Anda di halaman 1dari 32

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi 1,2,3
a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang
lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang
mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11
(vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11
atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus
vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal
kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat
terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
 Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 1. Anatomi Ginjal


Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus
renalis/ Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada
tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh

12
kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus)
serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan
letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di
mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula
serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula,
dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak
di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam
medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut
sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan
percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada
vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan
bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan memperdarahi segmen-
segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior,
anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus
major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk
vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui
n.vagus.
b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju
vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal,
masing-masing satu untuk setiap ginjal.
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan
m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca
communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis,
lalu melengkung secara ventro-medial untuk mencapai vesica urinaria.
Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik urine setelah memasuki
kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di mana ureter mengalami

13
penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta
muara ureter ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering
terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan
persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis,
pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.
c. Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,
merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui
ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal
tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di
lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum,
organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah,
limfatik dan saraf.
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang
terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta
mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra)
serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding
vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal,
sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum
vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-
segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian
ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan
kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior.
Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis
dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor,
n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun

14
persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang
berperan sebagai sensorik dan motorik.
d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica
urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada
pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga
berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat),
sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria
memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan
dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra
pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya
memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika,
pars membranosa dan pars spongiosa.
 Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan
aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m.
sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat.
Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.
 Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding
bagian lainnya.
 Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis
melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh
m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter
(somatis).
 Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar
penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.

15
3.2 Fisiologi 4

Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam


pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b) mempertahankan suasana
keseimbangan cairan, c) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan
basa dari cairan tubuh, dan d) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir
dari protein ureum, kreatinin dan amoniak. Tahap pembentukan urin adalah

1. Proses Filtrasi ,

Di glomerulus terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah


bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh
simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,
bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. cairan yang di saring disebut
filtrate gromerulus.

2. Proses Reabsorbsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari


glikosa, sodium, klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya
terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. sedangkan
pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat
bila diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif)
dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.

3. Proses sekresi.

Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan


ke papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar

16
3.3 BATU SALURAN KEMIH

A. Definisi 5
Batu di dalam saluran kemih (calculus uriner) adalah massa keras
seperti batu yang berada di ginjal dan salurannya dan dapat menyebabkan
nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih, atau infeksi.
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (nephrolith) maupun di dalam
kandung kemih (vesicolith). Proses pembentukan batu ini disebut urolithiasis

Gambar 2. Lokasi Batu Saluran Kemih

B. Etiologi 6,7
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi,
dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu
pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
1. Herediter (keturunan)

17
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2. Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-60 tahun.
3. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.
C. Epidemiologi 8
Penelitian epidemiologik memberikan kesan seakan-akan penyakit
batu mempunyai hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan
berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan suatu bangsa. Berdasarkan
pembandingan data penyakit batu saluran kemih di berbagai negara, dapat
disimpulkan bahwa di negara yang mulai berkembang terdapat banyak batu
saluran kemih bagian bawah, terutama terdapat di kalangan anak.
Di negara yang sedang berkembang, insidensi batu saluran kemih
relatif rendah, baik dari batu saluran kemih bagian bawah maupun batu
saluran kemih bagian atas. Di negara yang telah berkembang, terdapat banyak
batu saluran kemih bagian atas, terutama di kalangan orang dewasa. Pada suku
bangsa tertentu, penyakit batu saluran kemih sangat jarang, misalnya suku
bangsa Bantu di Afrika Selatan.
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak
kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12%
untuk pria dan 7% untuk wanita. Batu struvite lebih sering ditemukan pada
wanita daripada pria.

D. Patogenesis9,10,11
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih
terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine
(stasis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan
bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi

18
infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat benigna, stiktura, dan buli-
buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya
pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan
organik maupun anorganik yang terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut
tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak
ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi
kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti
batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik
bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar.
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan
belum cukup mampu menyumbat saluran kemih. Untuk itu agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini
bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel
dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, laju aliran
urine di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran
kemih yang bertindak sebagai inti batu.

Kandungan batu kemih kebayakan terdiri dari :


1. 75 % kalsium.
2. 15 % batu tripe/batu struvit (Magnesium Amonium Fosfat).
3. 6 % batu asam urat.
4. 1-2 % sistin (cystine).

E. Manifestasi Klinis8,10,11
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai berat
karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis renalis, dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu
saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Keluhan

19
yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi atau letak batu, besar
batu, dan penyulit yang telah terjadi.
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada
pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik.
Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran
kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya
meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan
sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat
saluran kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter
(ureteropelvic junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di
daerah pinggang (flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan
pada batu ureter distal sering ke kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai
keadaan ini.
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena
terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin
didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi
sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan
jika disertai infeksi didapatkan demam-menggigil.

F. Diagnosis12
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk
menegakkan diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan
radiologik, laboratorium dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan
adanya obstruksi saluran kemih, infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara
radiologik, batu dapat radioopak atau radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda
untuk berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga jenis batu yang
dihadapi.

20
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih
yang dapat menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi
ginjal, dan menentukan sebab terjadinya batu.
Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal
secara terpisah pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total.
Cara ini dipakai untuk memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal
yang cukup sebagai dasar untuk melakukan tindak bedah pada ginjal yang
sakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat untuk melihat semua jenis batu,
menentukan ruang dan lumen saluran kemih, serta dapat digunakan untuk
menentukan posisi batu selama tindakan pembedahan untuk mencegah
tertingggalnya batu.
G. Diagnosis Banding8,10,11
Kolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih
lanjut, misalnya distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh karena itu,
jika dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya yang kanan, perlu
dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna, kandung empedu, atau
apendisitis akut. Selain itu pada perempuan perlu juga dipertimbangkan
adneksitis.
Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan
keganasan apalagi bila hematuria terjadi tanpa nyeri. Selain itu, perlu juga
diingat bahwa batu saluran kemih yang bertahun-tahun dapat menyebabkan
terjadinya tumor yang umumnya karsinoma epidermoid, akibat rangsangan
dan inflamasi. Pada batu ginjal dengan hidronefrosis, perlu dipertimbangkan
kemungkinan tumor ginjal mulai dari jenis ginjal polikistik hingga tumor
Grawitz.

H. Pemeriksaan Penunjang12.14
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan
diagnosis dan rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos Abdomen

21
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium
oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan paling sering dijumpai
diantara batu lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio
lusen). Urutan radioopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada
tabel 1.

Jenis Batu Radioopasitas


Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/Sistin Non opak
Tabel 1. Urutan Radioopasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih

2. Pielografi Intra Vena (PIV)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu
non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV
belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya
penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan
pielografi retrograd.
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV,
yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal
yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG
dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan
sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan
ginjal.
4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan Kristal.
5. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai fungsi
ginjal.
6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.

22
7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase
alkali serum.

I. Penatalaksanaan8,13,14
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih
secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih
berat. Indikasi untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih
adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil
karena suatu indikasi sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah
menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang sudah
menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera dikeluarkan.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti
diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu
yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran
kemih. Pilihan terapi antara lain :
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
c. α - blocker
d. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu
syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada
tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK
menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan
adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal

23
tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi
terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi.
2 PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu
yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen
kecil.

Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti


dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua
karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung
cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak.
Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli
urologi.
a. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
b. ureteroskopi atau uretero-renoskopi.
Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung
batu ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu seperti
yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis
pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-
masing operator dan ketersediaan alat tersebut.
c. Ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan
menjaringnya melalui alat keranjang Dormia).

24
2. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai
tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu
ureter yang melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya
kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun
atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.
J. Pencegahan14
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan
unsur yang menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu.
Pada umumnya pencegahan itu berupa :
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi
urin 2-3 liter per hari.
2. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.
3. Aktivitas harian yang cukup.
4. Pemberian medikamentosa.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan
adalah:
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat.
3. Rendah garam, karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri.
4. Rendah purin.
Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita
hiperkalsiuri tipe II.

K. Komplikasi

25
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang.
Komplikasi akut yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian,
kehilangan ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan intervensi sekunder
yang tidak direncanakan. Data kematian, kehilangan ginjal dan kebutuhan
transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat rendah. Komplikasi
akut dapat dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang
termasuk komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ
pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru
dan urinoma. Sedang yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter,
hematom perirenal, ileus, stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi
stent.
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak
hanya disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari
batu, terutama yang melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih
besar dari yang ditemukan karena secara klinis tidak tampak dan sebagian
besar penderita tidak dilakukan evaluasi radiografi (IVP) pasca operasi.
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat
menyebabkan terjadinya hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau
tanpa pionefrosis yang berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena.
Komplikasi lainnya dapat terjadi saat penanganan batu dilakukan. Infeksi,
termasuk didalamnya adalah pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi
melalui pembedahan terbuka maupun noninvasif seperti ESWL.

L. Prognosis13
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu,
makin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi
dapat mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan
adanya infeksi karena faktor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan
fungsi ginjal

26
3.4 Spinal Anestesi
3.4.1 Anatomi Medula Spinalis

Gambar 3. Medula Spinalis

Columna vertebralis terbagi atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra thorakal,


5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral menyatu pasa dewasa dan 4-5 vertebrae
koksigeal menyatu pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah
oksipital. Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra
prominens. Garis lurus yang menghungkan kedua Krista iliaka setinggi akan
memotong prosesus spinosus vertebra L4 atau antara L4-L5.14,15
Peredaran darah untuk medulla spinalis di perdarahi oleh a.spinalis anterior
dan a. spinalis posterior. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik
akan menembus kulit ke subkutis kemudian ligamentum supraspinosum ke
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan
ruang subarachnoid.14
Medulla spinalis berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus meningens ( duramater, lemak dan pleksus venosus).

27
Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus
duralis berakhir setinggi S2.14
Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari
pleksus aryeria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Caitran ini
jernih tak berwarna mengisi ruang subaracnoid dengan jumlah total 100-150 ml,
sedangkan yang ada di punggung sekitar 25-45 ml.14

Gambar 4. Susunan Anatomi ligament vertebra1


3.4.2 Fisiologi Anestesi Spinal
Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf motorik
menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot mengalami
kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan dan nyeri dari
sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan saraf otonom mengontrol caliber
pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang tidak
berhubungan dengan kendali kesadaran. Umumnya saraf otonom dan sensorik
terblok sebelum saraf motorik. Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah pun
dapat terjadi ketika saraf otonom di blok.15,16
3.4.3 Defenisi
Spinal anestesi adalah pemberian obat anestetik lokal dengan cara
menyuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid. Teknik tersebut dinilai cukup efektif
dan mudah dikerjakan. Spinal anestesi/ Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan
oleh August Bier pada tahun 1898, teknik ini telah digunakan untuk anestesi,
terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama teknik ini

28
adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal
pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap
sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post
operatif dan analgesia yang minimal. Spinal anestesi dilakukan di bawah lumbal 1
pada orang dewasa dan lumbal 3 pada anak-anak dengan menghindari trauma pada
medulla spinalis.14,15,16

Gambar 5. Spinal anestesi

3.4.2 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia13,17


 Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khususs, misalnya alergi, mual, muntah,
nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah sehingga kita dapat
merencanakan anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Klasifikasi status fisik

29
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologist (ASA)
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik dan biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang
KelasIII : Pasien dengan penyakit sistemik berrat, sehingga
aktivitas rutin terbatas
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anesthesia.
 Premedikasi 17,18,19
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia.
Obat peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa
jam sebelum induksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg
intramuscular.
 Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan.
Induksi anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan
pembedahan selesai.

30
3.4.3 Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi:13,16
 Bedah ekstremitas bawah
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rectum-perineum
 Bedah obsetri-genekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah
 Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi
dengan anesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi antikoagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus
dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :


 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.

31
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan
hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah
jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-
ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman1,15

Komplikasi anestesi spinal 16


Komplikasi tindakan anastesi spinal meliputi:
 Hipotensi berat
 Bradikardia
 Hipoventilasi
 Trauma pembuluh darah
 Trauma saraf
 Mual-muntah
 Gangguang pendengaran
 Blok spinal tinggi atau spinal total.
Komplikasi pasca tindakan:
 Nyeri tempat suntikan
 Nyeri punggung
 Nyeri kepala karena kebocoran likuor

32
 Retensio urin
 Meningitis
3.4.6 Persiapan Analgesia Spinal16
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
analgesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal berikut
1. Informed Consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang punggung dan lain-lain.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (protrombin time) dan PTT (partial
tromboplastine time)
3.4.7 Peralatan Analgesia Spinal15,16,17
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG
2. Peralatan anetesia/resusitasi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quincke
bobcock) atau jarum spinal denga ujung pensil (pensil poit whitecare)

Gambar 6. Jarum Spinal

33
4. Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut
isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut
hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut
hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk
jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat

34
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local. [2][8][11]

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.[6][7][8]
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga

35
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.[9][10]
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya
hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.[10]
3.4.8 Teknik analgesia spinal 14,15,16,17
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
Teknik:
 Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista
iliaka kanan-kiri akan memotong garis tengah punggung
setinggi L4 atau L4-L5.
 Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vetebra lumbalis
 Pungsi lumbal hanya antara : L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
 Duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi
maksimal.

36
Gambar 7. Posisi penyuntikan
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-
kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal
berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar
dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel
mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-
pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum
spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah
jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu
dapat dimasukan kateter.

37
Gambar 8. Cara Tusukan

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah


hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
7. Penyebaran anastetik lokal tergantung:16
 Faktor utama:
 Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
 Posisi pasien
 Dosis dan volume anestetik local
 Kecepatan suntikan/barbotase
 Ukuran jarum
 Keadaan fisik pasien
 Tekanan intra abdominal
 Lama kerja anestetik lokal tergantung:
 Jenis anestetia lokal
 Besarnya dosis
 Ada tidaknya vasokonstriktor
 Besarnya penyebaran anestetik local

38
3.4.9 KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin
berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan
venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian
cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin
atau fenilefedrin.Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat
pada saat dilakukan anestesi spinal.Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba
biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik
pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek
Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse
cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb
dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan
cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4
menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat
terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat
diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4mg IV. [2][6][7]

2. Blok Tinggi atau Total


Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang
bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran,
paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung.

39
Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas
pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering
terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan
sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor
penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total.
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas
terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf
phrenikus biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor,
dan pemberian oksigen bertekanan positif.Setelah tingkat anestesi spinal
berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi.
Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi
ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat. [2][6][7]

3. Komplikasi Sistem Respirasi


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak
nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang
perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.[2]

40
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi
lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan
pada kehamilan meningkat.Untuk menangani komplikasi ini dapat
diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan ranitidine.[2][6][7]

5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)


Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala.Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada
dural pada anestesi epidural.Insiden terjadi komplikasi ini tergantung
beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar
ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu,
insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan
pasien yang dehidrasi.Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam
6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Terapi konservatif dalam waktu
24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi
(secara cairan oral atau intravena),analgesic, dan suport yang kencang pada
abdomen. [2][6][7]

6. Komplikasi Sistem Neurologi


Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah
rendah.Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis
aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal
ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic

41
hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang
dalambeberapa hari.Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi
perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan.Ia ditandai dengan
defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat
yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.Komplikasi
neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.Reaksi ini
biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan.Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik
pada tungkai yang progresif.Pada penyakit initerdapat reaksi proliferatif
dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.Iskemia dan
infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang
lama.Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran
darah ke korda spinal.Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma
tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan
solution anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat
jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor
didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral
merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar keruang
subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesiaadalah jarang.Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada
tungkai bawah karenaiskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalahefek sekunder dari nekrosis
iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam
korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri:
kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan
suplai darah dari arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan
aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan
aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.

42
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jikaanestesi spinal
diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat
kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis.Maka
penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia merupakan
kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalamruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam,leukositosis, dan rigiditas nuchal.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesiregional
pada pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang
menderita selulitis.Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.[2][6][7]

43

Anda mungkin juga menyukai