Suplementasi Vitamin Sebagai Terapi Profilaksis Yang Mungkin Diberikan Untuk Migrain Dengan Aura Dan Menstrual Migraine
Suplementasi Vitamin Sebagai Terapi Profilaksis Yang Mungkin Diberikan Untuk Migrain Dengan Aura Dan Menstrual Migraine
Migrain adalah bentuk gangguan sakit kepala yang paling sering terjadi secara global.
Etiologi migrain adalah multifaktorial, dengan komponen genetik dan interaksi lingkungan
dianggap sebagai faktor penyebab utama. Beberapa peneliti menetapkan bahwa adanya
defisit cadangan energi didalam mitokondria dapat menyebabkan migrain atau
peningkatan kadar homosistein dapat menyebabkan serangan migrain; Oleh karena itu,
vitamin dapat memainkan peranan penting dalam pencegahan migrain. Misalnya,
riboflavin mempengaruhi disfungsi mitokondria dan mencegah migrain. Gen seperti
flavoenzim 5, 10-methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR), terutama varian C677T,
telah dihubungkan dengan kadar plasma homosistein dan migrain dengan aura.
Katalisasi homosistein membutuhkan adanya vitamin B6, B12, dan asam folat, dimana hal
ini dapat mengurangi tingkat keparahan migrain dengan aura, sehingga membuat vitamin
ini berpotensi sebagai profilaksis yang berguna untuk mengobati migrain dengan aura.
Migrain akibat menstruasi, di sisi lain, terkait dengan peningkatan kadar prostaglandin
(PG) di endometrium, dimana hal ini mengindikasikan peran vitamin E, yang merupakan
suatu anti-PG. Vitamin C juga bisa membersihkan senyawa oksigen reaktif untuk
menangani inflamasi neurogenik pada pasien migrain. Tulisan ini memberikan ulasan
tentang kemungkinan terapi profilaksis untuk migrain dengan suplementasi vitamin,
berfokus pada migrain dengan aura dan migren akibat menstruasi.
1.Pendahuluan
Migrain adalah kondisi yang sering terjadi, menyakitkan, dan bisa mengakibatkan
disabilitas yang ditandai dengan episode berulang, unilateral, dan nyeri kepala berdenyut
dengan intensitas nyeri sedang sampai berat [1]. Kebanyakan serangan migrain dimulai
saat pubertas dan berdampak pada mereka yang berusia antara 35 dan 45 tahun.
Prevalensi migrain lebih tinggi pada wanita (5% sampai 25%) dibandingkan pada pria (2%
sampai 10%) [2, 3]. Insiden serangan migrain cenderung memuncak pada kelompok usia
menengah namun dilaporkan lebih rendah di kalangan remaja dan orang tua (berusia di
atas 60 tahun) [3]. Gejala migrain bervariasi antar individu, gejala yang berbeda mungkin
muncul dalam serangan yang berbeda. serangan migrain mungkin juga berbeda dalam hal
serangan dan frekuensi, biasanya berlangsung selama 4 sampai 72 jam. Meskipun
penderita mungkin bebas dari gejala diantara serangan, serangan migrain memiliki
dampak yang sangat besar terhadap pekerjaan, keluarga, dan kehidupan sosial.
Ada beberapa jenis migrain, dan mereka didiagnosis berdasarkan gejala yang dialami.
Beberapa dipicu oleh pergantian musim dan lainnya oleh perubahan kadar hormon,
terutama pada wanita. Pada tahun 1988, International Headache Society membuat sistem
untuk mengklasifikasikan migrain, sistem tersebut juga diadopsi oleh World Health
Organization [4]. Sistem ini telah diupdate pada bulan Januari 2004 [5] dan menjadi dasar
yang ditetapkan untuk mendefinisikan jenis nyeri kepala. Bentuk yang paling sering dari
migrain masuk ke dalam dua kategori utama, yaitu migrain dengan aura (MA) dan migrain
tanpa aura (MO). MO adalah jenis yang paling umum dari migrain, dan sekitar 80% dari
pasien migrain dilaporkan mengalami migrain jenis ini [3].
MA terutama ditandai oleh adanya gejala neurologis fokal seperti penglihatan kabur,
vertigo, atau halusinasi, dan gejala ini biasanya mendahului atau menyertai serangan nyeri
kepala. Beberapa pasien juga mengalami fase premonitori, yang terjadi dalam jangka
waktu beberapa jam atau beberapa hari sebelum nyeri kepala, diikuti oleh fase resolusi.
gejala premonitory dan fase resolusi termasuk hiperaktif dan hipoaktif, depresi, keinginan
untuk makanan tertentu, menguap berulang ulang, dan gejala kurang khas lainnya yang
dilaporkan oleh beberapa pasien.
Gejala-gejala ini berbeda dari migrain tanpa aura, yang tidak didahului oleh aura dan
dapat berlangsung selama 4 sampai 72 jam. Hampir 31% dari pasien migrain dilaporkan
memiliki 3 atau lebih serangan nyeri kepala per bulan, dengan 54% dari pasien migrain
dilaporkan mengalami gangguan berat pada aktivitas sehari-hari baik di rumah dan di
tempat kerja [3]. prevalensi serupa juga telah ditunjukkan pada populasi lain (Eropa dan
Asia) dengan pola distribusi yang sebanding berdasarkan usia dan jenis kelamin [6].
Hipotesis bahwa mitokondria mungkin memainkan peran dalam patogenesis migrain dan
peran adanya gangguan mitokondria dan migrain telah dijelaskan dengan baik [7- 10].
Mitokondria adalah organel kecil yang memainkan peran utama dalam produksi energi,
produksi reaktif oksigen spesies (ROS), regulasi apoptosis, dan kontrol homeostasis
kalsium (Ca2 +) [7]. Karena mitokondria memainkan peran penting dalam mekanisme
utama dari penyerapan Ca2 + didalam sel, disfungsi ini dipastikan menyebabkan nyeri
hypersensitisasi [11].
Selain itu, vasokonstriksi selama depresi penyebaran kortikal (CSD) disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi Ca2 + dalam astrosit. Proses ini dimediasi oleh A2 fosfolipase
yang merupakan suatu metabolit dari asam arakidonat [12]. Mitokondria memegang
peranan penting supaya sel sel neuron dapat berfungsi secara normal karena keterlibatan
mereka dalam homeostasis Ca2 +. Oleh karena itu, ketidakseimbangan Ca2 + dapat
menyebabkan berbagai ketidakseimbangan, dan memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kerentanan terjadinya migrain [9].
Sitokrom-c oxidase (COX), yang dikenal juga sebagai komplek IV, dari rantai pernapasan
mitokondria berikatan dengan nitric oksida (NO) [13]. Dalam pembuluh yang kaya dengan
COX, penyerapan NO mungkin terjadi, sehingga mencegah vasodilatasi. serat negatif dari
COX dengan peningkatan akumulasi lemak juga telah ditemukan pada beberapa pasien
dengan migrain [7]. Sampai saat ini, hanya ada satu laporan kasus tentang cacat genetik
pada DNA mitokondria yang dihubungkan dengan sakit kepala klaster [14]. Selain itu, dua
polimorfime DNA yang umum 16519C → T dan 3010G → A) telah dihubungkan dengan
sindrom muntah siklik anak dan migrain [15].
Stres oksidatif telah diajukan sebagai kejadian yang berhubungan dalam patogenesis nyeri
kepala [16]. stres oksidatif ditentukan dengan mengukur koenzim Q10, katalase, dan
kadar lipid peroksidasi (LPO). Diyakini pula bahwa stres oksidatif dan LPO memainkan
peran penting dalam patogenesis migrain dengan mengatur aliran darah otak dan
metabolisme energi dimana keduanya mungkin menimbulkan pemicu terjadinya serangan
migrain [17, 18]. Telah diketahui bahwa kadar LPO secara tidak langsung mencerminkan
produksi ROS intraseluler sebagai konsekuensi dari stres oksidatif sebagaimana ROS yang
terlibat dalam etiologi nyeri. Oleh karena itu, hipotesis bahwa antioksidan (dalam bentuk
baik vitamin atau kofaktor) dapat membantu mengurangi kadar radikal bebas yang
memainkan peran penting dalam kelainan mitokondria.
Tujuan dari pencegahan sama kriteria untuk memulai pengobatan tersebut. Tujuan utama
dari pencegahan adalah mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan nyeri kepala
migrain, dan tujuan-tujuan ini penting untuk dikomunikasikan kepada pasien [20-22].
Penting juga untuk menekankan sejak awal kepada pasien bahwa migrain belum
ditemukan obatnya dan, karena itu, tujuannya adalah untuk mengelola penyakit dan
mengurangi beban nya. Disabilitas pasien bisa dikurangi ketika tujuan-tujuan utama
tercapai. tujuan lain dari pencegahan adalah mengurangi penggunaan obat secara akut
dan mengurangi kunjungan ke IGD atau kebutuhan untuk operasi. Pasien juga perlu
memahami bahwa supaya obat menjadi efektif membutuhkan waktu, paling sering dua
sampai tiga bulan, meskipun bila diberikan dalam dosis yang cukup. Meminta pasien
untuk menulis kalender nyeri kepala atau buku harian adalah cara yang efektif untuk
memantau kemajuan.
asam valproat dan flunarizine juga dinilai memiliki khasiat profilaksis yang sangat baik
untuk migrain, namun asam valproat sering dikaitkan dengan efek samping yang banyak
dan flunarizine tidak tersedia di banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Menurut
Cochrane review [26], selective serotonin reuptake inhibitor untuk pengobatan migrain
tidak lebih efektif dibandingkan plasebo. Sifat profilaksis agen lain seperti magnesium,
riboflavin, dan koenzim Q10 masih rendah , tetapi minimalnya efek samping yang parah
membuat mereka pilihan pengobatan alternatif yang baik [28-30].
2.Vitamin
2.1. Riboflavin (Vitamin B2). Riboflavin merupakan nutrisi yang ditemukan dalam susu,
telur, gandum malt, hati, ginjal, jantung, dan sayuran berdaun, dengan ragi dianggap
sebagai sumber alami terkaya. Terdapat beberapa penelitian yang telah meneliti peran
potensial dari riboflavin untuk mencegah gejala migrain [37] penurunan potensi
fosforilasi interiktal di otak dan otot-otot penderita migren dengan riboflavin sebelumnya
telah dilaporkan [38, 39]. Bentuk-bentuk utama riboflavin dalam jaringan dan sel-sel
adalah flavin mononukleotida (FMN) dan flavin adenin dinukleotida (FAD), yang juga
merupakan koenzim (Gambar 1). Bentuk-bentuk riboflavin tersebut terlibat dalam
transfer elektron dalam reaksi oksidasi-reduksi. Pasien dengan encephalomyopathy
mitokondria, asidosis laktat, dan episode seperti-stroke juga menunjukkan penurunan
metabolisme di mitokondria dan juga mengalami nyeri kepala seperti migrain, yang telah
ditemukan dapat diatasi dengan riboflavin [40].
Berbagai uji klinis yang dilakukan pada pasien migrain menggunakan vitamin B2
dirangkum (Tabel 1). Schoenen et al. (1998) meneliti penggunaan riboflavin (400mg / hari)
pada pasien migrain (� = 55) berdasarkan hipotesis bahwa metabolisme oksigen yang
terganggu dapat berkontribusi pada berkembangnya serangan migrain [36] penelitian
tersebut melaporkan bahwa sekitar 59% dari pasien migrain menunjukkan pengurangan
gejala setidaknya sebesar 50% dengan hanya efek samping minor (diare dan poliuria)
terlihat.
Dapat disimpulkan pula bahwa riboflavin merupakan pilihan yang baik sebagai profilaksis
migrain karena efikasinya yang tinggi, toleransi yang sangat baik, dan biayanya rendah.
Namun, di Amerika Serikat, sebuah penelitian RCT dengan plasebo (� = 48) dengan
menggunakan kombinasi riboflavin dosis tinggi (400 mg / hari), magnesium (300mg /
hari), dan feverfew (100mg / hari) tidak menemukan adanya perbedaan antara dosis
tinggi (400mg / hari) riboflavin dan dosis rendah. Meskipun demikian, kedua kelompok
pasien yang mendapat riblofavin baik dengan dosis rendah atau tinggi mengalami
penurunan jumlah serangan migrain dan jumlah hari dengan migrain secara
signifikan[45].
Karena terdapat bukti yang saling bertentangan , dibutuhkan lebih banyak penelitian,
terutama uji klinis teracak, untuk menentukan peran spesifik riboflavin sebagai agen
profilaksis untuk migrain. Perbedaan ras, usia, dan jenis kelamin dari subyek yang terlibat
dalam berbagai penelitian menambah variabilitas , dan lebih diperparah oleh kenyataan
bahwa migrain dipengaruhi oleh faktor multifaktorial.
Tabel 2 menggambarkan karakteristik dari berbagai uji klinis yang dilakukan di kalangan
pasien migrain dengan menggunakan vitamin B6, B9, dan B12. Sebuah studi klinis yang
dilakukan pada anak-anak Italia dengan migrain [32] melaporkan bahwa asam folat
suplemen (/ harian 5mg) selama enam bulan menyebabkan penurunan yang signifikan
(52%) pada kadar homosistein selama pengobatan tindak lanjut. Namun, penelitian ini
melaporkan tidak ada efek yang signifikan secara statistik dari asam folat pada serangan
migrain ketika kadar plasma homosistein dibandingkan pada awal dan akhir perlakuan.
Frekuensi nyeri kepala dan skala nyeri juga berkurang secara signifikan, dengan tidak ada
pengurangan yang ditemukan pada kelompok plasebo. Pada kelompok pasien ini, efek
dari pengobatan pada tingkat homocysteine dan disabilitas migrain dikaitkan dengan
genotipe MTHFR C677T, dimana karier C alel memiliki respon yang lebih baik terhadap
pengobatan dibandingkan dengan genotipe TT. Oleh karena itu, para peneliti
menyimpulkan bahwa menurunkan kadar homocysteine dengan menggunakan suplemen
vitamin mengurangi disabilitas migrain pada subkelompok pasien migrain [31], terutama
pada pasien dengan MA.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada perempuan ras Kaukasia di Australia dengan MA
[35] juga melaporkan bahwa supementasi vitamin (B6, B9, dan B12) tidak hanya secara
signifikan dapat mengurangi kadar homosistein tetapi juga mengurangi keparahan migrain
dan disabilitas di antara penderita migrain jika dibandingkan dengan plasebo. Ketika
kelompok yang diberikan vitamin kemudian dikelompokkan berdasarkan genotipe, karier
C alel dari MTHFR C677T menunjukkan perbedaan penurunan yang signifikan terhadap
kadar homosistein, tingkat keparahan nyeri migrain, dan persentase disabilitas bila
dibandingkan dengan mereka dengan genotipe TT.
Demikian pula, karier alel A dari metionin sintase reduktase (MTRR A66G) juga
menunjukkan penurunan yang signifikan pada kadar homosistein, tingkat keparahan nyeri
pada migrain, dan persentase disabilitas migrain bila dibandingkan dengan mereka yang
memiliki genotipe GG. Namun, meskipun terdapat pengaruh genotip dari kadar
homosistein, efikasi terapi vitamin B6, B9, dan B12 pada pasien dengan varian MTRR
ditemukan tidak tergantung pada varian MTHFR. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menjelaskan mekanisme yang tepat dari interaksi antara varian genetik dan vitamin yang
diberikan sebagai profilaksis untuk pasien MA.
2.3. Vitamin E.
Banyak mekanisme telah diajukan untuk migrain akibat menstruasi, termasuk penurunan
kadar magnesium, disfungsi trombosit, dismodulasi serotonin central dan pelepasan
prostaglandin (PG) [57, 58]. Sebagai contoh, telah dilaporkan bahwa ada peningkatan tiga
kali lipat kadar PG di endometrium antara fase folikel dan fase luteal, yang meningkat
lebih lanjut selama menstruasi (Gambar 3). Tingginya kadar PG yang ditemukan dalam
serum selama fase pramenstruasi mengarah pada penggunaan obat dengan efek anti-PG
[59]. Vitamin E menghambat pelepasan asam arakidonat dan konversi asam arakidonat
menjadi PG dengan berperan pada enzim fosfolipase A2 dan siklooksigenase [60].
Vitamin E, yang merupakan agen anti-PG dengan profil efek samping dilaporkan rendah,
dapat secara efektif mengurangi rasa sakit akibat nyeri kepala dan gejala migrain yang
terkait [61, 62]. Hal ini juga bisa mengurangi disabilitas fungsional dan kebutuhan untuk
obat emergency [61, 62]. Keterbatasan strategi pengobatan migrain saat ini adalah bahwa
meskipun penggunaan jangka pendek obat profilaksis seperti obat NSAID dan triptans
dapat mengurangi nyeri kepala, banyak pasien cenderung mengalami perburukan gejala
nyeri kepala setelah pengobatan jangka pendek dihentikan.
Namun, dengan penggunaan terapi vitamin E (400 IU / hari selama lima hari saat
menstruasi selama 3 siklus), tidak ada pasien yang melaporkan mengalami nyeri kepala.
Vitamin E dapat menjadi pilihan terapi yang berguna bagi perempuan yang menderita
migrain subtipe refrakter [61, 62]. Ziaei et al. melaporkan bahwa ada pengurangan tingkat
keparahan rasa sakit dan perbaikan dalam skala disabilitas fungsional pada pasien migrain
perempuan yang menggunakan vitamin E selama lima hari selama periode menstruasi
mereka [61]. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada populasi besar
bisa membantu dalam menentukan efikasi vitamin E dalam pengobatan wanita yang
secara terus menerus mengalami migrain akibat menstruasi.
2.4. Vitamin C.
Untuk mendukung teori ini, terdapat peningkatan kadar SP, CGRP, dan ROS telah
ditemukan pada kelompok pasien dengan CRPS dan pasien dengan migrain [65, 66].
Pemberian vitamin C, yang merupakan pembersih ROS dan antioksidan, dalam dosis 200-
1,500 mg sehari sampai 50 hari setelah pergelangan tangan dan pergelangan kaki cedera
terbukti secara signifikan dapat mengurangi kejadian CRPS dan telah diajukan sebagai
terapi pencegahan untuk kondisi ini [67-71]. Diperkirakan bahwa vitamin C
"menghilangkan" ROS yang dihasilkan selama inflamasi neurogenik pada tahap awal dari
CRPS. Berdasarkan model ini, maka tampak logis untuk mengasumsikan bahwa vitamin C
juga dapat memodulasi efek inflamasi neurogenik dan ROS pada migrain.
Sampai saat ini, khasiat vitamin C sebagai terapi profilaksis untuk migrain belum diteliti
dalam penelitian RCT. Sebuah penelitian tidak teracak dalam skala kecil menggunakan
kombinasi antioksidan dan sebuah penelitian RCT menggunakan vitamin E membuktikan
adanya peningkatan luaran klinis migrain secara signifikan [61, 72]. Kesimpulannya,
migrain dapat dianggap sebagai "CRPS pada otak," karena terdapat inflamasi neurogenik
dan produksi ROS sebagai mekanisme umum. Karena vitamin C secara signifikan
mengurangi risiko CRPS setelah trauma, vitamin C juga dapat bertindak sebagai agen
profilaksis terhadap migrain. Oleh karena itu, dilakukannya sebuah penelitian RCT yang
melakukan penelitian dengan hipotesis bahwa pemberian 1.000 mg vitamin C setiap hari
akan mengurangi insiden dan keparahan serangan migrain sangat dibutuhkan, karena
vitamin C merupakan alternatif yang lebih murah dan memiliki efek samping yang relatif
lebih sedikit dibandingkan obat lain yang digunakan untuk terapi migrain.
3. Kesimpulan
Beberapa vitamin berguna untuk pencegahan migrain, dan riboflavin telah dilaporkan
menjadi agen profilaksis alternatif yang efektif pada pasien migrain anak dan dewasa
dengan meningkatkan sintesis FMN dan FAD untuk menghasilkan potensi fosforilasi.
Menurunkan kadar homosistein melalui suplementasi vitamin, khususnya dengan asam
folat dan vitamin B6 dan B12, dapat mengurangi disabilitas akibat migrain pada pasien
dengan MA. Namun, uji klinis yang lebih besar diperlukan untuk menentukan apakah
suplementasi vitamin menggunakan asam folat merupakan terapi pencegahan yang
aman, murah, dan efektif untuk meningkatkan kualitas hidup penderita migren dan untuk
menentukan apakah pengobatan tersebut harus didasarkan pada genotipe MTHFR.
Meskipun vitamin E memiliki potensi untuk digunakan untuk terapi pada wanita yang
menderita migrain akibat menstruasi, migrain subtipe refrakter, penelitian dengan
populasi yang diperlukan untuk menentukan efikasi secara lebih lanjut. Selain itu, potensi
vitamin C yang akan digunakan sebagai pembersih ROS untuk peradangan neurogenik
pada pasien migrain perlu dikonfirmasi pada penelitian RCT.