Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar bartholini pertama diperkenalkan oleh Caspar Bartholin, seorang


anatomis kebangsaan Belanda, pada tahun 1677. Sepasang kelenjar ini ditemukan di
labia minora pada posisi jam 4 dan jam 8. Dalam keadaan normal, kelenjar ini tidak
teraba. Masing-masing kelenjar mensekresi mukus melalui duktus sepanjang 2,5 cm.
Dua duktus ini bermuara di vestibulum pada kedua sisi orificium vagina, di sebelah
inferior dari himen. Fungsinya untuk menjaga kelembaban mukosa vagina.1

Kista bartholini terjadi jika duktus kelenjar bartholini mengalami obstruksi


oleh inflamasi atau trauma. Kista dapat terinfeksi, kemudian kelenjar berkembang
menjadi abses. Sulit membedakan antara kista bartholini dan abses bartholini.
Bakteri flora biasanya tercampur antara aerob dan anaerob dari vagina. Chlamydia
trachomatis dan N. Ghonorrhea merupakan hasil kultur 10% dari kasus yang terjadi.
Staphylococcus, Streptococcus, dan E. Coli juga sering terjadi. Kista bartholini dan
abses bartholini terjadi dominan pada usia 20-30 tahun. Pembesaran kelenjar pada
wanita lebih dari usia 40 tahun jarang terjadi, dan sebaikanya dirujuk pada spesialis
obstetri dan ginekologi untuk biopsi.2

Abses bartholini terjadi akibat infeksi primer kelenjar atau kista yang
terinfeksi. Pasien dengan abses akut, mengalami nyeri vulva yang cepat memberat.
Penelitian menunjukkan bahwa abses biasanya terjadi polimikrobial dan jarang
disertai patogen penyakit menular seksual. 1

Di United States, 2% wanita usia reproduktif mengalami pembengakakan satu


atau kedua kelenjar bartholini. Penyakit kelenjar bartholini jarang menyebabkan
komplikasi infeksi sistemik atau sepsis, dan perdarahan sekuder akibat tatalaksana
operatif. Diagnosis keganasan yang meleset dapat menyebabkan hasil lebih buruk
pada pasien. 1

BAB II

1
STATUS PASIEN

I. Identitas pasien
Nama : Ny. WA
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Palembang
No. Rekam Medik : 1016140
Tanggal MRS : 24 Juli 2017
Nama Suami : Tn. WD
Pekerjaan : Karyawan Swasta

II. Anamnesis
A. Keluhan utama
Os datang dengan keluhan terdapat benjolan di kemaluan

B. Riwayat perjalanan penyakit


± 1 minggu yang lalu, penderita mengeluh sudah merasakan adanya
benjolan kecil sebesar kelereng pada kemaluannya. Benjolan tidak dapat
digerakkan dan pasien tidak merasakan nyeri.
± 3 harinya, penderita mengeluh benjolan bertambah besar seperti
telur ayam kampung, darah (-), nanah (-), lendir (-), dan penderita juga
merasakan nyeri pada benjolan di kemaluannya dan kemerahan. Nyeri
dirasakan terutama pada saat berjalan, beraktivitas atau berhubungan
seksual. Mual/muntah (-/-), demam (+), batuk (-), BAB dan BAK tidak ada
keluham, luka pada kemaluan (-).
Os kemudian berobat ke IGD RSMH Palembang.

C. Riwayat menstruasi
Menarche : usia 16 tahun
Siklus menstruasi : teratur setiap 28 hari sekali
Lama menstruasi : 7 hari

2
D. Riwayat perkawinan
Suami pertama, lama perkawinan 2 tahun.

E. Riwayat kehamilan
Tidak ada

F. Riwayat kontrasepsi
Riwayat penggunaan kontrasepsi (-)

G. Riwayat penyakit dahulu


 Hipertensi (-)
 Diabetes mellitus (-)
 Asma (-)
 Penyakit menular seksual (-)

H. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat keluhan terdapat benjolan pada kemaluan dalam keluarga
disangkal.

III. Pemeriksaan fisik


A. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
B. Keadaan Spesifik
Kepala dan Leher
Kepala : Normocephali.
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O
Thorax

3
Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang dada
Auskultasi : Vesikuler (+/+) Wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II (+) 84x/menit regular Murmur (-),
gallop (-).
Abdomen : Bising usus (+) Normal
Lihat pemeriksaan obstetrik
Ekstremitas : Akral dingin (-), edemapretibial (-).

C. Pemeriksaan Obstetrik
Pemeriksaan luar : Teraba massa sebesar telur ayam dengan ukuran 4
x 3 x4 cm di labia mayora sinistra, konsistensi
kenyal, terfiksir, nyeri tekan (+), pus (-), fluor
albus (-)
Pemeriksaan dalam :
- Inspekulo : Tidak dilakukan
- VT : Tidak dilakukan

4
IV. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium (28 Juli 2017)
Hematologi Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 11.7 11.7-15.5 g/dl

Hematokrit 37 35-47%

Leukosit 12,1 3.6-11 ribu/µl

Trombosit 384 150-440 ribu/ µl

Eritrosit 4.5 3.8-5.2 juta/ µl

FAAL HEMOSTASIS

Waktu Perdarahan 2.00 1-6 menit

Waktu Pembekuan 10.00 5-15 menit

KIMIA KLINIK

Glukosa Darah Sewaktu 97 <110 mg/dl

V. Diagnosis banding
 Kista bartolini
 Kista sebasea

VI. Diagnosis kerja


Kista Bartolini

VII.Terapi
Non Medikamentosa
 Menjaga kebersihan area kewanitaan.
 Tirah baring
Medikamentosa
 IVFD RL gtt XX/menit
 Ceftriaxone 3 x 1 gr (IV)
 Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
Program Operasi
 Rencana untuk dilakukan insisi pada masa kista

5
 Pro/ Marsupialisasi
Monitoring
 Perbaikan kondisi umum pasien
 Monitoring tanda-tanda infeksi pada lesi
 Tanda vital pasien
Edukasi
 Pasien diberitahu mengenai penyakitnya dan penyebab dari penyakitnya
tersebut.
 Pasien diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan di daerah
kewanitaannya.
 Pasien diberitahu tentang tindakan operasi yang akan dilakukan dan
persiapan-persiapan sebelum operasi.

VIII. PROGNOSIS
a. Ad Vitam : dubia ad bonam
b. Ad Fungtionam : dubia ad bonam
c. Ad Sanationam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI
Kelenjar bartolini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar
bartolini atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar,
dan berada di sebelah dorsal dari bulbus vestibulli. Saluran keluar dari kelenjar ini
bermuara pada celah yang terdapat diantara labium minus pudendi dan tepi
hymen. Glandula ini homolog dengan glandula bulbourethralis pada pria. Kelenjar
ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan sekresinya untuk membasahi
atau melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. kelenjar bartolini diperdarahi

6
oleh arteri bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh nervus pudendus dan nervus
hemoroidalis inferior.3
Kelenjar bartolini sebagian tersusun dari jaringan erektil dari bulbus,
jaringan erektil dari bulbus menjadi sensitif selama rangsangan seksual dan
kelenjar ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan.
Drainase pada kelenjar ini oleh saluran dengan panjang kira- kira 2 cm yang
terbuka ke arah orificium vagina sebelah lateral hymen, normalnya kelenjar
bartolini tidak teraba pada pemeriksaan palapasi.3

II. HISTOLOGI
Kelenjar bartolini dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel
kolumnar atau kuboid. Duktus dari kelenjar bartolini merupakan epitel
transisional yang secara embriologi merupakan daerah transisi antara traktus
urinarius dengan traktus genital.3

III. FISIOLOGI
Kelenjar ini mengeluarkan lendir untuk memberikan pelumasan vagina.
Kelenjar Bartolini mengeluarkan jumlah lendir yang relatif sedikit sekitar satu
atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang wanita orgasme. Tetesan cairan pernah
dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas vagina, tetapi penelitian dari
Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina berasal dari bagian

7
vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan labia vagina,
sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.4

IV. DEFINISI
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk
di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh.5
Kelenjar Bartholini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar
bartolini atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar,
dan berada di sebelah dorsal dari bulbus vestibulli. Saluran keluar dari kelenjar ini
bermuara pada celah yang terdapat diantara labium minus pudendi dan tepi
hymen.Kelenjar ini tertekan pada waktu koitus dan mengeluarkan sekresinya
untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina di bagian kaudal.3
Kista bartholini adalah salah satu bentuk tumor kistik (berisi cairan) pada
vulva. Kista barhtolini merupakan kista yang terbentuk akibat adanya sumbatan
pada duktus kelenjar bartolini, yang menyebabkan retensi dan dilatasi kistik.6

V. EPIDEMIOLOGI
Dua persen wanita mengalami kista Bartolini atau abses kelenjar bartholini
selama masa hidup mereka. Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia antara 20
sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita
yang lebih tua atau lebih muda.1
Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak dari pada kista.
Salah satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan
hitam yang lebih cenderung untuk mengalami kista bartolini atau abses bartolini
dari pada wanita hispanik, dan perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki
risiko terendah.7
Kista Bartolini paling umum terjadi pada labia mayora. Involusi bertahap
dari kelenjar Bartolini dapat terjadi pada saat seorang wanita mencapai usia 30
tahun. Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya terjadi kista Bartolini dan
abses selama usia reproduksi. Biopsi eksisional mungkin diperlukan lebih dini
karena massa pada wanita pascamenopause dapat berkembang menjadi kanker.
Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa eksisi pembedahan tidak

8
diperlukan karena rendahnya risiko kanker kelenjar Bartholin (0,114 kanker per
100.000 wanita-tahun). Namun, jika diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat
menjadi lebih buruk.8

VI. ETIOLOGI
Kista Bartolini terjadi akibat saluran kelenjar Bartolini yang mengalami
sumbatan. Sumbatan biasanya disebabkan oleh inflamasi non spesifik.Selain itu,
trauma atau operasi vulvovaginal dapat menjadi penyebab terjadinya kista.
Kista bartholini tanpa komplikasi berisi mukus yang tidak purulen. Suatu
abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi. Abses Bartolini dapat disebabkan oleh
sejumlah bakteri. Beberapa penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri
patogen tersering yang menyebabkan pembentukan abses bartholini. Penelitian
dari tahun 1970- 1980 menunjukkan Neisseria gonorrhoeae dan Clamydia
trachomatis sebagai patogen tersering. Penelitian yang lebih tebaru melaporkan
bahwa baktei oportunistik seperti Staphylococcus, Streptococcus, dan yang
tersering Escherichia coli.1
Pada penelitian retrospektif oleh Kessous et al, persentase pasien dengan
abses kelenjar bartholini memberi hasil kultur positif pada bakteri E colisebagai
patogen tunggal yang paling sering (43,7%) dan 10 kasus disebabkan oleh
polimikrobial (7,9%). Hasil kultur positif berhubungan dengan adanya demam,
leukositosis, dan neutrofilia.1

1. Golongan staphylococcus 2. Golongan Gonococcus

VII. PATOFISIOLOGI

9
Kelenjar bartholini diketahui dapat membentuk kista dan abses pada wanita
usia produktif. Kista dan abses sering sulit dibedakan secara klinis. Kista
bartholini terbentuk ketika ostium duktus mengalami obstruksi, yang
menyebabkan distensi kelenjar atau duktus oleh cairan sekret kelenjar bartholini.
Obstruksi biasa terjadi sekunder akibat inflamasi non spesifik atau trauma. Kista
biasanya berukuran diameter 1-3 cm dan sering asimtomatik, walaupun kista yang
membesar juga dapat menyebabkan nyeri tekan dan dispereuni. 1
Kista kelenjar Bartholini terjadi ketika kelenjar ini menjadi tersumbat.
Kelenjar Bartholini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,
peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami
infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan
timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian
terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista.
Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.5
Pada bartholinitis kelenjar ini akan membesar, merah, dam nyeri kemudian
isinya akan menjadi nanah dan keluar pada duktusnya, dapat terjadi sumbatan
pada salah satu duktus dan terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan
menbentuk suatu kista.6
Bila terjadi sumbatan dan kelenjar terus menerus menghasilkan
cairan,maka lama kelamaan sejalan dengan membesarnya kista,tekanan didalam
kista semakin besar. Dinding kelenjar/kista mengalami peregangan dan meradang.
Demikian juga akibat peregangan pada dinding kista, pembuluh darah pada
dinding kista terjepit mengakibatkan bagian yang lebih dalam tidak mendapatkan
pasokan darah sehingga jaringan menjadi mati (nekrotik). Dibumbui dengan
kuman,maka terjadilah proses pembusukan,bernanah dan menimbulkan rasa sakit.
Karena letaknya di vagina bagian luar,kista akan terjepit terutama saat duduk dan
berdiri menimbulkan rasa nyeri yang terkadang disertai dengan demam. Pasien
berjalan menegang ibarat menjepit bisul diselangkangan.

VIII. MANIFESTASI KLINIS

10
Pasien dengan kista bartholini mengalami pembengakakan pada labia tanpa
adanya rasa nyeri, namun bila kista bartholini berukuran besar dapat
menyebabkan nyeri tekan, dispareuni, rasa kurang nyaman saat berjalan atau
duduk. Jika kista pecah, dapat keluar cairan yang non purulen.1
Jika kista terinfeksi membentuk abses, gajala klinik yaitu berupa
pembengkakan pada labia yang dapat disertai eritema dan edema di sekitarnya,
demam dapat terjadi walaupun jarang. Jika abses pecah maka keluar sekret yang
purulen, dan jika sekret telah keluar seluruhnya maka tidak dapat terlihat massa
yang jelas. Keluhan dari pasien yaitu nyeri pada pembengkakan di labia,
dispareuni, nyeri yang hilang tiba-tiba diikuti dengan pecahnya dinding kista, dan
nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik.1
Kista duktus Bartholini dan abses glandular harus dibedakan dari massa
vulva lainnya. Karena kelenjar Bartholini biasanya mengecil saat menopause,
pertumbuhan vulva pada wanita postmenopause harus dievaluasi untuk
kemungkinan terjadinya keganasan , khususnya jika massa irregular, nodular dan
indurasi persisten.

IX. DIAGNOSIS
Anamnesis
yang baik dan pemeriksaan
fisik sangat mendukung
suatu diagnosis.
Pada anamnesis
ditanyakan tentang gejala
pada benjolan sepertinyeri, panas, gatal, sudah berapa lama gejala berlangsung,
Apakah pernah berganti pasangan seks, keluhan saat berhubungan, riwayat
penyakit menulat seksual sebelumnya.5
Kista bartholini di diagnosis melalui pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
dengan posisi litotomi, terdapat pembengkakan kista di posisi jam 5 atau jam 7

11
pada labium mayora posterior. Jika kista terinfeksi, maka pemeriksaan kultur
jaringan dibutuhkan untuk mengidantifikasi jenis bakteri penyebab abses dan
untuk mengetahui ada tahu tidaknya infeksi menular.5

Pemeriksaan Penunjang, apabila pasien dalam kondisi sehat dan afebris,


maka tes laboratorium darah tidak diperlukan untuk mengevaluasi kista. Kultur
bakteri dapat bermanfaat dalam menentukan kuman dan pengobatan yang tepat
bagi abses Bartholini.1

Pasien yang dicurigai keganasan segera dirujuk ke spesialis obstetri dan


ginekologi untuk dilakukan biopsi, yaitu pasien dengan:


Usia lebih dari 40 tahun

Massa tanpa nyeri yang kronik atau berkembang cepat

Massa solid dan tidak ada fluktuasi

Memiliki riwayat keganasan pada labial1

X. TATALAKSANA
Penatalaksanaan dari kista duktus bartholin tergantung dari gejala pada
pasien. Kista yang asimptomatik mungkin tidak memerlukan pengobatan, tetapi
symptomatic kista duktus bartholin dan abses bartholin memerlukan tindakan.
Kecuali kalau terjadi rupture spontan, abses jarang sembuh dengan sendirinya.
1. Non Medikamentosa
 Sitz bath

12
Sitz bath menggunakan prinsip hidroterapi pada posisi duduk. Aplikasi
prinsip hidroterapi ini untuk menstimulasi sirkulasi daerah pelvis.
Hidroterapi ini menggunakan alternatif air dingin dan hangat.
Kontraindikasi metode ini adalah pada pasien dengan penyakit
tromboemboli vena seperti deep vein thrombosis (DVT), infeksi kandung
kemih dan gangguan sensasi saraf perifer (penyakit serebrovaskular).
Petunjuk melakukan metode ini, diawali dengan pengisian air hangat
pada kantung air alat Sitz bath sampai 1500 ml. Setelah pasien
diposisikan duduk pada alat Sitz bath, kemudian klem pada selang dibuka
sehingga terpancar aliran air mengenai organ urogenitalia eksterna dan
mengisi alat Sitz bath sampai mencapai ukuran kedalam air 3-4 inchi dari
dasar alat Sitz bath, sehingga air dapat merendam sebagian bokong dan
organ urogenital eksterna pada air yang dialirkan pada selang ke dalam
alat Sitz bath. Aplikasi ini menggunakan air hangat (106-110°F, 41-
43°C), setelah itu diganti dengan menggunakan air dingin (55-75°F, 12-
24°C). Berdasarkan literatur, proses berendam diupayakan senyaman
mungkin selama + 10 – 20 menit. Dimana alat terapi Sitz bath
disesuaikan dengan bentuk dan ukuran pasien.

 Insisi dan drainage


Tindakaninimeliputi insisi tradisional, drainage, irigasi, dan pembalutan.
Balutan dibuka setelah 2 hari setelah tindakan. Teindakan ini memiliki
tingkat rekurensi abses yang tinggi.1
Cara:
• Desinfeksiabsesdenganbetadine
• Dilakukan anastesi lokal( khlor etil)
• Insisi abses dengan skapel pada titik maksimum fluktuasi
• Dilakukanpenjahitan

13
 Word catheter
Word catheter diperkenalkan pada tahun 1960. Tindakan ini
menggunakan kateter kecil dengan balon kateter pada bagian distalnya.
Tindakan ini dilakukan dengan teknik steril. Penelitian menunjukkan
word catheter berhasil pada 26 dari 30 (87%) kasus kista atau abses
bartholini. Pasien disarankan untuk melakukan sitz bath 2-3 kali/ hari
selama 2 hari setelah tindakan ini dan tidak melakukan hubungan seksual
selama kateter belum dilepas.1
Panjang tangkai kateter 1 inch danmempunyai diameter sepertifoley
catheter no 10. Balonkateterhanyabisamenampung4 ml normal saline.
Cara:
• Desinfeksi dinding abses sampai labia dengan menggunakan
betadine.
• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %
• Fiksasi abses dengan menggunakan forsep kecil sebelum dilakukan
tindakan insisi.
• Insisi diatas abses dengan menggunakan mass no 11
• Insisi dilakukan vertikal di dalam introitus eksternal terletak bagian
luar ring himen. Jika insisi terlalu lebar, word catheter akan kembali
keluar.
• Selipkan word kateter ke dalam lubang insisi
• Pompa balon word kateter dengan injeksi normal salin sebanyak 4ml
• Ujung word kateter diletakkan pada vagina.

14
Proses epithelisasi pada tindakan bedah terjadi setelah 4-6 minggu,
word catheter akan dilepas setelah 4-6 minggu.

 Marsupialization
Marsupialisasi adalah suatu tehnik membuat muara saluran kelenjar
bartholin yang baru. Komplikasiberupadispareuni, hematoma, infeksi.
Tindakan ini ditujukan untuk abses rekuren. Abses akut didrainage
sebelum marsupialisasi. Tindakan ini biasa dilakukan spesialis obstetri
ginekologi atau urologi di kamar operasi.1
Cara:
• Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan menggunakan
betadine.
• Dilakukanlokalanastesidenganmenggunakanlidokain 1 %.
• Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam 0,5cm (insisi sampai
diantar a jaringan kulit dan kista/ abses) pada sebelah lateral dan
sejajar dengan dasar selaput himen.
• Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista dijepit dengan klem
pada 4 sisi, sehingga rongga kista terbuka dan kemudian dinding
kista diirigasi dengan cairan salin.
• Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan atraumatik catgut.
Jika memungkinkan muara baru dibuat sebesar mungkin(masuk 2
jari tangan), dan dalam waktu 1 minggu muara baru akan mengecil
separuhnya, dan dalam waktu 4 minggu muara baru akan
mempunyai ukuran sama dengan muara saluran kelenjar bartholin
sesungguhnya.

15
 Eksisi
Tindakan ini membutuhkan eksisi pada kelenjar bartholini dan jaringan
sekitarnya. Tindakan ini memberi kosmetik yang kurang baik, nyeri, dan
jarang diindikasikan untuk abses, walaupun dapat digunakan untuk
tatalaksana keganasan. Eksisi hanya dapat dikerjakan di kamar operasi
dengan anastesi yang memadai.1Eksisi dari kelenjar Bartholini dapat
dipertimbangkan pada pasien yang tidak berespon terhadap drainase,
namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada infeksi aktif.
Cara:
 Desinfeksi dinding abses sampai labia dengan menggunakan
betadine.
 Dilakukanlokalanastesidenganmenggunakanlidokain 1 %
 Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy
 insisi kulit berbentuk linear yang memanjang sesuai ukuran kista
pada vestibulum dekat ujung medial labia minora dan sekitar 1 cm
lateral dan parallel dari hymenal ring. Hati – hati saat melakukan
insisi kulit agar tidak mengenai dinding kista. Struktur vaskuler
terbesar yang memberi supply pada kista terletak pada
bagian posterosuperior kista. Karena alasan ini, diseksi harus dimulai
dari bagian bawah kista dan mengarah ke superior
 Bagian inferomedial kista dipisahkan secara tumpul dan tajam dari
jaringan sekitar

16
 Alur diseksi harus dibuat dekat dengandinding kista untuk
menghindari perdarahan plexus vena dan vestibular bulb danuntuk
menghindari trauma pada rectum
 diseksi pada bagian superior
 vaskulariasi utama dari kista dicari dan diklem dengan
menggunakan hemostat. Lalu dipotong dan diligasi dengan benang
chromic atau benang delayed absorbable 3-0

2. Medikamentosa
a) Antibiotik
Antibiotik sebagai terapi empirik pengobatan penyakit menular seksual
diberikan dengan dosis biasa yang digunakan untuk infeksi gonococcal dan
chlamydia. Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi
dan drainase.1
 Ceftriaxone.
Ceftriaxone merupakan monoterapi yang efektif untuk N gonorrhoeae.
Ceftriaxone adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad
spectrum terhadap bakteri gram-negatif, efektifitas yang lebih rendah
terhadap bakteri gram-positif, dan efektifitas yang lebih tinggi terhadap
bakteri resisten. Dengan mengikat pada satu atau lebih penicillin-binding
protein, akan menghambat sintesis dari dinding sel bakteri dan
menghambat pertumbuhan bakteri. 1
Dosis yang dianjurkan: 125 mg IM sebagai single dose

17
 Ciprofloxacin
Terapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan antibiotik tipe bakterisida
yang menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan
menghambat pertumbuhan bakteri dengan menginhibisi DNA-gyrase
pada bakteri.1
Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari.
 Doxycycline
Doxycycline menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan
cara berikatan dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri.
Diindikasikan untuk C trachomatis.Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2
kali sehari selama 7 hari. 1
b) Anastesi
Anastesi dapat digunaka topikal atau injeksi. Topikal anastesi digunakan
pada mukosa vagina sebelum injeksi submukosa. 1
 Lidocain
Lidocain mengurangi permeabilitas ion natrium pada membran sel saraf
menghambat depolarisasi, memblokir transmisi impuls saraf, sehingga
mengurangi rasa nyeri. Lidocain topikal dalam bentuk spray dan salep.
Lidocain injeksi tersedia konsentrasi 1% atau 2%, dengan atau tanpa
epinefrin. 1
 Bupivacain
Bupivacain meningkatkan ambang eksitasi elektrik, memperlambat
impuls saraf, dan mengurangi potensial aksi, bupivacain mencegah
konduksi impuls saraf untuk mengurangi rasa nyeri. Bupivacain injeksi
tersedia konsentrasi 0,25% dan 0,5% dengan atau tanpa epinefrin.
Bupivacain biasa digunakan untuk infiltrasi lokal. Durasi bupivacain
lebih lama dari pada lidocain.1

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang biasa terjadi adalah kekambuhan. Jarang kasus yang
melaporkan terjadinya fasciitis necrotizing setelah drainage abses. Risiko teoritis

18
yang dapat terjadi yaitu toxic shock syndrome dengan balutan, luka yang tidak
sembuh dapat terjadi. Perdarahan, khususnya pada pasien koagulopati dapat
menjadi komplikasi. Dapat juga dihasilkan jaringan parut dari bekas luka.1

XII. PROGNOSIS
Apabila abses telah didrainase dengan tepat dan penutupan kembali dapat
dicegah, maka bisa didapatkan hasil akhir yang baik. Tingkat kekambuhan,
umunya dilaporkan kurang dari 20%.1

BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. WA, 28 tahun, P0A0 datang ke IGD RSMH dengan keluhan terdapat
benjolan di kemaluan. ± 3 hari SMRS, penderita mengeluh benjolan bertambah
besar seperti telur ayam kampung dan penderita juga merasakan nyeri pada
benjolan di kemaluannya dan kemerahan. Nyeri dirasakan terutama pada saat
berjalan, beraktivitas atau berhubungan seksual. Mual/muntah (-/-), demam (+),
batuk (-), luka pada kemaluan (-). Os kemudian berobat ke IGD RSMH
Palembang.
Dari anamnesis didapatkan status penikahan pasien yaitu menikah sekali,
lamanya 2 tahun dan usia penderita 28 tahun. Penderita tersebut berada dalam usia
reproduktif yang merupakan insidensi tertinggi kista bartolini. Hal ini sesuai
dengan teori yang ada, karena pada saat perempuan berumur 20 - 30 tahun terjadi
involusio kelenjar bartholini secara berlahan-lahan oleh karena itu kejadian usia
40 tahun keatas jarang ditemukan.

19
Berdasarkan teori dari berbagai sumber, gambaran klinik yang biasanya
timbul pada kasus kista bartholini, kista tumbuh lebih besar dari diameter 1 inci,
dapat menyebabkan ketidaknyamanan ketika duduk, atau selama hubungan
seksual. Jika kista menjadi terinfeksi, berisi nanah, dan menjadi bengkak, hal ini
sangat menyakitkan, sehingga sulit bagi seorang wanita untuk duduk, berjalan
atau melakukan hubungan intim. Kista Bartolini menyebabkan pembengkakan
labia di satu sisi, dekat pintu masuk ke vagina. Dari anamnesis pada Ny. WA
didapatkan benjolan pada kemaluannya yang sudah dirasakan 1 minggu, disertai
kemerahan sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,
peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami
infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan
timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian
terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista.
Sehingga sesuai dengan hasil temuan dari pemeriksaan fisik diagnosis dapat
ditemukan teraba massa sebesar telur ayam dengan ukuran 4 x 3 x4 cm di vulva
sinistra , terfiksir, nyeri tekan (+). Penatalaksanaan medikamentosa diberikan
Ceftriaxone 3 x 1 gr (IV) sebagai antibiotik, Ketorolac 3 x 30 mg (IV) berupa
analgetik. Setelah dilakukan post pembedahan dilakukan observasi drain. Apabila
keadaan pasien baik, pasien diperkenankan untuk pulang. Pasien juga diberikan
edukasi tentang hygiene yang baik dan benar. Setelah pulang, pasien disarankan
untuk kontrol ulang poli melihat keadaan post pemebedahan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Quinn A. Bartholin Gland Diseases (Available at:


emedicine.medscape.com/article/777112-overview, accessed on 30th Juli
2017)
2. North Dakota Family Planning Program Protocols Reproductive Diseases.
Bartholin Cyst and Abscess. (Available at:
www.ndhealth.gov/familyplanning/image/cache/rd15_bartholin_cyst_and_ab
scess_10-12.pdf, accessed on 30th Juli 2017 )
3. Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. 6 th ed. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006.
4. Guyton AC, Hall CE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.11th ed. Philadelphia :
Elsevier Saunders. 2006.
5. Badziat, Ali. Endokrinologi Ginekologi. Jakarta : Media Aesculapius. 2003.
6. Sarwono Prawiro hardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
2006.
7. Aghajanian A, Bernstein L, Grimes DA. Bartholin's duct abscess and cyst: a
case-control study.South Med J. 1994;87:26–9.

21
8. Visco AG, Del Priore G. Postmenopausal Bartholin gland enlargement: a
hospital-based cancer risk assessment. Obstet Gynecol. 1996;87:286–90.

22

Anda mungkin juga menyukai