Seorang pasien berusia 62 tahun dating ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah
terminal. Pasien masih cuku sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya sahaja. Oleh itu , ia meminta kepada dokter apabila ia mendekati
ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja( tanpa antibiotic , tanpa peralatan IU) dan ingin
mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan
penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.
Pendahuluan.
Berdasarkan kasus diatas permasalahan utamanya ialah seorang pasien berumur 62 tahun
yang menderita karsinoma kolon pada fasa terminal meminta diterapi minimal sahaja. Apa yang
akan dibahaskan berkaitan dengan kasus dia atas adalah prinsip-prinsip etika kedokteran,
peraturan yang terkait seperti informes consent dan dampak hukum yang mungkin timbul dari
keputusan dokter. Pada dasarnya suatu profesi memiliki 3 syarat utama yaitu, diperoleh dari
pelatihan ekstensis, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya
dan memberikan pelayanan penting kepada masyarakat.
Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran sebagai
konsekuensi dan kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan hubungan tersebut.
Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontralektual namun mengingati sifat praktek
kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukan lah hasil yang
akan dicapai melainkan upaya yang sungguh-sungguh.1
Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan
dokter-pasien maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan dokter-pasien berdasar
atas virtue sebagai hubungan paling cocok bagi hubungan dokter-pasien.
Berdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak –hak pasien pada dasarnya terdiri
dari dua hak yaitu the right to health care dan the right to self determination. Secara tegas dan
World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Right of the Patient
(1991) yaitu memilih dokter bebas, hak dirawat oleh dokter yang bebas membuat keputusan
klinis dan etis hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang
adekuat, hak untuk dihormati kerahsiaaan dirinya, hak untuk mati secara bermartabat atau
menolak dukungan secara spiritual atau moral. Undang-undang kesehatan menyebut beberapa
hak pasien seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk mememberikan
persetujuan atau menolak tindakan medis, hak untuk kerahsiaan, hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan hak untuk mendapatkan ganti rugi.1
Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis yang
dipenuhi dengan makanan dan minuman, kebutuhan psikologis yang dipeuhi dengan rasa
kepuasan, istirahat dan santai, kebutuhan social yang dipenuhi dengan keluarga, teman dan
komuniti dan kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan
kebenaran cinta. 2
Beaucham and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan
etik diperlukan 4kaidah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya. Keempat dasar moral
tersebut adalah: 2
1. Prinsip otonomi.
Prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama otonomi pasien. Prinsip moral
inilah yang kemudia melahirkan dokrin informes-consent.
2. Prinsip beneficience.
Prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kebaikan pasien . dalam
beneficience tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga
perbuatan yang sisi baiknya lebih besar daripada sisi buruknya.
3. Prinsip non – malafiience.
Prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai “ primum non nocere “ atau “ abovr all da no harm “
4. Prinsip justice
Prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap mendistribusikan daya
Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights dan
individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk
memutuskan nasibnya sendiri, sedangakn John S Mills berkata bahwa control social atas
seseorang hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang lain. Suatu
tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan
melanggar hukum. Prinsip otonomi pasien dianggap sebagai doktrin informed-consent.
Tindakan mesid terhadap pasien harus mendapat persetujuan dari pasien tersebut, setelah ia
menerima dan memahami informasi yang diperlukan.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan
etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan
pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka
pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat
pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya.
Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, demikian pula sebaliknya. 7
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.1
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek
Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan
rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain
yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan
adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara
pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah,
tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada
informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih
tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan
tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan
pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable
doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence
dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada
perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan
pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan. 7
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi,
yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. 7
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.6
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Informed-consent.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak dilakukan
oleh pasien.informed-consent memiliki 3 elemen: 1,2
1. Threshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elem oleh karena sifatnya lebih kea
rah syarat yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten di sini
diartikan kapasitas untuk membuat keputusan. Kompetensi manusia untuk membuat
keputusan merupakan suatu continuum dari sama sekali tidak memiliki kompetensi
sehingga memiliki kompetensi yang penuh.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari 2 bagian yaitu disclosure dan understanding. Pengertian “
berdasarkan pemahaman yang adekuat “ membawa konsekuensi kepada tenaga medis
untuk memberikan informasi sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman
yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa “baik” informasi harus diberikan kepada pasien
dapat dilihat dari 3 standard yaitu:
Standard praktek profesi.
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan criteria ke-adekuat-an informasi ditentukan
bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Standard ini terlalu
mengacu kepada nilai-nilai yang ada di dalam komunitas kedokteran, tanpa
memperhatikan kengintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan
menerima informasi tersebut.
Standar subjektif.
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi
sehingaa informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan .
Standar pada reasonable person.
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umunya orang
awam.
3. Consent elements
Elemen ini juga terdiri dari 2 bagian yaitu kesukarelaan dan persetujuan. Kesukarelaan
mengharuskan tidak adanya unsure penipuan atau paksaanl. Pasien juga harus bebas dari
tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila
menyetujui tawarannya. Consent diberikan secara dua cara :3
Dinyatakan :
Dinyatakan dalam lisan
Dinyaakan secara bertulis. Pertanyaan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan
bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasive yag
mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna.
Tidak dinyatakan:
Pasien tidak menyatakan baik secara lisan maupun tertulus, namun melakukan tingkap laku yang
menunjukkan jawapannya. Meskipun consent jenis ini tidak mempunyai bukti namun consent ini
yang paling banyak dilakukan sehari-hari.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal –hal yang dinyatakan sebelumnya, tidak
dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat
bertindak melebihi disepakati apabila gawat darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu
yang singkat untuk menyelesaikannya.
Komunikasi dan Persetujuan.
Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti etika
kedokteransaat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai perawatan kesehatan
mereka telahdiabadikan dalam aturan hukum dan etika di seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak
Pasien dari WMA menyatakan:Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam
membuat keputusanyang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien
konsekuensidari keputusan yang diambil. Pasien dewasa yang sehat mentalnmya memiliki hak
untuk memberi ijin atau tidak memberi ijin terhadap prosedur diagnosa maupunterapi. Pasien
mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untukmengambil keputusannya.
Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tesatau pengobatan, hasil apa yang akan
diperoleh, dan apa dampaknya jika menundakeputusan.Kondisi yang diperlukan agar tercapai
persetujuan yang benar adalah komunikasi yang baikantara dokter dengan pasien. Jika
paternalisme medis adalah suatu yang normal, makakomunikasi adalah suatu yang mudah karena
hanya merupakan perintah dokter dan pasienhanya menerima saja terhadap suatu tindakan medis.
Saat ini komunikasi memerlukan sesuatuyang lebih dari dokter karena dokter harus memberikan
semua informasi yang diperlukanpasien dalam pengambilan keputusan. Ini termasuk
menerangkan diagnosa medis, prognosis,dan regimen terapi yang konpleks dengan bahasa
sederhana agar pasien paham mengenaipilihan-pilihan terapi yang ada, termasuk keuntungan dan
kerugian dari masing-masingterapi, menjawab semua pertanyaan yang mungkin diajukan, serta
memahami apapunkeputusan pasien serta alasannya. Ketrampilan komunikasi yang baik tidak
dimiliki begitusaja namun harus dibangun dan dijaga dengan usaha yang disadari penuh
dandireview secara periodik. 2
Dua hambatan besar dalam komunikasi dokter-pasien yang baik adalah perbedaan budaya
danbahasa. Jika dokter dan pasien tidak berbicara dalam bahasa yang sama maka diperlukan
seorang penterjemah. Sayangnya dalam banyak situasi tidak ada penterjemah yang memadahi
dan dokter harus mencari orang yang tepat untuk pekerjaan ini. Budaya dapat memunculkan
masalah dalam komunikasi karena perbedaan pemahaman budaya tentang penyebab, dan sifat
dari penyakit dapat menyebabkan pasien tidak paham terhadap diagnosis dan perawatan yang
diberikan. Dalam situasi seperti ini dokter harus membuat segala usaha yang mungkin untuk
dapat memahamkan pasien terhadap kesehatan dan penyembuhan serta mengkomunikasikan
saran-sarannya kepada pasien sebaik mungkin.
Jika dokter berhasil mengkomunikasikan semua informasi yang diperlukan oleh pasien
danjika pasien tersebut ingin mengetahui diagnosa, prognosis, dan pilihan terapi yang
dijalani,maka kemudian pasien akan berada dalam posisi dapat membuat keputusan
berdasarkanpemahamannya tentang bagaimana menindaklanjutinya. Walaupun istilah ijin
mengandungpengertian menerima perlakuan yang diberikan, namun konsep ijin berdasarkan
pengetahuandan pemahaman juga bermakna sama dengan penolakan terhadap terapi atau
memilih diantara beberapa alternatif terapi. Pasien yang kompeten mempunyai hak untuk
menolakperawatan, walaupun penolakan tersebut dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.
Ada dua perkecualian syarat untuk mendapatkan ijin berdasarkan pemahaman oleh pasien yang
kompeten: 2
1. Keadaan dimana pasien memberikan secara sukarela hak pengambilan keputusan
kepadadokter atau pihak ketiga. Karena kompleksitas masalah atau karena pasien percaya
sepenuhnya kepada penilaian dokter, maka pasien dapat saja mengatakan ”Lakukan apa
yang menurut anda yang terbaik”. Dokter tidak boleh terlalu berani bertindak karena
mendapat permintaan seperti itu, namun harus tetap memberi pasien informasi dasar
mengenai pilihan tindakan yang ada dan tetap menyemangati pasien untuk mengambil
keputusan sendiri. Namun setelah diberitahu dan didorong paisen tetap menyerahkan
keputusan kepada dokter, dokter harus bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien.
2. Keadaan dimana penyampaian informasi kepada pasien dapat menyakiti pasien. Konsep
therapeutic privilege (hak istimewa terapi) dapat digunakan dalam kasus tersebut
dimana dokter diijinkan menyimpan informasi medis jika ternyata menyampaikannya
dapat membahayakan atau menyakiti pasien secara emosional, psikologi, fisik dirinya
atau orang lain; seperti jika pasien dapat melakukan tindakan bunuh diri jika diagnosa
ternyata mengindikasikan adanya penyakit stadium terminal. Hak istimewa ini sangat
mungkin disalahgunakan, sehingga dokter hanya boleh menggunakannya dalam keadaan
yang ekstrim. Dokter harus mengawali dengan anggapan bahwa semua orang pasien
dapat menghadapi semua fakta dan tetap mencoba terbuka terhadap kasus-kasus dimana
dokter menganggap bahwa akan lebih membahayakan jika mengatakan kebenaran
disbanding tidak mengatakannya.
Dalam beberapa budaya masih dianut bahwa dokter tidak harus memberitahukan
informasikepada pasien dengan diagnosis penyakit stadium terminal. Hal tersebut dikarenakan
dirasaakan menyebabkan pasien putus asa dan menyebabkan sisa hidupnya lebih menderita
dibanding jika masih ada harapan untuk sembuh. Hampir di seluruh dunia sangat umum kita
jumpai bahwa anggota keluarga pasien meminta dokter untuk tidak mengatakan kepada pasien
bahwa mereka sekarat. Dokter haruslah sensitif terhadap budaya dan juga faktor-faktor personal
saat memberitahukan kabar buruk, terlebih lagi yang menyangkut kematian.3
Walaupun demikian hak pasien terhadap persetujuan tindakan berdasarkan pemahaman
telahditerima lebih luas dan dokter memiliki tugas utama membantu pasien menggunakan hak
tersebut.Sejalan dengan perkembangan tren anggapan bahwa pelayanan kesehatan merupakan
produkkonsumen dan pasien adalah konsumen, pasien dan keluarganya secara teratur meminta
aksesterhadap pelayanan medis yang menurut pendapat dokter tidak tepat. Contohnya adalah
permintaan antibiotik untuk infeksi virus sampai perawatan intensif pasien dengan otak yang
sudah mati atau prosedur pembedahan atau pemberian obat-obatan yang menjajikan
namunbelum terbukti. Beberapa pasien mengklaim hak mendapatkan layanan medis apapun
yang dirasa dapat menguntungkan mereka, dan sering dokter hanya menyetujuinya bahkan
dokter yakin bahwa pilihan tersebut tidak memberikan keuntungan medis terhadap kondisi
pasien. Masalah ini dapat menjadi serius jika sumber terbatas dan memberikan tindakan yang
sia-sia atau tidak menguntungkan terhadap seorang pasien berarti membiarkan pasien lain tidak
terawat atau tidak menerima tindakan. 1
Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik,
dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa
rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death,
atau enjoy death (mati dengan tenang). 4
Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini
secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju
menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju
menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan. Sejumlah pakar
dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang,
namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan yuridis masih mengundang berbagai
ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.4
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari
itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun
untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi
kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang
bersangkutan menghendakinya. 5
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan
perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini,
euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya
merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini
maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak
masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Agar persoalan euthanasia ini dapat dibahas dengan sewajarnya sebaiknya arti kata-
katanya diuraikan dengan lebih seksama lagi. Secara etimologis di zaman kuno berarti kematian
tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi memakai arti asli, melainkan
lebih terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan orang sakit atau orang
yang berada pada sakarotul maut, bahkan kadang-kadang disertai bahaya mengakhiri kehidupan
sebelum waktunya. Akhirnya kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit sehingga makna dan
artinya adalah mematikan karena belas kasihan.
Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa
sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan
pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu 4
1. Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan
dalam menghadapi kematian.
2. Pemakaian secara luas
Secara luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa
sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
3. Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak
lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan
pasien.
Beberapa ahli membedakan ketiga cara tersebut, tetapi pada hemat penulis apapun
istilahnya ketiga cara tersebut adalah tindakan euthanasia. Beberapa pengertian tentang
terminologi euthanasia:
1. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi,
euthanasia diartikan:
Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup
pasien.
Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien.
2. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti;
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk
yang beriman dengan nama Allah dibibir.
Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat
penenang.
Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah
sebagai berikut:
1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
3). Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
4). Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
B.Macam-macam Euthanasia 5
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana
datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif.
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. euthanasia aktif
2. euthanasia pasif
3. euthanasia volunter
4. euthanasia involunter
Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk
mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan
penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan.
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan
medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi
tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang
dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan
tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan
lainnya.
Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan
akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian
atas permintaan sendiri.
Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan
tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap
famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit
dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam
yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi
seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain
euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang
bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek
samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk
pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat
memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan
pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau
bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan
pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan
pemerintah.
1. Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat dialami
pasien.
2. Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan berlangsung tiada
henti-hentinya.
3. Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-kemungkinan alternatif
yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara pelbagai kemungkinan yang ada
dan sesungguhnya telah pula melakukan pilihannya.
4. Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
5. Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita tanpa alasan.
6. Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
7. Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang dokter, yang
akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan dipakai.
8. Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu perlu
diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin sesuai dengan
kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan dalam perembukan beberapa
teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.
Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, maka perlu difahami
tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga kini. Perubahan pengertian ini berkaitan
dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-mesin penopang hidup dan kemajuan
dalam perawatan intensif. Dahulu, apabila jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang
sudah dinyatakan mati dan tidak perlu diberi pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah,
dalam perawatan intensif (di rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan ahlinya) jantung yang
sudah berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar kembali
kembang kempis. Bila demikian, apa yang dimaksud dengan "mati"?.2
Hak-Hak Pasien
Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan pencarian
pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan banyak hak dalam konteks
pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan atas hak pasien. Dalam hal ini
penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan
dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk
memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang
cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.
"hak pasien", dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang mewah, sebab
masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien
itu. Berbicara tentang "hak pasien" yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak
utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to
health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu,
yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga
kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.
Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-
hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya,
hak untuk mendapatkan pendapat kedua.
Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas informasi
Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang tidak tahu, ia
tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat menguasai situasi. Kemungkinan
untuk memperoleh informasi merupakan syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien
tidak mempunyai kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.
b. Hak atas persetujuan
Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga terproses sejalan
dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak
untuk menentukan diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas
dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk menerima atau menolak
tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi.
c. Hak untuk menolak pengobatan
Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu
pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak bisa dihindarkan
konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak pengobatan. Penolakan seperti ini
sebagai perwujudan otonomi pasien dalam hak menentukan dirinya.
d. Hak atas privacy
Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis dalam
hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika konfidensialitas tidak dapat dijamin,
maka orang akan enggan mencari bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter
dan pasien.
e. Hak atas pendapat kedua
Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara dokter pertama
dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada
dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.
f. Catatan medis di rumah sakit
Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan.
Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan hak
otonominya.
Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter tidak lagi
mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau tidak membohongi pasien
yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya dengan memberikan resep tetentu atau
dengan memberikan medikasi lainnya. Dan berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang
memetikan sekalipun pasien telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien,
Hippocrates tetap menolak tindakan euthanasia aktif. Disamping itu dokter tidak harus terus
berupaya mengobati penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila
pengobatan atau perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten
lagi untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.
Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan masalah
euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:
"Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani."
Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si sakit
bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus
mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan
terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang membahayakan. Tindakan ini
diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan
jiwa si sakit selain pembedahan, yang selalu mengandung resiko.
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya.
Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan
demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya maut
adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup
makhluk insani. Hal ini, berarti doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun
menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.
Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif.
Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics
must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara
kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).
Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada pandangan-
pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif. Begitu juga dengan kode
etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.
Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik
dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya, dan
juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan kehidupannya, karena kematiannya
sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap
dilakukan. Asalkan jangan mengada-ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan
medik itu sudah tidak diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari
keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.
Adalah tugas ilmu kedokteran untuk memebantu meringankan penderitaan pasien, atau
bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-
benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu
meringankan penderitaanya, walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat
mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).
b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif terjadi terrjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara
sengaja tidak memberikan bantuan medik terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.
Untuk dapat memudahkan euthanasia pasif ini juga dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1). Euthanasia pasif atas permintaan pasien
Tidak dihukum
2). Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien
Pasal 304 KUHP- Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu
dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."
Dua masalah yang pantas mendapat perhatian khusus: euthanasia dan bantuan bunuh diri.
EUTHANASIA ;adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelas
dimaksudkan untuk mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemen berikut:
subjek tersebut adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri; agen mengetahui tentang kondisi
pasien dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama mengakhiri
hidup orang tersebut; dan tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi.2
BANTUAN BUNUH DIRI; berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang
pengetahuan atau alat atau keduanya yang diperlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk
konseling mengenai obat dosis letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikannnya.
Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan sering dianggap sama secara moral, walaupun antara
keduanya ada perbedaan yang jauh secara praktek maupun dalam hal yuridiksi legal.2
Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan secara definisi harus dibedakan dengan
menunda atau menghentikan perawatan medis yang tidak diinginkan, sia-sia atau tidak tepat atau
ketentuan perawatan paliatif, bahkan jika tindakan-tindakan tersebut dapat memperpendek hidup.
Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebgai akibat dari rasa sakit atau
penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan. Mereka lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap mereka
mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati. Dokter dianggap
sebagai instrumen kematian yang paling tepat karena mereka mempunyai pengetahuan medis
dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa
rasa sakit. Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi permintaan tersebut karena
merupakan tindakan yang ilegal di sebagian besar negara dan dilarang dalam sebagian besar
kode etik kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan telah
dinyatakan kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia:
Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera, tetaplah
tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya. Hal ini tetap saja
tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan pasien untuk membiarkan
proses kematian alami dalam keadaan sakit tahap terminal. Penolakan terhadap euthanasia dan
bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak dapat melakukan apapun bagi pasien dengan
penyakit yang mengancam jiwa pada stadium lanjut dan dimana tindakan kuratif tidak tepat.
Pada tahun-tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk
mengurangi rasa sakit dan penderitaan serta meningkatkan kualitas hidup. Semua dokter yang
merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup ketrampilan dalam
masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari ahli
pengobatan paliatif. Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat
namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin
disembuhkan Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada
pasien, wakil pasein dalam mengambil keputusan, dan juga dokter. Kemungkinan
memperpanjang hidup dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, prosedur radiologi,
dan perawatan intensif memerlukan keputusan mengenai kapan memulai tindakan tersebut dan
kapan menghentikannya jika tidak berhasil.
Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan komunikasi dan ijin, pasien yang
kompeten mempunyai hak untuk menolak tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu
dapat menyebabkan kematian. Setiap orang berbeda dalam menanggapi kematian; beberapa akan
melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak peduli seberapapun sakit dan
menderitanya; sedang yang lain sangat ingin mati sehingga menolak bahkan tindakan yang
sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup seperti antibiotik untuk pneumonia bakteri.
Jika dokter telah melakukan setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien semua informasi
tentang perawatan yang ada serta kemungkinan keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati
keputusan pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.
Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten
memunculkan kesulitan yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan
keinginannya sebelumnya seperti menggunakan bantuan hidup lanjut, keputusan akan lebih
mudah walaupun bantuan seperti itu kadang sangat samar-samar dan harus diinterpretasikan
berdasarkan kondisi aktual pasien. Jika pasien tidak menyatakan keinginannnya dengan
jelas,wakil pasien dalam mengambil keputusan harus menggunakan kriteria-kriteria lain untuk
keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik pasien.
Rekam Medis
Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang dimaksud dengan rekam medis
adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis dijelaskan bahwa
rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan. 8
UU RI No 23 Tahun 1992
Pasal 53 ayat (2) Penjelasan
Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan
perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan
hak pasien , antara lain adalah:10
• Hak informasi
• Hak untuk memberikan persetujuan
• Hak atas rahasia kedokteran
• Hak atas pendapat kedua (second opinion)
UU RI No 29 Tahun 2004
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri
atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan Praktik Kedokteran mempunyai kewajiban
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
UU RI No 29 Tahun 2004
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
(c). Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Sanksi kalau seorang dokter tidak membuat rekam medis 8
UU RI No 29 Tahun 2004
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
(b) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
Dalam lingkungan masyarakat ada beberapa jenis profesi seperti guru, jurnalis, advokat,
hakim, jaksa dan sebagainya Bila dibandingkan dengan profesi lainnya sebagaimana disebutkan
terdahulu, profesi kedokteran mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan profesi
lain. khususan profesi kedokeran terletak pada sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan
rata-rata dan dokter sebagai pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian, dan rasa
pengabdian yang tinggi (Nasution 2005: 38). 11
Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman
yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar pelayanan
medik yang terutama dititik beratkan pad proses tindakan medik (Komalawati, 2002:
177).
Standar profesi dalam bentuk standar pelayanan medik ini juga harus dipakai acuan oleh
Rumah Sakit, karena prosedur tetap di dalam standar profesi dibuat sesuai dengan setiap bidang
spesialisasi, fasilitas dan sumber daya yang tersedia.
Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman
yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar pelayanan
medik yang terutama dititik beratkan pad proses tindakan medik (Komalawati, 2002:
177).
Dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan harus berpegang pada tiga ukuran
umum meliputi:
a. kewenangan;
b. kemampuan rata-rata;
c. ketelitian yang umum.
Kewenangan
Dalam menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, banyak faktor yang harus
dipertimbangkan. Selain dan faktor pengalaman tenaga kesehatan yang bersangkutan fasilitas,
sarana prasarana di daerah tempat tenaga kesehatan (dokter) tersebut bekerja juga ikut
mempengaruhi sikap dokter dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga sangat sulit untuk.
menentukan standar kemampuan rata-rata ini.
Untuk menentukan ketelitian umum, harus berdasarkan ketelitian yang dilakukan oleh dokter
dalam melaksanakan pekerjaan dan situasi yang sama. Tolak ukur untuk menentukan ketelitian
mi sangat sulit, karena setiap bidang keahlian mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang
seharusnya bisa dituangkan di dalam “Standar Umum”
Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan
kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi.Penjelasan pasal 50 ini, merupakan penjelasan dan pasal 50 sub a yang menyebutkan
bahwa dokter yang melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar
operasional prosedur, berhak memperoleh perlindungan hukum. Kemudian di dalam pasal 50 sub
b disebutkan lebih Lanjut bahwa memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional juga merupakan hak dokter.
Dan bunyi pasal 50 sub a dan b dan penjelasannya tersebut, dapat diketahui bahwa
undang-undang menghendaki di dalam pelaksanaan praktik kedokteran, dokter berhak untuk
melaksanakan praktik sesuai dengan standar profesi, dan bila telah melaksanakan pratik sesuai
standar profesi yang berlaku, maka ia berhak mendapat perlindungan hukum.
Dan standar profesi yang dijelaskan di dalam penjelasan pasal 50, maka dapat diuraikan
unsur-unsur dan standar profesi sebagai berikut:11
3. Kemampuan yang terdiri dan 3 (tiga) unsur tersebut, harus dikuasai oleh seorang individu
(dokter yang melakukan praktik kedokteran).
4. Kemampuan tersebut juga merupakan syarat untuk diizinkannva seorang dokter melakukan
kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri.
5. Yang berhak membuat standar profesi menurut undang-undang Praktik Kedokteran adalah
organisasi profesi. Organisasi profesi dari dokter yang berlaku saat ini adalah Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), yang dalam hal standar profesi dan masing-masing bidang spesialisasi, dapat
diserahkan kepada masing-masing ikatan profesi di dalam bidang spesialisasi tersebut.
Selain standar profesi, undang-undang juga menyebutkan adanya standar prosedur operasional
yang diartikan di dalam penjelasan pasal 50 UU Praktik Kedokteran sebagai berikut:
Tujuan dibuatnya standar prosedur operasional ini adalah untuk memberikan langkah
yang benar dan terbaik berdasar konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan
fungsi pelayanan. Sedangkan yang berhak membuat standar prosedur pelayanan adalah sarana
pelayanan kesehatan, dan perbuatanya tetap mengacu atau berpedoman kepada standar profesi,
atau dengan perkataan lain standar prosedur operasional tidak boleh menyimpangi dan standar
profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.
Pekerjaan profesi yang dilakukan oleh seorang dokter hendaknya dilandasi oleh dua
prinsip perilaku yang mendasar, yaitu kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien, dan
sedapat mungkin tidak menyakiti, mencederai maupun merugikan pasiennya. Dalam mengemban
profesinya inilah dokter harus selalu berpedoman kepada Standar Profesi yang berlaku berupa
standar pelayanan medis (Nasution 2005: 42). 11
Wiradharma (1996:80) menyebutkan beberapa landasan pola pikir dalam pelaksanaan Standar
Profesi Medis sebagai berikut:
1. Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu kedokteran, ke arah tujuan pengobatan
atau perawatan yang konkrit, artinya upaya yang dilakukan harus profesional dengan hasil yang
ingin dicapai.
2. Dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
sat ini.
3. Tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, tanpa kelalaian, yang tolak
ukurnya adalah dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter
lain dan bidang keahlian yang sama yang kemampuannya rata-rata bila berhadapan dengan kasus
seperti itu dengan situasi kondisi yang sama.11
Dampak Hukum.
Berdasarkan kasus di atas di mana seorang pasien tua yang menderita karsinoma kolon
tahap lanjut meminta diterapi minimal sahaja. Kasus ini termasuk dalam euthanasia pasif dan
permintaan pasien tidak akan dipidana. Namun sekiranya Euthanasia pasif tanpa permintaan
pasien tetap dihukum pidana yaitu pasal:
Pasal 304 KUHP- Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu
dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."
Walaupun berdasarkan hukum tidak akan dipidana , namun komunikasi efektif antara dokter
dengan keluarga pasien diperlukan yaitu informed consent supaya diakhirnya tidak ada
ketidaksalahfahaman. Sebagai dokter yang kompeten sudah seharusnya kita melakukan yang
terbaik untuk pasien.
Kesimpulan
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi
nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah
euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas
permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang
sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya
‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan
untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang.
Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-
mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu
masyarakat tertentu. Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata
terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang
sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:
- Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit
untuk pengusutan lebih lanjut.
- Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat
Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
- Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun
ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah
kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk
dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya. Apapun
alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat
digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia hendaknya tidak
secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-
macam. Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal &
tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda
misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa kasus
nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang.
Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi
perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya
atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.
Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka
‘ius constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar
kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.
Referensi.
1. Djojosugito. A. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Majlis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan; 2006. p 1 – 73.
2. Budi Sempurna, Zulhasmar Syamsu, Tjeptjep Dwidja Siswaja.Bioetik dan Hukum
Kedokteran.Profesi Kedokteran.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta Oktober
2005.p 7-14
3. Budi Sempurna, Zulhasmar Syamsu, Tjeptjep Dwidja Siswaja.Bioetik dan Hukum
Kedokteran.Profesi Kedokteran.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Oktober
2005.p30-36
4. Billy. N. Hukum Kesehatan. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia. 15 Maret
2008. Diunduh dari http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-
pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/ Tanggal diunduh 26 Januari 2011.\Bookmark
5. Wahyuningsih. M. Artikel Lawskripsi. Euthanasia ditinjau Dari Segi Medis
dan Hukum Pidana di Indonesia. Oktober 2008. Diunduh dari
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=97&Itemid=97.
Tanggal diunduh 26 Januari 2011.
6. Anonym. Artikel Kedokteran. Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika.
2005. Diunduh dari http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/ Tanggal diunduh 26
Januari 2011.
7. Etika kedokteran Indonesia. Diunduh dari URL
:http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/. 2002
8. Artikel Rekam Medis. Diunduh dari URL :http://bencana-kesehatan.net/sop-rekam-medis.pdf
9. Journal Rekam Medis Indonesia. Diunduh dari URL :
http://www.inamc.or.id/download/Manual%20Rekam%20Medis.pdf.rekam medis.2006
10. Journal Aspek Hukum rekam Medis. Diunduh dari URL :
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/aspekhukumrekammedis.pdf.2004
11. Artikel Standar Profesi Perilaku Kedokteran Indonesia. Diunduh dari URL :
http://budi399.wordpress.com/2010/11/22/standar-profesi/. 2010