Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) khususnya pneumonia masih

merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan Balita.1 Infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun

bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia,

tanpa atau disertai radang parenkrim paru.2 Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai

spektrum penyakit dari penyakit tanpa gejala sampai penyakit parah dan mematikan.

tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan pejamu. Data 10 Besar

Penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan Rumah Sakit di Indonesia tahun 2009,

menempatkan Infeksi saluran napas bagian atas pada urutan pertama dengan total

kasus sebanyak 488.794, sedangkan pada pasien rawat.3

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)

dan mempunyai gejala batuk, sesak napas, ronki, dan infiltrant pada foto rontgen.

Terjadinya Pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan terjadinya proses

infeksi akut disebut bronchopneumonia.1 Dalam pelaksanaan pengendalian penyakit

ISPA semua bentuk pneumonia (baik pneumonia maupun bronkhopneumonia),

disebut “Pneumonia” saja (Depkes RI 2006).3


Pneumonia ini merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka

kematiannya sangat tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi terdapat juga di

Negara maju seperti Amerika, Kanada dan Negara-Negara Eropa lainya. Di Amerika

pneumonia merupakan penyebab kematian nomor satu setelah kardiovaskuler dan

TBC, kasus pneumonia ditemukan paling banyak menyerang anak balita.2 Tahun

2007 1,2 juta orang di Amerika Serikat dirawat di rumah sakit dengan pneumonia dan

lebih dari 52.000 orang meninggal akibat penyakit ini. Daerah Eropa dan Amerika

Utara kejadian pneumonia 34-40 kasus per 1.000 anak, kebanyakan kasus pneumonia

pada anak usia prasekolah yaitu, empat bulan sampai lima tahun. Di dunia setiap 20

detik seorang anak meninggal akibat pneumonia dan setiap tahun diperkirakan lebih

dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/15 detik) dari 9 juta total

kematian balita (Kartasasmita,2010). 4

Berdasarkan data WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun

2008, pneumonia yang merupakan salah satu jenis ISPA adalah penyebab paling

banyak kematian balita di dunia dan juga di Indonesia.5 Berdasarkan data WHO tahun

2015 pneumonia menyumbang 15% dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun,

menewaskan sekitar 922 000 anak-anak.6 Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) tahun 2001, bahwa angka kematian balita akibat penyakit sistim

pernapasan adalah 4,9/1.000 balita, yang berarti terdapat sekitar 5 dari 1.000 balita

yang meninggal setiap bulan akibat pneumonia, atau berarti tiap tahun terdapat

140.000 balita yang meninggal akibat pneumonia. Data ini juga berarti bahwa rata-

rata 1 anak balita Indonesia meninggal akibat pneumonia dalam setiap 5 menit.7
Melihat dari banyaknya angka kematian balita dikarenakan pneumonia, maka

pneumonia patut menjadi suatu masalah dunia yang harus diatasi, namun Di

Universitas Sam Ratulangi belum pernah dilakukannya penelitian mengenai

gambaran karakteristik pneumonia pada anak yang dirawat di ruang intensif RSUP

Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2013 – 2015. Oleh karena itu, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian ini.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana gambaran karakteristik pneumonia pada anak yang dirawat di ruang

perawatan intensif RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2013 – 2015 ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui gambaran karakteristik pneumonia pada anak yang dirawat di ruang

perawatan intensif RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2013 –

2015.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat keilmuan

Meningkatkan pengetahuan dan wawasan pembaca tentang definisi, jenis-

jenis dan gambaran karakteristik pneumonia pada anak.


2. Manfaat bagi masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi dan

pengetahuan kepada tiap-tiap masyarakat tentang gambaran karakteristik

pneumonia pada anak dan dapat menjadi bahan evaluasi terhadap program

kesahatan yang telah dilakukan.

3. Manfaat bagi peneliti

Sebagai pengalaman ilmu pengetahuan yang bisa diterapkan dan informasi

yang telah diperoleh sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata 1.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Pneumonia merupakan penyakit yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli)

yang ditandai dengan batuk dan kesulitan bernafas, yang biasa disebut dengan nafas

cepat atau sesak nafas pada anak usia balita 0 – 5 tahun.8 Pneumonia adalah infeksi

akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan mempunyai gejala batuk, sesak
1
napas, ronki, dan infiltrant pada foto rontgen. Pneumonia adalah radang paru yang

disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda-

benda asing.2 Berdasarkan definisi-definisi yang ada diatas maka peneliti

mendefinisikan pneumonia sebagai penyakit yang menyerang jaringan-jaringan paru

yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi yang mempunyai gejala batuk,

sesak nafas, adanya ronki dan infiltrant pada foto rontgen.

2.2. KLASIFIKASI

Terdapat beberapa klasifikasi pneumonia sebagai berikut :

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).


b. Pneumonia nosokomial, (hospital-acquired pneumonia/nosocomial

pneumonia).

c. Pneumonia aspirasi.

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised. 30

2. Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a. Pneumonia Bakteri / Tipikal.

b. Pneumonia akibat Virus. 30

3. Berdasarkan Umur

a. Usia anak < 2 bulan

- Bukan Pneumonia.

- Pneumonia Berat.

b. Usia anak 2 bulan - < 5 tahun

- Batuk bukan pneumonia.

- Pneumonia.

- Pneumonia berat. 30
4. Berdasarkan dosis pengobatan pneumonia menurut WHO

a. 2 bulan – 12 bulan (4 - < 10 kg).

b. 12 bulan – 3 tahun (10 – 14 kg).

c. 3 tahun – 5 tahun (14 – 19 kg). 31

5. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia Lobaris.

b. Pneumonia Lobularis (bronkopneumonia).

c. Pneumonia Interstitial. 9

2.3. EPIDEMIOLOGI

Menurut data Riskesdas 2007, prevalens pneumonia (berdasarkan pengakuan

pernah didiagnosis pneumonia oleh tenaga kesehatan dalam sebulan terakhir sebelum

survei) pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan rentang antar provinsi sebesar 0-

13,2%. Prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali (12,9%),

sedangkan provinsi lainnya di bawah 10% (Gambar 2.3.1). 10


Gambar 2.3.1. Prevalensi Pneumonia Balita <1 tahun.10

Sedangkan prevalensi pada anak balita (1-4 tahun) adalah 1,00% dengan rentang

antar provinsi sebesar 0,1% - 14,8%. Seperti pada bayi, prevalensi tertinggi adalah

provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%) sedangkan provinsi lainnya di bawah

10% (Gambar 2.3.2). 10


Gambar 2.3.2. Prevalensi Pneumonia Balita 1-4 tahun.10

Di Provinsi Sulawesi Utara, secara rerata, prevalensi penyakit pneumonia

dalam satu bulan terakhir sebesar 1%, di bawah angka nasional (1,88%), dengan

rentang 0,5 – 2,7%. Prevalensi terendah ditemukan di Kota Bitung dan Kota

Tomohon, masing-masing 0,5%.11 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun

2010, kasus pneumonia mencapai 23% dengan 499.259 kasus yang ditemukan pada

tahun 2010, pada Provinsi Sulawesi Utara 26,08% .12


Menurut studi yang dilakukan oleh Puspitasari dan Syahrul12 di rawat inap

anak (ruang ganesa) RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya pada tahun 2011–2013

pada 74 anak balita yang berumur 1-5 tahun terdapat peningkatan jumlah penderita

pneumonia setiap tahunnya.13

Tabel 2.3.1. Distribusi Penyakit Pneumonia Pada Balita di RSUD Bhakti Dharma

Husada Surabaya Tahun 2011–2013.13

Tahun Jumlah %

2011 10 13,5

2012 26 35,2

2013 38 51,3

Total 74 100

2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, aspirasi dari cairan lambung,

benda asing, hidrokarbon, bahan-bahan lipoid, dan reaksi hipersensitivitas. Untuk

menemukan kuman penyebab, sebaiknya dilakukan kultur darah. Pemeriksaan secara

klinis dan radiologi juga dapat melihat apakah penyebabnya bakteri, virus atau

mycoplasma, namun hal ini masih kontroversial.16 Meskipun penyebab yang tersering

adalah S.pneumonia, mikroorganisme lain perlu dipertimbangkan sebagai faktor

resiko dan factor keparahan penyakit. Menurut klasifikasi terdahulu, penyebab


pathogen pneumonia dibagi dua, yaitu pathogen tipikal dan atipikal. Patogen tipikal

berupa S. pneumoniae, S. aureus, Haemophilus influenza, dan bakteri Gram-negatif

seperti Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan patogen

atipikal biasanya disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,

dan Legionella sp. Serta beberapa virus yang menyerang pernapasan seperti influenza

dan adenovirus.19 Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia

terbagi atas dua kelompok besar yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik.20

Beberapa faktor risko intrinsik yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada

balita antara lain: umur , jenis kelamin, status gizi, Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR), tidak ASI eksklusif, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, Faktor

ekstrinsik meliputi kepadatan tempat tinggal, polusi udara, tipe rumah, ventilasi,

kelembaban, letak dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok,

penghasilan keluarga serta faktor ibu baik pendidikan, umur ibu, maupun

pengetahuan ibu. Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah

kondisi fisik rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan

langsung berinteraksi dengan penghuninya.1,20

2.5. PATOFISIOLOGI

Pneumonia merupakan hasil dari reaksi antara imun host terhadap bakteri

yang berpoliferasi di alveolar paru. Jalur tersering masuknya infeksi ke saluran

napas bawah adalah melalui aspirasi sekret orofaring, maka nasofaring dan

orofaring berkontribusi sebagai pertahanan lini pertama untuk mencegah infeksi.


Mikroorganisme dapat mencapai saluran pernapasan bawah melalui berbagai cara,

namun umumnya mikroorganisme ini masuk dengan cara aspirasi orofaring via

droplet, dalam jumlah yang sedikit dan tersering pada saat pasien sedang tidur

(khususnya pasien tua) dan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaraan.Jalur

infeksi lain adalah melalui inhalasi udara yang sudah tercemar dengan

mikroorganisme ketika penderita lain batuk, bersin, atau berbicara, atau juga

inhalasi air aerosol yang terkontaminasi dari peralatan terapi respirasi. Jalur infeksi

ini merupakan jalur utama pada pneumonia viral, mikobakterial, dan wabah

Legionella. Selain itu, walaupun jarang terjadi pneumonia juga dapat muncul dan

menyebar melalui peredaran darah (seperti pneumonia dari endokarditis trikuspid),

penyebaran infeksi yang berasal dari infeksi pleura dan ruang mediatinum, atau

penggunaan obat-obatan intravena.18

Pada individu yang sehat, patogen yang masuk ke paru akan dieliminasi

oleh mekanisme pertahanan tubuh. Jika mikroorganisme tersebut mampu melewati

pertahanan tubuh saluran napas atas, seperti reflex batuk dan klirens mukosiliar, lini

pertahanan selanjutnya adalah sel epitel saluran napas. Sel epitel saluran napas

dapat mengenali beberapa patogen secara langsung (seperti P.aeruginosa dan

S.aureus). Tetapi sel pertahanan tubuh utama pada saluran napas bawah adalah

makrofag alveolus. Makrofag ini dapat mengenali patogen melalui reseptor

pengenal yaitu Toll-like receptors (TLR) yang dapat mengaktivasi respon imun

bawaan dan didapat. Pelepasan TNF-α dan IL-1 dari makrofag berkontribusi untuk

penyebaran inflamasi paru dengan merekrut neutrofil polimorfonuklear (PMN).


PMN akan bermigrasi dari kapiler paru ke alveolus. PMN juga memiliki fungsi

fagosit yang dapat membunuh mikroba melalui pembentukan fagolisosom yang

terisi enzim degradatif, protein antimikroba, dan radikal oksigen toksik. PMN juga

dapat menginduksi protein neutrophil extracellular trap (NET) yang dapat

menangkap dan membunuh bakteri yang belum terfagositosis. Sayangnya banyak

patogen, seperti pneumokokkus, dapat melepaskan DNase yang dapat memecah

NET sehingga dapat melepaskan diri dari pertahanan PMN. Sebagai tambahan,

untuk mengaktivasi PMN, makrofag juga menyajikan antigen infeksius ke system

imun adaptif yaitu dengan aktivasi sel T dan sel B yang nantinya menginduksi

imunitas selular dan humoral. Pelepasan mediator inflamasi dan kompleks imun

dapat merusak membrane mukus bronkus dan membrane alveolokapiler, yang

menyebabkan asinus dan bronkiolus terminal terisi dengan debris infeksius dan

eksudat. Sebagai tambahan, beberapa mikroorganisme dapat melepaskan toksin

dari dinding selnya yang menyebabkan kerusakan paru lebih lanjut. Akumulasi

eksudat di asinus dapat menyebabkan sesak napas dan hipoksemia.18

Faktor mekanik sangat berperan dalam pertahanan host terhadap infeksi. Hal

ini dapat dilihat dengan adanaya: rambut hidung yang menyaring udara dan

mencegah masuknya droplet, percabangan pada trakeobrankial yang dilengkapi

dengan mukosiliar clearance dan faktor antibakteri yang dapat membunuh patogen,

gag reflex serta reflek batuk yang dapat mencegah aspirasi partikel ke dalam saluran

pernapasan bawah. Tidak hanya itu, keberadaan flora normal di saluran pernapasan

bawah dapat menghindarkan dari infeksi bakteri patogen yang dapat menimbulkan
pneumonia. Saat semua sistem pertahan di atas hilang atau ketika terdapat

mikroorganisme berukuran sangat kecil terinhalasi ke dalam alveolar, maka akan

terjadi reaksi dari makrofag residen alveolar terhadap mikroorganisme. Makrofag

diaktifkan oleh protein local (seperti protein surfaktan A dan D) yang memiliki

kemampuan opsonisasi terhadap bakteri, antibakteri, antiviral. Setelah dilemahkan

oleh makrofag bakteri akan dieliminasi melalui bersihan mukosiliar atau melalui

sistem limfatik. Manifestasi pneumonia timbul hanya ketika jumlah makrofag yang

melawan mikroorganisme lebih banyak sehingga memicu timbulnya reaksi inflamasi

yang menjadi respon umum pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pelepasan mediator

inflamasi seperti interleukin (IL)1 dan tumor nekrosis faktor (TNF), akan

menimbulkan gejala klinis berupa demam. Chemokins, seperti IL-8 dan granulosit

colony-stimulating factor akan menstimulasi pelepasan neutrofil ke paru dan

menyebabkan leukosistosis perifer dan meningkatkan sekresi cairan purulen.

Mediator inflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil yang baru membuat

bocornya kapiler alveolar yang serupa dengan acute respiratory distress syndrome

(ARDS), walaupun pada pneumonia kebocoran ini terlokalisir. Saat terjadi

kebocoran, eritrosit dapat melewari membran alveolar-kapiler, dengan gejala klinis

berupa hemoptisis. Dari gambaran radiologi kebocoran ini akan tampak sebagai

gambaran infiltrate dan pada auskultasi akan terdengar rales, serta hypoxemia akibat

dari pengisian alveolar.18


Selain itu, beberapa bakteri tampak menggangu dengan hypoxemia

vasokontriksi yang umumnya muncul dengan disertai dengan alveolus yang terisi

cairan, dan gangguan ini dapat berujung pada hipoksemia berat. Peningkatan

kebutuhan respirasi pada keadaan systemic inflamatory response syndrome (SIRS)

akan mengakibatkan alkalosis. Penurunan pengembangan paru karena kebocoran

kapiler, hipoxemia, peningkatan kebutuhan respirasi, peningkatan sekresi dan

bronkospasme yang dipicu infeksi semuanya akan berakibat pada gejala klinis

sesak napas. Jika cukup berat, perubahan mekanika paru yang menyebabka

pengurangan volume paru serta kemampuan pengembangan paru dan mengalirnya

darah ke dalam ruang intapulmonar dapat menjadi penyebab kematian pasien.18

2.6. GEJALA KLINIS

Usia merupakan factor penentu dalam manifestasi klinis pneumonia.

Neonatus dapat menunjukkan hanya gejala demam tanpa ditemukannya gejala-gejala

fisis pneumonia.21 Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh UNICEF dan WHO,

aspek pengetahuan yang penting untuk dipahami oleh ibu atau pengasuh balita adalan

tanda/gejala pneumonia pada balita. Tanda-tanda tersebut selanjutnya diformulasikan

oleh WHO sebagai dua kunci tanda bahaya pneumonia (two key danger sigs of

pneumonia), yaitu sulit bernafas (difficult breathing) dan nafas cepat (fast

breathing).20 Demam, menggigil, takipneu, batuk, malaise, nyeri dada akibat pleuritis,
retraksi, dan iritabilitas akibat sesak respiratori, sering terjadi pada bayi yang lebih

tua dan anak.21

Pada pneumonia, manifestasi klinis pneumonia komunitas secara umumnya

sama dengan pneumonia tipe lainnya, yaitu manifestasi klinis yang sering muncul

adalah demam dengan takikardia, memiliki riwayat demam menggigil dan

berkeringat. Adapun gejala batuk dapat non-produktif dan produktif, sedangkan

sekret yang keluar dapat berupa mukus, purulent, atau darah yang bercampur dengan

sputum. Gejala utama lain yang muncul adalah sesak napas. Pada kondisi ringan

mungkin pasien masih bisa berbicara dengan kalimat lengkap, namun pada

kondisi berat, pasien akan kesulitan dalam bernapas. Jika terdapat penyebaran

sampai pleura, pasien akan merasakan sakit dada pleuritik. Lebih dari 20%

pasien memiliki gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Gejala lain

yang mungkin muncul adalah lemas, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi.19

Adapun dari pemeriksaan fisik yang kemungkinan akan didapatkan adalah

peningkatan frekuensi pernapasan dan penggunaan otot bantu napas tambahan.

Pada palpasi, mungkin akan ditemukan peningkatan dan penurunan fremitus,

sedangkan pada perkusi, akan didapatkan perubahan dari tumpul menjadi rata, pada

daerah yang mengalami konsolidasi dan efusi pleura. Adapun pada auskultasi,

kemungkinan terdengar suara ronkhi dan suara gesekan atau friksi pada pleura.

Pada orang tua, gejala-gejala tersebut tidak terlalu nampak.19


2.6.1. Batuk atau sputum yang abnormal

Batuk adalah refleks penting yang membantu membersihkan jalan napas

ketika terdapat sejumlah material yang terinhalasi, sekret berlimpah, atau substansi

abnormal, seperti edema atau pus.18 Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang

terdiri dari reseptor batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen, dan efektor. Refleks

batuk tidak akan sempurna apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Adanya

rangsangan pada reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat batuk yaitu

medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf eferen. Reseptor batuk terdapat

pada farings, larings, trakea, bronkus, hidung (sinus paranasal), telinga, lambung, dan

perikardium sedangkan efektor batuk dapat berupa otot farings, larings, diafragma,

interkostal, dan lain-lain.23

Proses batuk terjadi didahului inspirasi maksimal, penutupan glotis,

peningkatan tekanan intra toraks lalu glotis terbuka dan dibatukkan secara eksplosif

untuk mengeluarkan benda asing yang ada pada saluran respiratorik. Inspirasi

diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi

peningkatan tekanan intratorakal. Selanjutnya terjadi penutupan glotis yang bertujuan

mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada fase ini

terjadi kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain

tekanan intratorakal tinggi tekanan intraabdomen pun tinggi. Setelah tekanan

intratorakal dan intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang

menyebabkan terjadinya ekspirasi yang cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi

pembersihan bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dan lain-lain. Setelah
fase tersebut maka otot respiratorik akan relaksasi yang dapat berlangsung singkat

atau lama tergantung dari jenis batuknya. Apabila diperlukan batuk kembali maka

fase relaksasi berlangsung singkat untuk persiapan batuk.23

Warna, konsistensi, bau, dan jumlah sputum berbeda-beda pada setiap

gangguan paru. Warna dan bau yang khas dapat menunjukkan suatu infeksi

mikroorganisme yang spesifik. Sputum yang dikeluarkan biasanya berisikan

material endogen dan eksogen, termasuk transudasi atau eksudasi, mikroorganisme,

sel atau jaringan nekrosis, muntah yang teraspirasi, atau partikel asing lain.

Penampakan kasar dan pemeriksaan fisik lain pada sputum, tergantung pada

material yang terdapat pada sputum. Sputum mukoid biasanya jernih dan kental,

hanya mengandung sedikit elemen mikroskopis. Sedangkan sputum purulent

biasanya berwarna, seperti kuning atau hijau, dan keruh. Ini menandakan adanya

sel darah putih dalam jumlah besar, khususnya granulosit neutrofil. Sputum dapat

memprediksi etiologi pada penyakit pneumonia berdasarkan warnanya dan

konsistensinya. Pada pathogen S. pneumonia sputum yang dihasilkan berwarna

kuning tua, Pseudomonas, Haemophillus, dan spesies pneumokokkus

menghasilkan sputum berwarna hijau, Klebsiella berwarna merah, tebal dan

konsistensinya seperti jelly, dan pada infeksi anaerobik sputum yang dihasilkan

memiliki bau dan rasa yang buruk.18


2.6.2. Hemoptisis

Hemoptisis perlu dibedakan dari hematemesis. Hemoptisis merupakan gejala

yang meliputi pengeluaran darah merah muda yang bersifat basa dari mulut yang

didahului rasa ingin batuk. Hematemesis merupakan pengeluaran darah, biasanya

hitam, yang bersifat asam dan tidak pernah berbusa dari mulut yang didahului rasa

mual.24 Hemoptisis terjadi karena adanya kerusakan pada parenkim paru dengan

ruptur pembuluh darah atau inflamasi, cedera, atau kanker dari organ pernapasan.

Jumlah dan durasi perdarahan dapat menunjukkan sumber perdarahan. Untuk

mendeteksi penyebab hemoptisis dapat menggunakan bronkoskopi dan CT

scan.18

2.6.3. Sesak Nafas

Ketika mikroorganisme mampu bertahan dari mekanisme pertahanan

saluran napas atas, maka makrofag alveolus yang akan menjadi pertahanan

selanjutnya. Makrofag alveolus memiliki kemampuan fagositosis untuk

mengeliminasi mikroorganisme tanpa merangsang respon inflamasi atau imun yang

signifikan. Sehingga tidak merusak jaringan sekitar. Namun, ketika mikroorganisme

tersebut berjumlah banyak, maka makrofag alveolus akan mengaktivasi

mekanisme pertahanan lain. Mekanisme pertahanan tersebut adalah pelepasan

mediator inflamasi kimiawi, infiltrasi sel darah putih, dan aktivasi respon imun.

Namun pada beberapa bakteri (Pseudomonas), memiliki virulen determinan yang

membuatnya sulit untuk dieliminasi. Pada pasien pneumonia komunitas, terdapat


4 rute bakteri dapat masuk ke paru yaitu inhalasi mikroorganisme, aspirasi bakteri

dari saluran napas atas, penyebaran dari tempat infeksi lain, penyebaran hematogen.18

Pada reaksi inflamasi, ruang udara alveolus akan terisi dengan cairan

eksudasi kaya protein. Sel-sel inflamasi (pada fase akut neutrofil, kemudian

makrofag, dan limfosit pada fase kronik) akan secara bertahap menginvasi dinding

alveolus. Akibat adanya akumulasi eksudasi inflamasi ini pada ruang alveolus,

sehingga membuat dinding alveolus menjadi tebal, yang mengakibatkan terjadinya

gangguan difusi oksigen dan karbondioksida di alveolus. Gangguan difusi ini

menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia pada pembuluh darah arteri

disertai penurunan pH. Ketika terjadi hipoksemia, maka kemoreseptor yang berada di

badan aorta dan badan karotis akan teraktivasi, sehingga merangsang pusat

pernapasan di medulla.18

Di medulla terdapat dua kelompok neuron, yang dikenal sebagai

kelompok respiratorik dorsal (KRD) dan ventral (KRV). Pada hipoksemia akan

teraktivasi KRV yang mana akan memperkuat ventilasi, sehingga pada pasien

pneumonia akan terlihat frekuensi pernapasan meningkat. KRV ini akan

merangsang neuron motorik yang menyarafi otot-otot abdomen dan interkosta,

sehingga kebutuhan oksigen tercukupi. Keadaan hiperkapnia pun juga merangsang

peningkatan ventilasi melalui peningkatan H+ yang dihasilkan oleh karbondioksida.

Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan kelebihan CO2, jika tidak maka kelebihan

CO2 dapat mengakibatkan kematian dan juga asidosis respiratorik.18


Mekanisme kompensasi lainnya yaitu vasodilatasi jaringan pembuluh

darah dan juga peningkatan frekuensi nadi yang akan meningkatkan volume

sekuncup jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Pada infeksi

pneumokokkus, kerusakan juga terjadi pada sel alveolus tipe II dan menempel pada

dinding alveolus, sehingga terjadi penyampuran eksudasi, sel darah merah, sel

darah putih, dan fibrin. Hal ini yang menyebabkan eksudasi menjadi padat atau

yang lebih dikenal konsolidasi. Sehingga memperparah gangguan proses difusi

pada kapiler alveolus. Eksudasi pada alveolus juga merupakan tempat yang tepat

untuk terjadinya multiplikasi bakteri dan penyebaran infeksi melalui pori Kohn ke

jaringan sekitarnya. Tanda klinis sesak napas meliputi penggunaan cuping

hidung, otot tambahan pernapasan, dan retraksi ruang intercostal. Pada

pneumonia, retraksi jaringan antara tulang rusuk (retraksi subcostal dan intercostal)

lebih sering terjadi dari pada retraksi suprakostal.18

2.6.4. Demam

Demam merupakan bagian dari proses tumbuh kembang anak. Balita

khususnya, kerap mengalami demam karena pada dasamya, balita memang rentan

terhadap infeksi virus seperti infeksi saluran pernapasan atas/ISPA (common

coldlflu).25 Demam adalah salah satu dari tanda-tanda klinis yang paling umum dan

ditandai dengan peningkatan suhu tubuh di atas normal yang memicu peningkatan

tonus otot serta menggigil.26


Pada pneumonia, ketika mikroorganisme masuk setelah lolos dari

mekanisme pertahanan tubuh saluran napas atas, akan merangsang makrofag

alveolus untuk melakukan fagositosis. Pada proses fagositosis ini, akan dikeluarkan

suatu bahan kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6, dan

INF) yang memiliki fungsi melawan infeksi. Kemudian pirogen endogen ini akan

merangsang sel-sel epitel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni

asam arakidonat. Asam arakidonat yang dikeluarkan akan merangsang pengeluaran

prostaglandin (PGE2). Prostaglandin inilah yang akan mempengaruhi kerja dari

thermostat hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat. Hipotalamus

sekarang mempertahankan suhu di tingkat yang baru dan tidak

mempertahankannya di suhu normal tubuh. Setelah suhu baru tercapai maka suhu

tubuh diatur sebagai normal dalam respons terhadap panas dan dingin tetapi dengan

patokan yang lebih tinggi. 28

Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,

sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi

pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan

demikian, pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik

adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme

termoregulasi.28
2.6.5. Mual dan Muntah

Muntah adalah pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat

adanya kontraksi abdomen, pilorus, elevasi kardia, disertai relaksasi sfingter

esofagus bagian bawah dan dilatasi esofagus. Muntah merupakan respon somatic

reflex yang terkoordinir secara sempurna oleh karena bermacam-macam rangsangan,

melibatkan aktifitas otot pernapasan, otot abdomen dan otot diafragma.29

a.Nausea(Mual)

Merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ viseral, labirinth dan emosi.

Tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi. Keadaan ini ditandai dengan

keinginan untuk muntah yang dirasakan di tenggorokan atau perut, seringkali

disertai dengan gejala hipersalivasi, pucat, berkeringat, takikardia dan anoreksia.

Selama periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan

fundus. Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang, sedangkan bulbus

duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung

Pada fase nausea ini belum terjadi peristaltik aktif. Muntah yang disebabkan

oleh peningkatan tekanan intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak

didahului oleh fase nausea.29

b.Retching

Retching dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase retching terjadi kekejangan

dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glottis tertutup. Otot

pernapasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan intratorakal menjadi


negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi kontraksi otot abdomen dan

lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan pylorus berkontraksi.

Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas masih menutup

menyebabkan chyme masuk ke dalam esofagus. Pada akhir fase retching terjadi

relaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga chyme yang tadinya sudah

masuk ke dalam esofagus kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung

beberapa siklus.29

c.Ekspulsi

Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot

abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah, jika tekanan tersebut

dapat mengatasi mekanisme anti refluks dari LES (lower esophageal sphincter).

Pada fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan fundus dan

esophagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga terjadi perubahan

tekanan intratorakal dan intraabdominal serta kontraksi dari diafragma. Pada

episode ekspulsi tunggal terjadi tekanan negative intratorakal dan tekanan

positif intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan terjadi kontraksi yang

cepat dari diafragma yang menekan fundus sehingga terjadi refluks isi

lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan intratorakal

kembali positif dan diafragma kembali ke posisi normal.29


2.6.6. Nyeri Pleura

Nyeri pada gangguan pernapasan biasanya diakibatkan pleura, saluran

napas, atau dinding dada. Nyeri pleura merupakan nyeri tersering yang disebabkan

oleh penyakit paru. Karaktersitik khasnya biasanya adalah nyeri yang tajam dan

menusuk. Infeksi dan inflamasi pada pleura parietal menyebabkan nyeri ketika

pleura mengalami peregangan saat inspirasi. Nyerinya biasa nya terlokalisir, dan

ketika terdapat suara napas yang khas saat nyeri hebat, dinamakan friksi leura.

Aktivitas tertawa dan batuk membuat nyeri pleura makin hebat. Nyeri pleura

ini biasa nya terdapat pada infeksi paru.18

2.7. DIAGNOSIS

Diagnosis pneumonia dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan

pemeriksaan fisik secra umum. Setelah itu ada pula pemeriksaan penunjang seperti

rontgen paru dan pemeriksaan darah. Penanganan pneumonia pun dapat dilakukan

dengan berbagai cara. Umumya pengobatan dengan pemberian antibiotik. Penderita

pneumonia dapat sembuh bila diberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis

kumannya, hanya saja memerlukan dosis yang tinggi dan waktu yang lama.27

Dignosis banding pneumonia berkaitan dengan beberapa penyakit, baik

yang infeksius maupun non-infeksius, seperti bronchitis akut, bronchitis kronik

eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru, dan pneumonitis radiasi. Dengan
beberapa data epidemiologi, dapat diketahui pathogen endemik pada perjalanan

terakhir pasien, sehingga dapat menspesifikan berbagai kemungkinan. Meskipun

pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan klinis untuk mendiagnosis

pneumonia, namun tingkat sensitif dan spesifisitasnya masih di bawah ideal,

yaitu sekitar 58% dan 67%. Maka dari itu, pemeriksaan radiologi thoraks

menjadi yang tersering untuk membedakan pneumonia dengan kondisi klinis lain

yang serupa. Adapun radiologi yang ditemukan adanya infiltrat. Terkadang,

pemeriksaan radiologi dapat juga menjadi diagnosis etiologi untuk menentukan

penyebab infeksi. Contohnya, pneumatocele menunjukkan infeksi S. aureus, dan

lesi cavitas lobus atas menunjukkan tuberculosis. Sedangkan untuk pemeriksaan

CT jarang dilakukan, tetapi dapat menunjukkan pneumonia obstruktif yang

disebabkan oleh tumor dan benda asing.18

2.8 PENATALAKSANAAN

Terapi pneumonia dalah terapi suportif dan terapi spesifik yang tergantung

pada berat ringannya penyakit, komplikasi dan kuman penyebab pneumonia. Usia,

tingkat keparahan penyakit, komplikasi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan

rontgen toraks, derajat distress respiratori, dan kemampuan keluarga untuk merawat

anak yang sakit, serta progresivitas penyakit harus dipertimbangkan untuk rawat inap.

Sebagian besar kasus pneumonia pada anak sehat dapat dikelola sebagai pasien rawat

jalan.21
Walaupun sebagian besara kasus pneumonia komunitas pada anak kecil

disebabkan oleh virus, pada sebagian besar situasi para ahli menyarankan pemberian

terapi antibiotic empiris untuk berbagai kasus yang dapat diterapi. Situasi

pengecualian tertentu termasuk kurangnya respon pasien terhadap terapi empiris,

penyakit berat yang tidak biasa, pneumonia nosocomial dan anak dengan

imunokompromais yang rentan terhadap infeksi pathogen oportunis. Berbeda dengan

meningitis pneumokokus, pneumonia pneumokokus dapat diobati dengan terapi

sefalosporin dosis tinggi bahkan dengan adanya resistensi penisilin tingkat tinggi.

Vankomisin dapat digunakan apabila pada uji resistensi ditemukan resistensi obat dan

penyakit pasien sangat berat. Pada bayi berusia 4-18 minggu pneumonia afebrile

umumnya disebabkan oleh C. Trachomatis untuk tipe ini digunakan terapi dengan

preparat makrolid.21
Terapi Antimikroba untuk Pneumonia yang disebabkan oleh Patogen

Spesifik.21

PATOGEN REKOMENDASI TERAPI TERAPI

ALTERNATIVE

Streptococcus Seftriakson, sefotaksim, penisilin G atau Sefuroksimaxetil,

pneumonia+ penisilin V eritromisin,

klindamisin, atau

vankomisin

Streptococcus Grup Penisilin G Sefuroksim,

A Sefuroksim axetil,

atau eritromisin

Streptococcus Grup Penisilin G

Haemophilus Seftriakson, sefoktaksim, ampisilin- Sefuroksim,

influenza tipe b sulbaktam, atau ampisilin sefuroksim axetil

Mycoplasma Eritromisin, azitromisin, atau Doksisiklin (pada

pneumoniae klaritromisin pasien berusia

lebih dari 9

tahun)#

Flourokuinolon
(pada pasien

berusia lebih dari

18 tahun

Bakteri aerob gram Sefotaksim (atau seftriakson) dengan Piperacilin-

negatif (kecuali P. ataupun tanpa aminoglikosida tazobactam

aeruginosa) ditambah sediaan

aminoglikosida$

P. aeruginosa

Seftazidim dengan ataupun tanpa Piperacilin-

aminoglikosida$ tazobactam

ditambah sediaan

aminoglikosida$

Staphylococcus Nafsilin, sefazolin, klindamisin (untuk Vankomisin

aureus MRSA) (unutk MRSA)

Chlamydophila Eritromisin, azitromisin, atau Doksisiklin (pada

pneumoniae klaritromisin pasien berusia

lebih dari 9

tahun)#

Flourkuinolon

(pada pasien

berusia lebih dari


18 tahun)

Chlamydia Eritromisi, azitromisin, atau klaritromisin

trachomatis

(pneumonia afebrile

pada bayi)

Herpes simplex Asiklovir

virus

Keterangan : pasien rawat jalan dapat diberikan preparat oral pada pasien dengan

penyakit ringan. Pemberian terapi parenteral diberikan pada pasien dengan sakit

sedang sampai berat.

+Antibiotik harus dipilih berdasarkan uji resistensi dari uji kultur atau

berdasarkan kuman yang paling sering terjadi

#Pemberian preparat flourokuinolon termasuk sediaan moxifloxacin,

gatifloxacin, levofloxacin, dan gemifloxacin. Flourokuinolon kontraindikasi pada

anak kurang dari 18 tahun, wanita hamil dan menyusui. Pemberian Tetrasiklin

tidak dianjurkan pada anak berusia kurang dari 9 tahun.

$Pemberian dosis Aminoglikosid perlu didasarkan konsentrasi serum antibiotic

setelah konsentrasi stabil dicapai. MRSA (methicillin resisten Staphylococcus

aureus; TMP – SMX, trimethoprim – sulfamethoxazole)


2.8. KERANGKA TEORI

ETIOLOGI FAKTOR RISIKO

Patogen Tipikal : Patogen Atipikal : Faktor Intrinsik : Faktor Ekstrinsik :

a. S. a. Mycoplasma a. Jenis Kelamin a. Kepadatan


Pneumoniae Pneumoniae b. Status Gizi tempat tinggal.
b. S. Aureus b. Chlamydia c. BBLR b. Polusi udara
c. Haemophilus Pneumoniae d. Tidak Asi c. Tipe rumah
Influenza c. Legionella Eksklusif d. Ventilasi
d. Klibsiella sp. e. Imunisasi tidak e. Kelembapan
Pneumonia d. Influenza memadai f. Penggunaan
e. Pseudomonas e. Adenovirus f. Defisiensi obat nyamuk
Aeruginosa Vitamin A g. Asap rokok

Pneumonia

1. Gejala Klinis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang

Tanda dan gejala :

a. Demam
b. Batuk PENATALAKSANAAN
c. Sesak Nafas
d. Retraksi Intercostal
2.9. KERANGKA KONSEP

ETIOLOGI FAKTOR RISIKO

Patogen Tipikal : Patogen Atipikal : Faktor Intrinsik : Faktor Ekstrinsik :

a. S. a. Mycoplasma a. Jenis Kelamin a. Kepadatan


Pneumoniae Pneumoniae b. Status Gizi tempat tinggal.
b. S. Aureus b. Chlamydia c. BBLR b. Polusi udara
c. Haemophilus Pneumoniae d. Tidak ASI c. Tipe rumah
Influenza c. Legionella Eksklusif d. Ventilasi
d. Klibsiella sp. e. Imunisasi tidak e. Kelembapan
Pneumonia d. Influenza memadai f. Penggunaan
e. Pseudomonas e. Adenovirus f. Defisiensi obat nyamuk
Aeruginosa Vitamin A g. Asap rokok

Pneumonia

1. Umur Pemeriksaan Penunjang Gambaran Klinis


2. Jenis Kelamin
1. Foto toraks Gejala Klinis :
2. Radiologi
3. Laboratorium Demam, Batuk, Sesak nafas
a. HB Gejala Lain :
b. Hematokrit
c. Leukosit Batuk darah, Mual muntah,
d. Trombosit Nyeri pleura
e. Analisa gas darah
Pemeriksaan Fisik :
f. Hapusan darah
tepi Tensi Nadi Respirasi Suhu :
Demam

Variabel yang diteliti


PENATALAKSANAAN
Variabel yang tidak
diteliti
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif retrospektif

dengan pendekatan cross-sectional

3.2. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRAT

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

3.3. WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2016.

3.4. SUBJEK PENELITIAN

1. Populasi penelitian adalah semua anak yang dirawat di ruang perawatan

intensif di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRAT RSUP Prof. Dr. R.

D. Kandou Manado selang Januari 2013 – Desember 2015.

2. Sampel penelitian adalah semua anak yang menderita Pneumonia yang di

rawat di ruang perawatan intensif di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK


UNSRAT RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado selang Januari 2013 –

Desember 2015.

a. Kriteria Inklusi : semua pasien anak pneumonia yang dirawat di ruang

perawatan intensif RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode

tahun 2013-2015 yang memiliki rekam medik yang lengkap.

b. Kriteria Eksklusi : semua pasien anak pneumonia yang dirawat di

ruang perawatan intensif RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

periode tahun 2013-2015 yang tidak memiliki rekam medik yang

lengkap.

3.5. VARIABEL PENELITIAN

- Umur

- Jenis Kelamin

- Gambaran klinis

- Gambaran foto toraks

- Gambaran hasil laboratorium

3.6. DEFINISI OPERASIONAL

Data yang dipakai adalah saat penderita dirawat pertama mengenai :

- Umur, berdasarkan kriteria klasifikasi penderita pneumonia pada balita

menurut Depkes RI (2007) dikelompokkan dalam :

 < 2 bulan
 2 – 5 tahun

- Jenis kelamin, dinyatakan dalam laki-laki dan perempuan

- Gambaran Klinis, merupakan gejala dan tanda yang ditemukan pada

pasien saat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

- Gambaran foto toraks merupakan gambaran proyeksi dada anteoposterior

(AP), Posteroanterior (PA) dan Lateral

- Gambaran hasil laboratorium adalah suatu pemeriksaan khusus berupa

hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, Analisa gas darah, dan

gambaran hapusan darah tepi yang berguna untuk membantu menentukan

diagnosis penyakit.

3.7. INSTRUMEN PENELITIAN

- Alat tulis

- Komputer

- Kalkulator

- Rekam medik

3.8. CARA KERJA

- Pengurusan surat izin pengambilan data pada rekam medic

- Mengumpulkan literatur tentang penyakit pneumonia


- Mengumpulkan dan mencatat data-data kasus penyakit pneumonia di

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRAT RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou

Manado periode tahun 2013 – 2015 secara retrospektif

- Data yang diperoleh diolah secara manual dan disajikan dalam bentuk

tulisan, tabel, distribusi frekuensi.

3.9. Alur Penelitian

Populasi
(Semua anak dengan diagnosa pneumonia)

Sampling frame
(Penderita yang masuk kriteria inklusi dan
eksklusi)

Sampel Penelitian
(Mencatat data yang masuk dalam variable
penelitian)

Mengolah data

Hasil Penelitian

Anda mungkin juga menyukai