasien meminta untuk diberikan terapi minimal saja dan dia ingin mati
dengan tenang dan wajar. Prinsip etika yang diperlihatkan disini adalah otonomi pasien. Keadaan
pasien cukup sadar dan seharusnya bisa diberikan terapi yang tepat untuk meminimalisasikan
penderitaannnya. Namun hak pasien untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan
medis terhadapnya.

Pada umumnya tidak dapat dibenarkan dilakukannya tindakan euthanasia aktif. Mereka yang
menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang
dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan
pasien. Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan
tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kematian
semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak
mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.

Euthanasia pasif hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan masak-masak tentang


keadaan penyakit pasien (diagnosis, prognosis dan faktor-faktor lain yang terkait), keinginan
pasien, sifat tindakan medis yang sedang dilakukan, dan pertimbangan etik-sosial-hukum.

24
Walaupun dokter yang melakukan euthanasia dikatakan melanggar Etika Profesi Kedokteran,
tetapi menurut Pasal 1 KUHP, dokter tidak dapat dikenakan tindakan pidana kerana belum ada
ketentuan yang jelas mengenai larangan euthanasia dalam hukum.

Daftar pustaka

1. Euthanasia. http://www.freewebs.com/euthanasiabs/physicianassisted.htm. tahun 2009

diunduh pada 24 Januari 2011.

2. Euthanasia dan Bunuh Diri, Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Profesi Dokter,

Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran, Kedokteran Forensik, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Cetakan ke dua, Tahun 1994. Halaman 37- 41.

3. Euthanasia: Tinjauan Dari Segi Medis Etis dan Moral.

http://johnkoplo.wordpress.com/2008/05/30/euthanasia-tinjauan-dari-segi-medis-etis-

dan-moral/. Tahun 2008. diunduh pada 24 Januari 2011.

4. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu dan Tjetjep Dwidja Siswaja. Bioetik Dan Hukum

Kedokteran. Cetakan kedua tahun 2007. Informed Consent. Halaman 79.

5. Kanker kolon. http://www.scribd.com/doc/8343664/KANKER-KOLON tahun 2009

diunduh pada 23 Januari 2011.

6. Kanker Kolorektal Manajemen.http://www.news-medical.net/health/Colorectal-Cancer-

Management-(Indonesian).aspx tahun 2011 diunduh pada 23 Januari 2011.

25
7. Rekam Kesehatan. http://rekamkesehatan.wordpress.com/2009/02/25/definisi-dan-isi-

rekam-medis-sesuai-permenkes-no-269menkesperiii2008/ tahun 2009 diunduh pada 24

Januari 2011.

26

Anda mungkin juga menyukai