Kabupaten Tapin yang merupakan salah satu kabupaten model dalam rangka Manajemen
Terpadu Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Wilayah di
Kabupaten/Kota yang dibiayai oleh Proyek Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular telah
melaksanakan program pemberantasan Tubercullosis sejak beberapa tahun yang lalu jauh
sebelum Proyek IPPM dilaksanakan di kabupaten itu.
Sebagai daerah yang dibiayai oleh Proyek IPPM, di kabupaten ini seharusnya setiap puskesmas
sudah mendapat fasilitas mikroskop dan bahan-bahan yang diperlukan, serta tenaga
mikroskopis sudah dilatih untuk pemeriksaan dahak secara laboratoris. Bila secara laboratories
dinyatakan sebagai kasus BTA(+), maka kepada penderita akan ditindak lanjuti dengan fase
pengobatan intensif selama 2 bulan. Setelah fase tersebut selesai dilaksanakan kemudian di
lakukan pengobatan selanjutnya sampai bulan ke 6 lalu dievaluasi kembali hasilnya, sebagai
dasar untuk tindakan selanjutnya.
Walaupun daerah ini menerima bantuan proyek intensifikasi , namun dalam penemuan kasus
dilaksanakan secara pasif melalui fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas, atau secara aktif
terhadap kontak serumah.
Pada bulan Januari 2004, para penulis telah mengunjungi Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan
Selatan, Dinkes Kabupaten Tapin dan salah satu Puskesmas yang termasuk Dinas Kesehatan
tersebut dari mana data dan informasi dikumpulkan. Berikut ini adalah hasil analisis data dan
interpretasi informasi dari data yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan umum dan tujuan
khusus seperti tersebut dalam Bab II.
A. Surveilens TB-Paru
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 56
Dalam program P2TB dikenal ada dua jenis diagnosa yaitu diagnosa suspek dengan
perkiraan 13 per 1000 penduduk (dengan dasar gejala klinis) dan BTA (+) (dengan
konfirmasi laboratorium positif), atau BTA (-) Ro (+)
Ketepatan Diagnosa untuk penderita suspek TB sulit di dilakukan karena menyangkut
kejujuran dan daya ingat penderita, namun hasil dari pemeriksaan dahak dengan (BTA+)
dan nilai Error Rate setidaknya dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kualitas dx
ditegakkan. Semakin tinggi angka BTA+ ditemukan dapat dikatakan ketepatan dx suspek
menjadi semakin baik, dan semakin rendah nilai Errorr Rate maka dx pasti dengan
konfirmasi lab menjadi baik.
Dalam hal ini beberapa petugas Puskesmas maupun pengelola program di kabupaten telah
mengikuti pelatihan dalam pengelolaan program TB termasuk latihan mikroskopis.
Tentunya penegakan diagnosa suspek TB dan konfirmasi BTA telah dapat dilakukan sesuai
dengan definisi operasionalnya secara benar.
Beberapa hasil kegiatan program yang dapat digunakan untuk melihat ketepatan diagnosa
dapat dilihat pada Gambar V.1 berikut
Gambar V.1
% penemuan suspek dan % BTA (+) terhadap suspek yang diperiksa
di Kab.Tapin , Kalsel th. 1998-2003
Pada Gambar V.1, terlihat bahwa % BTA (+) terhadap suspek yang diperiksa walaupun
sebagian sudah berada dalam range 5-15 %, namun hasilnya terlalu kecil, hal ini
menandakan bahwa dalam penegakan dx klinis secara umum terlalu longgar yang akan
membawa konsekwensi tidak efisien dalam penggunaan sarana walaupun tingkat
kewaspadaan menjadi sanagat tinggi,
Sedangkan untuk menilai ketepatan diagnosa terhadap kasuas BTA (+) di kabupaten Tapin
kita dapat melihat sebagaian dari hasil cross check pemeriksaan laboratorium pada gambar
V.2 dan tabel V.1 berikut :
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 57
Gambar V.2
% Error Rate hasil crosscheck laborat
di kabupaten Tapin, Kalsel th. 2000-2003
6
4
2
0
2000 2001 2002 2003
ER 6.82 6.29 7.14 3.7
Pada gambar V.2 diatas, walaupun angka % Error rate di tingkat kabupaten terlihat kecil,
namun secara umum (kecuali hasil tahun 2003) masih berada diatas angka standard 5 % yang
diperbolehkan. Sedangkan variasi angka di tingkat Puskesmas dapat dilihat pada tabel V.1.
berikut :
Tabel V.1
% Error Rate hasil crosscheck laborat menurut
Puskesmas di kabupaten Tapin th. 2000-2002
Pada tabel V.1 % Error rate di Pusksmas sangat beragam sekali antara 0-60 %; hal ini kiranya
perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mencari akar masalah tingginya angka error rate di
beberapa Puskesmas, mulai dari mikroskop, bahan lab, kualitas sediaan untuk pemeriksaan
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 58
cross check dan kemungkinan human error (mikroskopis Puskesmas atau pelaksana cross
check).
Dari hasil pengolahan data yang dilakukan , diperoleh variasi tingkat kelengkapan menurut
jenis format laporan (TB-07, TB-08 dan TB-11) yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar
V.3 berikut:
Gambar V.3
% Kelengkapan Laporan Format TB-07, TB-08 dan TB-11
di kabupaten Tapin, Prop.Kalsel Th.1997-2003
Gambar V.3 diatas menunjukkan bahwa tingkat kelengkapan laporan menurut jenis format
sangat bervariasi , untuk TB-07 kelengkapan berskisar antara 67-97 % , TB-08 antara 50 –
96 % dan TB-11 antara 61-88 %. Dari ketiga jenis format laporan tersebut cakupan
kelengkapan paling rendah terjadi pada tahun 97 namun sama-sama menunjukkan adanya
peningkatan pada periode berikutnya. Seharusnya ketidak lengkapan dimaksud dapat diatasi
melalui optimalisasi kegiatan bimbingan teknis dan validasi atau mekanisme umpan balik .
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 59
e. Partisipasi masyarakat/fasilitas kesehatan
Informasi yang terkait dengan partisipasi masyarakat dan fasilitas kesehatan (selain
Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Bidan Desa) belum dilakukan pemantauanya oleh
petugas. Sehingga sejauh mana peran Praktek Swasta dan fasilitas kesehatan lain seperti
Rumah Sakit, Klinik Swasta dsb tidak diketahui dengan pasti.
Sedangkan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam program TB-Paru , yang
paling mudah adalah dengan melihat angka DO atau angka pengobatan lengkap (Sukses Rate)
seperti terlihat pada Gambar V.4 berikut :
Gambar V.4
Angka Drop Out (DO) pengobatan TB (%)
Di kabupaten Tapin Prop.Kalsel Th.1998-Tw.III.2003
Angka Drop Out (DO) pengobatan TB seperti yang terlihat pada gambar V.4 terhitung masih
rendah yaitu antara 0,6 – 5,0 % dari keseluruhan kasus yang diobati, namun demikian sejak
tahun 1998 hingga 2003 cenderung menunjukan peningkatan .
Bulan Pelaporan
No Puskesmas Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Randu Agung L L L L
6/2 8/3 12/4 9/5
2 Bantal Jaya TL L L L
11/2 10/3 10/4 10/5
3 Tilam Raya - L L L
9/3 9/4 9/5
4 Guling Ujung L TL TL -
10/2 10/2 10/4
5 Rawa Badak L L L L
12/2 12/3 12/4 12/5
6 Ujung Berung TL - L -
10/4
7 Harapan Jaya L L L L
9/2 9/3 10/4 10/5
L = Laporan Lengkap , TL = Laporan Tidak Lengkap; - = Laporan tidak masuk;
6/2 = angka 6 menunjukkan tanggal dan angka 2 menunjukkan bulan penerimaan laporan
11/4 = Laporan terlambat diterima karena batas akhir yang disepakati adalah tgl 10 bulan berikut
Dari tabel V.2 diatas kita dapat menilai masing-masing Puskesmas dalam hal pengiriman
Laporan, sebagaian ada yang tidak melapor, melapor tepat waktu, laporan Lengkap (L) atau
Laporan Tidak Lengkap (TL).
Seharusnya antara kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan dalam program TB, tidak
menjadi permaslahan lagi, kalau petugas telah difasilitasi anggaran untuk bimbingan ke
lapangan, pertemuan validasi data dsb.
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 61
Pemantauan terhadap konsistensi data belum dilakukan oleh petugas, namun dari analisis
terhadap hasil pengolahan data TB-07 (blok-1 dan blok-2) dapat dilihat tingkat konsistensi
data yang dihasilkan. Pada TB-07 blok-1 dilaporkan kasus baru BTA(+) berdasarkan
klasifikasi dx , sedang pada blok-2 dilaporkan kasus baru BTA(+) menurut kelompok umur
penderita. Hasil pengolahan data dimaksud dapat dilihat pada Gambar V.5 berikut:
Gambar V.5
Perbandingan kasus baru BTA(+) menurut dx (TB-07 blok-1)
dengan Kasus baru BTA(+) menurut Umur (TB-07 blok 2)
Di kabupaten Tapin, Propinsi Kalsel th.1997-Tw.III.2003
Dari Gambar V.5 diatas terlihat bahwa konsistensi data hasil penemuan kasus baru BTA(+)
menurut klasifikasi diagnosa dan klasifikasi golongan umur ada sedikit perbedaan yaitu pada
tahun 2002 dan 2003. Bila dalam pelaporan dijumpai hal demikian , tentunya harus dilakukan
klarifikasi ke tingkat pelaksana di Puskemas yang memiliki data dasar penderita .
Kedua gambar diatas menunjukkan bahwa kunjungan suspek dan penemuan kasus BTA(+)
tidak terkait dengan pola musim termasuk dalam hubunganya dengan pekerjaan. Pemantauan
untuk Puskesmas mungkin akan dapat mengungkap gambaran terhadap kaitan musim pekerjaan
diluar wilayah.
Untuk melihat besaran masalah TB , dalam program digunakan indikator proksi Case
Notification Rate (CNR), hanya saja dalam melakukan interpretasi kita perlu ekstra hati-hati
oleh karena angka tersebut hanya menggambarkan kasus TB (BTA+) yang tertangkap dalam
fasilitas pelayanan kesehatan saja. Namun apabila dalam pencarian kasus dimaksud telah
dilakukan secara aktif dan optimal dengan mencakup semua kontak penderita BTA(+),
kemungkinan angka CNR dapat dianggap mewakili kasus yang ada di masyarakat.
Gambaran CNR di kabupaten Tapin selama tahun 1998 – 2003 dapat di lihat pada gambar V.7
berikut
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 63
Gambar V.7
Angka Case Notification Rate TB per 100.000 penduduk
di kab Tapin Prop.Kalsel tahun 1998-Tw.III.2003
Pada gambar diatas terlihat bahwa angka CNR di Kabupaten Tapin dalam 6 tahun terakhir
berkisar antara 66,1 – 171,7 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan angka CNR untuk tingkat
Puskesmas dapat dilihat pada gambar V.8 berikut :
Gambar V.8
Angka Case Notification Rate TB per 100.000 penduduk
Menurut Puskesmas di kabupaten Tapin th 2001-Tw.III.2003
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 64
Angka CNR tingkat Puskesmas sangat bervariasi antara 21 – 248 per 100.000 penduduk,
dengan angka tertinggi selama 3 tahun terakhir dijumpai pada puskesmas Baringin dan terendah
di Puskesmas Piani .
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek faktor risiko terhadap penularan TB-Paru, secara
nasional diperkirakan terdapat 13 orang per 1.000 penduduk dicurigai sebagai suspek TB dan
10 % diantaranya akan menunjukkan kasus BTA(+).
Berdasarkan asumsi tersebut kita dapat menghitung Case Detection Rate (CDR) atau % kasus
yang terdeteksi BTA(+) dari yang diperkirakan. Informasi ini walaupun kasar masih dapat
memberi penjelasan tentang cakupan penemuan BTA(+) dari perkiraan kasus.
Gambar V.9 berikut merupakan hasil CDR untuk tingkat kabupaten Tapin selama tahun 1998-
2003 :
Gambar V.9
% CDR di fasilitas pelayanan kesehatan dari perkiraan kasus BTA(+)
di Kabupaten Tapin Prop.Kalsel tahun 1998-Tw.III.2003
Pada gambar diatas terlihat bahwa angka CDR di tingkat kabupaten Tapin berkisar antara
46,6 % pada tahun 2000 sampai 132 % pada tahun 1999.
Sedangkan gambaran CDR untuk tingkat Puskesmas dapat dilihat pada Gambar V.10 berikut :
Gambar V.10
% CDR di fasilitas pelayanan kesehatan dari perkiraan kasus BTA(+)
menurut puskesmas di kabupaten Tapin tahun 2001-Tw.III.2003
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 65
Angka CDR untuk tingkat puskesmas selama 3 tahun terakhir berkisar antara 16,5 %
(puskesmas Piani tahun 2003 ) sampai dengan 191 % ( puskesmas Baringin tahun 2001).
Secara umum pencapaian CDR di Kabupaten Tapin dapat dikatakan sudah cukup tinggi, namun
dalam melakukan interpretasi lebih lanjut terhadap angka-angka tersebut kita harus hati-hati
karena masih memerlukan beberapa informasi tambahan seperti ada tidaknya kasus yang
ditemukan berasal dari luar wilayah, kasus pindah, apakah upaya yang dilakukan dalam
penemuan kasus sudah maksimal dsb.Informasi-informasi ini akan melengkapi dan sebagai
justifikasi permasalahan baru pada saat kita melakukan interpretasi .
Misalnya Tingginya penemuan kasus di Puskesmas Baringin pada tahun 2001 sebesar 191 %
dari perkiraan belum sepenuhnya dapat dikatakan bahwa di wilayah ini merupakan kantong dan
pusat penularan penyakit TBC dan sebaliknya di Puskesmas Piani bahwa di daerah ini belum
bisa dikatakan sebagai daerah yang tidak banyak kasusnya. Bila ada tambahan informasi lain
seperti tingkat upaya penemuan kasus, kualitas lingkungan perumahan, kasus yang ditemukan
merupakan penduduk setempat dsb. maka pernyataan tersebut kemungkinan bisa diterima .
Pada gambar V.11 diatas menunjukan bahwa % penemuan suspek di kabupaten tapin sangat
tinggi sekali dan bila dikaitkan dengan % BTA(+) dari suspek diperiksa, secara umum dapat
dikatakan bahwa di kabupaten Tapin cara penjaringan suspek dilakukan terlalu longgar
sehingga suspek yang terjaring menjadi lebih banyak . Secara ekonomis cara ini memang
kurang efisien karena banyak mengeluarkan bahan, waktu biaya dan tenaga.
Untuk mengetahui permasalahan secara pasti dan lebih detail ada baiknya kita juga melakukan
analisis data di tingkat puskesmas sebagaimana terlihat pada gambar V.12 berikut
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 66
Gambar V.12
% penemuan suspek TB dari perkiraan 13 per 1000 penduduk
menurut puskesmas di kabupaten Tapin tahun 2000-2003
Dari Gambar V.12 diatas menunjukan bahwa % cakupan penemuan suspek TB dari perkiraan di
Puskesmas kabupaten Tapin sangat bervariasi. Bahkan pada tahun 2001 enam puskesmas
memiliki cakupan diatas 200 % (Banua Padang, Baringin, Tapin Utara, Margasari, Lokpaikat
dan Pandahan), namun puskesmas Piani pada tahun 2002-203 memiliki cakupan sangat rendah
yaitu 2 – 8 %.
Sedangkan untuk mengetahui gambaran yang sebenarnya bagaimana kualitas Puskesmas dalam
menjaring suspek maka perlu dilakukan analisis terhadap hasil BTA(+) dari suspek yang
diperiksa dahaknya seperti terlihat pada gambar V.13 berikut :
Gambar V.13
% BTA(+) terhadap suspek TB yang diperiksa dahaknya
menurut Puskesmas di Kabupaten Tapin tahun 2000-2003
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 67
Pada gambar V.13. terlihat bahwa 6 puskesmas dengan cakupan suspek tinggi justru cakupan
BTA(+) sangat rendah yaitu antara 0,53 – 4,98 % dari suspek yang diperiksa dahaknya. Dari
hasil ini dapatlah disimpulkan bahwa 6 puskesmas tersebut terlalu longgar dalam menjaring
suspek sehingga dalam kegiatan penemuan kasus menjadi tidak efisien lagi.
Dalam hal ini perlu kiranya dilakukan pemantauan yang lebih intensif terhadap kriteria yang
digunakan petugas serta ketrampilan petugas dalam melakukan anamnesa untuk menjaring
suspek TB.
Dari aspek penegakan dx TBC, ada beberapa klasifikasi sebgaimana terlihat pada Gambar V.14
berikut :
Gambar V.14
Proporsi kasus TB menurut berbagai klasifikasi penegakan Dx
di Kabupaten Tapin Prop.Kalsel tahun 1998-Tw.III. 2003
Pada gambar V.14 diatas dapat dilihat bahwa proporsi Dx dengan klasifikasi kambuh dalam 6
tahun terakhir terlihat adanya penurunan dari 5,1 % pada tahun 1998 menjadi 2,3 % pada
tahun 2003, demikian halnya dengan klasifikasi BTA+ juga menurun dari 75,6 % tahun 1998
menjadi 46,1 % pada tahun 2003. Sedangkan proporsi untuk klasifikasi BTA(-) Ro+ terlihat
semakin meningkat yaitu dari 18,2 % tahun 1998 menjadi 50 % pada tahun 2003. Keadaan ini
perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di
lapangan, diperkirakan ada beberapa kemungkinan terhadap rendahnya proporsi dx TB dengan
klasifikasi BTA(+), antara lain menyangkut ketrampilan tenaga mikroskopis, kualitas
mikroskop dan bahan laboratorium, ketersediaan OAT, atau perbedaan pemahaman dari para
petugas di lapangan dalam penegakan dx TB.
Untuk melihat lebih jauh gambaran dalam penegakan dx TB dapat juga dilihat proporsi
penemuan kasus TB dengan klasifikasi BTA(-) Ro+ pada masing-masing puskesmas seperti
terlihat pada gambar V.15 berikut :
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 68
Gambar V.15
Proporsi kasus TB dengan klasifikasi Dx BTA- Ro+
Menurut puskesmas di kabupaten Tapin tahun 2000-Tw.III. 2003
Pada gambar V.15 terlihat angka proporsi klasifikasi BTA-Ro+ sangat bervariasi namun ada
beberapa puskesmas seperti Bakarangan, Pandahan, Tambarangan dan Banua Padang selama 3
tahun teraakhir memiliki proporsi yang sangat tinggi. Hal ini perlu ditelaah lebih lanjut untuk
mengetahui secara detail permasalahanya dalam upaya membuat kebijakan baru yang sesuai
dengan perkembangan situasi di lapangan.
2. Pemantauan kecenderungan
Pengolahan dan analisis data yang ada dapat dikembangkan lebih jauh dengan melihat
kecenderungan dalam upaya pemantauan keadaan dimasa datang. Berdasarkan data yang
tersedia penemuan suspek TB, penemuan BTA(+) , angka konversi dan angka kesembuhan
selama 6 tahun terakhir penulis mencoba melakukan penghitungan kecenderungan dengan
menggunakan metode Least Square yang hasilnya dapat dilihat pada gambar-gambar berikut:
Untuk penemuan suspek TB , kecenderunganya dapat dilihat pada Gambar V.16 berikut :
Gambar V.16
Garis Trend Penemuan Suspek TB di Propinsi Kalsel
berdasarkan data tahun 1998 - 2003
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 69
Pada gambar V.16, terlihat bahwa dalam penemuan suspek TB di kabupaten Tapin dalam 6
tahun terakhir menunjukkan adanya kecenderungan menurun walaupun dengan sudut yang
tidak terlalu tajam yaitu dengan garis trends Y = 773 – 10,9 X.
Sedangkan kecenderungan untuk penemuan BTA(+) dapat dilihat dalam gambar V.17 berikut :
Gambar V.17
Garis Trend Penemuan BTA(+) di kabupaten Tapin
berdasarkan data tahun 1998 - 2003
Pada gambar diatas menunjukan bahwa penemuan kasus BTA(+) dalam 6 tahun terakhir juga
terlihat menurun walaupun dengan sudut yang tidak terlalu tajam yaitu dengan garis trends Y =
42 – 0,7 X.
Untuk gambaran kecenderungan angka konversi dan angka kesembuhan masing-masing dapat
dilihat pada Gambar V.18 dan Gambar V.19 berikut :
Gambar V.18
Garis Trend angka konversi hasil pengobatan TB
di kabupaten Tapin berdasarkan data tahun 1998 - 2003
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 70
Pada Gambar V.18 menunjukkan bahwa angka konversi dari hasil pengobatan intensif selama
6 tahun terakhir menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan walaupun dengan sudut
yang tidak terlalu tajam yaitu dengan garis trends Y = 81 + 0,8 X
Gambar V.19
Garis Trend kesembuhan hasil pengobatan TB
di kabupaten Tapin berdasarkan data tahun 1998 - 2003
Sedangkan pada Gambar V.19, angka kesembuhan penderita berdasarkan hasil kegiatan selama
6 tahun terakhir juga menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan yaitu dengan garis
trends Y = 91 + 0,1 X.
C. Pengobatan TB
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 71
Dalam Program TB-Paru dikenal dua tahapan pengobatan yaitu pengobatan intensif yang
dilakukan selama 2 bulan dan pengobatan lanjutan 4 bulan lagi, dilakukan setelah ada hasil
evaluasi dari pengobatan intensif .
Pada tahap Intensif , pengobatan diberikan kepada semua penderita TB yang ditemukan dan
selanjutnya akan dilakukan evaluasi terhadap semua penderita untuk melihat hasil pengobatan
yang dilakukan.
Selama 6 tahun terakhir cakupan pengobatan intensif dan jumlah penderita diobati yang
dievaluasi pada tahap intensif dapat dilihat pada Gambar V.20 berikut :
Gambar V.20
% penderita TB yang ditemukan dan diobati serta
% penderita diobati yang di evaluasi pada fase intensif
di kabupaten Tapin tahun 1998 - 2003
Pada Gambar V.20 terlihat bahwa selama 6 tahun terakhir semua penderita yang ditemukan
telah di tindak lanjuti dengan pengobatan intensif , namun dari yang diobati ternyata ada
sebagian kecil yang tidak dievaluasi yaitu terjadi pada tahun 2001 dan 2002
Sedangkan hasil evaluasi dari pengobataan intensif tersebut dapat dilihat pada Gambar
V.21 berikut :
Gambar V.21
Klasifikasi hasil evaluasi pengobatan pada fase intensif
di kabupaten Tapin tahun 1998 - 2003
Pada gambar V.21 diatas walaupun terlihat bahwa angka konversi telah melampaui target (>
(89-96,2 %) , masih ada juga penderita yang tidak diperiksa dahaknya pada fase akhir
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 72
pengobatan dan untuk kategori penderita tetap BTA+ meskipun angkanya kecil namun terlihat
adanya peningkatan dari 1,8 % pada tahun 1998 menjadi 6,8 % pada tahun 2003. Hal ini perlu
dilakukan telaah lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada kaitan dengan kemungkinan
terjadinya MDR atau ada permasalahan lainya. .
Sedangkan variasi angka konversi untuk masing-masing puskesmas dapat dilihat pada Gambar
V. 22 berikut
Gambar V.22
Angka Konversi hasil pengobatan Intensif
Menurut puskesmas di Kabupaten Tapin tahun 2001 - 2003
Dalam gambar diatas menunjukan bahwa angka konversi yang dicapai Puskesmas selama 3
tahun terakhir sangat bervariasi antara 50 – 100 % , namun dari tahun 1999 s/d tahun 2003
pencapaian angka konversi pada seluruh puskesmas di kabupaten Tapin sudah diatas 80 % .
Pada tahap pengobatan lanjut , beberapa informasi selama 6 tahun terakhir dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut
Gambar V.23
% penderita diobati pada fase lanjut yang di evaluasi
di kabupaten Tapin pada tahun 1998 - 2003
Pada gambar V.23 menunjukan bahwa masih ada sebagian kecil kasus yang diobati pada fase
lanjut tidak dilakukan evaluasi hasilnya.
Sedangkan dari penderita yang dievaluasi , hasilnya dapat dilihat pada gambar V.24 berikut :
Gambar
Surveilens Dan V.24a
Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Gambar V.24b
Dan Kabupaten di Indonesia 73
Proporsi penderita sembuh setelah evaluasi Proporsi penderita tidak sembuh menurut beberapa
pengobatan pada fase lanjut criteria setelah pengobatan lanjut
di kabupaten Tapin tahun 1998 - 2003 di kabupaten Tapin tahun 1998 - 2003
Gambar V.24 menunjukkan bahwa sebagian besar penderita penderita pada akhir pengobatan
lanjut dinyatakan sembuh ( antara 51 – 96,5 %), namun masih ada beberapa yang hanya
mendapat pengobatan lengkap karena tidak dievaluasi dahaknya. Sebagian lainya ada yang
dinyatakan gagal pengobatan antara 0,5 – 2,9 %), Drop Out pengobatan (0,62 – 4,23 %),
sebagian lagi pindah dan meninggal (1 – 3,81 %)
Dalam kaitan Gagal obat perlu dilakukan evaluasi apakah kemungkinan karena terjadinya MDR
atau adanya faktor lain, sedangkan untuk kasus DO perlu juga dievaluasi peran PMO dalam
memberi motivasi kepada penderita sudah optimal.
Untuk kasus kematian perlu juga ditelusuri lebih lanjut terhadap penyebab kematiannya, apa
karena penyakit TB atau oleh karena sebab lainya.
Variasi angka kesembuhan dan sukses rate untuk Puskesmas dapat dilihat padabeberapa
gambar berikut :
Gambar V.25
Proporsi kesembuhan (cure rate) menurut Puskesmas di
kabupaten Tapin tahun 1998-2003
Pada Gambar V.25 terlihat bahwa pencapaian angka kesembuhan pada sebagaian besar
puskesmas sudah cukup baik walaupun ada beberapa puskesmas yang masih belum stabil.
Sehingga upaya ke depan harus tetap ditingkatkan sehingga pencapaian yang baik dapat
dipertahankan.
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 74
Pada akhir pengobatan fase lanjut upaya penegakan diagnosa kesembuhan seringkali terhambat
oleh sulitnya mengeluarkan dahak yang akan dievaluasi, sehingga disamping indikator
kesembuhan (cure rate) sering juga digunakan indikator angka sukses (sukses rate) yang
merupakan penggabungan antara penderita sembuh dengan penderita yang telah mendapatkan
pengobatan secara lengkap.
Hasil pencapian angka kesembuhan dan angka sukses selama 6 tahun terakhir dapat dilihat
pada Gambar V.26 berikut :
Gambar V.26
Perbandingan cakupan angka kesembuhan dan angka Sukses
di kabupaten Tapin tahun 1988 - 2003
Pada gambar V.25 diatas menunjukan bahwa tahun 1998 antara angka kesembuhan dengan
angka sukses memiliki perbedaan yang cukup besar namun pada periode berikutnya perbedaan
keduanya dapat dikatakan semakain mengecil. Hal ini mungkin terkait dengan kebijakan baru
dalam menetapkan kualitas dahak untuk penegakan diagnose kesembuhan. Namun kiranya
perlu dievaluasi kembali khususnya dalam pemahaman kualitas dahak yang dimaksud dalam
kebijakan dengan kualitas dahak menurut persepsi pelaksana di lapangan.
Perbandingan pencapaian angka kesembuhan dan angka sukses menurut puskesmas di
kabupaten Tapin dapat dilihat pada gambar V.27 berikut :
Gambar V.27
Perbandingan pencapaian angka kesembuhan dan angka suskses
menurut Puskesmas di kabuapaten Tapin tahun 2002 dan 2003
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 75
Th. 2002
Th. 2003
Kedua gambar diatas menunjukkan bahwa sebagian besar puskesmas tidak memiliki masalah
dalam penegakkan diagnosa kesembuhan , dan hanya puskesmas Binuang yang mempunyai
perbedaan angka proporsi antara angka kesembuhan dan angka sukses pengobatan , hal ini
cukup menarik untuk diamati lebih lanjut.
Disamping hal-hal diatas perlu kiranya pemikiran untuk pemantauan terhadap ketepatan dosis
obat, penggunaan obat secara total, gagal obat dan kemungkinan terjadinya resistensi obat
(MDR) , karena informasi yang terkait dengan hal tersebut sangat sedikit sekali.
Tabel V.3
Informasi Masalah dalam Siklus Pendekatan Sistem
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 76
Dampak Efek Output Proses Input
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 77
Penilaian: Dalam Efek terlihat bahwa pengetahuan warga masyarakat kurang tentang penyebab,
gejala dan penularan tuberkulosis, tetapi sebagaian besar dari mereka setuju pengobatan
dilakukan oleh puskesmas menurut DOTS. Karena itu dalam Output, CDR bahkan 120%
(1998) lalu menurun menjadi 50,9% (2003), tetapi berbeda menurut Puskesmas misalnya
tertinggi di Puskesmas Baringin (191%) dan terendah di Puskesmas Piani (16,5%). Persentase
bta+ diantara suspek mempunyai kecenderungan menurun namun berada dalam batas standard
(5% - 15%) yaitu 7,5% tahun 1998, 6,1% tahun 2003, walaupun 4,2% tahun 2001, dan di 6
puskesmas dari 13 puskesmas % bta + berkisar 0,5% - 5%. Yang memprihatinkan adalah %
bta+ terhadap semua kasus tuberkulosis 75,6% tahun 1988 lalu menurun 46,1% tahun 2003,
sedangkan % bta- dengan Rontgen + meningkat dari 18,2% tahun 1998 menjadi 50% tahun
2003 dan lebih tinggi pada 4 puskesmas. Error rate di tingkat kabupaten cukup baik bahkan
3,7% tahun 2003, tetapi per puskesmas berkisar 0-57,1%. Yang menggembirakan adalah 1)
kecenderungan konversi yang meningkat (> 90%), tetapi per puskesmas berkisar antara 50% -
100%; 2) kecenderungan kesembuhan meningkat yaitu 51,1% tahun 1998 menjdi 84,5% tahun
2003, tetapi kesembuhan per puskesmas berkisar 50% - 100%., namun terjadi Drop out
pengobatan 0,6% tahun 2001, 5% tahun 1997 dan 4,2% tahun 2003).
Pemantauan: Dalam Proses, penemuan suspek mempunyai kecenderungan menurun yang tidak
rasional (218,2%) tahun 1999 lalu menjadi rasional (84,1%), tetapi ada pula puskesmas yang
hanya menemukan suspek 2 – 8%. Pada 6 puskesmas yang penemuan suspeknya tinggi, maka
pemeuan bta + nya rendah. Evaluasi pengobatan dilakukan hampir 100%, yang mengakibatkan
angka konversi dan angka kesembuhan meningkat dan cenderung meningkat.
Pengambilan Keputusan: 1) Tingkatkan penemuan kasus tuberkulosis dengan perhatian khusus
untuk meningkatkan kualitas penemuan kasus di puskesmas yang Error rate > 5%, dan lakukan
studi sebagai akibat dari % bta+ terhadap semua kasus yang menurun dan % bta – dengan
Rontgen + yang menaik, dan 2) mengetahui sebab-sebab dari Drop Out pengobatan.
3. Perumusan intervensi
Dari kaitan atas informasi masalah seperti terlihat pada Tabel V.3, dapat dijadikan Bukti yang
diperlukan bahwa perlu dilakukan intervensi 1) peningkatan penemuan penderita tuberculosis
dan 2) peningkatan pengobatan penderita BTA(+). Untuk penemuan penderita diperlukan data
yang valid sehingga surveilens perlu ditingkatkan. Dalam rangka pencegahan tuberkulosis
diperlukan pula peningkatan surveilens faktor risiko. Seperti telah dijelaskan surveilens adalah
kegiatan yang utama dalam pemberantasan tuberculosis supaya didapatkan informasi yang
valid untuk merumuskan pengobatan, pencegahan dan promosi pemberantsan. Dengan
demikian intervensi yang perlu dilakukan adalah
a. Penemuan kasus tuberculosis
b. Pengobatan kasus tuberculosis
c. Pencegahan tuberculosis
d. Promosi Pemberantasan tuberculosis
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 78
Surveilens sudah merupaka prioritas intervensi utama. Untuk menentukan prioritas intervensi
lainnya, maka ditentukan daftar intervensi dan unsur penilaian intervensi seperti terlihat dalam
Tabel V.4 berikut ini
Tabel V.4
Score Unsur Penilaian menurut daftar intervensi
Score Unsur Penilaian
No Daftar Intervensi
Tugas Utama Efek mengurangi Ketersedia Dukungan
Penduduk Kes kasus baru an petugas masy
1 Peningkatan Penemuan 2 2 2 2 1
Kasus BTA (+)
2 Peningkatan Pengobatan 2 2 2 2 1
3 Pencegahan penyakit 2 1 2 1 1
Tuberculosis
4 Promosi Pemberantasan 2 2 1 2 1
Tuberculosis
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 79
Prioritas Utama dalam upaya pemberantasan tuberculosis adalah peningkatan surveilens yang
meliputi komponen sbbb :
- Perumusan tujuan sistem Surveilens termasuk faktor risiko
- Pengolahan dan analisis data untuk mencapai tujuan sistem surveilens
- Ketepatan diagnosis dengan melakukan cross check untuk pengukuran Error Rate
- Kelengkapan data: lakukan analisis kelengkapan dan usahakan mencapai target
- Partisipasi masyarakat, lakukan analisi untuk mengetahui partisipasi masyarakat dan
usaha peningkatanya
- Ketepatan waktu pelaporan: lakukan analisis ketepatan waktu data dan usahakan
peningkatannya
- Akses pelayanan kesehatan: lakukan analisis GIS untuk mengetahui akses masyarakat
dalam program pemberantasan tuberkulosis
- Konsistensi hasil analisis data: lakukan analisis data dengan computer untuk
menghindarkan inkonsistensi , namun harus cermat.
Dari Tabel V.5 tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa prioritas intervensi adalah sebagai
berikut :
1.Prioritas Pertama adalah Meningkatkan penemuan kasus tuberculosis positif dengan
perhatian khusus pada ; a) melakukan studi masalah bta(+) diantara semua kasus tuberculosis
yang semakin berkurang; b) lakukan cross check untuk mengukur error rate.
2.Prioritas Kedua adalah Peningkatan Pengobatan .
Dengan perhatian khususuntuk peningkatan bantuan teknis ke kabupaten-kabupaten yang
angka konversinya rendah, angka kesembuhan rendah, dan perbedaan antara angka sukses
dan angka kesembuhannya lebar.
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 80
REFERENSI
Claquin, Pierre et al. Surveillance of morbidity and mortality, Module 4 User’s Guide,
Washington D.C.: Aga Kahan Foundation, 1993
Koot, Jaap. Evidence Based Health Care, a lecture given at KIT, Amsterdan in 2001
Lapau, Buchari. Evidence Based Decision Making, Jakarta: ICDC Project Package B, 2002.
Proyek IPPM. Pengembangan Kabupaten Model dalam Penerapan Manajemen P2M & PL
Terpadu di Wilayah Kabupaten/Kota, Jakarta: Proyek IPPM, April 2003
Reynolds, Jack. Assessing Information Needs, Module 1, User’s Guide, Washington D.C.: Aga
Khan Foundation, 1993
Teutchs, S.M. and Elliot Churchill,R. (eds). Principle and Practice of Public Health
Surveillance, Oxford University, 1994.
Surveilens Dan Manajemen Berdasar Bukti Dalam Pemberantasan Tbc Di Pusat, Propinsi Dan Kabupaten di Indonesia 81