Anda di halaman 1dari 12

Referat Bedah Plastik

Periode 1 – 7 Mei 2017

PENYEMBUHAN FRAKTUR TULANG WAJAH

Disusun oleh:
Anggita Dewi G99161014
Arum Cahyaning Pekerti G99162081

Pembimbing:
Amru Sungkar, dr.,Sp.B,Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.


Fraktur mengacu pada semua kerusakan tulang baik dari gambaran hair line kecil
hingga gambaran fragmen-fragmen pada tulang patah. Banyak pasien sering
berpikir fraktur tulang lebih parah dibandingkan dengan patah tulang, padahal
secara medis kedua hal tersebut sama. Terjadinya fraktur banyak disebabkan oleh
trauma (Whiteing NL, 2008).
Fraktur maksilofasial merupakan salah satu kasus trauma yang memiliki
insidensi yang tinggi, diikuti dengan perubahan bentuk fisik dan estetika.
Insidensi tertinggi fraktur maksilofasial adalah fraktu tulang hidung (40%), diikuti
fraktur tulang mandibula, fraktur tulang maksila, dan fraktur zygoma. Fraktur
maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan
jaringan lunak wajah. Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur
maksilofasialdapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,
kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai
akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu
lintas. (Vrinceanu, 2014).
Setelah terjadinya fraktur, akan ada proses regenerasi pada tulang tersebut.
Pada fraktur maksilofasial ada beberapa fase penyembuhannya, yaitu Fase
inflamasi, Fase perbaikan dan Fase remodeling.
Berdasarkan uraian di atas, diharapkan bisa mengetahui proses
penyembuhan tulang pada fraktur maksilofasial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. FRAKTUR MAKSILOFASIAL
Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras
tubuh. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi
tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan
sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah
tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis (Stewart
C et al, 2008). Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal
konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah
wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah
wajah (Parwar BJ dan Meyers AD, 2013). Fraktur maksilofasial ialah
fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah (Stewart C et al,
2008).
Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang penyusun wajah
atau tengkorak bagian depan. Fraktur maksilofasial bisa terjadi hanya pada
satu tempat maupun kompleks, akibat benturan dengan kekuatan rendah
atau akibat kekuatan tinggi. Trauma maksilofasial juga mengakibatkan
jejas dan kegawatan dengan variasi yang sangat luas mulai dari memar;
ekskoriasi; berbagai vulnus pada jaringan lunak; sampai fraktur (Parwar
BJ dan Meyers AD, 2013).
Masalah yang ditimbulkan selain aspek fungsi juga perlu
dipikirkan aspek estetik karena dapat meninggalkan kecacatan, sebab dari
cedera yang ditimbulkan akibat fraktur maksilofasial sering menimbulkan
gangguan pada jalan nafas, penciuman, penglihatan, mastikasi, serta otak,
oleh karena itu penanganan fraktur maksilofasial harus dilakukan secara
intensif dan holistik. Bahkan tidak jarang mengakibatkan deformitas berat
sampai mengancam jiwa akibat gangguan saluran nafas bagian atas
(Lynham A et al, 2012).
Tulang-tulang maksilofasial terdiri dari: (Prendergast PM et al,
2012 ; Parwar BJ dan Meyers AD, 2013)
1. Tulang hidung (os nasale)
Merupakan tulang yang mudah patah, kedua tulang hidung
membentuk batang hidung. Ke atas dihubungkan dengan tulang frontal
oleh sutura frontonasalis, ke bawah berartikulasi dengan tulang
maksila, kebelakang melekat dengan perpendikuler dari tulang etmoid.
2. Tulang zigomatikus (os zygomaticus)
Membentuk tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral serta dasar
orbita. Tulang zigoma berhubungan antara tulang frontal, sfenoid dan
maksila, kemudian dihubungkan dengan temporal. Di medial bersendi
dengan maksila, di lateral dengan processus zygomaticus ossis
temporalis membentuk arcus zygomaticus, arkus ini yang menentukan
dimensi anteroposterior dari tonjolan pipi.
3. Tulang maksila (os maxilaris)
Kedua tulang maksila (maksila kiri dan kanan) merupakan bagian
utama dari wajah bagian tengah (mid face), membentuk rahang atas,
pars anterior palatum durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan
sebagian dasar orbita. Bersama palatum merupakan penyangga dari
gigi atas. Mempunyai rongga udara yang paling besar di bagian
maksilofasial, rongga berbentuk piramid yang dilapisi mukosa disebut
sinus maksilaris.
4. Tulang mandibula (os mandibula)
Terdiri dari kondilus, prosesus koronoideus, ramus, angulus dan
korpus yang bergabung menjadi simfisis mandibula. Korpus berbentuk
tapal kuda dan bertemu dengan ramus masing-masing sisi pada
angulus mandibula. Foramen mentale dapat dilihat di bawah gigi
premolar kedua, dari lubang ini keluar arteri, vena dan nervus
alveolaris inferior. Pinggir atas korpus mandibula disebut pars
alveolaris. Pada orang dewasa berisi 16 lubang untuk akar-akar gigi.
Tulang mandibula menonjol dan membentuk kontur wajah, artikulasi
dengan dasar tengkorak melalui kondilus yang bertumpu pada fossa
glenoidalis dan membentuk temporomandibular joint (TMJ).
5. Os lacrimale
Merupakan tulang yang tipis dan tulang terkecil pembentuk wajah.
Os lacrimale berada di lateral dan posterior os nasale. Os nasale berisi
fossa lacrimale dan saccus lacrimale.
6. Os palatinum
Berbentuk huruf L yang membentuk bagian posterior palatum
durum, bagian dasar dan lateral rongga nasal. Bagian posterior palatum
durum dibentuk oleh lamina horizontal os palatinum.
7. Concha nasal inferior
Lebih inferior dari concha nasal medial os ethmoid. Concha nasal
inferior merupakan tulang yang terpisah, dan bukan bagian dari os
ethmoid. Concha nasal inferior merupakan tulang pembentuk bagian
dari dinding lateral inferior rongga hidung.
8. Vomer
Merupakan tulang segitiga didasar rongga hidung yang
berartikulasi dengan lamina perpendicular os ethmoid pada bagian
superior. Pada bagian inferior berartikulasi dengan kedua maxilla dan
os palatinum. Vomer membentuk bagian inferior septum nasal.
Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Ceallaigh PO et al, 2006).
Pendekatan awal terhadap pasien fraktur maksilofasial sedikit berbeda
dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terdapat saluran
pernapasan, adekuatnya ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal.
Sebelum melakukan pemeriksan vital signs, gangguan saluran pernapasan
dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih
dahulu. Setelah itu baru dilakukan pemeriksaan vital signs dan status
neurologis pasien setidaknya mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi
terhadap waktu dan tempat (Vrinceanu D dan Banica B, 2014).
Penanganan pertama fraktur maksilofasial adalah dengan primary
survey, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada pasien,
dengan pemberian analgetik, antibiotik, ATS, dan antiemetik. Prinsip
penanganan fraktur maksila sama dengan penanganan fraktur yang lain
yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Tindakan penanganan
fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur, fiksasi
fragmen fraktur dan imobilisasi sehingga fragmen tulang yang telah
dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan
penyembuhan tulang selesai.
Pada teknik tertutup, fiksasi fraktur dan imobilisasi fraktur dilakukan
dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular misalnya
dengan arch bar atau interdental wiring. Pada prosedur terbuka, bagian
yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan
difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wiring) atau mini
plat dan skrup (mini plate) (Wang J et al, 2012 ; Udeabor SE et al, 2014).

B. PENYEMBUHAN FRAKTUR MAKSILOFASIAL


Pada saat terjadi patah tulang, terjadi juga kerusakan pada pembuluh
darah yang terletak pada canaliculi dari sistem haversian, yang
menyeberangi tempat patahan tulang (Chenard KE et al, 2012). Kerusakan
pembuluh darah ini menyebabkan osteosit yang terdapat dalam lakuna
kehilangan suplai nutrisinya dan kemudian menjadi mati. Dampak
selanjutnya adalah terjadinya reabsorpsi dari ujung-ujung patahan tulang
sehingga terjadi pemendekan dari tulang. Pada patah tulang diantara kedua
ujung tulang ini akan diisi oleh hematom. Proses penyatuan ujung-ujung
tulang adalah merupakan proses penyembuhan tulang. Penyembuhan patah
tulang bertujuan untuk mengembalikan jaringan tulang seperti sifat-sifat
fisik dan mekanik sebelum terjadi patah tulang dan melibatkan faktor lokal
dan sistemik (Glanoudis PV et al, 2007)
Proses penyembuhan tulang terjadi melalui beberapa fase dimana
masing- masing fase saling tumpang tindih, fase-fase tersebut di antaranya
adalah : (Marx RE, 2007)
1) Fase inflamasi
2) Fase perbaikan dan
3) Fase remodeling.
Hematom pada tempat patahan tulang merupakan media yang terjadi
pertama sebagai reaksi dari jaringan terhadap trauma. Pada fase inflamasi
akut yang terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah patah
tulang. Selama fase inflamasi terbentuk hematom, terjadi nekrosis dari
tulang, dan sel yang mati melepas mediator-mediator aktif, faktor
pertumbuhan dan sitokin-sitokin lainnya ke lokasi patah tulang. Sitokin-
sitokin ini akan mempengaruhi perpindahan sel, proliferasi, diferensiasi
dan sintesis matriks tulang. Faktor pertumbuhan akan menarik sel
fibroblast, sel mesenkimal dan sel osteoprogenitor ke lokasi patah tulang.
Inflamasi akan mengaktifkan mekanisme seluler yang dibutuhkan untuk
perbaikan. Jaringan seluler berusaha membuat jembatan yang
menghubungkan segmen patah tulang (Glanoudis PV et al, 2007; Marx
RE, 2007)
Secara perlahan hematom diserap dan tumbuh kapiler-kapiler baru
memasuki area tersebut. Fase perbaikan terjadi dalam 2 hari sampai 2
minggu. Pada fase ini, celah patah tulang menjadi hiperseluler, terutama
sel kondrogenik dan osteogenik. Bersaman dengan meningkatnya
pembuluh darah ke tempat patah tulang , juga terjadi timbunan kolagen
yang berada di segitar osteoid yang mengalami mineralisasi (Marsell R
dan Inhorn TA, 2011).
Osteoid yang mengalami mineralisasi kemudian membentuk kalus
disegitar tempat patahan tulang. Proses ini ditandai dengan tampak
gambaran kalus halus di sekitar patah tulang (soft callus). Kalus yang
terbentuk ini sangat lemah pada minggu ke 4-6 dari proses penyembuhan
tulang, sehingga diperlukan proteksi / internal fiksasi untuk menjamin
stabilitas segmen patah tulang (Glanoudis PV et al, 2007; Marx RE, 2007).
Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian banyak faktor
pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang
menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi dari
osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses
angiogenesis selama penyembuhan fraktur (Elsalanty ME et al, 2009).
Selanjutnya soft callus diubah melalui proses ossifikasi endokondral
menjadi tulang woven yang membentuk jembatan yang menghubungkan
kedua ujung segmen tulang. Fase terakhir adalah fase remodeling dimana
tulang akan kembali ke kondisi sebelum terjadi patah tulang. Remodeling
terjadi secara perlahan dari beberapa bulan sampai beberapa tahun, proses
ini dipengaruhi oleh terjadinya gaya regangan / tekanan pada tempat patah
tulang (Friedman CD, 2016). Kekuatan optimal pada fase remodeling
terjadi pada bulan ke 3-6. Pada fase remodeling tulang immature diubah
bentuknya menjadi tulang mature dengan proses pengaturan matriks
kolagen. Selama proses ini, bentuk tulang dikembalikan dan kanal medula
diperbaiki (Glanoudis PV et al, 2007; Marx RE, 2007).
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang penyusun wajah atau


tengkorak bagian depan. Fraktur maksilofasial bisa terjadi hanya pada satu tempat
maupun kompleks, akibat benturan dengan kekuatan rendah atau akibat kekuatan
tinggi. Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penanganan pertama fraktur
maksilofasial adalah dengan primary survey, resusitasi, secondary survey dan
akhirnya terapi definitif. Tindakan penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur, fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi sehingga
fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase
penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Proses penyembuhan tulang terjadi melalui beberapa fase dimana masing-
masing fase saling tumpang tindih, fase-fase tersebut di antaranya adalah : (Marx
RE, 2007)
1) Fase inflamasi
2) Fase perbaikan dan
3) Fase remodeling.
DAFTAR ISI

Ceallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, Patton DW. Diagnosis and management
of common maxillofacial injuries in the emergency department. Part 5:
dentoalveolar injuries. Emerg Med J (2006) 24:429–430.
Chenard KE, Teven CM, He TC, Reid RR. Bone Morphogenetic Proteins in
Craniofacial Surgery: Current Techniques, Clinical Experiences, and the
Future of Personalized Stem Cell Therapy. Hindawi (2012).
Doll BA, Sfeir C, Azari K, Holland S, Hollinger JO. Craniofacial Repair. Humana
Press Inc.
Elsalanty ME, Genecov DG. Bone Grafts in Craniofacial Surgery. Thieme
Medical Publisher, Inc (2009).
Enexei HH, Azlina A, Iggzeer YK. The Role of Protein Deficiency in the Healing
of Mandibular Fractures in Rabbit Model. Academic Sciences (2004).
Friedman CD. Basic Principles of Craniofacial Bone Healing and Repair (2016).
Glanoudis PV, Einhorn TA, Marsh D. Fracture healing: The diamond concept.
Injury, Int. J. Care Injured (2007) 3854: 53-56.
Lynham A, Tuckett J, Warnke P. Maxillofacial Trauma. Australian Family
Physician (2012).
Marsell R, Inhorn TA. The Biology of Fracture Healing. Injury (2011); 42(6):
551–555.
Marx RE. Bone and Graft Healing. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 19 (2007)
455–466.
Mostafa A, Banu LA, Rahman F, Paul S. Craniofacial Anthropometric Profile of
Adult Bangladeshi Buddhist Chakma Females. Hindawi (2013).
Oryan A, Monazzah S, Sadegh AB. Bone Injury and Fracture Healing Biology.
Biomed Environ Sci (2015) 28(1): 57-71.
Padmini C. An overview of Maxillo Facial fractures and current concepts in the
management of mandibular fractures in children. IOSR-JDMS (2015).
Parwar BJ, Meyers AD. Facial Bone Anatomy. Medscape (2013).
Prendergast PM. Anatomy of the Face and Neck. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg (2012).
Rozen S. Facial Fractures. SRPS (2015).
Sharabi SE, Koshy JC, Thornton JF, Hollier LH. Facial Fractures. CME (2011).
Sisha T. Parameters for defining efficacy in fracture healing. Clinical Cases in
Mineral and Bone Metabolism 2010; 7(1): 15-16.
Somaiya R, Kaur G. Future of Bone Repair. Bone and Tissue Regeneration
Insights (2015):6 1–7.
Stewart C, Fiechtl JF, Wolf SJ. Maxillofacial Trauma: Challenges in ED
Diagnosis and Management. Emergency Medicine (2008).
Udeabor SE, Akinbami BO, Yarhere KS, Obiechina AE. Maxillofacial Fractures:
Etiology, Pattern of Presentation, and Treatment in University of Port
Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt, Nigeria. Jurnal of Dental Surgery
(2014).
Vrinceanu D, Banica B. Principles of Surgical Treatment in the Midface Trauma -
Theory and Practice. Medica (2014); 9(4): 361-366.
Weigelt JA, Flyan E. Physical Examination and Arteriography in Patients With
Penetrating Zone H Neck Wounds. Arch Surg (1994).
Winn BJ, Whitman M. Stem Cells in Oculofacial Plastic Surgery. Springer
Science+Business Media New York (2013).
Wang J, Hu C, Zhang G, Qiu S, Cai J, Wu X, Xiang Z, Tan Y. One Stage of
Repair and Reconstruction of Craniomaxillofacial Bone Defects. Modern
Plastic Surgery (2013) 3: 3-8.

Anda mungkin juga menyukai