Anda di halaman 1dari 40

Kasus 5

Seorang pasien berusia 62 tahun dating ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah
terminal. Pasien masih cuku sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya
memperpanjang penderitaannya sahaja. Oleh itu , ia meminta kepada dokter apabila ia mendekati
ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja( tanpa antibiotic , tanpa peralatan IU) dan ingin
mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan
penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.

Pendahuluan.

Berdasarkan kasus diatas permasalahan utamanya ialah seorang pasien berumur 62 tahun
yang menderita karsinoma kolon pada fasa terminal meminta diterapi minimal sahaja. Apa yang
akan dibahaskan berkaitan dengan kasus dia atas adalah prinsip-prinsip etika kedokteran,
peraturan yang terkait seperti informes consent dan dampak hukum yang mungkin timbul dari
keputusan dokter. Pada dasarnya suatu profesi memiliki 3 syarat utama yaitu, diperoleh dari
pelatihan ekstensis, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya
dan memberikan pelayanan penting kepada masyarakat.

Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran sebagai
konsekuensi dan kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan hubungan tersebut.
Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontralektual namun mengingati sifat praktek
kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukan lah hasil yang
akan dicapai melainkan upaya yang sungguh-sungguh.1

Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan
dokter-pasien maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan dokter-pasien berdasar
atas virtue sebagai hubungan paling cocok bagi hubungan dokter-pasien.
Berdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak –hak pasien pada dasarnya terdiri
dari dua hak yaitu the right to health care dan the right to self determination. Secara tegas dan
World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Right of the Patient
(1991) yaitu memilih dokter bebas, hak dirawat oleh dokter yang bebas membuat keputusan
klinis dan etis hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang
adekuat, hak untuk dihormati kerahsiaaan dirinya, hak untuk mati secara bermartabat atau
menolak dukungan secara spiritual atau moral. Undang-undang kesehatan menyebut beberapa
hak pasien seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk mememberikan
persetujuan atau menolak tindakan medis, hak untuk kerahsiaan, hak untuk memperoleh
pelayanan kesehatan dan hak untuk mendapatkan ganti rugi.1

Prinsip –Prinsip Etika Kedokteran.

Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis yang
dipenuhi dengan makanan dan minuman, kebutuhan psikologis yang dipeuhi dengan rasa
kepuasan, istirahat dan santai, kebutuhan social yang dipenuhi dengan keluarga, teman dan
komuniti dan kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan
kebenaran cinta. 2

Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran selain


mempertimbangkan keempat kebutuhan di atas, keputusan hendaknya juga mempertimbangkan
hak-hak pasien. Pelanggaran atas hakpasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas
kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.

Beaucham and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan
etik diperlukan 4kaidah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya. Keempat dasar moral
tersebut adalah: 2

1. Prinsip otonomi.
Prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama otonomi pasien. Prinsip moral
inilah yang kemudia melahirkan dokrin informes-consent.
2. Prinsip beneficience.
Prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kebaikan pasien . dalam
beneficience tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga
perbuatan yang sisi baiknya lebih besar daripada sisi buruknya.
3. Prinsip non – malafiience.
Prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai “ primum non nocere “ atau “ abovr all da no harm “
4. Prinsip justice
Prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap mendistribusikan daya

Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights dan
individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk
memutuskan nasibnya sendiri, sedangakn John S Mills berkata bahwa control social atas
seseorang hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang lain. Suatu
tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan
melanggar hukum. Prinsip otonomi pasien dianggap sebagai doktrin informed-consent.
Tindakan mesid terhadap pasien harus mendapat persetujuan dari pasien tersebut, setelah ia
menerima dan memahami informasi yang diperlukan.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran


Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran. 7

MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan


praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu
permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan
internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang
(profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam
sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus
tersebut kepada MKEK. 7,8

Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan
etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan
pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka
pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat
pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya.
Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, demikian pula sebaliknya. 7

Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.1

Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :

1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan

2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek
Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan
rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain
yang berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan
adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara
pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah,
tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada
informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih
tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan
tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan
pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).

Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable
doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence
dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada
perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan
pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan. 7

Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi,
yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. 7

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.6
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Informed-consent.

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak dilakukan
oleh pasien.informed-consent memiliki 3 elemen: 1,2

1. Threshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elem oleh karena sifatnya lebih kea
rah syarat yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten di sini
diartikan kapasitas untuk membuat keputusan. Kompetensi manusia untuk membuat
keputusan merupakan suatu continuum dari sama sekali tidak memiliki kompetensi
sehingga memiliki kompetensi yang penuh.

2. Information elements
Elemen ini terdiri dari 2 bagian yaitu disclosure dan understanding. Pengertian “
berdasarkan pemahaman yang adekuat “ membawa konsekuensi kepada tenaga medis
untuk memberikan informasi sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman
yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa “baik” informasi harus diberikan kepada pasien
dapat dilihat dari 3 standard yaitu:
 Standard praktek profesi.
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan criteria ke-adekuat-an informasi ditentukan
bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Standard ini terlalu
mengacu kepada nilai-nilai yang ada di dalam komunitas kedokteran, tanpa
memperhatikan kengintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan
menerima informasi tersebut.
 Standar subjektif.
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi
sehingaa informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan .
 Standar pada reasonable person.
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umunya orang
awam.
3. Consent elements

Elemen ini juga terdiri dari 2 bagian yaitu kesukarelaan dan persetujuan. Kesukarelaan
mengharuskan tidak adanya unsure penipuan atau paksaanl. Pasien juga harus bebas dari
tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila
menyetujui tawarannya. Consent diberikan secara dua cara :3

 Dinyatakan :
 Dinyatakan dalam lisan
 Dinyaakan secara bertulis. Pertanyaan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan
bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasive yag
mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna.
 Tidak dinyatakan:

Pasien tidak menyatakan baik secara lisan maupun tertulus, namun melakukan tingkap laku yang
menunjukkan jawapannya. Meskipun consent jenis ini tidak mempunyai bukti namun consent ini
yang paling banyak dilakukan sehari-hari.

Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal –hal yang dinyatakan sebelumnya, tidak
dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat
bertindak melebihi disepakati apabila gawat darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu
yang singkat untuk menyelesaikannya.
Komunikasi dan Persetujuan.

Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti etika
kedokteransaat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai perawatan kesehatan
mereka telahdiabadikan dalam aturan hukum dan etika di seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak
Pasien dari WMA menyatakan:Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam
membuat keputusanyang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien
konsekuensidari keputusan yang diambil. Pasien dewasa yang sehat mentalnmya memiliki hak
untuk memberi ijin atau tidak memberi ijin terhadap prosedur diagnosa maupunterapi. Pasien
mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untukmengambil keputusannya.
Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu tesatau pengobatan, hasil apa yang akan
diperoleh, dan apa dampaknya jika menundakeputusan.Kondisi yang diperlukan agar tercapai
persetujuan yang benar adalah komunikasi yang baikantara dokter dengan pasien. Jika
paternalisme medis adalah suatu yang normal, makakomunikasi adalah suatu yang mudah karena
hanya merupakan perintah dokter dan pasienhanya menerima saja terhadap suatu tindakan medis.
Saat ini komunikasi memerlukan sesuatuyang lebih dari dokter karena dokter harus memberikan
semua informasi yang diperlukanpasien dalam pengambilan keputusan. Ini termasuk
menerangkan diagnosa medis, prognosis,dan regimen terapi yang konpleks dengan bahasa
sederhana agar pasien paham mengenaipilihan-pilihan terapi yang ada, termasuk keuntungan dan
kerugian dari masing-masingterapi, menjawab semua pertanyaan yang mungkin diajukan, serta
memahami apapunkeputusan pasien serta alasannya. Ketrampilan komunikasi yang baik tidak
dimiliki begitusaja namun harus dibangun dan dijaga dengan usaha yang disadari penuh
dandireview secara periodik. 2

Dua hambatan besar dalam komunikasi dokter-pasien yang baik adalah perbedaan budaya
danbahasa. Jika dokter dan pasien tidak berbicara dalam bahasa yang sama maka diperlukan
seorang penterjemah. Sayangnya dalam banyak situasi tidak ada penterjemah yang memadahi
dan dokter harus mencari orang yang tepat untuk pekerjaan ini. Budaya dapat memunculkan
masalah dalam komunikasi karena perbedaan pemahaman budaya tentang penyebab, dan sifat
dari penyakit dapat menyebabkan pasien tidak paham terhadap diagnosis dan perawatan yang
diberikan. Dalam situasi seperti ini dokter harus membuat segala usaha yang mungkin untuk
dapat memahamkan pasien terhadap kesehatan dan penyembuhan serta mengkomunikasikan
saran-sarannya kepada pasien sebaik mungkin.

Jika dokter berhasil mengkomunikasikan semua informasi yang diperlukan oleh pasien
danjika pasien tersebut ingin mengetahui diagnosa, prognosis, dan pilihan terapi yang
dijalani,maka kemudian pasien akan berada dalam posisi dapat membuat keputusan
berdasarkanpemahamannya tentang bagaimana menindaklanjutinya. Walaupun istilah ijin
mengandungpengertian menerima perlakuan yang diberikan, namun konsep ijin berdasarkan
pengetahuandan pemahaman juga bermakna sama dengan penolakan terhadap terapi atau
memilih diantara beberapa alternatif terapi. Pasien yang kompeten mempunyai hak untuk
menolakperawatan, walaupun penolakan tersebut dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.

Ada dua perkecualian syarat untuk mendapatkan ijin berdasarkan pemahaman oleh pasien yang
kompeten: 2
1. Keadaan dimana pasien memberikan secara sukarela hak pengambilan keputusan
kepadadokter atau pihak ketiga. Karena kompleksitas masalah atau karena pasien percaya
sepenuhnya kepada penilaian dokter, maka pasien dapat saja mengatakan ”Lakukan apa
yang menurut anda yang terbaik”. Dokter tidak boleh terlalu berani bertindak karena
mendapat permintaan seperti itu, namun harus tetap memberi pasien informasi dasar
mengenai pilihan tindakan yang ada dan tetap menyemangati pasien untuk mengambil
keputusan sendiri. Namun setelah diberitahu dan didorong paisen tetap menyerahkan
keputusan kepada dokter, dokter harus bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien.
2. Keadaan dimana penyampaian informasi kepada pasien dapat menyakiti pasien. Konsep
therapeutic privilege (hak istimewa terapi) dapat digunakan dalam kasus tersebut
dimana dokter diijinkan menyimpan informasi medis jika ternyata menyampaikannya
dapat membahayakan atau menyakiti pasien secara emosional, psikologi, fisik dirinya
atau orang lain; seperti jika pasien dapat melakukan tindakan bunuh diri jika diagnosa
ternyata mengindikasikan adanya penyakit stadium terminal. Hak istimewa ini sangat
mungkin disalahgunakan, sehingga dokter hanya boleh menggunakannya dalam keadaan
yang ekstrim. Dokter harus mengawali dengan anggapan bahwa semua orang pasien
dapat menghadapi semua fakta dan tetap mencoba terbuka terhadap kasus-kasus dimana
dokter menganggap bahwa akan lebih membahayakan jika mengatakan kebenaran
disbanding tidak mengatakannya.

Dalam beberapa budaya masih dianut bahwa dokter tidak harus memberitahukan
informasikepada pasien dengan diagnosis penyakit stadium terminal. Hal tersebut dikarenakan
dirasaakan menyebabkan pasien putus asa dan menyebabkan sisa hidupnya lebih menderita
dibanding jika masih ada harapan untuk sembuh. Hampir di seluruh dunia sangat umum kita
jumpai bahwa anggota keluarga pasien meminta dokter untuk tidak mengatakan kepada pasien
bahwa mereka sekarat. Dokter haruslah sensitif terhadap budaya dan juga faktor-faktor personal
saat memberitahukan kabar buruk, terlebih lagi yang menyangkut kematian.3
Walaupun demikian hak pasien terhadap persetujuan tindakan berdasarkan pemahaman
telahditerima lebih luas dan dokter memiliki tugas utama membantu pasien menggunakan hak
tersebut.Sejalan dengan perkembangan tren anggapan bahwa pelayanan kesehatan merupakan
produkkonsumen dan pasien adalah konsumen, pasien dan keluarganya secara teratur meminta
aksesterhadap pelayanan medis yang menurut pendapat dokter tidak tepat. Contohnya adalah
permintaan antibiotik untuk infeksi virus sampai perawatan intensif pasien dengan otak yang
sudah mati atau prosedur pembedahan atau pemberian obat-obatan yang menjajikan
namunbelum terbukti. Beberapa pasien mengklaim hak mendapatkan layanan medis apapun
yang dirasa dapat menguntungkan mereka, dan sering dokter hanya menyetujuinya bahkan
dokter yakin bahwa pilihan tersebut tidak memberikan keuntungan medis terhadap kondisi
pasien. Masalah ini dapat menjadi serius jika sumber terbatas dan memberikan tindakan yang
sia-sia atau tidak menguntungkan terhadap seorang pasien berarti membiarkan pasien lain tidak
terawat atau tidak menerima tindakan. 1

Prinsipnya persetujuan tindakan berdasarkan pengetahuan (informed consent)


berhubungan dengan hak pasien untuk memilih dari beberapa pilihan yang ditawarkan dokter.
Sampai sejauh mana pasien dan keluarganya mempunyai hak terhadap suatu layanan kesehatan
yang tidak direkomendasikan oleh dokter menjadi topik kontroversi yang besar dalam etika
kedookteran, hukum, dan kebijakan publik. Sampai masalah ini diputuskan oleh pemerintah,
penyedia asuransi kesehatan, dan/atau organisasi profesional, dokter secara pribadi harus
menentukan apakah mereka harus setuju terhadap permintaan suatu tindakan yang tidak sesuai.
Dokter harus menolak permintaan seperti itu jika yakin bahwa tindakan tersebut akan lebih
membahayakan. Dokter harus juga tahu bahwa mereka mempunyai hak untuk menolak jika
tindakan yang akan dilakukan sepertinya tidak akan memberikan kebaikan, atau bahkan
membahayakan walaupun kemungkinan efek plasebo tidak dapat diabaikan. Jika sumbersumber
daya yang terbatas menjadi masalah, dokter harus mengkonsultasikannya kepada pihak yang
bertanggung jawab terhadap alokasi sumber daya tersebut.

Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik,
dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa
rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death,
atau enjoy death (mati dengan tenang). 4
Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini
secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju
menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju
menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan. Sejumlah pakar
dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang,
namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan yuridis masih mengundang berbagai
ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.4
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari
itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun
untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi
kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang
bersangkutan menghendakinya. 5
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan
perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini,
euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya
merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini
maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak
masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Agar persoalan euthanasia ini dapat dibahas dengan sewajarnya sebaiknya arti kata-
katanya diuraikan dengan lebih seksama lagi. Secara etimologis di zaman kuno berarti kematian
tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi memakai arti asli, melainkan
lebih terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan orang sakit atau orang
yang berada pada sakarotul maut, bahkan kadang-kadang disertai bahaya mengakhiri kehidupan
sebelum waktunya. Akhirnya kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit sehingga makna dan
artinya adalah mematikan karena belas kasihan.
Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa
sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan
pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu 4
1. Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan
dalam menghadapi kematian.
2. Pemakaian secara luas
Secara luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa
sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
3. Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak
lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan
pasien.
Beberapa ahli membedakan ketiga cara tersebut, tetapi pada hemat penulis apapun
istilahnya ketiga cara tersebut adalah tindakan euthanasia. Beberapa pengertian tentang
terminologi euthanasia:
1. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi,
euthanasia diartikan:
 Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
 Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup
pasien.
 Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien.

2. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti;
 Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk
yang beriman dengan nama Allah dibibir.
 Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat
penenang.
 Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah
sebagai berikut:
1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
3). Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
4). Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

B.Macam-macam Euthanasia 5
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana
datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif.
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. euthanasia aktif
2. euthanasia pasif
3. euthanasia volunter
4. euthanasia involunter
Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk
mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan
penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan.
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan
medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi
tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang
dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan
tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan
lainnya.

Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan
akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.

Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian
atas permintaan sendiri.

Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan
tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap
famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit
dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam
yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi
seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain
euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang
bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek
samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk
pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat
memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan
pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau
bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan
pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan
pemerintah.

C. Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia

Euthanasia mempunyai arti yang berdekatan dengan “membiarkan datangnya kematian”


(letting die). Dalam literatur, euthanasia dibedakan antara yang aktif dan yang pasif. Euthanasia
aktif diartikan melakukan suatu tindakan tertentu sehingga pasien meninggal, misalnya dengan
mengakhiri pemberian nafas buatan melalui respirator atau mencabut ventilator dalam arti
penghentian pemberian pernafasan artifisial. Sedang euthanasia pasif diartikan sebagai tidak
dimulainya melakukan tindakan untuk memperpanjang hidupnya, tetapi yang tidak begitu
bermanfaat lagi, bahkan akan menambah beban penderitaan (not initiating life support
treatment). Misalnya tidak memberikan shock terapi dan tidak menyambung pernafasan dengan
ventilator sesudah pasien manula penderita jantung kronis yang mendapat serangan jantung
untuk kesekian kalinya dan sudah tidak sadarkan diri untuk waktu yang agak lama. 4
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu dan
tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang mati. Kalau
dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan pernafasan, maka dengan
ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat pacu jantung (pace maker), maka
seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau
henti jantung (cardiac arrest), masih ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat
tersebut, artinya pasien belum meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu bertahan dengan
alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang jelas kehidupannya tergantung
kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia akan segera mati.
Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan fungsi yang baik,
maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila otak sudah tidak berfungsi,
maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat tersebut, dengan kata lain dia hanya
hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja yang masih menunjukkan tanda kehidupan.
Dengan demikian sekarang dikenal istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa
otak sudah tidak berfungsi lagi.
Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk
segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang menjadi
persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja melepas alat bantu
yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua, apakah dokter mempunyai hak
untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila
permintaan pasien (keluarganya) adalah dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga
memaksa untuk membawa pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut
segala alat bantu adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).
Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di hukum dalam
melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai kriteria bahwa seorang dokter
tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai berikut: 4

1. Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat dialami
pasien.
2. Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan berlangsung tiada
henti-hentinya.
3. Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-kemungkinan alternatif
yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara pelbagai kemungkinan yang ada
dan sesungguhnya telah pula melakukan pilihannya.
4. Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
5. Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita tanpa alasan.
6. Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
7. Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang dokter, yang
akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan dipakai.
8. Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu perlu
diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin sesuai dengan
kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan dalam perembukan beberapa
teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.

D. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran

Konsep tentang Mati

Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, maka perlu difahami
tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga kini. Perubahan pengertian ini berkaitan
dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-mesin penopang hidup dan kemajuan
dalam perawatan intensif. Dahulu, apabila jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang
sudah dinyatakan mati dan tidak perlu diberi pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah,
dalam perawatan intensif (di rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan ahlinya) jantung yang
sudah berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar kembali
kembang kempis. Bila demikian, apa yang dimaksud dengan "mati"?.2
Hak-Hak Pasien
Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan pencarian
pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan banyak hak dalam konteks
pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan atas hak pasien. Dalam hal ini
penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan
dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk
memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang
cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.
"hak pasien", dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang mewah, sebab
masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien
itu. Berbicara tentang "hak pasien" yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak
utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to
health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu,
yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga
kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.
Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-
hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya,
hak untuk mendapatkan pendapat kedua.
Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas informasi
Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang tidak tahu, ia
tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat menguasai situasi. Kemungkinan
untuk memperoleh informasi merupakan syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien
tidak mempunyai kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.
b. Hak atas persetujuan
Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga terproses sejalan
dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak
untuk menentukan diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas
dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk menerima atau menolak
tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi.
c. Hak untuk menolak pengobatan
Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu
pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak bisa dihindarkan
konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak pengobatan. Penolakan seperti ini
sebagai perwujudan otonomi pasien dalam hak menentukan dirinya.
d. Hak atas privacy
Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis dalam
hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika konfidensialitas tidak dapat dijamin,
maka orang akan enggan mencari bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter
dan pasien.
e. Hak atas pendapat kedua
Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara dokter pertama
dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada
dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.
f. Catatan medis di rumah sakit
Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan.
Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan hak
otonominya.

3. Pandangan Kode Etik Kedokteran


Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama
manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang
dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etika
kedokteran , sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter,
umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan
pengertian tentang susila jabatan. Keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat memberi
manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan
moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia. Dan pastinya di setiap Negara
mempunyai kode etik kedokteran sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan
pada sumpah Hippocrates. Di antara sumpah Hippocrates adalah sebagai berikut: 2,4
Ilmu kedokteran adalah upaya untuk menaggulangi penderitaan si sakit, menyingkirkan
penyakit, dan tidak mengobati kasus-kasus yang tidak memerlukan pengobatan.
Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun
dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.
Manusia pada akhirnya akan mati, dokter tidak dapat berharap ia akan dapat
menyembuhkan setiap pasiennya. Ada batas ketika penyembuhan tidak berdaya lagi. Dokter
harus mengenali dan menerima kedatangan saat-saat maut bagi pasiennya, bahkan sebagai
seorang yang berpengetahuan ia harus menunjukannya dengan perbuatan, yaitu jangan berusaha
untuk menyembuhkannya, karena ini berarti membohongi diri sendiri dan pasiennya.

Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter tidak lagi
mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau tidak membohongi pasien
yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya dengan memberikan resep tetentu atau
dengan memberikan medikasi lainnya. Dan berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang
memetikan sekalipun pasien telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien,
Hippocrates tetap menolak tindakan euthanasia aktif. Disamping itu dokter tidak harus terus
berupaya mengobati penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila
pengobatan atau perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten
lagi untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.
Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan masalah
euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:
"Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani."

Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si sakit
bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus
mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan
terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang membahayakan. Tindakan ini
diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan
jiwa si sakit selain pembedahan, yang selalu mengandung resiko.
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya.
Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan
demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya maut
adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup
makhluk insani. Hal ini, berarti doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun
menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.
Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif.
Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics
must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara
kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).
Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada pandangan-
pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif. Begitu juga dengan kode
etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.
Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik
dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya, dan
juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan kehidupannya, karena kematiannya
sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap
dilakukan. Asalkan jangan mengada-ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan
medik itu sudah tidak diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari
keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.
Adalah tugas ilmu kedokteran untuk memebantu meringankan penderitaan pasien, atau
bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-
benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu
meringankan penderitaanya, walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat
mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).

4. Euthanasia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 5


Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan
(dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi
bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati
unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum,
adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya
pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan nterhadap nyawa manusia, yang dapat
dijumpai dalam Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350 KUHP.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal yang menyinggung masalah
euthanasia ini secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal yang lebih mengena yaitu pasal
344, pada Bab XIX, buku II, yaitu:
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Dalam pasal di atas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan
hati” harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika tidak maka orang itu
dikenakan pembunuhan biasa, dan haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang
akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasar pasal 344 KUHP
atau tidak. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya
seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas
(unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi
atau pun oleh alat-alat bukti lainnya.
Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks dari segi sifatnya, maka agar
lebih mudah untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara lebih terperinci.
Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja
melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri atau memeperpendek (mengakhiri) hidup pasien.
Euthanasia aktif terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Euthanasia aktif atas permintaan pasien
Pasal. 344 KUHP:
"Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya denagn nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
dua belas tahun."
2) Euthanasia aktif tanpa permintaan pasien
Pasal. 340 KUHP- barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam krena pembunuhan dengan rencana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh lima tahun.

3) Euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien


Pasal. 340 KUHP- barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam krena pembunuhan dengan rencana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh lima tahun.
Pasal 338, KUHP-"Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena makar mati, dengan hukumkan penjara selama-lamanya lima belas tahun."

4) Euthanasia tidak langsung


Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya tanpa
maksud mengakhiri hidup pasien melakukan tindakan medis untyuk meringankan penderitaan
pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medik tersebut dapat
mengakibatkan hidup sipasien diperpendek. Seperti halnya dengan euthanasia aktif, euthanasia
tidak langsung terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
a). Euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien
Pasal. 344 KUHP-"Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya denagn nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun."
Pasal 359 KUHP-"Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun."

b). Euthanasia tidak langsung tanpa permintaan pasien


Pasal. 340 KUHP- barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam krena pembunuhan dengan rencana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh lima tahun.
Pasal 359 KUHP- Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun."
c). Euthanasia tidak langsung tanpa sikap pasien
Pasal 304 KUHP- Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut operjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal 359 KUHP- Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun."

b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif terjadi terrjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara
sengaja tidak memberikan bantuan medik terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.
Untuk dapat memudahkan euthanasia pasif ini juga dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1). Euthanasia pasif atas permintaan pasien
Tidak dihukum
2). Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien
Pasal 304 KUHP- Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu
dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."

3). Euthanasia pasif tanpa sikap pasien


Pasal 304 KUHP- Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut operjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu
dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam
KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang
pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya
yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang
perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini
dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna
kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh
undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

Masalah Akhir Kehidupan


Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien yang
sekaratsampai teknologi eksperimental canggih seperti implantasi organ binatang, percobaan
mengakhiri hidup lebih awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis. Di antara walhal
yang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan perawatan yang
dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan penyakit stadium terminal serta
kelayakan dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut.

Dua masalah yang pantas mendapat perhatian khusus: euthanasia dan bantuan bunuh diri.

EUTHANASIA ;adalah tahu dan secara sadar melakukan suatu tindakan yang jelas
dimaksudkan untuk mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemen berikut:
subjek tersebut adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri; agen mengetahui tentang kondisi
pasien dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama mengakhiri
hidup orang tersebut; dan tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi.2
BANTUAN BUNUH DIRI; berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang
pengetahuan atau alat atau keduanya yang diperlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk
konseling mengenai obat dosis letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikannnya.
Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan sering dianggap sama secara moral, walaupun antara
keduanya ada perbedaan yang jauh secara praktek maupun dalam hal yuridiksi legal.2
Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan secara definisi harus dibedakan dengan
menunda atau menghentikan perawatan medis yang tidak diinginkan, sia-sia atau tidak tepat atau
ketentuan perawatan paliatif, bahkan jika tindakan-tindakan tersebut dapat memperpendek hidup.
Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebgai akibat dari rasa sakit atau
penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan. Mereka lebih memilih mati dari pada
meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap mereka
mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati. Dokter dianggap
sebagai instrumen kematian yang paling tepat karena mereka mempunyai pengetahuan medis
dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa
rasa sakit. Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi permintaan tersebut karena
merupakan tindakan yang ilegal di sebagian besar negara dan dilarang dalam sebagian besar
kode etik kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan telah
dinyatakan kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia:
Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera, tetaplah
tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yang memintanya. Hal ini tetap saja
tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan pasien untuk membiarkan
proses kematian alami dalam keadaan sakit tahap terminal. Penolakan terhadap euthanasia dan
bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak dapat melakukan apapun bagi pasien dengan
penyakit yang mengancam jiwa pada stadium lanjut dan dimana tindakan kuratif tidak tepat.
Pada tahun-tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk
mengurangi rasa sakit dan penderitaan serta meningkatkan kualitas hidup. Semua dokter yang
merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup ketrampilan dalam
masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari ahli
pengobatan paliatif. Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat
namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin
disembuhkan Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada
pasien, wakil pasein dalam mengambil keputusan, dan juga dokter. Kemungkinan
memperpanjang hidup dengan memberikan obat-obatan, intervensi resusitasi, prosedur radiologi,
dan perawatan intensif memerlukan keputusan mengenai kapan memulai tindakan tersebut dan
kapan menghentikannya jika tidak berhasil.
Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan komunikasi dan ijin, pasien yang
kompeten mempunyai hak untuk menolak tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu
dapat menyebabkan kematian. Setiap orang berbeda dalam menanggapi kematian; beberapa akan
melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak peduli seberapapun sakit dan
menderitanya; sedang yang lain sangat ingin mati sehingga menolak bahkan tindakan yang
sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup seperti antibiotik untuk pneumonia bakteri.
Jika dokter telah melakukan setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien semua informasi
tentang perawatan yang ada serta kemungkinan keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati
keputusan pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.
Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten
memunculkan kesulitan yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan
keinginannya sebelumnya seperti menggunakan bantuan hidup lanjut, keputusan akan lebih
mudah walaupun bantuan seperti itu kadang sangat samar-samar dan harus diinterpretasikan
berdasarkan kondisi aktual pasien. Jika pasien tidak menyatakan keinginannnya dengan
jelas,wakil pasien dalam mengambil keputusan harus menggunakan kriteria-kriteria lain untuk
keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik pasien.

Rekam Medis

Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang dimaksud dengan rekam medis
adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis dijelaskan bahwa
rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan. 8

Yang berkewajiban membuat rekam medis adalah tenaga kesehatan:9


1. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi
2. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
3. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
4. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiologi kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
5. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
6. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
7. Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis,
analisi kesehatan, refraksionis optisien, othotik prostetik, teknisi tranfusi dan perekam medis.

Isi rekam medis 8

a. Rekam Medis Pasien Rawat Jalan


Isi rekam medis sekurang-kurangnya memuat catatan / dokumen tentang:
- Identitas pasien - Diagnosis / masalah
- Pemeriksaan fisik - Tindakan / pengobatan
- Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

b. Rekam Medis Pasien Rawat Inap


Rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya memuat:
- Identitas pasien - Persetujuan tindakan medis
- Pemeriksaan - Tindakan / pengobatan
- Diagnosis / masalah
- Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

Aspek merikolegal rekam medis. 9

UU RI No 29 Tahun 2004 Pasal 46:


(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
Penjelasan Pasal 46 UU RI No 29 tahun 2004
(1) Yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.
(2) Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis, berkas dan
catatan tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun. Perubahan catatan atau
kesalahan dalam rekam medis hanya dapat dilakukan dengan pencoretan dan dibubuhi paraf
petugas yang bersangkutan.
(3) Yang dimaksud dengan petugas adalah dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lain
yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Apabila dalam pencatatan rekam medis
menggunakan teknologi informasi elektronik, kewajiban membubuhi tanda tangan dapat diganti
dengan menggunakan nomor identitas pribadi (personal identification number)

UU RI No 29 tahun 2004 Pasal 47


(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.10

Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1419/Menkes/Per/X/2005


Pasal 16
(1) Dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Kerahasiaan rekam medis

KUHP Pasal 322


(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang menurut jabatannya atau
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang
dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000
(2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang ditentukan maka perbuatan itu hanya
dituntut atas pengaduan orang itu. 8

KUHAP Pasal 120


(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik bahwa ia akan
memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia
dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. 8

KUHAP Pasal 170


(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu
tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala
alasan untuk permintaan tersebut. 8

UU RI No 23 Tahun 1992
Pasal 53 ayat (2) Penjelasan
Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan
perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan
hak pasien , antara lain adalah:10
• Hak informasi
• Hak untuk memberikan persetujuan
• Hak atas rahasia kedokteran
• Hak atas pendapat kedua (second opinion)

UU RI No 29 Tahun 2004
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri
atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri

Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan Praktik Kedokteran mempunyai kewajiban
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.

UU RI No 29 Tahun 2004
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
(c). Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Sanksi kalau seorang dokter tidak membuat rekam medis 8

UU RI No 29 Tahun 2004
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
(b) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)

Sanksi Administratip UU RI No 29 Tahun 2004


Pasal 69
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi
dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. pemberian peringatan tertulis.
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin
praktik
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1419/Menkes/Per/X/2005


Pasal 24
(1) Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia, Pemerintah Daerah, dan organisasi profesi melakukan
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan fungsi, tugas dan
wewenang masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan pada pemerataan
dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh
dokter dan dokter gigi.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1419/Menkes/Per/X/2005
Pasal 25
• Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil
tindakan administratip terhadap pelanggaran ini.
• Sanksi administratip sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupaperingatan lisan, tertulis
sampai pencabutan SIP.
• Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi administratip sebagaimana
dimaksud ayat (2) terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.
Pasal 26
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIP dokter dan
dokter gigi:
a. Atas dasar keputusan MKDKI
b. STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia
dan
c. Melakukan tindakan pidana

Standar Profesi Perilaku dalam Medis (SOP)

Dalam lingkungan masyarakat ada beberapa jenis profesi seperti guru, jurnalis, advokat,
hakim, jaksa dan sebagainya Bila dibandingkan dengan profesi lainnya sebagaimana disebutkan
terdahulu, profesi kedokteran mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan profesi
lain. khususan profesi kedokeran terletak pada sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan
rata-rata dan dokter sebagai pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian, dan rasa
pengabdian yang tinggi (Nasution 2005: 38). 11

Walaupun dokter dalam memberikan pelayanan medis mempunyai otonomi profesi,


tetapi kemandirian dokter berdasar otonomi tersebut tetap harus dipagari dengan peraturan yang
berlaku, Salah satu dan peraturan tersebut adalah standar pelayanan medis.
Beberapa pendapat para pakar tentang standar profesi antara lain :11

 Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman
yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar pelayanan
medik yang terutama dititik beratkan pad proses tindakan medik (Komalawati, 2002:
177).

Standar profesi dalam bentuk standar pelayanan medik ini juga harus dipakai acuan oleh
Rumah Sakit, karena prosedur tetap di dalam standar profesi dibuat sesuai dengan setiap bidang
spesialisasi, fasilitas dan sumber daya yang tersedia.

Beberapa pendapat para pakar tentang standar profesi antara lain :

 Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman
yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar pelayanan
medik yang terutama dititik beratkan pad proses tindakan medik (Komalawati, 2002:
177).

Dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan harus berpegang pada tiga ukuran
umum meliputi:
a. kewenangan;
b. kemampuan rata-rata;
c. ketelitian yang umum.

 Kewenangan

Yang dimaksud dengan kewenangan ialah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid) yang


dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Atas dasar
kewenangan inilah, seorang tenaga kesehatan berhak melakukan pengobatan sesuai dengan
bidangnya.
 Kemampuan Rata-rata

Dalam menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, banyak faktor yang harus
dipertimbangkan. Selain dan faktor pengalaman tenaga kesehatan yang bersangkutan fasilitas,
sarana prasarana di daerah tempat tenaga kesehatan (dokter) tersebut bekerja juga ikut
mempengaruhi sikap dokter dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga sangat sulit untuk.
menentukan standar kemampuan rata-rata ini.

 Ketelitian yang Umum

Untuk menentukan ketelitian umum, harus berdasarkan ketelitian yang dilakukan oleh dokter
dalam melaksanakan pekerjaan dan situasi yang sama. Tolak ukur untuk menentukan ketelitian
mi sangat sulit, karena setiap bidang keahlian mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang
seharusnya bisa dituangkan di dalam “Standar Umum”

Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pengertian


standar profesi disebutkan di dalam penjelasan pasal 50 sebagai berikut: 11

Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan
kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi.Penjelasan pasal 50 ini, merupakan penjelasan dan pasal 50 sub a yang menyebutkan
bahwa dokter yang melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar
operasional prosedur, berhak memperoleh perlindungan hukum. Kemudian di dalam pasal 50 sub
b disebutkan lebih Lanjut bahwa memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional juga merupakan hak dokter.

Dan bunyi pasal 50 sub a dan b dan penjelasannya tersebut, dapat diketahui bahwa
undang-undang menghendaki di dalam pelaksanaan praktik kedokteran, dokter berhak untuk
melaksanakan praktik sesuai dengan standar profesi, dan bila telah melaksanakan pratik sesuai
standar profesi yang berlaku, maka ia berhak mendapat perlindungan hukum.
Dan standar profesi yang dijelaskan di dalam penjelasan pasal 50, maka dapat diuraikan
unsur-unsur dan standar profesi sebagai berikut:11

1.Standar profesi merupakan batasan kemampuan minimal bagi dokter.

2. Kemampuan tersebut meliputi:


a. knowledge (pengetahuan);
b. skill (keterampilan); dan
c. profesional attitude (prilaku yang profesional).

3. Kemampuan yang terdiri dan 3 (tiga) unsur tersebut, harus dikuasai oleh seorang individu
(dokter yang melakukan praktik kedokteran).

4. Kemampuan tersebut juga merupakan syarat untuk diizinkannva seorang dokter melakukan
kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri.

5. Yang berhak membuat standar profesi menurut undang-undang Praktik Kedokteran adalah
organisasi profesi. Organisasi profesi dari dokter yang berlaku saat ini adalah Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), yang dalam hal standar profesi dan masing-masing bidang spesialisasi, dapat
diserahkan kepada masing-masing ikatan profesi di dalam bidang spesialisasi tersebut.

Selain standar profesi, undang-undang juga menyebutkan adanya standar prosedur operasional
yang diartikan di dalam penjelasan pasal 50 UU Praktik Kedokteran sebagai berikut:

Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang


dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

Tujuan dibuatnya standar prosedur operasional ini adalah untuk memberikan langkah
yang benar dan terbaik berdasar konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan
fungsi pelayanan. Sedangkan yang berhak membuat standar prosedur pelayanan adalah sarana
pelayanan kesehatan, dan perbuatanya tetap mengacu atau berpedoman kepada standar profesi,
atau dengan perkataan lain standar prosedur operasional tidak boleh menyimpangi dan standar
profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.

Ruang Lingkup Standar Profesi

Pekerjaan profesi yang dilakukan oleh seorang dokter hendaknya dilandasi oleh dua
prinsip perilaku yang mendasar, yaitu kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien, dan
sedapat mungkin tidak menyakiti, mencederai maupun merugikan pasiennya. Dalam mengemban
profesinya inilah dokter harus selalu berpedoman kepada Standar Profesi yang berlaku berupa
standar pelayanan medis (Nasution 2005: 42). 11

Tujuan Ditetapkannya Standar Profesi

Komalawati (2002: 177) menyebutkan beberapa tujuan ditetapkannya standar pelayanan


medis atau standar profesi medis, antara lain adalah:11
1. Untuk melindungi masyarakat (pasien) dan praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi
medis.
2. Untuk melindungi profesi dan tuntutan masvarakat yang tidak wajar.
3. Sebagai pedoman dalam pengawasan, pembinaan dan peningkatan mutu pelayanan
kedokteran.
4. Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

Landasan Pola Pikir Pelaksanaan Standar Profesi Medis

Wiradharma (1996:80) menyebutkan beberapa landasan pola pikir dalam pelaksanaan Standar
Profesi Medis sebagai berikut:
1. Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu kedokteran, ke arah tujuan pengobatan
atau perawatan yang konkrit, artinya upaya yang dilakukan harus profesional dengan hasil yang
ingin dicapai.
2. Dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
sat ini.
3. Tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, tanpa kelalaian, yang tolak
ukurnya adalah dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter
lain dan bidang keahlian yang sama yang kemampuannya rata-rata bila berhadapan dengan kasus
seperti itu dengan situasi kondisi yang sama.11

Dampak Hukum.
Berdasarkan kasus di atas di mana seorang pasien tua yang menderita karsinoma kolon
tahap lanjut meminta diterapi minimal sahaja. Kasus ini termasuk dalam euthanasia pasif dan
permintaan pasien tidak akan dipidana. Namun sekiranya Euthanasia pasif tanpa permintaan
pasien tetap dihukum pidana yaitu pasal:
Pasal 304 KUHP- Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang
dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu
dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."
Walaupun berdasarkan hukum tidak akan dipidana , namun komunikasi efektif antara dokter
dengan keluarga pasien diperlukan yaitu informed consent supaya diakhirnya tidak ada
ketidaksalahfahaman. Sebagai dokter yang kompeten sudah seharusnya kita melakukan yang
terbaik untuk pasien.

Kesimpulan
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi
nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah
euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas
permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang
sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya
‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan
untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang.
Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-
mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu
masyarakat tertentu. Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata
terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang
sampai ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:
- Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit
untuk pengusutan lebih lanjut.
- Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat
Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
- Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun
ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah
kematian seorang pasien secara teknis.

Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk
dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya. Apapun
alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka dapat
digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia hendaknya tidak
secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-
macam. Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal &
tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda
misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada beberapa kasus
nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang.
Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi
perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya
atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.
Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka
‘ius constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar
kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.
Referensi.
1. Djojosugito. A. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Majlis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan; 2006. p 1 – 73.
2. Budi Sempurna, Zulhasmar Syamsu, Tjeptjep Dwidja Siswaja.Bioetik dan Hukum
Kedokteran.Profesi Kedokteran.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta Oktober
2005.p 7-14
3. Budi Sempurna, Zulhasmar Syamsu, Tjeptjep Dwidja Siswaja.Bioetik dan Hukum
Kedokteran.Profesi Kedokteran.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Oktober
2005.p30-36
4. Billy. N. Hukum Kesehatan. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia. 15 Maret
2008. Diunduh dari http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-
pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/ Tanggal diunduh 26 Januari 2011.\Bookmark
5. Wahyuningsih. M. Artikel Lawskripsi. Euthanasia ditinjau Dari Segi Medis
dan Hukum Pidana di Indonesia. Oktober 2008. Diunduh dari
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=97&Itemid=97.
Tanggal diunduh 26 Januari 2011.
6. Anonym. Artikel Kedokteran. Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika.
2005. Diunduh dari http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/ Tanggal diunduh 26
Januari 2011.
7. Etika kedokteran Indonesia. Diunduh dari URL
:http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/. 2002
8. Artikel Rekam Medis. Diunduh dari URL :http://bencana-kesehatan.net/sop-rekam-medis.pdf
9. Journal Rekam Medis Indonesia. Diunduh dari URL :
http://www.inamc.or.id/download/Manual%20Rekam%20Medis.pdf.rekam medis.2006
10. Journal Aspek Hukum rekam Medis. Diunduh dari URL :
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/aspekhukumrekammedis.pdf.2004
11. Artikel Standar Profesi Perilaku Kedokteran Indonesia. Diunduh dari URL :
http://budi399.wordpress.com/2010/11/22/standar-profesi/. 2010

Anda mungkin juga menyukai