Anda di halaman 1dari 33

Case Report Session

EPILEPSI

oleh:

Putri Rahmawati 1310311032

Preseptor:
Prof. dr. Basjiruddin A, Sp.S(K)
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)

ILMU PENYAKIT SARAF


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis
yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi
akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Sedangkan serangan atau bangkitan Epilepsi dikenal dengan
berbagai macam etiologi. 1
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 Epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang Epilepsi sebelumnya. 1
Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang
secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel
saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(“unprovoked”). 1
1.2. Epidemiologi
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami Epilepsi. Setiap orang
memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing, apakah lebih tahan atau
kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu, penyebab Epilepsi cukup
beragam: cedera otak, keracunan, strok, infeksi, infestasi parasit, dan tumor otak.
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras
apa saja. Jumlah penderita Epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum,
diperoleh gambaran bahwa insidensi Epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak
insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut. 2
1.3. Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di
otak. Sekitar 70% kasus Epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai Epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan

2
sebagai Epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik, dan metabolik. Epilepsi
kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West Syndrome dan Lennox-Gastaut Syndrome.
Bila salah satu orang tua Epilepsi (Epilepsi idiopatik), maka kemungkinan
4% anaknya Epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya Epilepsi maka
kemungkinan anaknya Epilepsi menjadi 20 – 30%. Beberapa jenis hormon dapat
mempengaruhi serangan Epilepsi seperti hormon estrogen dan tiroid (hipotiroid
dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan Epilepsi, sebaliknya
hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid, dan testosteron dapat menurunkan
kepekaan terjadinya serangan Epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam
kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron),
misalnya dalam masa haid, kehamilan, dan menopause. Perubahan kadar hormon
ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan Epilepsi. Epilepsi mungkin
disebabkan oleh 1:
1. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak.
2. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain.
3. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksia atau hipoksia waktu
lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi
kongenital pada otak, atau infeksi.
4. Pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah Epilepsi idiopatik,
sedangkan pada anak umur 5 – 6 tahun, disebabkan karena febris.
5. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi karena cedera kepala maupun
tumor.

Penyebab spesifik dari Epilepsi sebagai berikut 3 :


1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti
ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami
infeksi, minum alkohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia) atau kerusakan karena tindakan.

3
3. Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4. Tumor otak merupakan penyebab Epilepsi yang tidak umum, terutama
pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.
7. Penyakit keturunan seperti Fenilketonuria (FKU), Sclerosis Tuberose, dan
Neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
8. Kecerendungan timbulnya Epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal
diturunkan pada anak.
1.4. Faktor Pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
1. Kurang tidur
2. Stress emosional
3. Infeksi
4. Obat-obat tertentu
5. Alkohol
6. Perubahan hormonal
7. Terlalu lelah
8. Fotosensitif
1.5. Klasifikasi
1.5.1. Klasifikasi menurut Etiologi 3
1.5.1.1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukannya
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang
abnormal.
1.5.1.2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada
masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum

4
kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
1.5.2. Klasifikasi Umum
Ada dua klasifikasi Epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada
tahun 1981 menetapkan klasifikasi Epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe
serangan Epilepsi) 4:
 Serangan Parsial
o Serangan Parsial Sederhana (Kesadaran Baik)
 Dengan Gejala Motorik
 Dengan Gejala Sensorik
 Dengan Gejala Otonom
 Dengan Gejala Psikis
o Serangan Parsial Kompleks (Kesadaran Terganggu)
 Serangan Parsial Sederhana Diikuti dengan Gangguan
Kesadaran
 Gangguan Kesadaran saat Awal Serangan
 Serangan Umum Sederhana
o Parsial Sederhana Menjadi Tonik-Klonik
o Parsial Kompleks Menjadi Tonik-Klonik
o Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
 Serangan umum
o Absens (Lena)
o Mioklonik
o Klonik
o Tonik
o Atonik (Astatik)
o Tonik-klonik
 Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).

5
Klasifikasi menurut sindroma Epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
3,4

 Fokal atau Parsial (Localized Related)


o Idiopatik
 Epilepsi Benigna dengan Gelombag Paku di Daerah Sentral
Temporal (Chilhood Epilepsy with Centrotemporal Spikes)
 Epilepsi Benigna dengan Gparoksimal pada Daerah
Oksipital
 Epilepsi pada saat Membaca (Primary Reading Epilepsy)
o Simptomatik
 Epilepsi Parsial Kontinua yang Kronik Progesif pada Anak
(Kojenikow’s Syndrome)
 Sindrom dengan Bangkitan yang Dipresipitasi oleh Suatu
Rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat obatan,
hiperventilasi, refleks Epilepsi, stimulasi fungsi kortikal
tinggi, membaca)
 Epilepsi Lobus Temporalis
 Epilepsi Lobus Frontalis
 Epilepsi lobus parietalis
 Epilepsi lobus oksipitalis
o Kriptogenik
 Epilepsi Umum
o Idiopatik
 Kejang Neonatus Familial Benigna
 Kejang Neonatus Benigna
 Kejang Epilepsi Mioklonik pada Bayi
 Epilepsi Lena pada Anak
 Epilepsi Lena pada Remaja
 Epilepsi Mioklonik pada Remaja
 Epilepsi dengan Serangan Tonik-Klonik saat Terjaga
 Epilepsi Tonik-Klonik yang Dipresipitasi dengan Aktivasi
Spesifik

6
 Epilepsi Umum Idiopatik Lain
o Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
 Sindroma West (Spasmus Infantil)
 Sindroma Lennox-Gastaut
 Epilepsi Mioklonik Astatik
 Epilepsi Lena Mioklonik
o Simtomatik
 Etiologi Nonspesifik
 Ensefalopati Mioklonik Dini
 Ensefalopati Infantil Dini dengan Burst Supression
 Epilepsi Simtomatik Umum Lainnya
 Etiologi Spesifik
 Bangkitan Epilepsi sebagai Komplikasi Penyakit Lain
 Epilepsi dan Sindrom yang Tak Dapat Ditentukan Fokal atau Umum
o Bangkitan Umum dan Fokal
 Bangkitan neonatal
 Epilepsi Mioklonik Berat pada Bayi
 Epilepsi Gelombang Paku (Spike Wave) Kontinua selama
Tidur Dalam
 Epilepsi Afasia Didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
 Epilepsi Bangkitan Umum dan Fokal Lainnya
o Tanpa Gambaran Tegas Fokal atau Umum
 Sindrom khusus
o Bangkitan yang Berkaitan dengan Situasi Tertentu
 Kejang Demam
 Bangkitan Kejang atau Status Epileptikus Hanya Sekali
(Isolated)
 Bangkitan Hanya pada Kejadian Metabolik Akut, Toksis,
Alkohol, Obat-Obatan, Eklamsia, atau Hiperglikemi
NonKetotik
 Bangkitan dengan Pencetus Spesifik (Epilepsi Reflektorik)

7
Diagnosis pasti Epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung
terjadinya serangan namun serangan Epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh
dokter, sehingga diagnosis Epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan
alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat juga sulit didapatkan,
karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan
sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali
bahwa ia baru saja mendapat serangan Epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang
dapat membantu menegakkan diagnosis penderita Epilepsi adalah rekaman
Elektroensefalografi (EEG). 4,5
1.6. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-
juta neuron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(Gama-Amino-Butiric-Acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
saraf dalam sinaps. Bangkitan Epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
saraf di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota
gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan
hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. 5
Otak  Neuron  GABA  Menyalur dan Mengolah Aktivitas Listrik
Saraf  Sinaps  Neurotransmiter  Pusat Listrik Saraf  N. Eksidatif 
Epileptogen 
 Depolarisasi Belahan Hemisfer  Kejang  Tanpa Hilang Kesadaran

8
 Substansia Retikularis  Kejang  Penurunan Kesadaran

1.7. Manifestasi Klinis


1.7.1. Epilepsi Umum
1.7.1.1. Major

Grand mal (meliputi 75% kasus Epilepsi).


 Primer
 Sekunder
Bangkitkan Epilepsi Grand Mal ditandai dengan hilang kesadaran dan
bangkitan tonik-Konik. Manifestasi klinik kedua golongan Epilepsi Grand Mal
tersebut sama, perbedaannya terletak pada ada tidaknya aura, yaitu gejala
pendahulu atau preiktal sebelum serangan -kejang. Pada Epilepsi Grand Mal
Simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak
fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala, dan sebagainya. 5
Bangkitan Epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga
aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. Otot-
otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai
ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar
jeritan yang dinamakan Jeritan Epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul
dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-
banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 – 3 menit. 5

9
1.7.1.2. Minor
1.7.1.2.1. Petit mal
Epilepsi Petit Mal yang sering disebut Epilepsi Pykno ialah Epilepsi
Umum Idiopatik. Meliputi kira-kira 3 – 4% dari kasus Epilepsi. Umumnya timbul
pada anak sebelum pubertas (4 – 5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan
kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk
sering kali masih dapat dipertahankan. Kadang-kadang terlihat gerakan alis,
kelopak, dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan
aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari.
Bangkitan Petit Mal yang tak ditanggulangi, 50%nya akan menjadi Grand Mal.
Petit Mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diprediksi
berdasarkan 4 ciri :
1. Timbul pada usia 4 – 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan
frekuensi 3 per detik.
1.7.1.2.2. Bangkitan Mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter, misalnya anggukan kepala, fleksi
lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga
sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat
peka terhadap rangsang sensorik. 5
1.7.1.2.3. Bangkitan Akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus
otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan
dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (Petit Mal,
Mioklonus dan Akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias
Lennox-Gastaut. 1,3
1.7.1.2.4. Spasme Infantil
Jenis Epilepsi ini juga dikenal sebagai Salaam Spasm atau Sindroma West.
Timbul pada bayi 3 – 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang
pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang

10
luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi, dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis, dan berkeringat.
1.7.2. Epilepsi Parsial (20% dari seluruh kasus Epilepsi)
1.7.2.1. Bangkitan Motorik
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada
salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran.
Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai
pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian Marche.4
1.7.2.2. Bangkitan Sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somatosensorik dengan fokus terletak di Gyrus Post Centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi
abnormal, atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik
pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat mencapai
korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. 3
1.7.2.3. Epilepsi Lobus Temporalis
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala
fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena
fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi
kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra
tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat
psikomotorik dan oleh karena itu Epilepsi jenis ini dulu disebut Epilepsi
Psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya
berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut 3:
1. Kesadaran hilang sejenak.
2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran
antara sadar dan mimpi (Twilight State).

11
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam.
Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran, atau
perasaan aneh
1.8. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang yang menderita Epilepsi, dapat
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung, maka Epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. 3,5
1.8.1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler, dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
 Pola atau bentuk serangan
 Lama serangan
 Gejala sebelum, selama, dan paskaserangan
 Frekuensi serangan
 Faktor pencetus
 Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
 Usia saat serangan terjadinya pertama
 Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
 Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
 Riwayat penyakit Epilepsi dalam keluarga
1.8.2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis

12
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
Epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, dan perbedaan ukuran antara
anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral. 3,5
1.8.3. Pemeriksaan Penunjang
1.8.3.1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien Epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis Epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. 3,4
Rekaman EEG dikatakan abnormal jika:.
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya, misal gelombang delta.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal. Bentuk Epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya Spasme Infantil mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, Epilepsi Petit Mal dengan gambaran EEG berupa
gelombang paku ombak 3 siklus per detik, Epilepsi Mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku tajam lambat dan
paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
1.8.3.2. Rekaman Video dan EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi

13
sumber serangan. Rekaman video dan EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus Epilepsi Refrakter. Penentuan lokasi fokus Epilepsi Parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. 5
1.8.3.3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah Neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan, maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri. 3
1.9. Tata Laksana
1.9.1. Obat-obat Anti Epilepsi
Obat Anti-Epilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen
Epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan
kemungkinan terjadinya serangan Epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek
buruk akibat terapi OAE. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun
demikian, kurang lebih 30 – 50% pasien tidak berespon terhadap monoterapi.
Tujuan pengobatan Epilepsi dengan OAE adalah menghindari terjadinya
kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi). 3,4
Di Indonesia telah tersedia berbagai jenis OAE. Program jangka panjang,
dosis obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi Epilepsi
merupakan faktor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat
merupakan hal penting untuk menurunkan serangan.
1.9.2. Prinsip Terapi OAE
1.9.2.1. Menentukan Diagnosis yang Tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada Epilepsi. Orang yang
terdiagnosis Epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita Epilepsi akan
meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan
adanya efek yang merugikan akibat OAE.

14
1.9.2.2. Menentukan Kapan Dimulainya Terapi dengan OAE
1.9.2.2.1. Setelah Kejang Pertama
Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama,
menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko
terjadinya kejang selanjutnya, yaitu Treat, Possibly Treat dan Probably Treat.
Tabel 1
A. Treat:
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat Epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola Epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang
demam pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau strok, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todd’s Postical Paresis
f. Status Epileptikus
B. Possibly:
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di
atas. Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan OAE. Risiko pengobatan OAE umumnya
rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.
Pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan, mempunyai risiko besar, atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.
C. Probably Not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
1. Putusnya alkohol
2. Penyalahgunaan obat
3. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
4. Kejang karena trauma (kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di
kepala)

15
5. Sindrom Epilepsi Benigna Spesifik, seperti: Kejang Demam atau Epilepsi
Benigna dengan Spikes Sentrotemporal.
6. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-
waktu ujian
1.9.2.2.2. Setelah Kejang Dua Kali atau Lebih
Pada umumnya, pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti
kejang akibat putusnya alkohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut
seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang
tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), Sindrom Epilepsi Benigna
Spesifik, seperti: Kejang Demam atau Epilepsi Benigna dengan Spikes
Sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam
waktu-waktu ujian, dan kejang akibat penyebab nonepileptik lainnya. 3,4
1.9.2.3. Memilih Obat yang Sesuai
Pemilihan OAE didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien.
1.9.2.3.1. Tipe Serangan
Tabel 2. Modifikasi Brodie et al (2005) dan Panayiotopoulos (2005)
Tipe Serangan First-Line Second-Line/Add Third Line/Add
On On
Parsial Sederhana & Karbamazepin Asam Valproat Tiagabin
Kompleks dengan Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
atau Tanpa Sekunder Fenobarbital Zonisamid Felbamat
Umum Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik-Klonik Asam Valproat Lamotrigin Topiramat
Karbamazepin Okskarbazepin Levetiracetam
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam Valproat Topiramat Lamotrigin

16
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital
Absens (Tipikal dan Asam Valproat Etosuksimid Levetiracetam
Atipikal) Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam Valproat Lamotrigin Felbamat
Topiramat
Tonik Asam Valproat Klonazepam -
Fenitoin Klobazam
Fenobarbital

Epilepsy Absence Asam Valproat Klonazepam -


Juvenile Etosuksimid
Epilepsy Mioclonic Asam Valproat Klonazepam -
Juvenile Fenobarbital Etosuksimid
1.9.2.3.2. Karakteristik Pasien
Dalam pengobatan dengan OAE, karakteristik pasien harus
dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah:
efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup, dan usia pasien. Suatu OAE
mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontraindikasi atau terjadi
reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan.
Sebagai contoh, Asam Valproat pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam
usia subur. 2,3
1.9.2.4. Optimalisasi Terapi dengan Dosis Individu
Ketika obat sudah dipilih untuk terapi, seharusnya dimulai dari dosis yang
paling rendah yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai
kejang terkontrol dengan efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi). 3
1.9.2.4.1. Dosis Awal
Terapi OAE harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk
meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi
pada permulaan terapi dengan OAE. Frekuensi efek samping ini cenderung
menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa
cara pemberian dosis awal :

17
1.9.2.4.1.1. Pemberian Obat Mulai dari Dosis Subterapetik
Sejumlah OAE memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis
awal, di antaranya Karbamazepin, Etosuksimide, Felbamate, Lamotrigin,
Pirimidon, Tiagabin, Topiramat dan Asam Valproat. Munculnya ruam pada
penggunaan Lamotrigin dihubungkan dengan dosis. Untuk meminimalkan efek
samping pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai
dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu
tercapainya cakupan dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi
selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat
ditoleransi pasien. Setelah simtom menghilang, proses titrasi dimulai kembali
dengan menaikkan dosis yang lebih kecil. 4,5

1.9.2.4.1.2. Pemberian Obat Mulai dari Dosis Terapetik


Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada OAE seperti Gabapentin,
Fenitoin, dan Fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi
dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang
direkomendasikan. 4
1.9.2.4.2. Evaluasi Ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan OAE dan penggantian OAE dengan
obat lain, faktor-faktor berikut harus dievaluasi kembali:
1. Diagnosis Epilepsi
2. Klasifikasi tipe serangan atau sindrom Epilepsi
3. Adanya lesi aktif
4. Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi, misal: Apakah dosis
terpaksa diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?
Apakah pengaturan dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai
kondisi optimal?
5. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab
yang paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya
bangkitan).

18
Table 3. Dosis OAE untuk dewasa
Obat Dosis Dosis Dosis Frekuensi Efek Samping
Awal yang Rumata Pemberia
(mg/hari Paling n n
) Umum (mg/hari (kali/hari)
(mg/hari )
)
Fenitoin 200 300 100 – 1–2 Hirsutisme,
700 hipertrofi gusi,
distres lambung,
vertigo,
hiperglikemia,
anemia
makrositik
Karbamazepin 200 600 400 – 2–4 Depresi sumsum
2000 tulang, distress
lambung, sedasi,
penglihatan
kabur, konstipasi,
ruam kulit
Okskarbazepi 150 – 900 – 900 – 2–3 Gangguan GI,
n 600 1800 2700 sedasi, diplopia,
hiponatremia,
ruam kulit
Lamotrigin 12,5 – 25 200 – 100 – 1–2 Hepatotoksik,
400 800 ruam, sindrom
steven-johnson,
nyeri kepala,
pusing,
penglihatan
kabur
Zonisamid 100 400 400 – 1–2 Somnolen,

19
600 ataksia,
kelelahan,
anoreksia,
pusing, batu
ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500 – 1–2 Mual, muntah,
2000 BB ↓, konstipasi,
diare, gangguan
tidur
Felbamat 1200 2400 1800 – 3 gg. GI, BB ↓ ,
4800 anoreksia, nyeri
kepala, insomnia,
hepatotoksik
Topiramat 25 – 50 200 – 100 – 2 Faringitis,
400 100 insomnia, BB ↓,
konstipasi, mulut
kering, sedasi,
anoreksia
Clobazam 10 20 10 – 40 1–2
Clonazepam 1 4 2–8 1–2 Mengantuk,
kebingungan,
nyeri kepala,
vertigo, sinkop
Fenobarbital 60 120 60 – 240 1–2 Sedasi, distress
lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Tiagabin 4 – 10 40 20 – 60 2–4 Mulut kering,
pusing, sedasi,
langkah
terhuyung, nyeri
kepala,

20
eksaserbasi
kejang
generalisata
Vigabatrin 500 – 3000 2000 – 1–2
1000 4000
Gabapentin 300 – 2400 1200 – 3 Leukopenia,mulu
400 4800 t kering,
penglihatan
kabur, mialgia,
penambahan
berat, kelelahan
Pregabalin 150 300 150 – 2–3
600
Valproat 500 1000 500 – 2–3 Mual,
3000 hepatotoksik
Levetiraceta 1000 2000 – 1000 – 2
m 3000 4000

1.9.3.

21
1.9.3. Mekanisme Kerja OAE
1.9.4. Penggantian Obat
Penggantian OAE pertama dilakukan jika:
1.9.4.1. Serangan terjadi kembali meskipun OAE pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka OAE kedua
harus segera dipilih. 3
1.9.4.2. Terjadi reaksi obat pertama, baik efek samping, reaksi alergi, ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi
dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada
cakupan dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus
diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang
pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan
sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal.
Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga
obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi
dipertimbangkan. 3
1.9.4.3. Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan
Epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni:
1. Mudah dilakukan evaluasi hasil pengobatan;
2. Mudah dievaluasi kadar obat dalam darah;
3. Efek samping minimal (dapat ditoleransi pada 50 – 80% pasien) (Pellock,
1995); dan
4. Terhindar dari interaksi obat-obat.
Dewasa ini, terapi obat pada penderita Epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai
dengan obat tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe Epilepsi atau
bangkitan dan obat yang paling tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus
yang mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek
samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan
memerlukan kombinasi obat.3

22
1.9.4.4. Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt
(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut
menggunakan Vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus Epilepsi Parsial
Refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5
macam obat. Dengan tambahan Vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi
frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik. Penggunaan politerapi
memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik, terutama interaksi
obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena itu
interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif. 3
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,
misalnya: Valproat dan Etosuksimid dalam manajemen bangkitan absens
refrakter. Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai
mekanisme yang berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan
apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional
memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar
terapetik dan kadar toksik, serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal
dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:
1. Mempunyai mekanisme aksi berbeda;
2. Efek samping relatif ringan;
3. Indeks terapi lebar; dan
4. Interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapainya terapi Epilepsi antara lain ialah bangkitan terkendali
dengan efek samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali.
1.9.5. Pemantauan Terapi
 Manajemen umum Epilepsi:
o Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis
yang tepat
o Menentukan dan mengobati penyebab

23
 Mengobati serangan:
 Menilai perlunya terapi obat:
o Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut
yang reversibel
o Terapi obat tidak perlu untuk Epilepsi Benigna yang diketahui
dengan pasti (Kejang Demam, Rolandic Epilepsy)
o Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai
apakah banyak manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien
dengan risiko tinggi.
o Pemberian OAE yang sesuai
o Temukan dan hindari faktor presipitat (alkohol, kurang tidur, stres
emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)
o Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan
implantasi stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati
dengan OAE.
 Mencegah komplikasi akibat serangan Epilepsi :
o Hentikan kejang
o Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
o Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
1.9.6. Ketaatan Pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
merupakan faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada Epilepsi, di mana pada
penderita Epilepsi yang patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6, 12, dan
24 bulan terus menerus dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat.
Kriteria kepatuhan minum obat yang dipakai adalah menurut Ley (1997) cit
Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh minum obat apabila memenuhi 4
hal berikut:
1. Dosis yang diminum sesuai dengan yang dianjurkan
2. Durasi waktu minum obat di antara dosis sesuai yang dianjurkan
3. Jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan
4. Tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan. 5

24
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat
pada penderita Epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter,
pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi,
pengaruh biaya pengobatan, serta adanya pengaruh stigma akibat Epilepsi. 3,4
1.9.7. Penghentian Pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan
memulai pengobatan. Di pihak lain, penderita atau orang tua pada umumnya
menanyakan berapa lama atau sampai kapan harus minum obat. Untuk
memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat
dihentikan, atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tua tadi
memang tak mudah. Untuk itu, perlu memahami diagnosis (termasuk
serangannya) dan prognosis Epilepsi. 1,2
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat
kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah
adalah jenis serangan absens yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi
tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,
parsial, serangan yang lebih dari satu jenis, dan Epilepsy Jackson. 3
Konsep penghentian obat minimal dua tahun terbebas dari serangan pada
umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan
secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian
jelas bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat dan kepada
penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya. 3

25
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
 Nama : Ny.SF
 Umur : 29 tahun
 Kelamin : Wanita
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 No. RM RS : 641882
 Tanggal Pemeriksaan : 12 September 2017
 Status Perkawinan : Menikah
 Negeri Asal : Indonesia
 Agama : Islam
 Nama Ibu Kandung : Ny. N
 Suku : Minangkabau
 Alamat : Jati VII, Padang
2.2. Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama: Kejang berulang di seluruh tubuh sejak tiga tahun yang
lalu
2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
 Kejang berulang di seluruh tubuh sejak tiga tahun yang lalu
 Awalnya, kejang timbul saat bermain laptop. Pasien menjadi kaku, mata
mendelik ke atas, mulut berbusa, dan kesadaran menurun.
 Setelah kejang yang pertama, pasien kemudian mengalami kejang
berulang dengan pola yang berbeda diawali dengan nyeri kepala seperti
ditusuk dan kedua mata berkunang-kunang. Pasien mengalami lemas
kemudian otot menegang selama ±10 detik membentuk postur seperti
bermain hanggar tanpa disertai penurunan kesadaran.
 Kejang timbul saat pasien mengalami stres dan meningkat frekuensinya
saat menstruasi.
 Tidak ada perubahan perilaku dari pasien.

26
2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat kejang saat kecil disangkal
 Riwayat trauma disangkal
 Riwayat keganasan ada (Tumor Mandibula)
2.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama
2.2.5. Riwayat Pribadi dan Sosial
 Kejang mengganggu aktivitas sehari-hari
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Umum
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : GCS E4M6V5 = 15
 Kooperatif : Komposmentis kooperatif
 Nadi : 84 kali/menit
 Nafas : 20 kali/menit
 Tekanan Darah : 120/75 mmHg
 Suhu : 36,3°C
 Rambut : Dalam batas normal
 Kulit dan kuku : Dalam batas normal
 Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran di leher, aksila, dan
inguinal
 Toraks : Dalam batas normal
 Jantung : Dalam batas normal
 Abdomen : Dalam batas normal
 Korpus Vertebrae : Dalam batas normal
2.3.2. Status Neurologikus
 Tanda Rangsang Selaput Otak : Tidak ditemukan kelainan
 Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial : Pupil isokor o 3/3
 Pemeriksaan Nervus Kranialis
o N. I : Tidak dilakukan
o N. II : Tidak ditemukan kelainan

27
o N. III, IV, VI : Kedua bola mata ortoposisi, ptosis (-), gerakan
kedua bulbus baik, strabismus (-), nistagmus (-), esko/endoftalmus (-
), pupil isokor 3/3, refleks cahaya (+/+), refleks tidak langsung (+/+),
diplpopia (-)
o N. V : Motorik baik, sensorik baik
o N. VII : Raut wajah simetris, gerakan wajah simetris
o N.VIII : Tidak dilakukan
o N. IX : Tidak dilakukan
o N. X : Arkus faring simetris, uvula di tengah, gerak
menelan normal, suara normal,
o N. XI : Dapat menoleh ke kanan dan kiri, dapat
mengangkat bahu kanan dan kiri
o N. XII : Kedudukan lidah dalam simetris, kedudukan lidah
luar simetris, tremor (-), atrofi (-)
 Pemeriksaan Keseimbangan dan Koordinasi
o Keseimbangan
 Romberg Test : Tidak ditemukan kelainan
 Heel to Toe Wakling : Tidak ditemukan kelainan
o Koordinasi
 Tes Telunjuk-Telunjuk : Tidak ditemukan kelainan
 Tes Hidung-Jari : Tidak ditemukan kelainan
 Tes Tes Pronasi-Supinasi : Tidak ditemukan kelainan
 Tes Tumit-Lutut : Tidak ditemukan kelainan
 Rebound Phenomenon : Tidak ditemukan kelainan
 Pemeriksaan Fungsi Motorik
o Badan
 Respirasi : Tidak ditemukan kelainan
 Duduk : Tidak ditemukan kelainan
o Berdiri dan Berjalan
 Gerakan Spontan : Tidak ditemukan
 Tremor : Tidak ditemukan
 Atetosis : Tidak ditemukan

28
 Mioklonik : Tidak ditemukan
 Chorea : Tidak ditemukan
o Ekstremitas
 Kekuatan

555 555
555 555

 Trofi : Tidak ditemukan


 Pemeriksaan Sensibilitas
o Eksteroseptif : Tidak ditemukan kelainan
o Proprioseptif : Tidak ditemukan kelainan
o Somatostesia Luhur : Tidak ditemukan kelainan
 Sistem Refleks
o Fisiologis
 Kornea : +/+
 Bisep : ++/++
 Trisep : ++/++
 KPR : ++/++
 APR : ++/++
o Patologis
 Hoffmann-Tromner : -/+
 Babinski : -/-
 Chaddoks : -/-
 Oppenheim : -/-
 Gordon : -/-
 Schaeffer : -/-
2.3.3. Fungsi Otonom
 Miksi : Tidak ditemukan kelainan
 Defekasi : Tidak ditemukan kelainan
 Sekresi Keringat : Tidak ditemukan kelainan
2.3.4. Fungsi Luhur

29
 Kesadaran : Tidak ditemukan kelainan
 Tanda Dementia : Tidak ditemukan
2.4. Pemeriksaan Laboratorium: Tidak dilakukan
2.5. Rencana Pemeriksaan Tambahan
 EEG
 MRI Intrakranial
2.6. Diagnosis
 Diagnosis Klinis : Epilepsi Parsial Sederhana
 Diagnosis Topik : Intrakranial
 Diagnosis Etiologis : Idiopatik
 Diagnosis Sekunder :-
 Diagnoisis Banding :-
2.7. Prognosis: Dubia
2.8. Terapi
 Umum
o Tidur 8 jam per hari
o Hindari kegiatan fisik yang berlebihan
o Makan teratur
o Hindari stres
o Kontrol teratur
 Khusus
o Karbamazepin 2x200mg selama 2 pekan
o Asam folat 1x400mcg selama 2 pekan

30
BAB 3
DISKUSI

Seorang wanita berusia 29 tahun datang ke Poliklinik Saraf RSUP Dr. M.


Djamil Padang dengan keluhan kontrol teratur karena kejang berulang sejak 17
tahun yang lalu. Awalnya, kejang muncul saat pasien berusia 12 tahun saat pasien
sedang tidak beraktivitas. Pasien menjadi kaku, mata mendelik ke atas, mulut
berbusa, dan kesadaran menurun. Setelah kejang yang pertama, pasien kemudian
mengalami kejang berulang dengan pola yang berbeda diawali dengan nyeri
kepala seperti ditusuk dan kedua mata berkunang-kunang. Pasien mengalami
lemas, kemudian otot menegang selama 3 menit penurunan kesadaran. Biasanya,
kejang timbul saat pasien mengalami stres dan meningkat frekuensinya sebelum
pasien menikah sampai 3x seminggu, sedangkan sebelumnya hanya 2x sebulan.
Keluraga mengatakan tidak ada perubahan perilaku dari pasien. Dahulu, pasien
lahir menangis tidak spontan. Riwayat kejang saat kecil, trauma, dan keganasan
disangkal. Sepupu pasien dari pihak ibu mengalami penyakit yang sama. Kejang
tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Berdasarakan riwayat penyakit yang dikeluhkan pasien, dapat diarahkan
bahwa pasien menderita Epilepsi. Kejang timbul saat stres disebabkan karena
stres merupakan faktor pencetus Epilepsi.
Pada pemeriksaan fisik umum, tidak ditemukan kelainan pada pasien.
Pada status neurologikus, tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fungsi
otonom dan luhur juga tidak ditemukan kelainan. Sedikitnya kelainan yang
didapatkan pada pemeriksaan fisik penderita Epilepsi disebabkan karena kelainan
Epilepsi hanya timbul saat serangan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis dan menetapkan klasifikasi Epilepsi.
Untuk menegakkan diagnosis dan menetapkan klasifikasi Epilepsi,
dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang. EEG dapat digunakan untuk
melihat tipe gelombang listrik otak yang khas pada pasien meskipun serangan
Epilepsi tidak terjadi. Observasi pasien dengan menggunakan rekaman video dan
EEG hingga pasien mengalami serangan dapat menambah keakuratan diagnosis

31
dan klasifikasi Epilepsi. Selain itu, dibutuhkan pula MRI untuk memastikan fokus
lesi jika terdapat lesi pada otak pasien.
Diagnosis yang ditegakkan pada pasien Epilepsi sebagian besar didapat
dari auto anamnesis karena kelainan yang timbul pada pemeriksaan fisik tidak
timbul di luar serangan Epilepsi. Diagnosis klinis pada pasien ini adalah Epilepsi
Umum. Diagnosis topik penderita Epilepsi adalah intrakranial. Sementara
diagnosis etiologisnya belum diketahui, sehingga dibutuhkan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menegakkan diagnosis etiologis. Tidak terdapat diagnosis sekunder
pada pasien ini. Diagnosis banding tidak ditemukan karena kekhasan dari
penderita Epilepsi menyingkirkan diagnosis lain yang memungkinkan.
Prognosis dari penyakit ini adalah dubia. Pasien membutuhkan pengobatan
yang lama dan teratur untuk menghilangkan serangan Epilepsi. Pengobatan baru
dihentikan ketika pasien telah terbebas dari serangan selama dua tahun.
Terapi umum yang diberikan pada pasien bertujuan untuk menghindari
faktor pencetus Epilepsi. Pasien diharuskan untuk tidur yang cukup, makan
teratur, menghindari kegiatan fisik yang berlebihan, menghindari stres, dan
kontrol teratur. Terapi khusus bertujuan untuk mengendalikan serangan dengan
efek samping obat yang ringan atau tidak ada sama sekali. Pasien diberikan
Karbamazepin 2x200mg selama dua pekan. Karbamazepin dipilih karena
merupakan lini pertama dari OAE Parsial Sederhana. Dosis yang rendah sebagai
dosis awal diputuskan mengingat beberapa efek samping dari Karbamazepin
berupa depresi sumsum tulang, distres lambung, sedasi, penglihatan kabur,
konstipasi, dan ruam kulit. Pemberian obat selama dua pekan bertujuan untuk
evaluasi pengobatan yang diberikan kepada pasien berupa intensitas serangan
Epilepsi dan efek samping obat. Berdasarkan evaluasi pengobatan, dosis OAE
pasien mungkin dapat diturunkan, tetap, ditingkatkan, atau dilakukan politerapi.
Selain OAE, pasien juga diberikan asam folat sebagai suplemen untuk sistem
saraf pasien.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996
2. Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF
Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran
No. 157, 2007.
3. Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Epilepsi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1985
5. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics.
17th edition. Saunders. Philadelphia. 2004.

33

Anda mungkin juga menyukai