Anda di halaman 1dari 23

8BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

Sejak zaman dahulu, risiko pekerjaan sudah kita kenal bahkan sejak zaman

prasejarah, tidak hanya saat berburu atau berperang tetapi juga untuk aktivitas yang lebih

tenang seperti pembuatan api dengan menggunakan batu. Dengan risiko cedera tangan

akibat terpukul atau tergesek batu.

Sejarah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) berawal pada tahun 1561

berdasarkan catatan kerja harian George Agricola yang berjudul De Re Metalica yang

menekankan perlunya menggunakan ventilasi di area tambang. Kemudian pada tahun

1567, karya Paracelsus yang berjudul On the Miner’s Sickness and Other Miner’s

Disease, buku ini menggambarkan penyakit yang terkait akibat pekerjaan tertentu.4

Pada dunia kesehatan khususnya kedokteran gigi, risiko akan penyakit atau

cedara akibat kerja cukup tinggi. Pada prinsipnya seorang dokter gigi lebih mudah dan

rentang tertular oleh penyakit infeksi menular ataupun cedera yang akibat instrumen/alat

kedokteran gigi yang tajam.

2.1.1 Pengertian kesehatan dan keselamatan kerja.

Secara filosofi, K3 didefinisikan sebagai upaya dan pemikiran untuk menjamin

keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani ataupun rohani diri manusia pada umumnya

dan tenaga kerja pada khususnya beserta hasil karyanya dalam


rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Secara keilmuan K3 didefinisikan

sebagai ilmu dan penerapannya secara teknis dan teknologis untuk melakukan pencegahan

terhadap munculnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dari sudut pandang ilmu hukum,

K3 adalah upaya perlindungan agar setiap tenaga kerja yang dan orang lain yang memasuki

area kerja dalam keadaan sehat dan selamat serta sumber produksi dapat berjalan aman, efisien

dan produktif.5

Kesehatan dan Keselamatan Kerja menurut World Health Organization (WHO) /

International Labor Organization (ILO)3 adalah upaya untuk memberikan jaminan

keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja dengan cara pencegahan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan,

pengobatan dan rehabilitasi. Secara garis besar K3 merupakan suatu upaya untuk menekan atau

mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan pada hakikatnya tidak dapat

dipisahkan antara kesehatan dan keselamatan kerja.6

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada kedokteran gigi dapat diartikan sebagai

upaya seorang dokter gigi untuk mengurangi risiko penyakit (menular) dan cedera selama

pelayanan perawatan pada praktik dokter gigi.

2.1.2 Kesehatan kerja.

Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan/kedokteran yang mempelajari

bagaimana melakukan usaha preventif, kuratif dan rehabilitatif terhadap penyakit serta

gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja

maupun penyakit umum dengan tujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial.5 Secara langsung maupun tidak langsung

dapat mempengaruhi efisiensi dan produktifitas kerja dikarenakan kesehatan kerja erat

kaitannnya dengan lingkungan kerja dan pekerjaan.


Menurut WHO/ILO 3 Kesehatan Kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan

derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis

pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi

pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang

merugikan kesehatan; dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan

kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.

Kesehatan kerja dalam praktik dokter gigi ditujukan agar semua faktor risiko pekerjaan

dan lingkungan kerja yang mempengaruhi kesehatan dokter gigi, serta semua penyakit dan

gangguan kesehatan dapat dihindari selama pelayanan perawatan guna tercapainya derajat

kesehatan bagi dokter gigi dan pasien pengunjungnya

Program kesehatan kerja merupakan kegiatan dan upaya kesehatan dalam masyarakat

pekerja guna mewujudkan kondisi pekerja uang sehat, efektif, efisien dan produktif sesuai

dengan jenis pekerjaannya.5 Upaya penyelarasan antara kapasitas kerja, beban kerja, dan

lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri

sendiri maupun orang di sekelilingya juga merupakan upaya kesehatan kerja.6

2.1.3 Keselamatan kerja.

Keselamatan kerja merupakan sarana utama untuk mencegah terjadinya kecelakaan

kerja yang dapat menimbulkan kerugian yang berupa luka/cedera, cacat, kematian, kerugian

harta benda dan kerusakan peralatan (instrumen) dan lingkungan secara luas.5 Keselamatan

kerja memberikan pekerja perlindungan menyangkut masalah keselamatan, kesehatan,

pemeliharaan moral kerja, perlakuan sesuai martabat manusia dan moral agama. Dengan

demikian, para pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan aman guna meningkatkan hasil

kerja dan produktifitas kerja.

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan alat kerja, bahan dan

proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.6
Dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pasal 3 (1) ditetapkan syarat-

syarat keselamatan kerja yang harus dipenuhi setiap orang atau badan yang menjalankan usaha,

baik formal maupun informal, di manapun berada dalam upaya memberikan perlindungan

keselamatan dan kesehatan semua orang yang ada di lingkungan kerja. Adapun syarat-syarat

keselamatan kerja yang di maksudkan5:

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.

2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.

3. Memberi kesempatan dan jalan penyelamatan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-

kejadian lain yang membahayakan.

4. Memberi pertolongan pada kecelakaan.

5. Memberi alat pelindung diri pada para pekerja.

6. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu,

kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan getaran.

7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik amupun psikis,

peracunan, infeksi dan penularan.

8. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.

9. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik.

10. Menyelanggarakan penyegaran udara yang cukup.

11. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.

12. Menerapkan ergonomi ditempat kerja.

13. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang dan barang.

14. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat perlakuan dan penyimpanan

barang.

15. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.


16. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya

kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

2.1.4 Keselamatan kerja praktik dokter gigi.

Berdasarkan syarat-syarat keselamatan kerja yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat

digunakan dalam praktik kedokteran gigi seperti:

1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja, seperti tertusuknya tangan dengan jarum dan

instrumen kedokteran gigi lainnya yang tajam.

2. Memberi alat pelindung diri pada dokter gigi, seperti pemakaian sarung tangan, masker,

penutup kepala, atau celemek.

3. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu,

kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan getaran.

4. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis,

peracunan, infeksi dan penularan.

5. Memperoleh penerangan ruangan maupun area kerja pada pasien yang cukup dan sesuai.

6. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik serta menyelanggarakan

penyegaran udara yang cukup pada ruangan praktik.

7. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban ruang praktik.

8. Menerapkan ergonomi di tempat kerja seperti cara memposisikan tubuh dengan benar saat

bekerja, maupun tata letak penempatan alat kedokteran gigi.

2.1.5 Landasan hukum kesehatan dan keselamatan kerja (K3).3,5,6

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terdiri dari 11 Bab 18 pasal.

Memuat aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan dan

kesehatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, dalam tanah, permukaan air,

dalam air maupun di udara yang berada di wilayah RI.


2. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Khususnya pada pasal 23

dinyatakan bahwa Kesehatan Kerja di selenggrakan untuk mewujudkan produktivitas

kerja yang optimal meliputi pelayan kesehatan kerja, penyakit akibat kerja, dan syarat

kesehatan kerja.

3. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 86 dinyatakan bahwa: (1) Setiap pekerja atau buruh mempunyai untuk memperoleh

perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Moral dan Kesusilaaan; dan

perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. (2)

untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktifitas kerja yang

optimal diselenggrakan upaya K3. Pasal 87 (1) dinyatakan bahwa: setiap perusahaan wajib

menerapkan system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) yang

terintegragsi dengan sistem manajemen perusahaan.

4. Peraturan Pemerintah RI No. 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja terhadap Radiasi.

Pasal 8 s/d 10 dinyatakan bahwa pemeriksaan pagi pekerja radiasi dilakukan 1 kali dalam

setahun atau dilakukan sewaktu-waktu bila perlu.

5. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat

Kesehatan.

6. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatn Terhadap

Pemanfaatan Radiasi Pengion.

7. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan

Kerja.

8. Keputusan Menteri Kesehatan No. 7 Tahun 1999 tentang Wajib Laporan Penyakit Yang

Timbul Karena Hubungan Kerja.


2.2 PENYAKIT AKIBAT KERJA

Menurut WHO diperkirakan hanya 20-50% pekerja di negara industri dan 5-10% yang

mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kerja yang memadai. Hal ini tentunya

berdampak pada tingkat penyakit akibat kerja yang di dapat para pekerja juga semakin tinggi.

Menurut ILO, di Indonesia terdapat 70-80% angkatan kerja yang bergerak di sektor informal,

yang umumnya bekerja dalam lingkungan kerja yang kurang baik dan belum terorganisir

dengan baik, berdasarkan informasi tersebut diperkirakan bahwa masalah kesehatan kerja di

Indonesia perlu mendapat perhatian yang serius.7

2.2.1 Pengertian penyakit akibat kerja.

Penyakit kerja kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang murni disebabkan

oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Sedangkan penyakit yang berhubungan dengan

pekerjaan (Work related disease) merupakan penyakit yang timbul dikarenakan adanya

interaksi antara faktor-faktor pekerjaan dengan faktor-faktor lain.5

Pada simposium yang diselengarakan oleh ILO di Linz mengenai Penyakit Akibat

Kerja 7 dihasilkan definisi sebagai berikut:

1. Penyakit kerja kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang mempunyai penyebab

spesifik atau asossiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu

agen penyebab yang sudah diakui

2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work related disease) adalah penyakit

yang mempunyai beberapa agen penyebab, di mana faktor pada pekerjaan memegang

peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam perkembangannya penyakit yang

mempunyai etiologi.
3. Penyakit yang mengenai populasi pekerja (disesases affecting working populations)

adalah penyakit yang terjadi apada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab di tempat

kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerja yang buruk bagi kesehatan.

Ada beberapa perbedaaan antara penyakit akibat kerja dengan penyakit yang

berhubungan dengan pekerjaan, diantaranya: 5

1. Penyakit akibat kerja:

- Faktor pekerjaan merupakan faktor etiologi yang predominan.

- Berkaitan antara penyebab dan efek, antara potensi bahaya dan penyakit.

- Faktor penyebab murni dari pekerjaan dan lingkungan kerja.

2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan:

- Faktor pekerjaan berinteraksi denan faktor-faktor lain sehingga timbul penyakit.

- Faktor penyebab merupakan multifaktorial (penyebab ganda atau kompleks)

2.2.2 Potensi bahaya penyebab penyakit akibat kerja.

Potensi bahaya yang ada di tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan bagi pekerja

atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Untuk mempermudah pengendalian

terhadap potensi bahaya serta mencegah terjadinya penyakit akibat kerja, perlu bagi seorang

pekerja mengenal dan memahami potensi bahaya tersebut.

Potensi bahaya ini dapat dikelompokkan sebagi berikut:5,7

1. Bahaya fisik. Misalnya kebisingan, vibrasi (getaran), radiasi, suhu ekstrim (terlalu panas

atau dingin), tekanan, intensitas penerangan yang kurang memadai, dll.

2. Bahaya kimia. Berdasarkan data dari ILO, dari 100.000 bahan kimia yang digunakan

dalam industri terdapat 31 bahan kimia teridentifikasi sebagai penyebab.


3. Bahaya biologis. Potensi bahaya yang ditimbulkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit, dll.

Dapat berasal dari tenaga kerja yang menderita penyakit tertentu (TBC, AIDS, Hepatitis

A/B) ataupun berasal dari alat dan bahan yang digunakan saat bekerja.

4. Bahaya fisiologis. Potensi bahaya yang disebakan penerapan ergonomi yang tidak baik

dan sesuai dengan aturan-aturan ergonomi dalam melakukan pekerjaan serta peralatan alat

kerja. Salah satunya adalah kesalahan dalam memposisikan tubuh saat bekerja, yang

berdampak pada Musculoskeletal Disorder (MSDs).

2.2.3 Potensi bahaya pada praktik dokter gigi.

1. Bahaya biologis.

Seorang dokter gigi mempunyai risiko untuk terkena infeksi dan dapat pula menularkan

infeksi dari pasien ke pasien lainnya atau lebih dikenal dengan nama infeksi silang. Infeksi

dapat disebabkan oleh kontaminasi alat/instrumen kedokteran gigi dan tangan operator

yang tidak steril, serta dapat melalui mulut dan saluran nafas bagian atas. Beberapa

penyakit yang dapat ditularkan selama perawatan diantaranya TBC, HIV/AIDS, influenza,

dan infeksi hepatitis, dapat ditularkan melalui darah, saliva, maupun lesi dengan kontak

tangan.8

2. Bahaya kimia.

Bahan-bahan kimia di kedokteran gigi contohnya Hg (merkuri) yang dapat memasuki atau

mempengaruhi tubuh melalui cara: inhalation (melalui pernapasan), ingestion (melalui

mulut ke saluran pencernaan), atau skin contact (melalui) kulit.

3. Bahaya fisik.

a. Bahaya Radiasi. Pada dasarnya radiasi tidak kasat mata, tidak mempunyai bau, warna,

atau rasa. Namun namun diketahui dampak buruk yang ditimbulkannya seperti kanker,

cacat tubuh, bahkan kematian. Contohnya bahaya sinar-X.


Bahaya radiasi sinar-X dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu efek somatik

non-stokastik, efek somatik stokastik, dan efek genetik somatik. Efek somatik non-

stokastik adalah efek radiasi di mana seseorang mengalami kerusakan dalam tubuhnya

diakibatkan paparan radiasi dosis tertentu, yang berat ringannya sebanding dengan

dosis yang diterima (misalnya katarak, kemerahan pada kulit). Efek somatik stokastik

adalah efek radiasi yang terjadi tidak bergantung pada besaran dosis, namun

bergantung pada kesempatan dan probabiilitasnya (seperti kanker). Serta efek genetik

somatik adalah efek radiasi yang mungkin terjadi pada organ reproduksi sehingga

merusak DNA, sperma, atau sel telur, sehingga terjadi mutasi gen dan kromosom, serta

dapat mengakibatkan cacat pada keturunan.9

Bahaya dan sifat radiasi pengion yang merugikan:10

1. Dapat menimbulkan penurunan daya tahan tubuh yang menyebabkan komponen

pertahanan rongga mulut terhadap kolonisasi bakteri dan jamur meningkat.

2. Dapat menimbulkan efek biologis tidak hanya terhadap sel-sel kanker tetapi juga sel-

sel yang masih sehat.

3. Oleh karena tidak dapat dilihat oleh panca indera, maka orang yang terkena radiasi

ionisasi tidak dapat menyadari bahaya radiasi tersebut.

4. Tidak dapat difokuskan pada daerah yang akan disinari.

5. Efeknya pada tubuh tidak segera terlihat dan bersifat kumulatif.

Bahaya radiasi pertahanan rongga mulut antara lain:10

1. Berubahnya integrasi anatomik berupa meningkatnya permeabilitas.

2. Perubahan fisiologis secara spesifik dari komposisi protein saliva.

3. Terganggunya fungsi penelanan.

4. Berkurangnya sekresi saliva lebih dari 90%


5. Berubahnya sekretori Imunoglobulin A (sIgA) berupa berkurangnya aktifitas

antimikroba saliva karena turunnya kadar sIgA saliva.

6. Terganggunya perubahan sel mukosa berupa menurunnya aktifitas antibiotik dalam

lapisan basal.

a. Vibrasi (getaran) handpiecie.

b. Mechanical stress.

c. Intensitas penerangan pada ruang praktik.

d. Suhu dan kelembaban ruang praktik.

4. Bahaya fisiologis.

Dapat disebakan oleh penerapan ergonomi yang tidak baik dan sesuai dengan aturan-

aturan ergonomi dalam melakukan pekerjaan serta peralatan alat kerja; seperti sikap dan

cara kerja yang tidak sesuai, pengaturan kerja yang tidak sesuai, pengaturan kerja yang

tidak tepat, beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan dokter gigi ataupun

ketidakserasian manusia dengan insturmen/mesin. Salah dampak kesalahan dalam

memposisikan tubuh saat bekerja ialah Musculoskeletal Disorder (MSDs).

Musculoskeletal Disorder (MSDs) adalah kelainan yang cukup penting dipermasalahkan

mengingat gejalanya yang muncul lambat serta dampak yang diberikan bagi penderitanya

cukup serius. Berdasarkan data didapatkan 36% pada dokter gigi yang bekerja kurang dari

10 tahun; 27,6% untuk 10-21 tahun; 25,4% untuk 21-30 tahun dan 13,4% pada dokter gigi

yang bekerja lebih dari 30 tahun.11

2.2.4 Evaluasi potensi bahaya di lingkungan kerja.

Setelah mengenali potensi bahaya yang dapat mengakibatkan gangguan atau penyakit akibat

kerja, maka perlu melakukan evaluasi potensi bahaya tersebut sebagai langkah awal upaya

pengendalian. Dalam melakukan evaluasi perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:5

1. Pengenalan melalui identifikasi potensi bahaya.


2. Pengukuran potensi bahaya. Pengukuran ini dapat berupa pengukuran kualitatif ataupun

kuantitatif. Untuk melkukan pengukuran tentunya membutuhkan peralatan (pengukur

khusus) serta bergantung pada potensi bahaya yang akan diukur.

3. Sampling. Evaluasi ini butuh perhatian pada jenis dan bentuk potensi bahaya seta

pengaruhnya terhadap pekerja yang terpapar. Penggunaan teknik sampling yang tepat

akan mempengaruhi hasil evaluasi tersesebut.

4. Standarisasi. Perbandingan hasil pengukuran dengan nilai ambang batas (NAB) yang

berlaku.

5. Biological monitoring. Pemeriksaan tenaga kerja (darah, urin, dll) sesuai dengan potensi

bahaya yang ada guna mengetahui pengaruh potensi bahaya terhadap kesehatan kerja.

Pemeriksaan berkala atau khusus dapat memantau pengaruh potensi bahaya terhadap

kesehatan tenaga kerja

6. Record keeping. Pencatatan, pengumpulan dan penyimpanan semua data yang

berhubungan dengan potensi bahaya yang ada merupakan hal yang sangat penting dan

bermanfaat untuk perencanaan pengendalian bahaya serta perbaikannya.

2.3 KECELAKAAN KERJA

2.3.1 Pengertian kecelakaan kerja.

Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak terduga dan tidak pula diharapkan terjadi.

Sedangkan kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan kerja di perusahaan,

maksudnya kecelakaan dapat terjadi dikarenakan pekerjaan atau pada waktu melakukan kerja.4

Kecelakaan kerja sering kali dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau

properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam proses kerja industri atau yang berkaitan

dengannya. Secara garis besar kecelakaan kerja memiliki karakteristik sebagai berikut:5
1. Tidak diduga semula karena kecelakana tidak terdapat unsur kesengajaan dan

perencanaan.

2. Tidak dinginkan dan diharapkan karena setiap kecelakaan akan menimbulkan kerugian

baik fisik dan mental.

3. Menimbulkan kerugian dan kerusakan, sehingga mengganggu produktifitas kerja

2.3.2 Sebab kecelakaan kerja.

Meskipun banyak teori yang mengemukakan tentang penyebab terjadinya kecelakaan

kerja akan tetapi secara umum penyebab kecelakaan kerja dapat di kelompokkan sebagai

berikut:5,12

1. Sebab Dasar. Sebab dasar merupakan sebagai atau faktor yang mendasari secara umum

terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Sebab dasar meliputi beberapa faktor yang

terdiri dari:

a. Komitmen atau partisipasi dari pihak manajemen atau pimpinan perusahaan dalam

upaya penerapan K3.

b. Manusia (pekerja) itu sendiri.

c. Kondisi tempat kerja, sarana dan lingkungan kerja.

2. Sebab Utama. Faktor dalam persyaratan K3 yang tidak dilaksanakan dengan benar

merupakan sebab utama dari kejadian kecelakaan kerja.

Sebab utama dari kecelakaan kerja terdiri dari:

a. Tindakan Tidak Aman (unsafe action) atau Faktor manusia. Tindakan yang berbahaya

dari tenaga kerja yang mungkin dilatarbelakangi oleh faktor:

- Kurangnya pengetahuan dan keterampilan.

- Ketidakmampuan bekerja secara normal.

- Ketidakfungsian tubuh karena cacat


- Kelelahan dan kejenuhan.

- Sikap dan tingkah laku yang tidak aman.

- Kebingungan dan stress akibat prosedur kerja yang belum dapat dipahami.

- Penurunan konsentrasi saat melakukan pekerjaan.

- Sikap masa bodoh.

- Kurangnya motivasi kerja.

- Kurangnya kepuasan kerja.

- Sikap cenderung mencelakai diri

b. Kondisi tidak aman (unsafe condition) atau faktor lingkungan. Yaitu kondisi tidak aman

dari mesin, peralatan, pesawat, bahan, serta lingkungan tempat kerja, proses kerja, sifat

kerja dan sistem kerja. Tidak hanya dilihat sebagai lingkungan fisik tetapi juga

diperhitungkan faktor-faktor yang berkaitan dengan penyediaan fasilitas, pengaturan

organisasi kerja, hubungan sesama pekerja, kondisi ekonomi dan politik yang bisa

menggangu konsentrasi.

2.3.3 Klasifikasi kecelakaan kerja.

Menurut ILO, kecelakaan kerja dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis kecelakaan,

agen penyebab, jenis cedera atau luka, dan lokasi tubuh yang terluka.5

1. Berdasarkan jenis kecelakaannya.

- Terjatuh.

- Tertimpa benda atau objek kerja.

- Tersandung benda atau objek, terbentur, terjepit antara dua benda.

- Gerakan-gerakan yang dipaksa atau peregangan otot yang berlebihan.

- Terpapar atau berkontak dengan benda panas atau suhu tinggi.


- Terkena arus listrik.

- Terpapar bahan-bahan berbahaya atau radiasi, dll.

2. Berdasarkan agen penyebabnya.

- Mesin-mesin.

- Peralatan-peralatan lain, seperti; instalasi listrik, motor listrik, alat-alat tangan listrik,

perkakas, dll.

- Bahan-bahan berbahaya dan radiasi, seperti; bahan yang muda meledak, debu, gas,

cairan, bahan kima, radiasi, dll.

- Lingkungan kerja, seperti; tekanan panas dan dingin, intensitas kebisingan tinggi,

getaran, dll.

3. Berdasarkan jenis luka atau cedera.

- Patah tulang.

- Keseleo/terkilir/dislokasi.

- Kenyerian otot atau kejang.

- Gegar otak atau luka dalam lainnya.

- Amputasi atau enukleasi.

- Luka gores atau luka luar lainnya.

- Memar dan retak.

- Luka bakar.

- Keracunan akut.

- Aspixia atau sesak napas

- Efek terkena listrik atau paparan radiasi

- Luka pada banyak tempat di bagian tubuh.

4. Berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terluka.

- Kepala, leher, badan, lengan kaki, berbagai bagian tubuh


- Luka umum, dll

2.3.4 Kecelakaan kerja di praktik dokter gigi.

Kecelakaan kerja yang mungkin terjadi di praktik dokter gigi ialah:

1. Terpapar dan keracunan bahan-bahan berbahaya seperti Hg (merkuri).

2. Terpapar sinar radiasi seperti radiasi pesawat sinar-X atau sinar Gamma.

3. Gerakan yang dipaksa dan berulang-ulang, seperti saat membersihkan karang gigi

4. Luka gores maupun tertusuk oleh instrumen/alat kedokteran gigi.

2.4 PENERAPAN PRINSIP KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI

PRAKTIK DOKTER GIGI

2.4.1 Proteksi diri terhadap infeksi silang.

Pencegahan terhadap infeksi silang dapat dicapai dengan cara membersihkan tangan

sebelum dan sesudah perawatan gigi dan mulut. Namun hasil tindakan pensucihamaan sangat

bergantung pada faktor seperti faktor sifat dan dan banyaknya mikroorganisme, konsentrasi

bahan kimia, waktu kontak, jumlah bahan organik pada benda tersebut serta suhunya. Pada

umumnya untuk membersihkan tangan dlkukan dengan menggunakan sabun cair yang

mengandung bahan germizit dan air selama 15 detik (bila menyentuh darah dan purulen

dibersihkan selama 2-3 menit). Selain itu dapat pula digunakan etil alkohol 50-70% sebanyak

3 ml dengan digosok di tangan hingga kering.8

Berbagai macam cara dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi silang antara lain

dengan pemakaian proteksi diri yaitu masker, kacamata pelindung, sarung tangan, baju praktek,

maupun penutup kepala/rambut dan kebersihan lingkungan tempat kerja yang meliputi cara

pembersihan alat dan lingkungan.13 Sehingga dengan adanya prosedur ini, maka rantai infeksi
akan terputus, karena kesalahan sekecil apapun pada prosedur proteksi diri dapat menyebabkan

perpindahan penyakit dari penderita ke penderita baru.

2.4.2 Penanganan terhadap amalgam (Hg) sebagai bahan restorasi.

Bahan tambal amalgam yang mengandung Hg (merkuri) sampai kini masih banyak

dipakai. Selain karena mudah penggunaannya, harganya pun relatif tidak mahal. Namun,

karena kandungan merkurinya, tambalan ini merupakan bahan yang kontroversial. Sejauh ini,

tidak ada larangan penggunaan bahan tambal ini oleh institusi seperti FDI (Federation Dentaire

International) atau ADA (American Dental Association).

Demi keselamatan pasien dan personil kesehatan gigi, telah dikeluarkan tuntunan bagi

para dokter gigi dan asistennya dalam menangani bahan tambalan tersebut:14

1. Kenalilah gejala bahaya dan gejala dari keterpaparan terhadap Hg misalnya terjadinya

sensitivitas dan neuropati.

2. Hati-hatilah dalam menangani tambalan amalgam. Hindari kontak kulit dengan merkuri

atau amalgam yang baru tercampur. Pakailah masker, sarung tangan baju praktik hanya

di tempat praktik.

3. Kenalilah sumber penguapan merkuri di tempat kerja misalnya cipratan Hg, penyimpanan

sisa amalgam dan kapsul amalgam bekas pakai yang tidak tertutup rapat, kebocoran pada

kapsul amalgam atau dispenser, proses triturasi, penambalan, pemolesan, dan

pembongkaran tambalan amalgam, atau pemanasan instrumen yang telah terkontaminasi

oleh amalgam.

4. Pedulilah terhadap penanganan limbah amalgam dan masalah yang berkaitan dengan

lingkungan.

5. Buatlah tempat kerja yang berventilasi baik dan desain yang memudahkan pembersihan.

Pertukaran udara segar harus maksimal. Jika ruangan memakai alat penyejuk udara,

gantilah filter AC tersebut secara berkala.


6. Pantaulah keterpaparan Hg. Konsentrasi Hg pada urin hendaknya tidak melebihi 6,1

mikrogram per liter. Periksalah secara periodik kadar Hg di ruangan. Menurut ketentuan

OSHA (Occupational Safety and Health Agency) dari Departemen Perburuhan Amerika

Serikat kadar uap Hg maksimal adalah 50 mikrogram per meter kubik dalam masa kerja 8

jam per had untuk lebih dari 40 jam per minggu.

7. Gunakanlah amalgam dalam kapsul dan gunakan amalgamator dengan tutup yang baik.

Amalgamator hendaknya memenuhi syarat spesifikasi ISO 7488. Jika memakai amalgam

yang tidak dikapsulkan, minimalkanlah penyimpanan merkuri di dalam tempat kerja.

8. Simpanlah merkuri dalam tempat yang tidak mudah pecah, tertutup rapat, pada tempat

dengan ventilasi baik, serta jauh dari sumber panas.

9. Hati-hatilah dalam menangani tambalan amalgam. Hindari kontak kulit dengan merkuri

atau amalgam yang baru tercampur. Pakailah masker, sarung tangan baju praktik hanya

di tempat praktik.

10. Gunakan alat penyedot (oral evacuation equipment) yang cukup kuat dan pakailah masker

ketika membongkar dan memoles amalgam. Sistem penyedotan ini harus dilengkapi filter

atau kotak penadah yang harus secara teratur dibersihkan atau diganti.

11. Buanglah alat atau bahan yang terkontaminasi Hg dalam kantong tertutup. Simpan

kelebihan amalgam dalam kotak penyimpan tertutup yang berisi larutan fiksasi radiograf.

Amalgam dapat didaur ulang; kirimkan amalgam sisa ini untuk didaur ulang ke perusahaan

yang dapat dipercaya.

12. Janganlah sekal-kali membuang limbah yang terkontaminasi merkuri ke dalam tempat

sampah yang akan dibakar (insinerasi). Insinerasi kapsul bekas hendaknya dihindari untuk

mencegah penguapan Hg ke atmosfer. Deposisi Hg atmosfer ke tanah, danau atau sungai

berisiko terjadinya bioakumulasi Hg dalam ikan atau mahluk air lainnya.


13. Bersihkan dengan cermat instrumen yang telah terkontaminasi amalgam atau merkuri

sebelum sterilisasi atau desinfeksi panas.

14. Gunakan pemampat amalgam yang kepalanya halus, tidak lagi yang bergerigi agar mudah

dibersihkan dari sisa merkuri sebelum disterilkan.

15. Jangan memasang karpet lantai. Gunakan penutup permukaan, dari lantai sampai ke

dinding, yang tidak mengabsorbsi dan mudah dibersihkan.

2.4.3 Penanganan radiasi pengion.

Di bidang kedokteran gigi, penggunaan sumber radiasi seperti pesawat sinar-X harus

diperhatikan. Namun masih banyak praktek pribadi yang menggunakan pesawat sinar-X yang

belum sepenuhnya memenuhi persyaratan dan menaati peraturan yang ditetapkan oleh Badan

Pengawas Tenaga Nuklir Nasional maupun Internasional.

Dalam pemanfaatan sinar-X perlu berdasarkan pada prinsip ALARA (as low as

reasonably achievable), yaitu dosis radiasi sekecil mungkin, tidak melampaui nilai batas dosis

yang ditentukan oleh badan pengawas. Berdasarkan ketentuan International Commission on

Radiological (IRCP) nilai batas dosis bagi pekerja radiasi untuk seluruh tubuh 50 mSv

pertahun, sedangkan bagi masyarakat umum untuk seluruh tubuh 5 mSv pertahun.9

Ruang yang digunakan untuk operasional pesawat sinar-X harus memenuhi:9

1. Sinar diharapkan tidak menembus ruang lain dengan tebal dinding 20 cm beton atau 25

cm batu merah dengan kerapatan jenis 2,2 gr/cm2 atau setara dengan 2 mm Pb.

2. Bila terdapat koridor atau sisi ruang radiasi maka harus diberi tanda bahaya radiasi.

3. Dinding di dalam ruangan radiasi harus dilapisi Pb (timbal hitam) setebal 2 mm, agar

radiasi primer dan sekunder dapat diserap. Atau menggunakan protective barrier (sekat
barier) berupa dinding yang dapat digeser atau dipindah-pindahkakan yang dilapisi 2 mm

Pb.

4. Desain antarruang dengan ruang radiasi dari pintu ruang radiasi, dibuat sedemikian rupa

agar bebas sinar radiasi.

5. Penempatan pesawat sinar-X diatur sedemikian rupa agar arah sinar ke tempat yang aman

(yaitu bebas penghuni).

6. Menggunakan kaca tembus pandang berlabis Pb, untuk memungkinkan operator melihat

selama pemeriksaan.

7. Lampu merah sebagai tanda radiasi yang dipasang di atas pintu, yang dapat menyala saat

pesawat sinar-X digunakan.

Pemaparan terhadap radiasi dan kontaminasi internal dapat terjadi tanpa disadari para pekerja

radiasi. Karena itu untuk mendeteksi akibat yang ditimbulkannya perlu dilakukan pemeriksaan

kesehatan baik sebelum, selama maupun sesudah masa kerja. Pemeriksaan selama kerja harus

dilakukan secara berkala minimal sekali setahun

Upaya proteksi radiasi dalam praktek dokter gigi ada beberapa macam antara lain:9

1. Apron Pb

Celemek pelindung dan penahan radiasi dipakai untuk melindungi pasien dan operator.

Celemek harus mengandung bahan yang ekivalen dengan Pb paling sedikit setebal 0,25

mm untuk menyerap radiasi sekunder dan kebocoran radiasi primer.

2. Posisi operator

Operator harus terlindungi selama penyinaran, dengan cara berdiri pada posisi sekurang-

kurangnya 2 m dari pasien dan sumber radiasi, di antara 90º dan 135º dari arah bekas sinar

radiasi primer.
3. Deteksi/pengukur radiasi

Untuk mengetahui jumlah dosis radiasi yang diperoleh, pekerja harus menggunakan film

badge atau pocket dosimeter. Sedangkan untuk ruangan dilakukan deteksi dengan

menggunakan alat surveymeter.

2.4.4 Ergonomi

Ergonomi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Ergon dan Nomos. Ergon memiliki arti

kerja dan Nomos memiliki arti hukum, jadi Ergonomi adalah Studi tentang manusia untuk

menciptakan sstem kerja yang lebih sehat, aman dan nyaman. Seorang praktisi dibidang

kesehatan khususnya kedokteran gigi harus memahami tujuan mempelajari ergonomi karena

dengan memahami tujuan ergonomi dalam lingkungan kerja, praktisi kesehatan akan terhindar

dari musculoskeletal disorders (MSDs), tentu efek jangka panjangnya adalah praktisi dapat

bekerja lebih lama tanpa mengganggu produktifitas kerja praktisi dalam bekerja. Sebenarnya

ergonomi bertujuan untuk mengurangi risiko cedera, meningkatkan produktivitas kerja, serta

meningkatkan kualitas hidup.17

Faktor risiko ergonomi terdiri dari:15,16,17

1. Pengulangan yang dilakukan terus menerus

Tingkat pengulangan digambarkan sebagai suatu rata-rata jumlah gerakan atau

penggunaan alat yang dilakukan oleh bagian tubuh secara berulang dalam satu unit waktu.

Gerakan ini dapat menyebabkan ketegangan yang berlebih pada otot dan juga kelebihan

penggunaan dapat mendorong ke arah kelelahan berotot. Contohnya saat melakukan skaling

pada pasien dengan karang gigi yang banyak.

2. Kekuatan (Force)

Kekuatan adalah gaya mekanik atau fisik untuk memenuhi suatu gerakan spesifik.

Sebagai contoh, menggunakan tangan sebagai ganti suatu penjepit untuk memegang suatu

obyek selagi melakukan suatu pekerjaan seperti menempatkan suatu restorasi komposit
interproksimal atau pada saat mencabut gigi dan melakukan pembersihan karang gigi secara

manual. Jumlah kekuatan yang diperlukan terkadang berlebih sehingga menyebabkan

kelelahan otot.

3. Mechanical stresses

Mechanical stresses digambarkan sebagai cedera yang hebat akibat benda tajam,

peralatan atau instrumen ketika memegang, menyeimbangkan atau memanipulasi. Contohnya

tertusuk atau tergores oleh instrumen kedokteran gigi yang tajam.

4. Postur tubuh

Postur tubuh adalah posisi bagian dari tubuh yang berhubungan dengan suatu bagian

tubuh lain yang dihubungkan dengan sudut sambungan. Postur tubuh merupakan salah satu

dari hal yang paling sering dihubungkan dengan faktor risiko. Ada suatu zona pergerakan

netral untuk tiap gerakan yang menghubungkan satu dengan yang lain. Karena masing-masing

dihubungkan oleh pergerakan yang tidak memerlukan kekuatan dari otot atau dapat

menyebabkan ketidaknyamanan. Risiko cedera akan meningkat kapan saja pada setiap orang

saat bekerja apabila melakukan pergerakan di luar zona netral mereka sehingga posisi tubuh

tidak seimbang. Untuk lengan atas dan bahu zona netralnya adalah santai dengan bahu sejajar

lantai dan pada bidang yang sama, lengan berada disampingnya. Bekerja dengan lengan jauh

dari tubuh, overextended dan bahu yang bergerak di luar jangkauan normal yang memerlukan

kekuatan otot lebih tinggi dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya cedera. Selain itu, posisi

duduk yang tegang, seperti miring kesamping, memutar tulang punggung, membengkok ke

depan atau merosot merupakan awal respon dari kompensasi faktor risiko dengan hubungan

kerja yang dapat menjadi kebiasaan seiring berjalannya waktu. Postur tubuh dan faktor-faktor

ini sering dihubungkan dengan peningkatan risiko gejala MSDs.


5. Getaran

Getaran merupakan salah satu faktor etiologi MSDs dilingkungan kerja, yaitu melalui

penggunaan peralatan yang bergetar dengan frekwensi antara 20-80 Hz. Dental handpieces dan

instrumen-instrumen otomatis bertenaga mesin yang dioperasikan pada frekwensi lebih dari

5.000-10.000 Hz dan jangka waktu penggunaannya dalam prosedur perawatan gigi relatif

singkat. Jadi dengan demikian, hal itu juga akan muncul menjadi faktor risiko di dalam profesi

dokter gigi yang relatif kecil.

6. Temperatur

Temperatur yang rendah dapat mengurangi keterampilan manual dokter gigi dan dapat

menyebabkan gejala nerve-end impairment. Temperatur yang tinggi dapat menggangu

kenyamanan dokter gigi saat bekerja dan kenyamanan perawatan bagi pasiennya.

7. Tekanan yang disebabkan oleh keadaan luar

Tekanan yang disebabkan oleh keadaan luar, dapat digambarkan sebagai cara yang

dilakukan oleh suatu pekerjaan dengan tersusun, terawasi dan terproses. Hal ini mencerminkan

sifat yang objektif dari proses pekerjaan. Mungkin termasuk didalamnya variabel-variabel

seperti variasi pekerjaan, kendali pekerjaan, beban kerja, tekanan waktu, dan batasan-batasan

keuangan.

Anda mungkin juga menyukai