Anda di halaman 1dari 19

A.

Defenisi
Difteri adalah suatu penyakita infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh bakteri
coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasovaring, kulit
dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan
pada Anak).
Difteri adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas. Penyakit ini
dominan menyerang anak anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring
hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas.
Difteri adalah penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman
Coryneabacterium diphteria. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius
bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudo membran dan dilepaskannya eksotoksin
yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal (Ilmu Kesehatan Anak)

B. Anatomi Fisiologi
Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna vertebra.Terdiri
dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup
jika ada makanan dan minuman yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika
dipendarahi oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus.
a. Rongga mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di
depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi
terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasilais.
Vermilion berwarna merah karena di tutupi oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di
antara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar
parotis menghadap gigi molar kedua atas.
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista alveolar maksila
di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu gigi taring dan dua gigi geraham.
Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi
molar. Permukaan oklusal dari gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam,
sedangkan gigi premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah
diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum retromolar.
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan sebagian besar dari
otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat diangkat untuk faring bagian nasal
dari rongga mulut dan orofaring. Ketidakmampuan palatum mole menutup akan
mengakibatkan bicara yang abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut
diantara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula.
Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan kelenjar liur
untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering, atau xerostomia. Hal ini
merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa pasien.
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan dapat digerakkan,
sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi oleh saraf hipoglosus. Dua
pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf lingualis dan saraf glosofaringeus pada
sepertiga lidah bagian belakang.
b. Faring
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari mulut, cavum nasi, kranial
atau superior sampai esofagus, laring dan trakea. Faring adalah suatu kantong fibromuskuler
yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah.
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra
servikalis ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring
dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam
keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior, kemudian
bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka
ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa
atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan
yang disebut fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot konstriktor
faringis superior. Otot tensor veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan
membuka tuba eustakhius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot ini membentuk tendon
yang melekat sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini
dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam
kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila, arkus
faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior
disusun oleh otot palatofaringeus otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian
posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot:
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis
yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring
dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
2. Palut Lendir (Mucous Blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian
atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai
dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel
kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme
yang penting untuk proteksi.
3. Otot
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring juga dilalui oleh
makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal,
terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam
menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang
trakeobronkial.

4. Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial)
serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
5. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut
simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang
ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi lansung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
6. Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni superior, media dan inferior.
Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah
bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-
digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke
kelenjar getah bening servikal dalam bawah.
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
1. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid
pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong
rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare,
yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial
dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba
eustachius.
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
a. Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan
otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus.
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat
suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi
oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-
benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus.
Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri
dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat
meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat
ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan
kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas
posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid
dan di bawahnya terdapat muara esofagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “ kantong pil” ( pill pockets), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak
menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan
laring pada tindakan laringoskopi langsung.

Fisiologi
a. Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Tiga dari fungsi-fungsi
ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan terperinci.
1. Penelanan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke
faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga,
jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya
adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan
palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang
hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah
aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah
melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan
superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior
berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat,
menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.
2. Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan
m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior.
Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan
(fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme,
yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring)
oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak
pada waktu bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi
ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan
dengan gerakan palatum.
C. Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru
metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau
media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi
glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium
tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh
dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari
warna abu-abu coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis
basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
 Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.
 Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
 Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravisialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin,
akan tetapi virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang
ada bentuk grafis atauintermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini
mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang
di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriaeadalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupunin vitro. Kemampuan suatu
strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin
hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan
produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat
sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih
singkat dibandingkan denganElek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan
adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman,
danCorynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan
bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
 Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan
yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
 Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal
dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh
ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa
jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada
pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam
es, air, susu dan lender yang telah mengering.
D. Patofisiologi
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak
pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2)
yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase
melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-
ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-
sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. (1)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)
E. WOC
F. Kalsifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
 Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
 Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
 Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis(kelemahan anggota gerak)
dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan
pasien, yaitu:
 Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati akan
berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
 Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah,
nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak
membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding
belakang mulut (faring).
 Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara,
sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit
tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling
berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
 Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip
sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak
seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-
apa.

G. Manifestasi Klinis
a) Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
b) Batuk dan pilek yang ringan.
c) Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
d) Mual, muntah , sakit kepala.
e) Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor.
f) Kaku leher
H. Penatalaksanaan Difteri
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai
keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC  intracutan Tunggu 15 menit  indurasi dengan garis tengah 1
cm  (+)
b. CARA PEMBERIAN
 Test Positif  BESREDKA
 Test Negatif  secara DRIP/IV
c. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4
sampai 6 jam  observasi gejala cardinal.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4
minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan
trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot,
dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

I. Pencegahan
a. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri
dua kali berturut-turut negatif.
b. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala
klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
c. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi
DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan
4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan
dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada
usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang
didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis
yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.

J. Komplikasi
1. Gangguan pernapasan
C. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah
hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabu-abuan
(psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini
dapat menghambat pernapasan.
2. Kerusakan jantung
Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan
lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti
radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai
kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan
kematian mendadak.

3. Kerusakan saraf
Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di
mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada
lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini
merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka otot-otot ini dapat menjadi
lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS DIFTERI PADA ANAK

A. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, No RM dan sebagainya
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya ditandai dengan suhu tubuh meningkat, nyeri saat menelan, adanya pembengkakan
di daerah tenggorokkan, mual, muntah, sakit kepala
2. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ditandai dengan klien sebelumnya mengalami peradangankronis pada tonsil, sinus,
faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ditandai dengan adanya keluarga yang mengalami difteri
c. Riwayat imunisasi
Biasanya ditandai dengan klien yang tidak mendapatkan imunisasi yang lengkap khususnya
imunisasi DPT. Imunisasi DPT seharusnya didapatkan 3 kali sejak bayi berumur 2 bulan
dengan selang waktu pemberian 2 bulan.
d. Riwayat tumbuh kembang
Biasanya anak yang mengalami difteri ditandai dengan penurunan berat badan yang
mengakibatkan pertumbuhan anak terganggu, serta ditandai dengan gangguan proses bicara.
e. Pemeriksaan Fisik (head to too)
1. Rambut dan hygiens kepala
Biasanya tidak ada gangguan dalam pertumbuhan rambut dan kebersihan kepala, terasa
panas.
2. Mata
Bisanya konjungtiva anemis, sklera ikterik, pupil normal.
3. Hidung
Biasanya pilek dan kemudian sekret yang keluar bercampur darah
4. Bibir dan mulut
Pucat, radang selaput lendir, radang akut tenggorok , dapat ditemukan pseudomembran yang
berupa bercak putih keabu-abuan pada tonsil, naas berbau.
5. Pernafasan /dada
Klien sesak nafas, stridor inspirsi, suara serak, batuk-batuk kering. Paada pemeriksaan laring
tampak kemerahan, sebab banyak sekret dan pemerikssan ditutupi oleh pseudomembran.
6. Kardiovaskuler
Nadi cepat, tekanan darah menurun.
7. Pencernaan/abdomen
Nyeri menelan, anoreksia.
8. Genetalia dan ekstremitas
Biasanya tidak ada kelainan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihkan jalan nafas tidak efektif b/d obstruksi jalan nafas oleh sekret dan
pseodomembaran
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi
yang tidak adekuat

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional
1. Bersihkan jalan Tujuan : 1. Kaji 1.Pernafasan biasanya
nafas tidak efektif Jalan nafas kembali frekuensi,kedalaman meningkat. Dispnea dan
b/d obstruksi jalan bersih pernafasan dan ekspansi terjadi peningakatan
nafas oleh sekret KH : paru. Catat upaya kerja nafas. Kedalaman
dan saluran nafas tidak lagi pernafasan termasuk pernafasan biasanya
pseodomembaran tersumbat pengguanaan alat bantu / bervariasi tergantung
pelebaran nasal derajat gagal nafas.
Ekspansi dada terbatas
yang berhubungan
dengan atelektasis/
nyeri dada pleuritik..
2. Bunyi naafs menurun /
2. Auskultasi bunyi nafas tidak ada bila jalan
dan catat adanya bunyi nafas obstruksi
nafas adventisius seperti sekunder terhadap
krekel. perdarahan, bekuan
atau kolaps jalan nafas
kecil. Ronki dan mengi
menyertai obstruksi
jalan nafas / kegagalan
pernafasan.
3. Peninggian kepala
mempermudah fungsi
pernafasan dengan
3. Atur bunyi posisi yang menggunakan gravitasi
nyaman / semi fowler atau mempermudah
pertukaran O2 dan
CO2.
4. Mengurangi pencetus
gangguan pernafasan /
alergi pernafasan.

4. Pertahankan posisi
lingkungan minimun
sepeti debu
2. Gangguan Tujuan : 1. Pemberian makanan 1. Tindakan ini dapat
kebutuhan nutrisi
pemenuhan terpenuhi lunak, bila sakit atau sulit meningkatkan masukan
kebutuhan nutrisi ; Kriteria hasil : menelan diberi makanan makanan klien
kurang dari intake nutrisi cair (sayur,-
terpenuhi
kebutuhan tubuh sayuran,buah-buahan
b/d intake nutrisi untuk membantu
yang tidak adekuat peristaltik usus) 2. Menghilangkan tanda
2. Berikan wadah tertutup bahaya, rasa bau dari
untuk sputum dan buang lingkungan pasien dan
sesring mungkin, berikan dapat menurunkan
dan bantu kebersihan mual.
mulut setelah muntah
3. Aturlah pemberian 3. Meningkatkan atau
makanan dalam porsi memaksimalkan asupan
yang sedikit tapi sering. nutrisi anak
4. Libatkan orang tua
dalam pemberian 4. Membantu dalam
makanan. memenuhi asupan
nutrisi anak, karena
biasanya orang tua tahu
cara yang tepat agar
anaknya mau makan

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perancanaan. Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana
keperawatan yang telah disusun. Implementasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien dan
dapat diterima oleh klien itu sendiri dan keluarga klien.
E. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan klien.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat
Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri
laring dan difteri kutaneus dan vaginal. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :Panas lebih
dari 38 °C, Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil, Sakit waktu
menelan, Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karenapembengkakan
kelenjar leher
B. Saran
Penyakit difteri rentan menyerang anak-anak dan perlu penanganan yang cermat
dan tepat. Terutama asuhan keperawatan yang efektif dapat mempercepat proses
penyembuhan penyakit difteri

Anda mungkin juga menyukai