Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Anamnesis

Identitas Pasien

Nama : Tn.MA

Umur : 27 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Alahan panjang

No RM : 801405

Pekerjaan : wiraswasta

Tanggal Masuk : selasa,07 november 2017

Seorang pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke poliklinik bedah RSUD Arosuka
pada tanggal 07 november 2017 dengan:

Keluhan utama

Nyeri perut kanan bawah sejak ± 1 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang

o Nyeri perut kanan bawah yang di rasakan sejak± 1 bulan yang lalu. Nyeri
dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan ini. Awalnya nyeri dirasakan sekitar ulu hati
dan disekitar pusar, lalu nyeri berpindah ke perut bagian kanan bawah.
o Demam hilang timbul, tidak mengigil, dirasakan 1 bulan ini.
o Nafsu makan menurun sejak 1 minggu yang lalu
o Mual (+) sejak 2 hari yang lalu, muntah tidak ada
o Penurunan berat badan drastis tidak ada
o BAB (+) biasa
o BAK (+) biasa

Riwayat penyakit dahulu

o Riwayat penyakit penyakit seperti sebelumnya (-), riw, alergi obat (-)
o Riwayat Hipertensi (-), DM (-), asma (-) dan asam urat (-)

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis cooperatif

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Nafas : 20x/menit

Suhu : 36,7° C

Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor.

THT : Tidak ada kelainan

Leher : JVP 5-0 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB.

Thorak

Paru-paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi : Fremitus sama kanan dan kiri

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler (+/+), Whezing (-/-), Rhonki (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari di linea midclavicularis RIC V

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Irama reguler, Bising (-)

Abdomen

Inspeksi : perut tidak membuncit, distensi (-), darm contour (-), darm
steifung(-)

Palpasi : supel,hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di kuadran
kanan bawah, nyeri lepas (-), defans muskular (-),

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Rovsing’ s sign : (+)

Psoas sign : (+)

Obturator sign : (+)

Ektremitas: akral hangat, edema (-)


Pemeriksaan penunjang

Laboratoriun :

 Hb : 14,7 g/dl
 Hematokrit : 43 %
 Leukosit : 10.100/ mm3
 Trombosit : 196.000 /mm3
 Ureum : 40 mg/dl
 Creatinin : 0,8 mg/dl
 GDR : 104mg%

Diagnosa kerja

Susp. Apendisitis kronis

Diagnosis Banding

Infeksi saluran kemih

Penatalaksanaan

 Rawat di bangsal bedah, rencana appendektomi tgl 08 november 2017


 Inform consent
 Persiapan pasien di suruh puasa
 Lapor anestesi

Laporan pembedahan
 Dilakukan pembedahan oleh dr.Hendra Sp.B pada tgl 08 november 2017
pukul 10.00 wib di ruang OK RSUD Arosuka.
 Tindakan operasi:
1. Pasien terlentang dengan anestesi spinal
2. Dilakukan tindakan asepsis dan antiseptik pada lapang operasi.
3. Dilakukan insisi Mc Burney lapis demi lapis secara tajam
4. Dilakukan eksplorasi tampak daerah operasi : ditemukan appendik
letak retrocaecal, panjang 13 cm, diameter 1 cm.
5. Dilakukan appendectomy.
6. Dilakukan perawatan luka operasi
7. Luka operasi di lakukan penjahitan lapis demi lapis
8. Operasi selesai
9. Diagnosis pasca pembedahan : appendisitis kronik

Terapi post appendectomy


Non medikamentosa
- Rawat ruang biasa
- Tirah baring
- Diet lunak
Medikamentosa
- IUFD Asering 15 tetes/menit
- Cefotaxime 2 x 1 gr (hari 1)
- Ketorolac 2 x 1 ampul
- Omeprazole 2 x 40 mg

Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam

Quo ad funtionam : Dubia ad Bonam


Follow up

09-11-2017 S/ - Nyeri post op (+) P/


- Demam (-)  IVFD Asering 15
- Mual (-), Muntah (-) tetes/menit
- BAK (+) normal  Cefotaxime 2 x 1 gr (IV)
- BAB (-) (H2)
 Ketorolac 2 x 1 kap (PO)
O/ KU : Sedang  Ranitidine 2 x 1 amp (IV)
Kes : CMC  Diet biasa
TD : 120 / 80 mmHg  Belajar duduk, berjalan
Nadi : 80 x / menit
Nafas : 20x / menit
T : 36°C
A/ post appendectomy
( hari 1)

10-11-2017 S/ - Nyeri post op (+) P/


- Demam (-)  IVFD Asering 15
- Mual (-), Muntah (-) tetes/menit
- BAK (+) normal  Cefotaxime 2 x 1 gr (IV)
- BAB (-) (H3)
 Ketorolac 2 x 1 kap (PO)
O/ KU : Sedang  Ranitidine 2 x 1 amp (IV)
Kes : CMC  Diet biasa
TD : 110/ 80 mmHg  Belajar duduk, berjalan
Nadi : 78 x / menit
Nafas : 21x / menit
T : 36,5°C
A/ post appendectomy
(hari ke 2)

11-11-2017 S/ - Nyeri post op (+) P/


- Demam (-)  IVFD Asering 15
- Mual (-), Muntah (-) tetes/menit
- BAK (+) normal  Cefotaxime 2 x 1 gr (IV)
- BAB (-) (H4)
 Ketorolac 2 x 1 kap (PO)
 KU
O/ : Sedang Ranitidine 2 x 1 amp (IV)
Kes : CMC  Diet biasa
TD : 100/ 70 mmHg  Belajar duduk, berjalan
Nadi : 70 x / menit  Pasien boleh pulang
Nafas : 20x / menit
T : 36,5°C Terapi pulang

A/ post appendectomy - Cefixime 2 x 100 mg


(hari ke 3) - Paracetamol 3 x 500 mg
- Kontrol ke poli bedah

Hasil pembelajaran portofolio

1. Subjektif
Seorang pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke poliklinik RSUD Arosuka
pada tanggal 07 november 2017 dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan hilang timbul sejak 1 bulan ini.
Awal nya nyeri dirasakan disekitar ulu hati dan sekitar pusar lalu nyeri berpindah
ke perut bagian kanan bawah. Nafsu makan menurun sejak 1 minggu yang lalu.
Mual (+) sejak 2 hari yang lalu, muntah tidak ada. Penurunan berat badan ada.
Demam tidak ada. BAB (+) biasa tidak ada keluhan. BAK (+) biasa, nyeri saat
berkemih tidak ada. Dari gejala di atas pasien didiagnosis suspect apendisitis
kronis.

2. Objektif

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 07 november 2017


didaptakan keadaan umum tampak kesakitan dengan tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 90 x/menit, Nafas 20x/menit, Suhu 36,7° C, Mata Konjungtiva anemis (-
), sklera ikterik (-), pupil isokor. THT Tidak ada kelainan, Leher JVP 5-0
cmH2O, tidak ada pembesaran KGB.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan adanya nyeri tekan pada kuadran


kanan bawah. Rovsing sign, obturator sign dan psoas sign ditemukan positif pada
pasien. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium di dapatakan Hematokrit: 43
%, Leukosit 10.100/ mm3, Trombosit 196.000 /mm3, Ureum 40 mg/dl, Creatinin
0,8 mg/dl, GDR 104mg%. Pemeriksaan ini mengarah kepada diagnosis suspect
apendisitis kronik dengan diagnosis banding infeksi saluran kemih,
gastroenteritis.

3. Assessment (penalaran klinis)


Pada pasien ditegakan diagnosis suspect apendisitis kronis ( DD:
infeksi saluran kemih, gastroenteritis) sesuai dengan gejala, pemeriksaan fisik
yang dilakukan pada pasien. Pasien di rencanakan untuk dilakukan
appendectomy.

4. Plan
Diagnosis : suspect apendisitis kronik
Diagnosa banding : Infeksi saluran kemih, gastroenteritis
Sikap : Rawat bedah
Rencana : appendectomy
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI APENDIK

Embriologi appendiks berasal dari mid gut. appendiks pertama muncul pada
minggu ke-8 kehamilan sebagai outpouching dari sekum dan secara bertahap berputar
ke lokasi yang lebih medial sebagai berputaran usus dan sekum, appendiks menjadi
tetap di kuadran kanan bawah. Appendiks berbentuk seperti tabung, panjang 3 – 15
cm, diameter 0,5-1 cm dan berpangkal di sekum, pangkal lumen sempit, distal lebar.
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan
saraf, pembuluh darah dan lymphe, antara mukosa dan submukosa terdapat
lymphonodes. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar
umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.
2.2 FISIOLOGI
Selama bertahun-tahun, appendiks dipandang sebagai organ sisa tanpa fungsi
yang tidak diketahui. Sekarang telah diakui bahwa appendiks merupakan organ
imunologi yang secara aktif berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, terutama
imunoglobulin A. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Jaringan limfoid pertama muncul pada
appendiks sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Jumlah kenaikan jaringan limfoid
seluruhnya pada usia pubertas, dan tetap stabil untuk dekade berikutnya, kemudian
mulai menurun dengan bertambahnya usia. Setelah usia 60 tahun, hampir tidak ada
jaringan limfoid masih dalam usus buntu, dan penghapusan lengkap dari lumen
appendiks.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Acute appendisitis adalah salah satu penyakit bedah terbanyak. Insiden paling
sering terjadi pada usia dekade kedua dan ketiga. Insiden puncaknya pada awal
dewasa (pubertas) dan insiden juga banyak terjadi pada orangtua. Frekuensi angka
kejadian tertinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Rasio wanita :
laki-laki sekitar 2:1 bertahap bergeser setelah usia 25 tahun menuju rasio 1:1.
Appendektomi adalah prosedur bedah yang paling sering dilakukan. Risiko Lifetime
appendektomi adalah antara 7% dan 12%.

2.4 ETIOLOGI
-Obstruksi
Penyebab obtruksi lumen adalah lymphoid hyperplasia, facalith, foreign objects,
stricture (neoplasma), dan parasit.
-Infeksi Bakteri
Common Organisms Seen in Patients with Acute Appendicitis

Aerobic and Facultative Anaerobic


Gram-negative bacilli Gram-negative bacilli
Escherichia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Other Bacteroides species
Klebsiella species Fusobacterium species
Gram-positive cocci Gram-positive cocci
Streptococcus anginosus Peptostreptococcus species
Other Streptococcus species Gram-positive bacilli
Enterococcus species Clostridium species

2.5 PATOGENESIS
 Appendiks obstruksi
Obstruksi appendiks merupakan kejadian awal yang paling sering pada
appendisitis. Hiperplasia dari folikel limfoid submukosa sekitar 60% penyebab
obstruksi (paling sering pada remaja). Pada orang dewasa yang lebih tua dan
anak-anak, fecalith adalah penyebab paling sering (35%).
 Tekanan Intraluminal
Meningkatnya tekanan intraluminal akibat obstruksi lumen appendiks
menyebabkan sekresi mukosa meningkat, pertumbuhan bakteri yang berlebihan,
dinding appendiks menipis karna terjadi distensi dan terjadi obstruksi limfatik dan
vena.

 Nekrosis dan Perforasi


Nekrosis dan perforasi terjadi ketika aliran arteri terganggu.
2.6 MANIFESTASI KLINIS

Symptoms
 Nyeri abdomen diffus di epigastrium atas atau regio umbilicalis kemudian
terlokalisasi di kuadran kanan bawah (RLQ)
 Mual Muntah
 Anoreksia
 Konstipasi atau diare

Signs
 Direct rebound tenderness (Mc.Burney’s point)
 Rovsing’s sign
Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan palpatory diberikan pada kuadran
kiri bawah dan juga menunjukkan tempat iritasi peritoneal.
 Iliopsoas sign
Iliopsoas sign positif apabila pelvis nyeri ketika paha kanan di ekstensikan.
 Obturator sign
Obturator sign positif jika hipogastrikus nyeri pada peregangan m. obturatorius
internus dan ini menunjukkan iritasi di panggul. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
gerakan rotasi internal pasif dari paha kanan tertekuk dengan posisi pasien
terlentang.
 Dunphy sign
Dunphy sign positif jika nyeri abdomen bertambah ketika pasien batuk.

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
dilakukan pada pasien. Pada anamnesis dicari gambaran klinis yang mengarah ke
apendisitis, berupa nyeri perut kanan bawah yang bermula dari epigastrium maupun
preumbilikal, mual, muntah, anoreksia dan deman.
Pada pemeriksaan fisik dapat dicari tanda rangsangan peritoneum lokal di titik
McBurney berupa nyeri tekan, nyeri lepas dan defans muskular. Nyeri rangsangan
peritoneum tidak langsung berupa rovsing sign, blumberg sign dan tanda lainnya
seperti obturator sign dan psoas sign.

Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan. Nyeri
tekan pada titik Mc Burney. Bisa disertai nyeri lepas. Defans muskular menunjukan
adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada penekanan perut kanan bawah yang
disertai nyeri disebut rovsing sign. Tanda lainnya nyeri pada fleksi dan endorotasi
sendi panggul yang dikenal dengan obturator dan psoas sign pada hiperekstensi.

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforasi. Pemeriksaan colok dubur
bisa menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat di capai dengan jari telunjuk.

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis masih


mungkin salah pada sekitar 20 % kasus. Kesalahan lebih sering pada perempuan
dibandingkan lelaki diakibatkan organ genitalia interna yang dapat menimbulkan
keluhan yang sama.

Untuk pemeriksaan penunjang, pemeriksaanjumlah leukosit membantu


menegakan diagnosis apedisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis.
Gambaran radiologik foto polos abdomen dapat berupa bayangan apendikolit
(radioopak), distensi, obstruksi usus halus, deformitas sekum, adanya udara bebas,
dan efek masa jaringan lunak. Pemeriksaan ultrasonografi menunjukan adanya edema
apendik yang disebabkan oleh adanya peradangan. Pada barium enema, terdapat non
filling apendiks, efek masa di kuadran kanan bawah abdomen, apendiks tampak tidak
bergerak, pengisian tidak rata dan adanya retensi barium setelah 24-48 jam.
Alvarado Scale for the Diagnosis of Appendicitis

Manifestations Value
Symptoms Migration of pain 1
Anorexia 1
Nausea and/or vomiting 1
Signs Right lower quadrant tenderness 2
Rebound 1
Elevated temperature 1
Laboratory values Leukocytosis 2
Left shift in leukocyte count 1
Total points 10

 Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita apendisitis. Pasien ini dapat langsung
diambil tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian perlu
dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan patologi anatomi.
 Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien ini
sebaiknya dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen ataupun
CT scan.
 Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini tidak
perlu untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan dengan catatan
tetap dilakukan follow up pada pasien ini.

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding apendisitis akut tergantung pada empat faktor utama yaitu
lokasi anatomi dimana terjadinya peradangan appendiks, tahap proses (sederhana
atau perforasi), umur pasien dan jenis kelamin.
 Gastrointestinal Disease
 Gastroenteritis. Ditandai dengan mual dan emesis sebelum timbulnya sakit
perut, bersama dengan malaise umum, demam tinggi, diare, dan kurang lokal
sakit perut dan nyeri. Meskipun diare adalah salah satu tanda-tanda kardinal
radang lambung, dapat terjadi pada pasien dengan usus buntu. Selain itu,
jumlah WBC seringkali normal pada pasien dengan gastroenteritis.
 Mesenterika Limfadenitis. Biasanya terjadi pada pasien lebih muda dari 20
tahun dan nyeri RLQ, sakit perut tapi tanpa tenderness rebound atau kekakuan
otot. Nodal histologi dan biakan yang diperoleh pada operasi dapat
mengidentifikasi etiologi, terutama Yersinia dan Shigella spesies dan
Mycobacterium tuberculosis. Mesenterika limfadenitis diketahui terkait dengan
infeksi saluran pernapasan atas.
 Ulkus Peptikum, Diverticulitis, dan Kolesistitis dapat menyajikan gambar
klinis yang mirip dengan appendisistis.

 Urologic diseases
 Pielonefritis menyebabkan demam tinggi, kaku, nyeri costovertebral, dan
tenderness. Diagnosa dikonfirmasi oleh urinalisis dengan cultur.
 Kolik saluran kemih. Passage batu ginjal menyebabkan nyeri panggul
menjalar ke selangkangan tapi tenderness lokal sedikit. Hematuria
menunjukkan diagnosis yang
dikonfirmasi oleh pyelography intravena atau CT noncontrast. foto polos sering
menunjukkan batu ginjal.

 Gynecologic diseases
 Pelvic inflammatory disease dapat hadir dengan gejala dan tanda-tanda tidak
bisa dibedakan dari appendisitis akut, tetapi sering dapat dibedakan berdasarkan
beberapa faktor. Tenderness gerak serviks dan keputihan seperti susu
memperkuat diagnosis PID. Pada pasien dengan PID, rasa sakit biasanya
bilateral, dengan intens menjaga pada pemeriksaan perut dan panggul. USG
transvaginal dapat digunakan untuk memvisualisasikan ovarium dan untuk
mengidentifikasi abses Tubo-ovarium.
 Kehamilan ektopik. Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien
wanita usia subur dengan keluhan perut. Kista ovarium terbaik terdeteksi oleh
USG transvaginal atau transabdominal.
 Torsi ovarium. Peradangan mengelilingi ovarium iskemik sering dapat teraba
pada pemeriksaan panggul bimanual. Pasien-pasien ini dapat mengalami
demam, leukositosis, dan nyeri RLQ konsisten dengan appendisitis. Sebuah
viskus twisted, bagaimanapun, berbeda karena memproduksi tiba-tiba, rasa
sakit akut dengan emesis sering dan berlanjut simultan. torsi ovarium dapat
dibuktikan dengan Doppler USG.

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Evaluasi Laboratorium
Complete blood cell count. Jumlah leukosit yang lebih dari 10.000 sel / uL,
dengan dominasi sel polymorphonuclear (> 75%), membawa sensitivitas 77% dan
spesifisitas 63% untuk appendisitis (Radiology 2004; 230:472). Jumlah leukosit
dan proporsi bentuk mature meningkat jika ada perforasi appendiks. Pada orang
dewasa yang lebih tua, jumlah leukosit dan diferensial lebih sering normal
daripada pada orang dewasa muda. Wanita hamil biasanya memiliki jumlah WBC
yang tinggi dapat mencapai 15.000 hingga 20.000 selama proses kehamilan.
Complete Blood Count (CBC)
 Leukocytosis (10.000-18.000/mm3) dengan polymorphonuclear (PMN)
predominan
 Jika white blood count (WBC) > 18.000/mm3 pikirkan adanya perforasi dengan
atau tanpa abses
Serum elektrolit, nitrogen urea darah, dan kreatinin serum diperoleh untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki kelainan elektrolit yang disebabkan oleh
dehidrasi sekunder untuk muntah atau asupan oral yang buruk.
 Urinalysis
Urinalysis abnormal pada 25% sampai 40% dari pasien appendisitis. Pyuria,
albuminuria, dan hematuria sering terjadi. Jumlah bakteri yang banyak dapat
dipikirkan ISK sebagai penyebab sakit perut. Urine menunjukkan lebih dari 20
leukosit per bidang daya tinggi atau lebih dari 30 sel darah merah per bidang daya
tinggi menunjukkan ISK. Hematuria yang signifikan harus dipikirkan
pertimbangan urolithiasis.
 WBCs atau RBCs mungkin ditemukan jika adanya iritasi VU atau ureter karena
inflamasi appendiks
 Bakteriuria

 Evaluasi Radiologi
Diagnosis appendisitis biasanya dapat dibuat tanpa evaluasi radiologis pada kasus
yang kompleks.
X-ray jarang membantu dalam mendiagnosis appendisitis. Pada sebuah studi
menunjukkan bahwa appendicolith atas hanya 1,14% dari sinar-x dilakukan pada
pasien dengan pembedahan terbukti appendisitis. Temuan lain radiologis yang
sugestif termasuk sekum menggelembung dengan tingkat kecil-usus yang
berdekatan udara-cairan, kehilangan bayangan psoas kanan, scoliosis ke kanan,
dan gas dalam lumen apendiks. Sebuah apendiks perforasi jarang menyebabkan
pneumoperitoneum.
USG sangat berguna pada wanita usia subur dan pada anak-anak karena penyebab
lain dari keluhan perut dapat didemonstrasikan. Temuan terkait dengan
appendisitis akut termasuk appendiks diameter lebih besar dari 6 mm, kurangnya
kompresibilitas luminal, dan kehadiran sebuah appendicolith. Appendiks
diperbesar dilihat pada USG memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 81%.
appendiks berlubang lebih sulit untuk didiagnosis dan ditandai oleh hilangnya
submucosa echogenic dan kehadiran koleksi cairan loculated periappendiceal atau
panggul. Pada wanita, patologi ovarium mungkin diidentifikasi atau dikecualikan.
Kualitas dan ketepatan sangat bergantung pada operator.
CT scan, awalnya direkomendasikan hanya dalam kasus-kasus klinis yang
kompleks atau diagnosa tidak pasti, merupakan tes yang paling umum digunakan
dalam diagnostik radiografi. Hal CT scan lebih unggul dalam mendiagnosis
appendisitis dengan sensitivitas 94% dan spesifisitas 95%. Pada CT scan dapat
ditemukan distensi, appendiks berdinding tebal dengan lapisan inflamasi sekitar
lemak, phlegmon pericecal atau abses, appendicolith, atau udara RLQ bebas intra-
abdomen yang merupakan sinyal perforasi. CT scan sangat berguna dalam
membedakan antara abses periappendiceal dan phlegmon.
MRI merupakan alternatif ketika satu kebutuhan pencitraan cross-sectional untuk
menghindari radiasi pengion. Hal ini terutama berguna pada pasien hamil yang
apendiks tidak divisualisasikan.
Imaging
Abdominal X Ray (AXR) terlihat Appendicolith/fecalith
CT scan abdominal
(+) Bila ditemukan dilatasi appendix > 6 mm, penebalan appendix
(+) palsu jika terlihat inflamasi periappendix, dilatasi tuba fallopi, insipissated
stool, overlying fat
(-) palsu jika inflamasi terbatas diatas appendix, retrocecal ceacum, appendix
besar, perforasi (appendix compressible).

 Diagnostik Laparoskopi
Laparoskopi diagnostik sangat berguna untuk mengevaluasi wanita berovulasi
dengan tegas untuk pemeriksaan appendisitis. Pada subkelompok ini, sepertiga
perempuan terbukti memiliki patologi ginekologi primer. appendiks ini juga bisa
dihapus melalui pendekatan laparoskopi. Oleh karena itu, beberapa ahli bedah
menganjurkan pendekatan laparoskopi awal pada semua wanita berovulasi yang
diduga appendisitis.
3.0 PENATALAKSANAAN
 Preoperative
Isotonik pengganti cairan intravena harus dimulai untuk mencapai output
kemih cepat dan untuk memperbaiki kelainan elektrolit. Suction nasogastrik sangat
membantu, terutama pada pasien dengan peritonitis. Suhu yang tinggi
ditatalaksana dengan acetaminophen dan selimut pendingin. Anestesi tidak boleh
diinduksi pada pasien dengan suhu yang lebih tinggi dari 39°C
.
 Antibiotik
Antibiotik profilaksis umumnya efektif dalam pencegahan komplikasi infeksi
pascabedah (luka infeksi, abses intra-abdomen). Preoperative inisiasi lebih disukai,
meskipun beberapa menyarankan bahwa hal itu dapat ditunda. Untuk appendisitis
akut, cakupan biasanya terdiri dari sefalosporin generasi kedua. Pada pasien
dengan appendisitis nonperforated akut, dosis tunggal antibiotik cukup. Terapi
Antibiotik dalam apendisitis perforasi atau gangren harus dilanjutkan selama 3
sampai 5 hari
.
 Appendectomy
Dengan beberapa pengecualian, pengobatan appendisitis adalah
appendektomy. Pasien dengan peritonitis difus atau diagnosis dipertanyakan harus
dieksplorasi melalui insisi garis tengah. Mortalitas setelah appendektomi tinggi
pada pasien usia lanjut. Pada kebanyakan pasien, irisan melintang memberikan
penampilan terbaik kosmetik dan memungkinkan kemudahan perpanjangan secara
medial untuk eksposur yang lebih besar. Lapisan otot transversus abdominis dan
lapisan otot obliqus abdominis eksternal dan internal dapat dibagi dalam arah
seratnya. Setelah masuk ke rongga peritoneal, didapatkan cairan purulent untuk
gram stain dan cultur. Setelah sekum diidentifikasi, taenia anterior dapat diikuti ke
dasar appendiks. appendiks dengan lembut dilepaskan dari luka dan sekitarnya
dengan hati-hati pada setiap perlekatan yang mengganggu. Jika appendiks normal
pada inspeksi (5% sampai 20% dari eksplorasi), tersebut akan dihapus dan
diagnosis alternatif yang sesuai akan dipikirkan. Sekum, kolon sigmoid, dan ileum
secara hati-hati diperiksa untuk perubahan indikasi divertikular (termasuk
divertikulum Meckel), infeksi, iskemik, atau penyakit inflamasi usus (misalnya,
penyakit Crohn). Bukti limfadenopati mesenterika dicari. Pada wanita, ovarium
dan saluran tuba diperiksa untuk bukti PID, pecah kista folikel, kehamilan ektopik,
atau patologi lainnya. cairan peritoneal empedu menunjukkan ulkus peptikum atau
perforasi kandung empedu.

 Laparoskopi Appendektomi
Laparoskopi appendektomi merupakan alternatif untuk pendekatan terbuka.
Hal ini paling berguna ketika diagnosis tidak pasti atau bila ukuran pasien akan
memerlukan sayatan besar. Walaupun studi terbaru menunjukkan bahwa panjang
pasca operasi mungkin tinggal sedikit singkat sebagian besar pasien yang
menjalani appendektomi rutin dapat dengan aman keluar dari rumah sakit pada
hari pertama pasca operasi. Terlepas dari pilihan pendekatan, perhatian harus
dilakukan untuk memastikan ligasi aman ujung appendiks.

 Drainage of Periappendiceal Abscess


Pengelolaan abses appendiks masih kontroversial. Pasien yang memiliki abses
periappendiceal baik lokal dan pada awalnya terlihat ketika gejala yang mereda
dapat diobati dengan antibiotik sistemik dan dipertimbangkan untuk drainase
kateter perkutan, diikuti oleh appendektomi elektif 6 sampai 12 minggu kemudian.
Strategi ini berhasil di lebih dari 80% pasien. Appendiks harus dibuang karena
pasien memiliki risiko 60% terkena appendisitis kembali dalam waktu 2 tahun.
Antibiotik sistemik yang diberikan selama minimal 5 hari atau sampai pasien
menyelesaikan afebrile dan leukositosis. Sebuah studi baru-baru ini
membandingkan appendektomy langsung (antibiotik, operasi) dengan manajemen
hamil (antibiotik, drainase perkutan, dan usus buntu interval) pada pasien dengan
abses appendiks menemukan bahwa kelompok langsung-appendektomi memiliki
tingkat komplikasi yang lebih tinggi dan lebih lama tinggal di rumah sakit.
 Incidental Appendectomy
Insidental appendektomi adalah pengangkatan appendiks normal pada
laparotomi untuk kondisi lain. appendiks harus mudah diakses melalui sayatan
perut ini, dan pasien harus secara klinis cukup stabil untuk mentolerir waktu
tambahan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan prosedur. Karena sebagian besar
kasus appendisitis terjadi awal kehidupan, manfaat appendektomi insidental
berkurang secara substansial sekali orang yang lebih tua dari 30 tahun. penyakit
Crohn yang melibatkan sekum itu, radiasi pengobatan hingga ke kekebalan,
sekum, dan cangkok vaskular atau bioprostheses lain merupakan kontraindikasi
untuk appendektomi insidental karena peningkatan risiko komplikasi infeksi atau
kebocoran tunggul appendiks.

3.1 KOMPLIKASI APENDISITIS


 Perforasi
Perforasi disertai dengan nyeri hebat dan demam. Hal ini biasa dalam waktu 12
jam pertama dari appendisitis tetapi hadir dalam 50% pasien apendisitis lebih
muda dari 10 tahun dan lebih tua dari 50 tahun. Konsekuensi akut perforasi
termasuk demam, takikardia, peritonitis umum, dan pembentukan abses.
Pengobatan appendisitis, irigasi peritoneal, dan antibiotik spektrum luas intravena
selama beberapa hari. Selama kehamilan, perforasi secara substansial
meningkatkan risiko kematian ibu dari diabaikan sampai 4%. Angka kematian
janin naik dari 0% menjadi 1,5% pada appendisitis uncompicated untuk 20%
hingga 35% dalam pengaturan perforasi.
 Risiko Infeksi Luka Pascaoperasi
Resiko infeksi luka pascaoperasi dapat dikurangi dengan antibiotik intravena
yang sesuai diberikan sebelum sayatan kulit. Kejadian luka infeksi meningkat dari
3% pada kasus apendisitis nonperforated menjadi 4,7% pada pasien dengan usus
buntu yang berlubang atau gangren. penutupan primer tidak dianjurkan dalam
pengaturan perforasi (Bedah 2000; 127:136). luka infeksi dikelola dengan
membuka, pengeringan, dan pengemasan luka untuk memungkinkan penyembuha.
Antibiotik intravena yang ditunjukkan untuk selulitis atau sepsis sistemik.
 Abses Intra-abdominal dan abses panggul
Abses Intra-abdominal dan panggul terjadi paling sering dengan perforasi
apendiks. Pascaoperasi abses intra-abdomen dan pelvis yang paling baik ditangani
dengan drainase dengan panduan CT-atau USG perkutan. Jika abses tidak bisa
diakses atau resisten terhadap drainase perkutan, drainase operasi diindikasikan.
Terapi antibiotik dapat menutupi tetapi tidak signifikan untuk mengobati atau
mencegah abses.
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F. Charles. Schwartz’s Principles of Surgery, ninth edition. The McGraw-


Hill Companies, Inc. United States of America. 2010
Klingensmith, Mary E dkk. Washington Manual of Surgery,The, 5th Edition. 2008
Lippincott Williams & Wilkins

Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier


Stead, G. Latha. Firts Aid for the Surgery Clerkship. 2003. McGraw-Hill Companies

Anda mungkin juga menyukai