Anda di halaman 1dari 3

Merumuskan posisi SKK Migas

Oleh : Junaidi Albab Setiawan


( Advokat dan Pengamat Hukum Migas )
Jumat, 09 September 2016
16:09 WIB

Di tengah isu penggantian Kepala SKK Migas, saat ini DPR sedang melakukan revisi terhadap
UU Migas No 22/ 2001 sesuai prolegnas 2016. Salah satu poin hangat yang sedang dibicarakan
adalah posisi Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Muncul berbagai
pendapat tentang apa dan bagaimana sebaiknya SKK Migas diposisikan. Ada yang berpandangan
agar SKK Migas dikembalikan ke Pertamina, dibubarkan saja, dan ada pula yang berpikir agar
dijadikan BUMN khusus bisnis hulu di bawah Presiden.

Terlepas dari berbagai pandangan dengan masing-masing argumentasinya, satu yang pasti dari
perbedaan tersebut menunjukkan di kalangan legislator masih belum ditemukan kesepahaman
mengenai mengapa dan bagaimana SKK Migas diposisikan di mata hukum. Padahal pilihan
pemerintah Jokowi menempatkan pembangunan energi migas dan listrik sebagai salah satu dari
pilar megastruktur selain maritim, pangan, dan papan, menuntut ada UU Migas dan lembaga
pendukung yang kuat.

SKK Migas dibentuk berdasar Perpres No. 9/ 2013 sebagai tindak lanjut dari Perpres No.
95/2012 tentang pengalihan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu migas. Hari yang
sama dengan saat putusan MK No. 36/PUU/XI/2012 yang membubarkan BP Migas dibacakan.
Menurut ketentuan itu, SKK Migas adalah lembaga yang bersifat darurat untuk mengisi
kekosongan hukum akibat putusan MK. Pembentukan itu didasari oleh alasan agar paska
pembubaran BP Migas, iklim investasi dan kepastian hukum tetap terjaga di kalangan kontraktor
bisnis hulu migas.

Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, pemerintah mengambil alih fungsi BP Migas dan
melimpahkannya ke kementerian ESDM, sesuai amar putusan MK. Pemerintah membentuk
satuan kerja khusus yang disebut SKK Migas yang berperan mengambil alih fungsi dan
tanggung jawab BP Migas. Pembentukan ini sesungguhnya menimbulkan kerancuan. Jika
mengikuti bunyi putusan MK dan Perpres No. 95/ 2012, peran dan tanggung jawab itu
seharusnya dilaksanakan oleh Kementerian ESDM.

Dalam merumuskan posisi, fungsi, dan peran SKK Migas, seharusnya jangan pernah bergeser
dari amanat konstitusi. Sepanjang ketentuan pasal 33 ayat 2 dan 3 belum berubah, maka migas
bukanlah komoditi bebas, melainkan termasuk dalam cabang produksi yang menguasai hajat
hidup orang banyak. Karena itu, perlu tetap di bawah penguasaan dan kendali negara dan
dilaksanakan oleh suatu lembaga pelaksana melalui mekanisme “Kuasa Pertambangan”.

Rumuskan kuasa pertambangan


Karena itu, posisi SKK Migas juga sangat bergantung pada rumusan tentang “Kuasa
Pertambangan” migas. Sebelum menentukan posisi ini, seharusnya pembentuk undang-undang
merumuskan pengertian kuasa pertambangan ini.

Jika kita kilas balik, pada awalnya definisi kuasa pertambangan menurut UU Migas Nomor
44/PRP/1960 adalah “Wewenang yang diberikan kepada Perusahaan Negara untuk
melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi”. Dari definisi itu yang dikuasakan
adalah “melaksanakan usaha”. UU Migas 1960 memusatkan kuasa pertambangan kepada suatu
badan usaha, yakni Pertamina berdasar UU No 8 tahun 1971. Pertamina diberikan hak monopoli
atas bisnis migas yang meliputi seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia. Saat itu
Pertamina berperan ganda sebagai regulator sekaligus operator.

Pascareformasi, rumusan Kuasa Pertambangan dirubah dengan menerbitkan UU Migas baru No


22 tahun 2001. Menurut UU ini Kuasa Pertambangan adalah, “Wewenang yang diberikan
Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”.
Sistem ini memberikan kuasa pertambangan kepada pemerintah, bukan lagi kepada perusahaan.
Kegiatan hulu migas selanjutnya dipercayakan kepada Badan Pelaksana, suatu badan hukum
milik negara yang tidak bertujuan mencari keuntungan namun memiliki tugas untuk
menandatangani kontrak usaha hulu migas.

Karena alasan inkonstitusional, ketentuan tentang Badan pelaksana ini dibatalkan oleh putusan
MK No. 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Wewenang itu oleh putusan MK
kemudian dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan bidang migas. Untuk itulah
kemudian terbit Perpres No. 95/ 2012 yang mengatur tentang pengalihan pelaksanaan tugas dan
fungsi kegiatan usaha hulu migas kepada menteri ESDM dan dilanjutkan dengan terbitnya
Perpres No. 9/ 2013, yang mengatur kegiatan usaha hulu migas diselenggarakan oleh SKK
Migas. Mulai saat itu, sistem pengelolaan hulu migas menjadi berantakan dan tidak sistematis
lagi.

Kedua perpres ini sesungguhnya saling bertentangan. Perpres No. 95/2012 mengalihkan
pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi Badan pelaksana kepada Kementerian ESDM, sedang
menurut Perpres 9/2013 pelaksanaan tugas pengelolaan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan
oleh SKK Migas, sementara menteri hanya bertugas membina, mengkoordinir, dan mengawasi
namun tidak melaksanakan. Padahal perintah putusan MK dan Perpres 95/2012 adalah agar
fungsi dan tugas badan Pelaksana dilaksanakan oleh Kementerian ESDM.

Pemerintah rupanya gagal paham. Akibatnya, keberadaan SKK migas justru menyalahi perintah
putusan MK. Kesalahan ini semakin diperparah dengan pembentukan Komisi Pengawas SKK
Migas yang dipimpin oleh menteri ESDM yang seharusnya menjadi pelaksana. Ditambah lagi
ketentuan bahwa Kepala SKK Migas diangkat dan diberhentikan dan bertanggung jawab pada
Presiden.

Posisi SKK Migas dengan model sekarang tidak layak dipertahankan karena tidak taat azas
bahkan melangkahi putusan MK. Posisi SKK Migas ke depan sangat ditentukan oleh rumusan
kuasa pertambangan dalam UU Migas baru. Jika kuasa pertambangan tetap di tangan
pemerintah, SKK Migas sebaiknya dikembalikan sebagai organ kementerian ESDM yang khusus
mengurusi regulasi, perizinan, dan pengawasan kegiatan usaha hulu. Sedangkan kegiatan usaha
hulu hanya dilakukan oleh BUMN dan dapat bekerja sama dengan perusahaan mana pun yang
memiliki kemampuan dalam modal dan keahlian.

Anda mungkin juga menyukai