Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban, dan

peranpenyandang cacat adalah sama dengan warga negara lainnya. Hal ini

sesuaidengan UUD1945, dalam Pasal 27 : Setiap warga negara berhak

memperolehpekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Kemudian adapenegasan lagi pada amandemen UUD 1945 yang mengatur

tentang Hak Azasi Manusia, ini menandakan bahwa negara kita telah

memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada harkat dan martabat

manusia dalam kehidupanberbangsa dan bernegara. Oleh karena itu,

peningkatan peran dalam pembangunan nasional sangat penting untuk

mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya.

Setiap wilayah memiliki berbagai macam program pembangunan dan

cara tersendiri untuk merealisasikan program pembangunan tersebut. Merujuk

pada program pembangunan yang ada biasanya sebuah wilayah memiliki

aktor-aktor yang mendukung atau membantu berjalannya program tersebut.

Pembangunan berbasiskan keadilan gender mulai banyak digalakan demi

terwujudnya pembangunan yang adil dan bermanfaat untuk semua pihak baik

laki-laki dan perempuan. Perlu adanya alat analisis gender untuk melihat

apakah program yang dijalankan disuatu wilayah merupakan prgram yang

responsif gender atau tidak yang digunakan untuk mengetahui, melihat dan

menganalisis bagaimana suatu program dapat berjalan dengan baik dan

1
bagaimana peran masyarakat dalam keberhasilan program pembangunan serta

mendapatkan hak.

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak

manusia itu dilahirkan.Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat

dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil

kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata-mata

karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian

negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia

lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak ini dibutuhkan manusia selain

untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai

landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.

Pengaruh gender dalam struktur sosial dapat dilihat dari budaya pada

suatu masyarakat. Di satu sisi struktur sosial dapat dlihat melalui peran yang

dimainkan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pada sisi lain struktur

sosial dapat dilihat pada status sosial kelompok-kelompok dalam masyarakat

itu sendiri, seperti distribusi kekayaan, penghasilan, kekuasaan dan prestise.

Struktur sosial yang berkembang dalam masyarakat di dalam lintasan sejarah,

perempuan di tempatkan dalam posisi minoritas.Sementara itu, ketimpangan

status berdasarkan jenis kelamin bukan sesuatu yang bersifat universal.

Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan

telah tersurat jelas dalam INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang

Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangungan nasional.

2
Namun pada kenyataannya, sering perempuan berkcenderungan

dijadikan objek dalam pembangunan.Seolah perempuan belum dapat

berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun penikmat

pembangunan.Kekuatan pemahaman tentang perempuan hanya sebagai peran

domestik (privat) sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan

kebijakan.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan tentang Pengertian Etika ?

2. Jelaskan tentang Klasifikasi Etika ?

3. Jelaskan tentang Macam-macam Etika ?

4. Jelaskan tentang Pendekatan Gender ?

5. Jelaskan tentang gender dalam perspektif etika ?

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR TENTANG ETIKA

1. Definisi Etika

a. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang

berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek,

etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu

ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah

dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

b. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat

kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan

mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim

juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-

norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku

manusia yang baik,

c. Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang

berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).

2. Klasifikasi Etika Secara Umum

a. Etika Umum : Berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana

manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil

keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang

4
menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur

dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di

analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai

pengertian umum dan teori-teori.

b. Etika Khusus : merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar

dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud :

Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang

kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh

cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat

juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain

dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi

oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara

bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidakan, dan teori

serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya. Etika Khusus dibagi lagi

menjadi dua bagian :

1) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia

terhadap dirinya sendiri.

2) Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola

perilaku manusia sebagai anggota umat manusia. Perlu

diperhatikan bahwa etika individual dan etika dapat dipisahkan

satu sama lain dengantajam, karena kewajiban manusia terhadap

diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan.

Etika sosial hubungan manusia dengan manusia baik secara

5
langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat,

negara), sikap kritis terhadap pandangan dunia dan idiologi-

idiologi maupun tanggung jawab umat manusia.

Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika

sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan

pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :

1) Sikap terhadap sesama

2) Etika keluarga

3) Etika profesi

4) Etika politik

5) Etika lingkungan

6) Etika idiologi

3. Macam-Macam Etika

Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang

tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral.

Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu

memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara

kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan

jasmaninya, dan antar sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.

Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang

dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika sebagai berikut :

6
a. Etika Deskriptif

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan

perilaku manusia, serta yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya

sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut

berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan

perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan

realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan

dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang

dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat

bertindak secara etis.

b. Etika Normatif

Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan

seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan

oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika

Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia

bertindak secara baik dan meng-hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai

dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

B. KONSEP GENDER

1. Pengertian Gender

Secara sederhana gender dapat diartikan, perbedaan peran laki-

laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi social dari budaya yang

diyakini oleh suatu masyarakat yang selanjutnya membentuk identitas

laki-laki perempuan serta pola perilaku yang menyertainya. Pengertian

7
ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial

budaya masyarakat untuk turut mempengaruhi perbedaan peran laki-

laki dan perempuan. Sejalan dengan pendapat ini Nugroho (2008: 19):

Gender sendiri dipahami sebagai sebuah konstruksi social

tentang relasi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh

system di mana keduanya berada. Dalam kenyataan konstruksi social

ini dikonstruksikan oleh kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi,

social, cultural, bahkan fisikal karena sebagaimana halnya kenyataan

kekuasaan adalah identik dengan kepemimpinan. Salah satu tugas

kekuasaan dan paralel dengan tugas kepemimpinan adalah membawa

kelompoknya ke dalam sebuah masa depan yang baru yang lebih baik.

Tugas ini bukan saja bermakna bahwa tugas pemimpin adalah

membuat visi, misi, dan strategi bagi kelompoknya, melainkan juga

mendefenisikan konsep-konsep dasar bagi kelompoknya.

Istilah “gender” dengan pemaknaan seperti dikemukakan di atas

pertama kali diperkenalkan oleh Stoller (1968). Untuk memisahkan

pencirian manusia yang didasarkan pada pendefenisian yang bersifat

sosial budaya dengan pendefenisian yang berasal dari ciri-ciri fisik

biologis. Dewasa ini dikenal beberapa teori gender, antara lain : teori

nurture teori nature, teori equilibrium, dan Syndrome Cindrella

Complex.

Teori nurture memandang perbedaan perempuan dan laki-laki

adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran

8
dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu

tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi

sosial menempatkan perempuan dan laki-laki berbeda dalam banyak

hal (Friedl, 1975).

Teori nature beranggapan perbedaan antara laki-laki dan

perempuan adalah kodrat sehingga harus diterima. Perbedaan biologis

itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan

peran dan tugas yang berbeda. Berdasarkan teori ini dapat dikaji bahwa

ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan

perempuan dan ada juga yang tidak dapat dipertukarkan karena secara

alamiah sudah menjadi kodratnya. Teori ini didukung oleh Socrates

dan Plato yang kemudian diperbaharui oleh Auguste Comte (1798 –

1857), Emile Durkheim (1858 – 1917) dan Herbert Spencer (1820 –

1930). Mereka bersepakat, kehidupan bersama didasari oleh

pembagian tugas dan tanggung jawab.

Teori Equilibrium, menitikberatkan pada konsep kemitraan dan

keharmonisan dalam bhubungan laki-laki dan perempuan. Keduanya

dpandang harus bekerjasama dalam kemitraan yang harmonis dalam

kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan bernegara. Lawnay

(2007: 2) menyebutkan, keragaman peran disebabkan karena adanya

berbagai factor, antara lain: biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau

budaya yang pada hakekatnya merupakan realitas kehidupan manusia.

9
Syndrome Cindrella Complex, sebagaimana dikemukakan oleh

Saefullah (2005: 8) dan Dowling (1990: 3), kaum perempuan

memiliki ketakutan tersembunyi untuk mandiri dan di dalam bawah

sadarnya perempuan memiliki keinginan untuk dilindungi,

diselamatkan, dan tentunya disayangi oleh Sang Pengeran”.

2. Pendekatan Gender

Peningkatan peranan perempuan sebagai mitra yang sejajar

dengan laki-laki dalam pembangunan berarti meningkatkan tanggung

jawab perempuan sebagai pribadi yang mandiri dalam lingkungan

keluarga dan masyarakat.Dengan demikian bersama laki-laki,

perempuan bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebahagian

keluarga. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut diperlukan kerja keras

disertai peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja

perempuan sebagai insan pembangunan yang tangguh diberbagai

sektor.(M.Mansyur Amin, 1992).

Untuk membangun kesadaran terhadap perempuan, dapat

dilakukan melalui proses pendidikan. Menurut Freire(1985)

pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia

dan dirinnya sendiri. Pengenalan tidak bersifat subjektif atau objektif

akan tetapi keduanya .

Kebutuhan objektif untuk mengubah keadaan yang tidak

manusiawi selalu memerlukan kemampuan subjektif (kesadaran

subjektif ) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak

10
manusiawi. Dengan selalu aktif dalam bertindak dan berpikir, serta

dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, maka akan

terbangun sebuah interaksi diri dengan lingkungan yang kemudian

menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seorang dari “rasa takut

akan kemerdekaan” (fear freedom).

Setiap diri harus menolak penguasaan sepihak dan penindasan

akan sebuah makna kebebasan dalam manusia berperan. Sehingga

akan memunculkan suatu kontruksi baru yang terbangun akan

kontribusi dalam pengakuan umum tentang pentingnya sebuah peran

setiap diri baik itu laki-laki ataupun perempuan.Pembebasan dan

pemanusiaan manusia dalam istilah yang dibangun oleh Drs. Tri sakti

Handayani, MM dalam analisis gendernya hanya dapat dilaksanakan

saat setiap manusia benar-benar telah menyadari realitas dirinya dan

dunia sekitarnya.Peran itu yang harus disadarkan dalam setiap jiwa

antara laki-laki dan perempuan dan tentunya melalui pendidikan yang

harus berperspektif peran sehingga tidak ada lagi istilah diskriminasi

antara keduanya.Berbicara gender dalam peran pembangunan tentunya

akan sangat mendukung untuk pengembangan pembangunan kedepan

ketika pelabelan masalah peran sudah terselesaikan terlebih dahulu.

Peran gender akan memperkuat kemampuan negara untuk

berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif.

Dengan demikian mempromosikan nilai adil gender adalah bagian

utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk

11
memberdayakan masyarakat (semua orang)-perempuan dan laki-laki-

untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf

hidup mereka agar keluar dari kontruksi diri akan bayangan “Budaya

Patriaki”. Pembangunan ekonomi membuka banyak jalan untuk

meningkatkan peran gender dalam jangka panjang. Meski demikian,

pertumbuhan ekonomi saja belumlah memadai.Dibutuhkan juga

institusi yang memberikan persamaan hak dan kesempatan bagi

perempuan dan laki-laki, serta dibutuhkan juga langkah-langkah

kebijakan untuk menangani diskriminasi jenis kelamin yang masih

mengakar.

C. ETIKA DALAM PERSPEKTIF GENDER

Etika adalah ilmu dan sebagai ilmu maka etika merupakan ilmu

mengenai norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Dan yang

dibicarakan dalam etika yaitu apa yang seharusnya: apa yang benar dan apa

yang salah, apa yang baik dan apa yang jahat serta apa yang tepat dan apa

yang tidak tepat untuk dilakukan.

Sedangkan kata gender adalah sebuah kata dalam bahasa Latin yaitu

genus yang berarti jenis atau tipe. Dalam kamus Inggris-Indonesia kata gender

diartikan dengan jenis kelamin. Sebagai bahasa yang diambil dari konsep

asing, maka kata gender itu sangat rumit untuk diuraikan dalam konteks

Indonesia. Namun dalam konsep yang populer di Indonesia, gender menunjuk

pada perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan aspek psikologis, sosial

dan kebudayaan.

12
Untuk memahami konsep gender maka harus dibedakan dengan kata

seks (jenis kelamin). Mansour Fakih menjelaskan bahwa seks adalah

pensifatan atau pembagian dua kelamin manusia secara biologis. Laki-laki

memiliki penis, jakala (kala menjing) serta sperma. Perempuan memiliki

rahim, saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, vagina dan

payudara.1[42] Karena sifatnya biologis, maka jenis kelamin (seks) bersifat

permanen dan tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.

Inilah yang disebut kodrat.

Sedangkan gender lebih mengarah pada perbedaan laki-laki dan

perempuan sebagai konstruksi sosial dan budaya. Atau dengan pemaknaan

lain gender merupakan ekspresi psikologis dan kultural dari seks yang sifatnya

biologis, kemudian menjadi peran dan perilaku sosial yang menempatkan

perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik.

Peran domestik yang dimaksud adalah pekerjaan perempuan tidak

lain adalah memasak, melahirkan dan mengurus anak, melayani suami dan

semua pekerjaan yang diklasifikasikan pekerjaan dalam rumah. Dan peran

publik bagi laki-laki adalah mencari nafkah untuk kebutuhan hidup keluarga.

Pembagian peran ini disebut konstruksi sosial dikarenakan pembagian

peran ini muncul dari proses sosialisasi dalam masyarakat ketika kelahiran dan

pertumbuhan seorang anak. Nick T. Wiratmoko menyebutkan ketika seorang

bayi dilahirkan dan kelihatan beda jenis kelaminnya, maka proses make up

13
seks dalam bentuk psikologis, sosial dan kultural pun dimulai. Bagi bayi

perempuan sebutan pertama adalah cantik, manis dan untuk laki-laki adalah

ganteng dan kuat. Dalam pertumbuhannya anak perempuan dikondisikan

untuk bermain masak-masakan atau ibu-ibuan. Sementara laki-laki diberi

permainan mobil-mobilan, pistol-pistolan atau senapan. Fakta ini pada

akhirnya menyebabkan masyarakat menempatkan perempuan pada wilayah

domestik dan laki-laki pada wilayah publik atau produksi.

Mansour Fakih menjelaskan bahwa perbedaan gender yang

dikonstruksikan ini sesungguhnya tidak akan menjadi persoalan atau masalah

selama tidak menciptakan ketidakadilan. Akan tetapi pada kenyataannya

perbedaan gender telah memunculkan persoalan ketidakadilan dalam bentuk

marginalisasi/pembatasan atau proses pemiskinan, subordinasi , pembentukan

stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja yang lebih

panjang serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Marginalisasi yang

menyebabkan kemiskinan bersumber dari pemerintah, tafsiran agama,

keyakinan tradisi atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Sebagai contoh

kebijakan pemerintah tentang program swadaya pangan atau revolusi hijau

yang mengantikan cara panen dengan ani-ani (yang melekat dengan

perempuan) dengan penggunaan sabit telah mengakibatkan banyak perempuan

yang tidak mendapatkan pekerjaan di sawah. Pemiskinan yang disebabkan

oleh tradisi yaitu masih banyak suku-suku di Indonesia yang tidak

memberikan warisan kepada perempuan. Subordinasi yang muncul akibat

anggapan gender muncul dalam anggapan bahwa perempuan tidak perlu

14
menempuh pendidikan yang tinggi-tinggi karena akhirnya akan ke dapur juga

dan bagi keluarga yang kurang mampu, bila hendak menyekolahkan anak

maka anak laki-laki yang menjadi prioritas. Akibat lain dari perbedaan gender

adalah kekerasan. Kekerasan itu terjadi karena ketidakseimbangan kekuatan

yang ada dalam masyarakat, kekerasan itu antara lain: pemerkosaan,

pemukulan, penyiksaan yang mengarah pada alat kelamin, pelacuran,

pornografi, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga

berencana dan kekerasan terselubung dalam bentuk memegang atau

menyentuh bagian tertentu pada tubuh perempuan.

Akibat yang muncul dari perbedaan gender ini merupakan persoalan

atau permasalahan etis dan juga teologis. Karena sebagaimana yang telah

dikemukan di atas ternyata perbedaan gender telah menghadirkan

ketidakadilan gender. Apakah benar perempuan yang dibentuk secara biologis

berbeda dengan laki-laki kemudian boleh diperlakukan dengan tidak adil?

Apakah Allah memang menciptakan perempuan untuk mengalami semua itu?

Apakah memang demikian relasi yang dibentuk Allah untuk laki-laki dan

perempuan ?

Fakta menunjukkan bahwa tidaklah demikian keberadaan antara laki-

laki dan perempuan. Kesemuanya itu terjadi karena konstruksi sosial dan

budaya dalam masyarakat yang menganggap perempuan lemah dan dapat

diperlakukan dengan tidak adil.

D. Gender sebagai Isu Pembangunan dalam Etika

15
Dalam pembahasan soal gender, praktisi pembangunan dan aktivis

gerakan sosial memperhatikan kesenjangan yang ada di antara laki-laki dan

perempuan dalam hal hak-hak, tanggung jawab, akses dan penguasaan

terhadap sumber daya alam serta pengambilan keputusan dalam keluarga, di

komunitas dan di tingkat nasional.Laki-laki dan perempuan kerapkali

memiliki perbedaan dalam prioritas, hambatan dan pilihan terkait dengan

pembangunan serta dapat mempengaruhi dan dipengaruhi secara berbeda oleh

proyek-proyek pembangunan dan penanganan kampanye. Untuk

meningkatkan efektivitas, pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu disikapi

dalam semua perencanaan dan penanganan program dan kampanye. Jika

pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak disikapi secara serius dan

memadai, tindakan-tindakan tersebut tidak saja hanya akan menghasilkan

inefisiensi serta tidak berkelanjutan, tetapi juga dapat memperburuk kondisi

ketidaksetaraan yang ada. Memahami isu gender dapat memungkinkan proyek

untuk memperhatikan persoalan gender dan membangun kapasitas untuk

menghadapi dampak-dampak ketidaksetaraan dan untuk memastikan adanya

keberlanjutan.

Hak-hak perempuan dilindungi oleh banyak instrumen dan hukum

internasional. Paling terkenal di antaranya adalah Konvensi Penghapusan

segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW, 1979) – sebuah

Traktat PBB yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979 dan

pada awalnya ditandatangani oleh 64 negara di bulan Juli tahun berikutnya.

Sebuah protokol opsional disusun kemudian untuk mengatur mekanisme

16
pertanggunggugatan negara-negara terhadap traktat.Sejak itu ada beberapa

deklarasi internasional dan perjanjian yang telah digunakan sebagai standar

untuk mengukur kemajuan dalam urusan perempuan. Termasuk di antaranya

Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (1995) serta Tujuan Pembangunan

Milenum/MDGs (2001) yang memuat pertimbangan-pertimbangan gender

pada hampir setengah dari keseluruhan klausal. MDGs bersifat saling

menguatkan, yaitu kemajuan pada satu tujuan mempengaruhi kemajuan dalam

tujuan lain. Namun, tujuan ketiga berbicara secara khusus tentang kesetaraan

gender. Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang melanjutkannya

akan diadopsi pada tahun 2015 sebagai bagian dari Agenda Pembangunan

Berkelanjutan yang luas, mencakup pencapaian “kesetaraan gender dan

menguatkan semua perempuan dan gadis”.

Peningkatan peranan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan

laki-laki dalam pembangunan berarti meningkatkan tanggung jawab

perempuan sebagai pribadi yang mandiri dalam lingkungan keluarga dan

masyarakat. Dengan demikian bersama laki-laki, perempuan bertanggung

jawab atas kesejahteraan dan kebahagian keluarga. Untuk dapat mewujudkan

hal tersebut diperlukan kerja keras disertai peningkatan kualitas dan

produktivitas tenaga kerja perempuan sebagai insan pembangunan yang

tangguh diberbagai sektor. (M.Mansyur Amin, 1992).

Untuk membangun kesadaran terhadap perempuan, dapat dilakukan

melalui proses pendidikan. Menurut Freire (1985) pendidikan harus

berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinnya sendiri.

17
Pengenalan tidak bersifat subjektif atau objektif akan tetapi keduanya.

Kebutuhan objektif untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi selalu

memerlukan kemampuan subjektif (kesadaran subjektif ) untuk mengenali

terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi. Dengan selalu aktif dalam

bertindak dan berpikir, serta dengan terlibat langsung dalam permasalahan

yang nyata, maka akan terbangun sebuah interaksi diri dengan lingkungan

yang kemudian menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seorang dari “rasa

takut akan kemerdekaan” (fear freedom).

Setiap diri harus menolak penguasaan sepihak dan penindasan akan

sebuah makna kebebasan dalam manusia berperan. Sehingga akan

memunculkan suatu kontruksi baru yang terbangun akan kontribusi dalam

pengakuan umum tentang pentingnya sebuah peran setiap diri baik itu laki-

laki ataupun perempuan.Pembebasan dan pemanusiaan manusia dalam istilah

yang dibangun oleh Drs. Tri sakti Handayani, MM dalam analisis gendernya

hanya dapat dilaksanakan saat setiap manusia benar-benar telah menyadari

realitas dirinya dan dunia sekitarnya. Peran itu yang harus disadarkan dalam

setiap jiwa antara laki-laki dan perempuan dan tentunya melalui pendidikan

yang harus berperspektif peran sehingga tidak ada lagi istilah diskriminasi

antara keduanya.Berbicara gender dalam peran pembangunan tentunya akan

sangat mendukung untuk pengembangan pembangunan kedepan ketika

pelabelan masalah peran sudah terselesaikan terlebih dahulu.

Peran gender akan memperkuat kemampuan negara untuk

berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan

18
demikian mempromosikan nilai adil gender adalah bagian utama dari strategi

pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua

orang)-perempuan dan laki-laki-untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan

meningkatkan taraf hidup mereka agar keluar dari kontruksi diri akan

bayangan “Budaya Patriaki”. Pembangunan ekonomi membuka banyak jalan

untuk meningkatkan peran gender dalam jangka panjang.

19
BAB III

PENUTUP

Pendekatan awal dalam pembentukan etika mencakup penargetan

perempuan dalam perencanaan dan intervensi proyek yang berfokus pada

perempuan sebagai kelompok terpisah. Hal ini biasa disebut sebagai

Perempuan dalam Pembangunan. Kritik terhadap pendekatan ini menuding

bahwa pendekatan ini tidak mengurus soal laki-laki, yang lalu mendorong

munculnya model yang disebut Gender dan Pembangunan (GdP) yang lebih

berkonsentrasi pada perencanaan dan intervensi proyek yang berfokus pada

proses pembangunan yang mentransformasikan relasi gender. Tujuan dari GdP

adalah membuat perempuan mampu berpartisipasi secara setara dengan laki-

laki dalam menentukan masa depan bersama.

Perbedaan gender yang dikonstruksikan ini sesungguhnya tidak akan

menjadi persoalan atau masalah selama tidak menciptakan ketidakadilan.

Akan tetapi pada kenyataannya perbedaan gender telah memunculkan

persoalan ketidakadilan dalam bentuk marginalisasi atau proses pemiskinan,

subordinasi, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif,

kekerasan, beban kerja yang lebih panjang serta sosialisasi ideologi nilai peran

gender. Marginalisasi yang menyebabkan kemiskinan bersumber dari

pemerintah, tafsiran agama, keyakinan tradisi atau bahkan asumsi ilmu

20
pengetahuan. Sebagai contoh kebijakan pemerintah tentang program swadaya

pangan atau revolusi hijau yang mengantikan cara panen dengan ani-ani (yang

melekat dengan perempuan) dengan penggunaan sabit telah mengakibatkan

banyak perempuan yang tidak mendapatkan pekerjaan di sawah.

Pendekatan Kesetaraan Gender adalah mengenai laki-laki dan

perempuan dan merupakan pendekatan yang lebih komprehensif untuk

menganalisis dan merencanakan intervensi pembangunan karena

mempertimbangkan situasi dan kebutuhan laki-laki dan perempuan.

Kesetaraan gender bertujuan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam

menyikapi permasalahan mereka terkait pembangunan, mereformasi lembaga-

lembaga untuk membangun hak-hak dan peluang yang setara, serta

mendorong perkembangan ekonomi yang menguatkan kesetaraan partisipasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Gender, kesehatan dan pelayanan kesehatan, mata kuliah ilmu sosial dan
kesehatan masyarakat oleh Ratna Siwi Fatmawati, 6/5/2010

Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan


Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta,
Gramedia,1985

Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1997

Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998

Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

22

Anda mungkin juga menyukai